[32] : Utopia

1. Kiera

"Apa sih, Kak?" Aku berusaha menyentakkan cengkraman Sera dari lenganku. "Lepas!"

Genggaman Sera bukannya melonggar, namun malah mengerat, mencegah apapun usahaku untuk kabur. Dengan mudah, ia menyeretku ke luar dari mobil sampai ke teras depan.

Di pipinya masih terlihat bekas merah bekas tamparanku, namun Sera tampaknya sama sekali tak menggubrisnya. Dia--sungguhan, menyeretku dari sekolah, dan memaksaku pulang. Aku ingin mengerut di hadapannya, karena Sera yang ini sama sekali.bukan Sera yang kukenal.

Tapi seorang Kiera tak mau mengakui dirinya takut atau kalah.

Aku tak mau. Titik.

"Masuk." perintahnya dingin.

Aku menolak. Dan menghentakkan kakiku dengan marah di teras depan.

"Masuk." ulangnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. "Atau gue bisa minta Oliver dan Jev untuk menggeret lo secara paksa ke dalem."

Dengan kasar, aku membanting pintu hingga terbuka, sama sekali tak peduli dengan kemungkinan benda itu rusak parah atau apa. Bahan kayunya yang keras nyaris terdengar seperti patah saat menghantam dinding, dan aku masih juga tak peduli.

Satu-satunya yang bisa kupikirkan hanya kebohongan. Ini benar-benar keterlaluan. Aku masih bisa memaafkannya dua kali, tapi ini sudah ketiga.

Apa lagi yang selama ini tak kuketahui?

"Bukan gitu caranya kalau lo marah," Sera menatapku tajam-tajam. "Apa lo masih inget ini?"

Sera menyentakkan kerah bajuku, di mana sebuah tato permanen tertanam di sana. Tinta hitam yang sudah lama menujam kulitku itu sama sekali tak memudar, malah tampak begitu jelas, begitu kontras di kulitku yang cerah.

"Apa lo masih inget, saat lo kena infeksi karena benda jahanam ini?" desisnya tepat di telingaku. "Apa lo madih inget saat lo nyaris mati saat pertama kali lo hampir nabrak di jalan raya? Saat lo pertama kali nyaris keracunan alkohol? Siapa yang ngurusin lo saat itu? Siapa?"

Aku menggertakan gigi marah, dan mendorong semua rasa terima kasihku itu jauh-jauh ke dalam otak.

"Gue, Kiera. Gue." ucapnya drngan nada yang sedikit melunak. "Apa kurang bukti kalau gue memang care sama lo?"

Care.

Hanya sekedar perhatian, namun tidak peduli.

Memangnya enak mendapat hasil langsung, tanpa terlibat dalam penentuan keputusannya? Memangnya ini hidup siapa?

"Kalau lo bener-bener sayang sama gue, Sera," Aku mendorongnya menjauh. "Lo nggak bakal menyembunyikan apapun dari gue. Lo nggak bakal bohong sama gue. Tapi coba lihat apa yang selama ini terjadi?" tawaku sarkastis.

"Gue berusaha melindungi lo, Kiera." Sera menghela napas pelahan-lahan, berusaha mengatur emosinya sendiri. "Apa lo yakin bisa melewati semua itu tanpa jadi gila?

"Gue nggak perlu dilindungi." desisku ganas. "Lo selama ini selalu memperlakukan gue sebagai anak-anak, seakan gue nggak bisa mengatasi masalah gue sendiri."

"Bisa? Memangnya lo bisa?" Sera melemparkan tangannya dengan frustasi. "Dua hal yang selama ini selalu lo lakukan saat ada masalah, Kiera, adalah kabur, dan menutup mata dari semuanya. Apa itu yang lo sebut mengatasi?"

Aku tak tahu harus bagaimana, tapi jelas aku tak bisa mengatakan apa-apa.

Sakit. Jelas.

Aku hanya bisa mengatakan itu.

Mendapatkan kombo maut seperti ini--perpaduan antara segala kebenaran dan perang dunia dengan Sera. Tak ada yang lebih baik daripada ini. Kwjujuran rasanya mengiris-ngiris. Rasanya ku ingin hidup dalam dunia semu saja, yang kuciptakan sendiri untukku.

Sialan. Gigiku bergemeretak begitu kuat, sampai-sampai aku takut jaringan kalsium itu hancur berkeping-keping dalam mulutku. Rasanya seperti mendapatkan tamparan secara mental, dan aku tak suka. Aku tak suka mengakui kalau Sera benar. "Dan apa dengan gue yang nggak tahu apa-apa juga mengatasi?"

"Disinilah masalah lo, Kiera!" dengan frustasi kakakku itu mondar-mandir di ruangan kecil itu. "Percaya. Lo sama sekali nggak bisa percaya sama orang lain."

"Nggak ada di dunia ini yang bener-bener tulus." Aku menyipit menatapnya. "Pada akhirnya semua cuma kebohongan. Kepercayaan itu sesuatu yang percuma."

"Lo tahu? Kayaknya ketidakpercayaan lo itu cuma ilusi dalam diri lo." Sera menarik bangku terdekat, dan menghempaskan diri dengan lelah di sana. "Ketakutan lo akan tersakiti membuat lo berpikir semua orang nggak pantas dipercaya. Membuat lo nggak yakin dengan ketulusan kasih sayang seseorang."

"Beri gue satu contoh mengenai apa yang bisa gue percaya." tantangku berani.

"Masih ingat Isaiah?" tanyanya sinis. "Mantan pacar terakhir lo itu?"

"Si tukang selingkuh itu?"

"Astaga, gue rasanya pengen banget menampar lo dengan kenyataan." geram Sera putus asa. "Apa lo nggak bisa lihat, Kiera? Dia bener-bener cinta mati sama lo."

"Mana buktinya?"

"Apa lo tahu pesannya saat terakhir kita ketemu itu?" Mata hazel Sera menyorotku lekat. "Apa lo tahu kalau selama ini dia melindungi lo, walaupun dia sendiri jadi korbannya?"

"Gue nggak mau!" desisku marah. "Gue udah tujuh belas tahun, dan gue udah punya hak untuk menentukan sendiri kehidupan gue!" bentakku balik.

"Di sini status gue masih sebagai kakak lo, Kiera!" ucapnya emosi. "Dan selama lo masih tinggal di bawah atap ini, lo masih tanggung jawab gue."

"Fine!" geramku marah padanya. "Fine then. Gue keluar dari sini."

***

3. Jevon

"Lo bilang apa?"

Aku mengulang kata-katanya dengan tak percaya. Sera menghisap batangan rokok iru dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan frustasi. Rasanya dingin seketika merayapi perutku, saat lagi-lagi berita yang sama mampir ke otakku, sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

Pengalaman pertama gadis itu kabur tanpa sebab, berakhir dengan kecelakaan naas.

Pengalaman pertama kepergiannya benar-benar dalam artian yang sebenarnya.

Dan jangan sampai, ada pengalaman kedua lagi.

Pesan menyebar secepat api di semak kering seantero IHS. Hanya sedikit memang saksi mata di saat itu, tapi jelas, pertengkaran Sera-Kiera di sekolah tadi pastinya lebih menarik dibandingkan berita remedial matematika.

Ada apa lagi dengan dua orang ini? Dan untuk apa Sera menghubungiku?

"Dia pergi," ucapnya serak. "Gue ... nggak ngerti lagi."

"Dan lo nggak cari dia?" tuntutku dengan darah yang makin naik ke ubun-ubun. "Apa lo nggak takut kalau ternyata terjadi sesuatu dengan--"

"Setelah gue pikir-pikir, Kiera udah dewasa, Jevon." Kata-kata itu diucapkan tanpa nada, sementara ia menghembuskan asap menyesakkan dari batang kematian yang kian pendek. "Dia udah tujuh belas."

Pintu yang terbuka mengagetkan kami semua. Oliver berdiri di ambang pintu, dengan Angie yang mengintip dari balik bahunya. Tunggu.

Oliver, dan Angie?  Aku mengangkat alis heran saat melihat keduanya bersama, tapi sekarang bukan itu masalahnya.

"Kiera ... kabur?" Dari nadanya, aku tahu dia memikirkan hal yang sama denganku.

"Udahlah, mungkin dia perlu mendinginkan kepalanya dulu." Sera menatap lampu di langit-langit dengan menerawang. "Ini pertengkaran paling besar yang pernah terjadi di antara gue sama Kiera, dan gadis itu nggak bakal menggubris kalau gue minta maaf sekarang."

Bukan itu.

Dan Oliver juga sepertinya ada ddi gelombang pikiran yang sama denganku.

"Aku coba telepon Kiera dulu," ucapnya kaku sambil segera bergegas keluar.

Wajah cantik Angie seketika pias, saat kuyakin, dia kembali mengingat saat itu. Aku mendorong segala keinginanku untuk melakukan hal yang biasa kulakukan padanya, karena sejak di kafe lah, kami secara resmi hanya memiliki hubungan sebagai sahabat.

Tanpa banyak kata, aku menyambar jaketku. "Oliver, kasih tahu para Angels. Cari sekarang, sebelum terlambat."

"Kenapa sih kalian--"

"Terakhir kali gadis itu kabur, Kak," jawabku dengam singkat. "Dia nggak kembali sebagai Kiera yang sama."

Serangan tiba-tiba deja vu membuatku memejamkan mata. Kilasan demi kilasan memori kembali lepas, dan melintas seperti menunjukan kepadaku kesalahan di masa lalu. Kesalahan ada sebagai pedoman supaya tak lagi jatuh di lubang yang sama.

Karena pada saat itulah, kisah ini berawal.

***

Tenang.

Aku memacu motorku secepar mungkin menembus malam. Bulan semakin tinggi di langit, sementara tanda-tanda kehidupan sudah mulai menyurut di kota.

Hari semakin menuju ke akhirnya, namun gadis itu masih tak nampak juga dimanapun.

Pelahan aku memberhentikan motor di depan salah satu rumah toko yang masih benderang. Suara deru kendaraan bermotor menyerang telingaku saat melepaskan helm. Sebelah tanganku memeluk benda bulat itu, sementara sebelah lagi merogph saku untuk mencari ponsel.

Jevon : Lo udah nemu?

Dengan gerutuan panjang, aku sedikit mengumpat saat Oliver tak juga membaca pesanku. Anak yang satu ini sepertinya hobi sekali menghemat kuota. Mungkin saat ulang tahunnya nanti lebih baik kalau kuhadiahkan saja pulsa yang banyak.

Aku menekan nomor pemuda itu tanpa perlu berpikir lagi, sebelum menempelkan telepon ke telinga, dan menunggu jawaban.

"Halo--"

"Apa lo udah nemu Kiera?"

"Sejauh ini belum," lapor Oliver dari ujung sana. "Astaga, gue harus anter Angie pulang dulu. Dia mulai panik lagi. Jev? Jev--"

Aku mendekat ke arah taman yang sepi itu, tepatnya ke arah aneka mainan aanak-anak yang sudah reot. Rantai ayunannya sudah patah sebelah, sementara di ujung lainnya, terdapat jungkat-jungkit yang bakalan berbahaya jika ada yang naik. Gema samar isakan itu terdengar lebih dekat, membuatku yakin memang ada seseorang di sana.

"Jev--" Suara Oliver di telepon kembali terdengar, namun aku tak menggubrisnya.

Sebuah terowongan kecil, yang tersambung dengan wahana berbentuk kubah untuk anak-anak itu asal dari suaranya. Aku mendekat, pelahan, dan sama sekali tak terkejut saat melihat siapa yang di sana.

"Oliver, gue udah ketemu dia." ucapku sebelum memutus telepon dan menyimpannya di saku.

Kiera.

Di sana ada Kiera, dan gadis itu tampak seperti ... seseorang yang harusnya kukenal dulu.

Dejâ vu.

Aku menemukannya meringkuk di dalam terowongan bermain anak-anak, terisak sambil memeluk diribya sendiri. Sendirian. Kakinya ditekuk begitu rapat, sampai-sampai Kiera terlihat seperti bola kecil yang amat rapuh.

"Kier--"

"Pergi sana," perintahnya galak, bahkan sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. "Gue benci kalian semua."

Aku menjatuhkan diri di atas pasir yang masih hangat, tepat di sebelahnya. "Maaf."

"Gue nggak butuh maaf lo," desisnya galak. "Apa yang akan berubah dengan maaf lo? Dan satu lagi, ngapain pula lo masih di sini?"

"Walaupun nggak ada yang berubah, Kiera, tapi dengan minta maaf seenggaknya adalah usaha untuk memperbaiki kesalahan itu, walau sedikit."

"Nggak guna, maaf itu," isaknya dengan suara bindeng. "Apalah gunanya lo minta maaf, kalau kemudian lo ulangin lagi?"

Kepalaku menoleh sedikit ke arahnya, "Lo ... marah sama Sera?"

Dia tak menjawab.

Bibirnya bungkam, dan ditarik sampai membentuk garis tipis yang keras kepala.

"Gue anggap itu sebagai iya." Aku menghela napas panjang. "Lo tau--"

"Gue nggak marah," potongnya datar, membuat perkataan dan nadanya benar-benar antagonis. "Mungkin lebih ke ... kecewa."

Aku memeluk lututku sendiri, merasa mirip seperti dulu, saat aku harus menenangkan satu gadis kecil yang ngambek dan bersembunyi dalam rongga pohon yang sempit.

Gadis yang sama.

Tempat yang berbeda.

Masa yang berbeda.

"Apa lo pernah berpikir untuk kasih mereka--kasih kami, atau bahkan kasih gue, kesempatan kedua?" Aku kali ini benar-benar menatapnya, bukan lagi hanya menoleh.

Kepalanya ditelengkan ke sisi yang berlawanan denganku, sementara bahunya menjadi kaku sesaat setelah kata-kata itu lolos dari bibirku. "Nggak."

"Kenapa?" pancingku padanya.

"Gue nggak percaya dengan hal-hal seperti itu." Dia menggeleng keras kepala. "Ini bukan dongeng, nggak bakal semudah itu."

"Coba lo bayangkan, Kiera." Aku meraih sebelah tangannya, dan menahannya saat dia ingin menepiskan genggamanku. "Semuanya bakal jadi lebih baik."

***

-Ree
(01-02-2016, 09:53)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top