[28] : Game On

1. Kiera

Tak!

Aku mengernyit, sembari mengangkat kepala dari PR yang sedang kuselesaikan. Apaan itu? Sumpah, serem kalau lagi sendiri begini, dan tiba-tiba ada suara-suara aneh di jendela.

Aku tak takut, sumpah. Cuma suara ranting menabrak jendela saja kan?

Iya 'kan?

Rasanya penyangkalan itu terdengar begitu menyedihkan.

Oke. Aku takut.

Tapi wajar kan kalau was-was? Ini sudah hampir menyentuh tengah malam, dan siapapun orangnya, pasti berpikir ke arah yang negatif kalau tiba-tiba mendengar suara di waktu begini. Seberani apapun orangnya.

Aku menajamkan pendengaran, namun yang menyambutku hanya keheningan.

Beberapa menit berlalu, dan suara kelotakan itu tak terdengar lagi dari jendela. Sambil menghela napas, aku memusatkan kembali perhatian ke lembar latihan yang kukerjakan.

Tak! Tak!

Dengan ragu, aku meletakan alat tulis di atas kertas kerjaku, sebelum pelahan aku mengintip melalui celah tirai. Sebelah tanganku mencari-cari ke sekitar, dan meraih benda pertama yang teraba sebagai bentuk pertahanan diri.

Tunggu, gantungan pakaian? Plastik pula. Seriously?

Tak! Tak! Tak!

Dengan cepat, aku mendekat ke tirai, dengan jantung yang berdetak makin cepat dan lebih cepat lagi. Bagaimana jika makhluk halus? Atau pencuri? Atau yang lebih parah lagi?

Sebisa mungkin aku bersembunyi di balik dinding, sementara ujung jemariku berusaha meraih ujung kunci. Pelahan, aku menarik kunci jendela, lalu mendorongnya sampai terbuka lebar.

Suara desau angin seketika menerobos masuk, melayangkan bahan ringan dari tirai kamarku. Di luar hening, sebagaimana harusnya suasana kota yang tidur. Aku hanya bisa mendengar suara angin, dan simfoni para hewan malam. Tak ada yang lain.

Tapi ternyata,

"Nggak bisa, Clay. Salah kamar kali."

"Nggak lah. Pasti yang ini."

"Besok aja, oke? Udah malem, Clay. Paling Kiera-nya udah tidur."

"Nggak mau! Kalau nggak sekarang, gue bakal nunggu di sini sampe pagi, titik!"

"Sst! Jangan ribut. Nanti dikirain maling."

Suara-suara masuk saat jendela terbuka, membuat kamarku tak lagi kedap suara. Lah, sebentar. Aku kenal ketiga suara itu.

"Lo sendiri ribut Zul."

"Bacot lah, panjat aja!"

"Emangnya lo bisa manjat dengan baju kayak sekarang?"

"Panggil aja?"

"Eh, jendelanya kebuka!"

Kali ini, aku dengan berani akhirnya menyibakkan tirai dan melongok ke luar jendela, membuatku langsung bertatapan dengan tiga orang itu.

"Kiera!" suara ketiganya kompak menyapa saat melihat kepalaku menyembul dari jendela.

Di bawah sana, ketiganya berdiri di bawah dengan senter di tangan, sementara van raksasa Clay terparkir tak jauh dari gerbang. Zula masih terbalut dalam mantel tidur tebal, lengkap dengan rambut hitamnya yang jelas sekali baru bangun tidur. Tak berbeda jauh dengan gadis itu, Sofia hanya terbalut piama tipis, sementara Clay dengan celana pendek dan kaos oblong kusutnya.

Tanpa berpikir dua kali, aku segera turun ke lantai satu tanpa suara, secepat yang kubisa. Untuk apa coba orang-orang ini datang di jam seperti ini?

"Kieraaa!"

Aku terkejut saat gadis berambut pirang itu otomatis melemparkan dirinya. Tepat saat aku baru menginjak satu ubin lantai teras. Rambut madunya yang biasanya rapi dan berkilau sekarang tampak menjuntai kuyu di balik tudung kaos, sementara matanya tampak agak sembab dan merah. Clay memelukku erat-erat, seperti takut aku tiba-tiba hilang dari pandangannya.

"Gue minta maaf! Harusnya gue nggak seenak udel gue nge-stalk lo. Harusnya gue—" semburnya langsung dalam satu tarikan napas. "Gue nggak bermaksud gitu. Sumpah! Maafin gue!"

Gadis ini tampak seperti anak kecil. Dia menggelayut di sisiku, masih terus meracau.

Lah, lah, lah. Maafin apa?

"Ssh, Clay, udah ah. Malu sama tetangga." Sofia menarik-narik ujung baju gadis itu, sementara Zula menepuk-nepuk rambutnya di sisi lain sambil menenangkannya.

"Udah, jangan nangis."

"Tapi gue nggak mau!" Clementine menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Mending gue harakiri kalau belum dapet maaf dari Kiera!"

Kami bertiga—aku, Zula, dan Sofia—seketika bengong saat mendengar ucapannya.

"Harakiri?" Ini Zula.

"Lo nggak punya katana, Clay." ucap Sofia datar sambil menyibakkan rambut merahnya. Benar-benar to the point.

Tapi itu tak membuatku urung membeo juga. "Harakiri?"

Clementine mengangguk serius, tampak sama sekali tak menggubris komentar Sofia yang amat anti-klimaks.

"Eh, ini anak serius?" tanyaku pada duo berambut merah dan hitam itu.

Tunggu. Tapi maafin apa? Orang aku tidak marah, kok.

Kami bertiga bertukar pandang tanpa suara. Zula menyikut Sofia, yang malah balik menyikut gadis berambut hitam lurus itu. Zula mengangguk ragu sambil merapatkan ikatan mantelnya. "Clay selalu serius."

Watdefak? Serius?

Zula melemparkan pandangan telepatinya padaku, menyuruhku merespon saja.

"Clay." Aku melepaskan lengannya. "Clementine, udah dong. Gue nggak marah kok sama lo."

"Gue minta maaf—" isaknya dengan cegukan-cegukan kecil di antara kata-katanya. "Gue—"

"Udah, udah." Aku berlutut di hadapannya. "Gue juga minta maaf. Harusnya gue nggak bersikap berlebihan kayak gitu."

"Iya lo emang lebay." Rengutnya sedikit. "Sini peluk gueee." rajuknya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.

Aku menepuk-nepuk rambut gadis itu, dan balas memeluknya sekilas.

"Nggak ngajak-ngajak." rengut Zula dari sisinya.

"Ya udah, sini," Clay ikut merangkul gadis itu, juga Zula secara bersamaan. "Mm, gue minta maaf, semua."

Momen itu segera disela, oleh kuapan Zula dan Sofia yang nyaris berbarengan.

"Maaf gue mengganggu momen Teletubbies ini, tapi gue ngantuk parah." Sofia tanpa izin melangkah menuju teras, dan menjatuhkan diri layaknya mayat di atas lantai. "Eh, anjir. Dingin banget."

Aku menarik Clay menuju undakan tangga, dan duduk di lantainya yang bersih. Ketiganya—kecuali Clay, tampak masih mengantuk. Bahkan Sofia sudah tampak siap jatuh mencium tanah kapan saja.

Oh oke. Dia sudah mencium tanah sejak tadi.

Aku tertawa kecil mendengar kata-katanya. "Lagian lo juga nggak pake apa-apa, Sof."

Sofia menguap lebar. "Gue pake piama kok, Kir. Tenang aja."

Aku, Zula dan Clay bertukar pandang mendengar jawaban ngawur gadis berambut merah itu.

"Bukan itu maksudnya, Sof." Zula hanya menyikut pinggang langsing gadis itu. "Udah 'kan, Clay? Pulang yuk sekarang, daripada lo berdua beku malem ini."

"Bentar lagi." mohon Clay dengan tangan mengatup di depan dada. "Please? Lagian salah Sofia juga. Pake jaket kek minimal." omelnya panjang lebar.

"Lah, lo sendiri tiba-tiba datang dan menyeret gue sebelum sempet bereaksi apa-apa, Clay." keki Sofia.

Aku terbatuk menyela. "Satu-satunya yang cukup pinter untuk pake mantel di sini cuma Zula."

"Ooh, itu sih," Clay menjawab sembari berbaring dan menyilangkan tangannya di depan dada. "Zula pake mantel tidur, karena pakaian tidur untuk definisinya mungkin kurang pantas dipakai untuk datang ke rumah orang."

"Maksudnya, Zula kalau tidur pake ling—" Kata-kata mengantuk itu datang dari Sofia.

Gadis itu tak membuka matanya, namun ucapan itu terpotong karena Zula langsung membekapnya. Kuat-kuat, kalau boleh kutambahkan.

"Sof, aib nasional itu." Zula menampar lengan gadis itu. "Astaga. Jam setengah satu. Nenek gue bakal gantung gue di puncak Monas kalau tahu gue pergi tanpa izin—"

"Tanpa izin?" ulangku tak percaya.

"Err, ya." gumam Clay sambil nyengir tak bersalah.

Aku memberikan tatapan untuk meminta penjelasan darinya.

"Hm, mungkin gue semacam menculik kedua orang ini di tengah tidur?" tanyanya seakan ragu. Gadis pirang itu melemparkan tatapan polosnya padaku. "Begitulah."

"Intinya, Clay nggak bisa tidur karena takut lo marah sama dia." Zula menjelaskan sambil menguap sekali. "Jadi di sinilah kita

Aku hanya bisa menggeleng-geleng tak habis pikir saat gadis pirang itu cengengesan tak bersalah.

"Gue—" Sofia menyela dengan kuapan panjang. Kali ini ia sudah duduk kembali, namun dengan lengan yang memeluk dirinya sendiri. "Pulang yuk. Dingin banget. Nggak tahan gue."

"Poor Sofia. Bentar, gue ambilin jaket dulu buat kalian." Aku tertawa kecil padanya, sebelum mrlangkah ke kamar tanpa menunggu responnya.

Pelahan, aku berjingkat saat melewati pintu-pintu kamar, dan lebih pelahan lagi saat menapaki tangga satu demi satu. Bagian sambungannya berderit saat diinjak, kemungkinan besar gara-gara ada celah diantara lapisannya.

Aku membuka lemariku, dan mengambil jaket yang pertama kulihat. Tanganku baru saja mau mengambil jaket kedua yang tergantung, saat ujung mataku menangkap sweater kalabu yang tergantung di paling ujung.

Dan satu bohlam ide, langsung muncul di kepalaku.

Astaga, Einstein pasti bangga.

Bahannya yang halus dan tebal terasa begitu familiar dalam genggamanku. Dan tanpa berpikir dua kali, aku meraihnya dan membawa keduanya ke bawah.

"Nih." Aku menyerahkan sweater kelabu itu pada Clay, dan melemparkan penghangat tubuh yang satunya ke Sofia yang hanya bisa menggumamkan terima kasih samar. "Balikin ya nanti."

Clay mengangkat bahan rajutan kelabunya menjauh dari mata, dan mengamatinya lekat-lekat. "Kok kayaknya sweater yang lo kasih ke gue ini mirip kayak punya cowok?"

Tapi tanpa menunggu jawabanku, gadis itu hanya mengangkat bahunya masa bodo, dan mulai mengenakannya.

"Clay." Aku sengaja menjawab dengan suara agak keras. "Sweater yang lo pake itu emang punya Sera."

Gerakannya berhenti di tengah jalan sesudah kata-kataku selesai. Dia menyembulkan kepala dari balik sweater, sebelum menatap bahan rajutan yang kini membalut tubuhnya longgar dan kembali padaku. Begitu berkali-kali.

"Hah? Serius?" tanyanya setelah berusaha meyakinkan dirinya berulang kali.

"Lo salah ngasih tau Clay tentang hal itu, Kir." komentar Zula sambil menggelengkan kepala. "Nggak bakal balik itu sweater."

Tanpa malu, Clay langsung mengangkat bagian lengannya, dan mengendusnya dengan sayang. "Gila, gue sayang banget sama lo, Kir." soraknya bahagia.

"Najis." tawa Sofia terbenam di balik jaket. "Kabur gue kalau jadi Sera."

Kami bertiga tertawa, sementara Clay hanya menjulurkan lidahnya kesal. "Udah sana, pada pulang."

"Kita diusir nih?" tanya Clay sambil cemberut. Lengan sweater-nya yang kebesaran menampar-nampar liar, benar-benar nampak seperti gurita bagiku.

"Ya enggaklah." tawaku sambil membantunya berdiri. "Besok kan sekolah. Akan lebih baik bagi kalian supaya tidur cantik dulu."

Kami berempat tertawa.

"Ya udah. Good night, Kiera."

"Sleep tight."

"Don't let the bugs bite."

"Ya, ya, ya." Aku mendorong ketiganya. "Hati-hati nyetirnya, Clay. Dan—what the ffff—"

Aku menatap gembok gerbang, yang masih tertutup sempurna. Astaga, dari mana ketiga gadis ini masuk melewati pagar?

"Kiera, tolong bahasanya." Ini, seperti biasa, Zula.

"Maaf." Aku meringis sedikit. "Udahlah. Nggak penting juga." ucapku sambil membuka gembok gerbang. "Hati-hati, guys."

Aku memastikan ketiganya sudah masuk ke dalam van, sebelum mengunci kembali gerbang dan melambai dari balik pagar.

"Dah! Besok di tempat biasa ya, Kir!" pesan Clay sebelum menjalankan mobilnya.

Aku hanya tersenyum, saat melihat kendaraan itu menjauh.

Ujung mataku menangkap tirai yang ada di dekatku tersibak sedikit, namun saat aku menoleh, bahan kainnya yang berat tampak sama sekali tak bergerak. Aku hanya menggeleng sedikit, yakin sekali kalau aku salah lihat. Van raksasa Clay tampak menghilang di ujung jalan saat aku memutuskan untuk kembali ke kamar.

Aku baru saja menjatuhkan diri, nyaris di saat yang bersamaan dengan getaran ponselku yang menandakan adanya pesan masuk.

Apa-apaan ini?

Tunggu. Ini tidak termasuk melanggar perjanjian V.S, kan?

Jauh-jauh, aku mendorong suara kepalaku itu. Nggak. Pasti nggak. Aku kan tetap tak punya hubungan apapun dengan orang ini.

Mataku membaca pesan itu dengan serius sekali lagi, sebelum akhirnya mengirim satu pesan ke grup chat V.S Angels.

Kiera : Besok gue nggak ikut kalian ya, Angels. Ternyata ada yang perlu gue urus dulu besok.

***

3. Jevon

"Pagi!"

Aku mengangkat kepala dari sarapan pagi ini, dan mendapati Angie yang ekstra-ceria menyapaku cerah.

Senyuman lebar menghiasi wajahnya, sementara di mata cokelatnya berkelip karena sesuatu. Gadis itu mengambil selembar roti dan mengunyahnya dengan antusias. Aku

Tunggu.

Angie tidak suka roti.

Biasanya gadis ini mengeluh roti itu terlalu kering baginya, apalagi jika hanya polos begini. Ada angin apa suasana hati Angie bisa sampai sebagus ini?

"Oh! Jev bawa mobil 'kan hari ini?" tanyanya dengan suara riang. Seakan dia baru saja menang lotere atau apalah.

Aku mengamati wajahnya, matanya, berusaha mencari tahu apa yang membuatnya begini di pagi ini. "Iya." 

"Pagi."

Suara tas yang beradu dengan permukaan meja memotong pengamatanku di wajahnya. Oliver menjatuhkan dirinya di hadapan kami berdua, dan meraih bungkusan roti sebelum mengolesinya dengan isian.

Pemuda itu berhenti di tengah aktivitasnya setelah menyadari sesuatu, sebelum matanya beralih dari bungkus roti, ke wajah oriental Angie, lalu kembali ke bungkusan roti lagi. "Angie hari ini kenapa?"

Tuh kan.

Tanpa merasa aneh sedikitpun, Angie menggigit potongan rotinya lagi. "Lah, emang aneh kalau gue makan roti?"

Aneh. Aneh parah.

Aku melemparkan pandangan tak tahu ke Oliver, yang membalas tatapanku dengan tatapan bingungnya.

"Ya, nggak apa-apa sih." komentarnya saat kembali mengolesi rotinya. "Tumben aja."

Suara kekehan gadis itu terdengar merdu. "Iya, sekali-sekali kan nggak—Kiera!" panggilnya riang saat pintu terbuka, nyaris tanpa suara.

Astaga. Pagi hari ini sepertinya akan dimulai dengan sarapan sepaket masa lalu, aku hanya bisa mendongkol dalam hati.

Di ambang pintu, gadis berambut hitam itu berdiri dengan sebelah bahu tersampir tas ranselnya. Pagi ini rambutnya diangkat menjadi satu ekor kuda yang ikal, membuat siluet tajam wajah dan kejenjangan lehernya makin menonjol.

Mata hitam Kiera beralih ke arah kami, satu persatu, bahkan masih sempat menatap Angie sedikit lebih lama dari yang seharusnya.

"Halo." sapanya tanpa antusiasme.

Angie dengan senyuman lebar mengangkat tasnya yang menghuni satu bangku kosong di meja makan, dan menepuknya dengan energi berlebih. Aku sempat menangkap kilatan pertimbangan di mata hitam kelam Kiera, namun gadis itu hanya duduk tanpa suara, sementara Angie mengangsurkan bungkusan roti yang direbutnya dari Oliver.

Pemuda yang satu itu sepertinya memikirkan hal yang sama denganku, karena setelah itu, manik matanya mengerling padaku, mengisyaratkan sesuatu.

Kiera dan Angie.

Tak ada petir, tak ada hujan badai. Ini aneh.

Aneh parah.

"Kok kalian diem aja sih?" tanya gadis itu polos, sambil mengikat rambut cokelat panjangnya dengan karet. "Oh iya, Kiera berangkat bareng kita 'kan?"

Senyuman di wajahnya itu agak terlalu tak normal. Aku bergidik sedikit.

Jawaban yang datang dari Kiera lagi-lagi tak begitu antusias. "Begitulah."

"Yes! Duduk di—"

"Bukannya Kiera biasanya sama Clay?" Oliver menyela pembicaraan kelewat-energi dari Angie. "Iya 'kan?"

Namun di balik kata-katanya, aku bisa menangkap pesan yang tersembunyi.

Angie sama Kiera kenapa bisa deket tiba-tiba gini, anjir?

"Emangnya nggak boleh?"

Aku terkejut saat Kiera membalas dengan nada datar, sambil mengunyah rotinya tanpa minat. Jawabannya seakan menjawab kedua pertanyaan itu, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Namun dari suaranya, jawaban tadi terdengar nyaris terpaksa.

Dan Oliver mengerti itu. "Boleh aja sih." gumamnya ragu.

"Ya udah! Ayo berangkat, gue nggak mau telat." Dengan riang, Angie menarik tasnya dan lengan Kiera sekaligus. "Gue sama Kiera tunggu di luar ya!"

Aku menangkap satu kerlingan dari kolam gelap mata Kiera. Gadis itu seperti mengisyaratkan sesuatu, namun tatapan itu terlalu cepat untuk bisa kumengerti.

Saat pintu tertutup, tak ayal juga Oliver bertanya. "Mereka kenapa?"

"Aneh, banget. Ya, gue tahu itu." helaku sambil mengangkat bahu. "Mana gue tahu kenapa."

"Jangan bilang kalau ini salah satu ide atau perjanjian jeniusnya Angie." gumam Oliver rendah, menekankan ucapannya pada kata jenius.

Aku mengangguk, masih ingat sekali efek yang tak mengenakan dari rencana Angie sebelum ini.

"Semoga nggak." Aku mengambil tasku dan beranjak dari kursi dapur. "Atau kalaupun iya, gue cuma berharap, Angie bukan lagi anak kecil yang belum bisa berpikir apa resiko dari tindakannya."

***

Telat (lagi) huehehe. Yang kali ini gara-gara kuota gue abis, dan tidak menemukan wifi terdekat yang mendukung. Padahal gua udah beres ngetik chapter ini sejak tanggal 14. Maaf ya, guys.

#anakkuota #hidupkuota #pejuangwifi #kokguepakehashtagdiwattpad?

Okaelah. Makin ngelantur gua.

Salam manis :)

-Ree
(14-01-2016)




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top