[29] : Knitted Red Thread

4. Sera

Hujan di bulan Desember sudah biasa. Hujan di pagi hari juga biasa. Begitu biasa, karena memang sudah seharusnya rintik-rintik tangisan langit itu jatuh ke bumi pada akhir tahun begini. Seakan alam akhirnya melepaskan kelelahannya selama setahun yang panjang ini, agar menjadi kuat kembali di tahun yang akan datang.

Tapi yang ini, amat tak biasa.

Aku bahkan sudah hampir selusin kali mengusap mata dan kembali melihat ke bawah sana. Tapi tetap saja, dua gadis di bawah sana tetaplah Kiera dan Angie.

Sekali lagi, Kiera dan Angie.

Astaga. Apa langit sudah runtuh?

Kali ini mereka berdua berbagi payung, dan berlari di bawah guyuran hujan yang menderas. Bulatan pelindung hujan itu tampak bergerak cepat dari atas, sementara dua payung lagi mengikuti di belakangnya.

Yang ini Jevon dan Oliver, aku tahu dari cara mereka berjalan.

Astaga, aku benar-benar tak waras sekarang.

Ini benar-benar menyedihkan. Apa memang selalu begitu hukumnya? Memperhatikan seseorang yang tak ingin diperhatikan benar-benar menguras energi.

Seperti butuh tenaga ganda. Satu untuk memperhatikan, dan satu lagi untuk memastikan dia benar-benar baik saja. Yang terakhir itu sulit, apalagi aku yakin, Kiera sudah dengan baik hati memblokir semua akses komunikasiku padanya.

Rasanya lama sekali aku terlarut dalam pikiran, sampai ke suatu titik di mana tiga suara yang tak tahu malu saling berdebat dengan suara keras.

"Masuk ih!"

"Nggak mau! Lo duluan, Zul. Kan lo leader-nya."

"Lah, yang ada perlu siapa?"

"Masuk ajalah, Clay."

"Tapi, tapi—"

"Ya sudah." Satu suara mendengus kesal. "Oi! Ven, Aven!"

Oh, tak perlu berbalik pun aku sudah tahu siapa mereka. Suara polos yang cenderung kekanakan, suara tenang, dan suara yang tak sabaran nan sarkastis itu sangat mudah dicirikan. Kaca bening yang kulihat kali ini lagi menampilkan pemandangan di luar. Mataku terfokus pada permukaannya, di mana bayangan ketiga orang itu terpantul di kaca. Jemari-jemari yang menunjuk ke belakang punggungku membuatku tahu, kalau akulah yang mereka cari.

Aku hanya bisa mengulum senyum, membiarkan saja mereka sampai memanggilku. Kepalaku rasanya sakit karena terlalu banyak berspekulasi, dan hiburan seperti ini cukup untuk jadi penawar. Menyenangkan juga dapat menonton mereka berdebat begini.

Dugaanku tak salah. Sejenak kemudian, Aven memanggilku, "Sera! Lo dicariin V.S nih."

Aku menoleh, dan sama sekali tak terkejut saat melihat Gerombolan Si Berat itu berdiri di depan kelasku. Langkahku mengetuk lantai keramik tanpa suara, sementara dengan menyebalkannya, Aven—si tengil itu mengedipkan matanya padaku.

Geez, memangnya dia kira apa? Pikirku sambil memutar mata.

"Ya, ada apa?" tanyaku ramah saat sampai di depan ketiganya.

Bukannya menjawab pertanyaanku, ketiganya malah saling pandang, lalu melemparkan pandangan padaku. Disini Zula menyuruh Sofia untuk bicara, sementaa Sofia menyikut Clay agar bicara.

Aku terkekeh kecil. Betul 'kan? Menyenangkan sekali melihat mereka berdebat.

"Langsung to the point aja ya, Kak?" Clay akhirnya menyemburkan kata-katanya dalam satu tarikan napas. "Kita mau bekerja sama."

Sebelah alisku melesat naik. "Kerjasama apa?"

"Jadi, seperti yang Kakak tahu, Kiera—"

Kiera?

"Loh," rengutku sedikit, berusaha tampak sekecewa mungkin. "Kalian nggak nyariin gue ternyata."

"Ini kita nyariin lo, Kak," jawab gadis pirang itu datar. "Tapi yang mau diomongin Kiera."

"Ouch. Kalian melukai ego—"

"Jangan out of topic, guys." Sofia mencubit lengan gadis itu, sementara matanya memperhatikan jam tangannya dengan serius. "Buruan, durasi nih."

Durasi? Memangnya dia kira ini apa?

"Kiera kenapa emangnya?" tanyaku polos, padahal niatku adalah untuk menyela perdebatan mereka.

"Nggak usah pura-pura tak tahu, Kak." Zula—kali ini gadis berwajah dingin itu menyahutku dengan tenang. "Kakak tadi lihat ke arah bawah, dan pasang muka yang nyaris sejenis dengan kebingungannya Clay."

"Lah, kok gue?" protes gadis pirang itu saat namanya disebut-sebut.

"Nggak apa-apalah," ucap Sofia dengan mata berputar. "Kan biar cocok—"

Seketika, wajah gadis Clementine itu bersemu sedikit. "Maksud lo apa—"

"Lah, udah gue bilang kalau kalian itu cocok."

Siku gadis pirang itu tiba-tiba menyikut Sofia, agak keras, sepertinya, karena pada detik selanjutnya, gadis berambut merah itu meringis sedikit sambil mengucapkan satu sumpah serapah yang tak pantas.

"Guys." Lagi-lagi pemimpin mereka dengan bijaksana menyela. "Tolong inget tujuan. Bentar lagi bel masuk, kawan-kawanku sekalian."

"Jih, ngambek," cibir Sofia saat temannya yang bermata kelabu itu menutup mulut kecilnya rapat-rapat.

Aku jadi kasihan pada Zula, saat gadis itu lagi-lagi jadi orang yang dipusingkan kedua manusia ajaib ini. "Jadi, Kak, kami mau bekerja sama. Seperti yang kakak tahu, Kiera secara misterius jadi dekat dengan—"

"Si lintah Angie itu."

"Yup. Walau gue punya beberapa sebutan yang lebih cocok—"

"Astaga," desah gadis tenang berambut hitam itu. Jemarinya memijat pelipisnya pelahan. "Gue tahu itu, tapi seenggaknya, apa bisa nggak di depan orang lain, Sof, Clay?"

"Oh, oke." balas keduanya berbarengan, lalu kembali saling memelototi satu sama lain saat menyadari itu.

Zula memutar matanya keki, dan memutuskan untuk melanjutkan diskusinya denganku. "Intinya, Clay punya usul jenius untuk menggabungkan kekuatan."

"Kekuatan?" ulangku tak percaya. "Apa untungnya buatku?"

"Mungkin kembali rukun dengan Kiera cukup?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Gayanya membuatku sebal, karena tepat seperti itulah caraku mengangkat alis. "Beberapa orang dari kami bertiga cukup persuasif untuk membujuk anak itu."

"Lalu? Apa yang kalian tawarkan?"

"Ah, itu...," gumamnya ragu, sebelum merogoh saku dan menarik keluar selembar uang ribuan. Jemarinya mengambil bolpoin di meja terdekat, dan mencoretkan beberapa kalimat di atas kertas itu, dan menjejalkannya ke genggamanku.

Matanya terasa mengawasiku saat aku membaca kata-kata di kertas itu.

"Gampang kan?" tanyanya serius.

Gampang? Gampang? "Lo gila ya?"

"Nggaklah," tawanya tanpa humor. "Tentang gimana caranya, itu urusan Kakak. Kami cuma perlu hal yang ditulis di kertas tadi."

Mulutku membuka sekali, lalu segera menutup lagi, tak tahu harus berargumen apa. "Kalau gue ketahuan, apa lo mau ikut menanggung akibatnya?"

Tanpa ragu, satu suara lain ikut bergabung dengan kami. "Tentu saja."

Itu Sofia.

"Kami para Angels disumpah untuk selalu berani ambil resiko atas tindakan," jelas satu suara lagi, yang kali ini si gadis Clementine itu.

Aku mengangguk-angguk, sementara otakku mulai menyusun skenario di dalam kepala. "Deal."

Ketiganya tampak terkejut. "Semudah itu?"

"Lho, kalian mau kutolak saja?"

"Eh, ya enggak lah." Sofia tertawa tak nyaman. "Cuma kami nggak pikir bakal ... semudah itu."

"Hm, begitulah. Gue emang mengejutkan," ucapku sambil lalu. "Eh, kalian ke sini cuma mau bilang itu?"

"Iyalah."

"Emangnya apa lagi?"

Aku mengulum senyum, merasa satu orang itu belum sadar juga dengan apa yang dipakainya.

"Yang lo pake itu." Aku mengendikkan daguku ke arahnya. "Itu sweater gue kan?"

Darah seketika mengaliri wajahnya yang semulus porselen, membuatnya tampak seperti habis terbakar. Aku tersenyum dalam hati—saat memperhatikan betapa manisnya semburat-semburat merah itu mewarnai pipi porselennya.

"Eh—ini—"

Lho, dari reaksinya, berarti dia tahu sweater itu milikku?

"Ehem, salting," deham Sofia dengan mata berkelip-kelip di belakang gadis itu. "Ehem."

Dan dengan tak membantu, Zula hanya terbatuk-batuk kecil, mengejek, sepertinya.

"Gue nggak salting!" tukasnya sambil menampar lengan gadis berambut merah dan memelototi pimpinannya. Namun aku bisa melihat rona wajahnya itu bertambah gelap beberapa tingkat, membuatnya nyaris mengalahkan warna lampu lalu-lintas.

"Ini ... mau gue balikin, Kak." Gadis itu melepaskan milikku itu dengan pelahan, bahkan kalau boleh kukatakan, dengan nyaris berat hati.

"Oh ya?" Aku menjawabnya dengan senyum terkulum. Tanganku menerima rajutan yang dilipat asal itu, membiarkan kulitnya yang nyaris sepucat aku bersinggungan satu sama lain. "Makasih ya."

Gadis pirang itu mengangguk, namun hanya diam. Aku ingin tertawa, karena ia tampak nyaris pingsan.

Dan kedua temannya, juga nampak nyaris pingsan karena menahan tawa.

"Ya sudah, kita duluan ya, Kak Ser." Zula dengan tenang mengundurkan diri. Sepertinya dia ini yang paling peka dengan keadaan kawan-kawannya. "Makasih, maaf ganggu."

Dengan sengaja, aku mengulaskan senyum paling manis yang kupunya. "Iya, nggak masalah. Bye, Angels."

Gadis berambut hitam itu mengangguk singkat, dan menyeret ketiga temannya keluar kelas. Ujung bibirku melengkung membentuk senyuman, saat menatap ketiganya tampak berdebat dengan amat komikal. Penasaran, aku membuka sedikit jendela kelas, ingin tahu apa yang mereka perdebatkan.

"Anjir lo, Sof." Ini suara gadis pirang Clay itu. Tampaknya ia sudah kembali ke dirinya yang petakilan dan asal ngomong itu. "Malu parah gue."

"Yee, bukan salah gue."

"Fix gue dendam sama lo sampe seribu tahun," gerutunya kesal, nyaris seperti meratapi nasibnya. "Mau dikemanain muka gue? Awas aja lo, Sof, kalau ada Savio—"

"Heh, jangan berani-beraninya—"

"Guys, udah dong." Suara tenang pemimpin mereka segera melerai. "Malu dilihatin orang-orang."

Mata hitam Zula melirik ke arahku sedikit, membuatku langsung bertumbukkan dengan tatapannya. Dia tampak tahu aku menguping, namun ia hanya kembali menoleh kembali, dan tak mengatakan apa-apa.

Pelahan, jemariku menggeser jendela kaca sampai menutup sempurna, dan kembali duduk di tempatku. Sweater kelabu yang tergeletak di atas mejaku itu masih hangat, apalagi saat aku membuka lipatannya.

Aroma berubah.

Aku sangat tahu aroma pewangi pakaian yang biasanya kugunakan. Namun kali ini, sweater yang tadinya kupinjamkan ke Kiera ini sudah berganti aroma. Kali ini aku bisa mencium bau lembut parfum—samar, dan bercampur dengan aroma yang lama melekat di sweater.

Seperti parfum mahal yang pernah kubaui di mall, merupakan campuran dari vanila, kayu-kayuan, dan mineral yang lembut.

Unik.

Dan gara-gara itu, sekarang otakku memberi label aroma itu sebagai Clay. Dengan sebuah senyuman, aku melipat pakaian itu dan menyimpannya di dalam tas.

Padahal aku sama sekali tak keberatan dia menyimpan sweater itu. Tapi tak apa, mungkin suatu saat nanti aku perlu meminjamkannya lagi padanya.

Aku tertegun, dan berusaha menyimpan pikiran itu jauh-jauh. Meminjamkannya lagi padanya? Apa tak salah kalau otakku menantikan saat-saat itu?

***

1. Kiera

Kapan bel? Kapan bel? Kapan bel?

Aku menguap sekali lagi, lalu mencoret satu ruas lagi ke ujung dari buku catatanku. Sudah lebih dari selusin garis cakar ayam menghiasi sudut itu, dan memang wajar, karena aku jadi ingin menjatuhkan saja kepalaku di atas meja. Tidur, jelas. Jam-jam begini adalah jam kritis dimana aku mulai mengantuk.

Suasana sepi kelas, berpadu dengan suara samar rintik hujan bagaikan lagu nina bobo untukku. Selepas jam makan siang adalah saat di mana hampir seluruh populasi manusia mengantuk, mungkin ini karena seluruh suplai energi dipusatkan di pencernaan. Hembusan AC kelas juga sama sekali tak membantu, membuat suhu kelas cocok sekali sebagai tempat tidur saat ini.

Aku menguap, dan menorehkan satu garis lagi di ujung buku.

Oke, aku tahu ini salah. Bukannya menyimak pelajaram di depan, aku malah menghitungi jumlah kuapanku agar tak tertidur. Idiot, ya.

Detik-detik terakhir saat aku hendak tumbang, tiba-tiba ponselku bergetar di atas meja, menampilkan notifikasi sederhana dari aplikasi percakapan. Seakan disuntik energi baru, aku menegakkan punggung dan membaca pesan di sana tanpa mengundang curiga.

Clay : Kiera, pulang sekolah main yuk.

Tanpa sadar aku tersenyum sedikit saat membaca pesan itu. Aku melirik sebentar ke depan, memastikan guru yang sedang mengajar di depan tidak sedang memperhatikanku.

Jariku pelahan menyentuh layar, nyaris tak kentara agar guru tak menyita ponselku.

Kiera : Boleh. Kemana?

Sent.

Sejurus kemudian, satu pesan kembali masuk ke ponselku.

Zulaaa : Heh, kalian lagi pelajaran malah main hape.

Clay : Heh, kayak lo nggak Zul.

Clay : Kemana aja, Kir. Yang penting jalan. Otak gue malfungsi abis ulangan statistika nih.

Sofia : Oi, kalian pm aja sana. Ganggu sumpah notif kalian.

Zulaaa : Oi, kalian pm aja sana. Ganggu sumpah notif kalian. (2)

Zulaaa : Eh, ucet. Anak IPS udah ulangan mat aja.

Kiera : Gue aja baru masuk bab statistik.

Clay : Tau tuh, napsu amat si Bapak kalau sama kelas gue.

Sofia : Btw, gue yakin lo menggambar indah di kertas ulangan lo, Clay.

Bukan rahasia lagi, Clay memang lemah dalam urusan beginian. Menurutnya, 'Matematika itu gampang, tapi kalau ketemu alfabet, itu beda lagi urusannya'.

Aku terbatuk kecil agar tak tertawa mengingatnya.

Clay : Hehehe, kali ini gue nggak ngasih nama di kertas ulangan gue.

Untung saja aku tak punya gigi setajam singa, kalau iya, mungkin bibirku sudah berdarah gara-gara kugigiti. Sialan, kalau sampai benar-benar tertawa, bisa-bisa aku besok tinggal nama.

Pelahan, aku melarikan jemari di atas keypad.

Kiera : Hah, serius lo?

Clay : Iyalah. Kan belajar dari pengalaman :)

Sofia : HUAHAHAHA PARAH LU :')

Zulaaa : Gue off-in internet ya, lagi mapelnya Bu Senyum. Ke kelas aja kalau nyari gue.

Clay sent a sticker.

Kiera : Ke JetLag yuk.

Clay : Nggak ah, si Jet lagi sensi sama gue.

Sofia : Guys, nyalon aja yuk. Gue perlu ngecat rambut lagi.

Kiera : Boleh tuh.

Clay : Eeeh, gue off lagi, deh semua. Dipanggil Pak Sukar.

Dipanggil Pak Matematika?

Sofia : HUAHAHA mampus lo wkwk.

Clay : Doain gue ya, supaya gue selamat keluar dari ruang guru. #PrayforClay.

Sofia : #RIPClay.

Kiera : #PrayforClay.

Sofia : Heh, gue harus off juga nih :(. Bhay bitches.

Kiera : Yah, kok gue ditinggalin sendiri disini?

Tidak ada yang read.

Aku menghela napas, saat memang tak ada lagi yang membalas pesanku.

Sejurus kemudian, ponselku kembali bergetar. Harapanku terbit, berharap kalau aku mendapat lagi teman mengobrolku. Namun kali ini bukan dari group chat V.S Angels, tapi hanya pesan singkat— dari nomor yang akhir-akhir ini menggangguku.

Aku mendongak, dan berpura-pura mengedarkan pandangan ke seberang ruangan. Tatapanku langsung terfokus pada satu kepala, yang sebenarnya duduk di sebelahku. Gadis berambut cokelat itu tetap menjaga agar sorot matanya lurus ke depan, tapi aku tahu, tangannya yang bebas seperti menari-nari di atas meja. Dia sedang mengetik pesan, aku bisa melihat itu.

Tak lama kemudian, satu pesan lagi masuk ke ponselku.

Jadi dia mau main api denganku?

Aku membuka aplikasi chat, dan segera mengetik pesan ke ruang percakapan dengan para Angels itu.

Kiera : Guys, maaf gue nggak bisa ikut lagi. Ada urusan.

Aku membanting ponselku ke meja—agak sedikit lebih keras dari yang seharusnya, sama sekali tak peduli dengan nasib benda yang harganya sama sekali tak murah. Sekali lagi aku melemparkan pandangan pada gadis itu, dan kali ini pandangan kami bertumbukan.

Angie memasukkan ponsel ke dalam sakunya, tanda bahwa keputusannya itu mutlak. Tanpa memberikan kode apapun, kepala berambut cokelat itu kembali menoleh ke depan, sama sekali tak merasa terganggu dengan pandanganku yang dimaksudkan untuk menembus kepalanya.

Oh, betapa kadang aku berharap bisa membaca pikiran seseorang.

Baiklah. Kalau itu maunya, dengan senang hati aku meladeni. Biarlah salah satu dari kami nanti terbakar, tapi aku tahu, orang itu pasti bukan aku.

***

Sooo guys, sejauh ini siapa pairing favorit kalian? Dan kenapa? Comment yuk ^^ Alasan paling keren bakal gue kasih dedication di chapter selanjutnya ^^.

Oke? Siiiip :)

Salam,

-Renaissance Lyond Ginevra
(19-01-2016)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top