[27] : Emotion
2. Oliver
Aku jelas tak jadi mengajak Kiera setelah kencan--oh oke, bukan kencan, sebenarnya--yang digagalkan itu. Para sahabat dan musuh, para saudara dan orang asing. Menakjubkan sekali, semua orang berkumpul di dalam kafe yang sama, entah benar-benar murni kebetulan atau tidak.
Aku tak masalah dengan ini semua, tapi ada satu hal yang mengganjal di pikiranku.
Jevon membanting pintu mobilnya kasar, dan langsung menghindariku, bahkan sebelum aku sempat turun dari mobil. Aku mengejarnya, namun lagi-lagi dia menutup pintu tepat di depan hidungku.
Aku menatap Angie dengan pandangan minta maaf. "Maafin gue karena menghancurkan kencan kalian, Ang."
Angie hanya tersenyum kecil, dan membuka pintu mobil dengan lembut. "Kita nggak kencan."
Gadis itu tampak agak berbeda kali ini. Dia tampak... begitu ikhlas. Bahkan tatapannya pun bukanblagi tatapan kepemilikan yang posesif pada punggung Jevon yang menjauh. Kali ini dia hanya menatapnya seperti punguk yang merindukan bulan.
Kali ini ia tak mengejar. Hanya bisa menatap.
Dan aku tahu tatapan seperti apa itu. "Ang, lo udah menyerah?"
"Hm?" gumamnya pelahan, masih dengan mata tak beralih dari sosoknya. "Nggak juga. Gue hanya melepaskan. Tapi gue nggak menyerah."
"Apa rasanya sakit?"
"Percaya atau nggak, dengan merelakan malah membuatku jadi lebih ringan." jawabnya samar. "Gue duluan ya, Ol."
Jemari lentik Angie membuka pintu mobil, sebelum kali ini punggungnya yang menghilang ke dalam rumah.
Menatapnya membuatku sedih. Kami berempat sama-sama merasakan sakit karena ini. Dan kali ini, semua ini harus selesai. Jangan sampai kami berempat berputar dalam siklus yang sama lagi.
Aku membuka pintu mobil dan menguncinya, sebelum masuk ke rumah dan mencari pemuda berambut gelap itu. Aku menemukannya di tengah lorong, sementara dia langsung membuang wajah saat berhadapan denganku.
"Jevon!"
Dia menjauh, berusaha melangkah sejauh mungkin dariku. "Lo beneran nge-stalk gue dan Kiera?" tuntutku padanya.
Dia tak memberikan respon.
"Apa lo bener-bener udah menyerah?"
"Apa lo yakin lo nggak bakal keberatan kalau sampe--"
"Cukup, Oliver!" selanya tajam. Dia berbalik menatapku, dan mendorongku menjauh. "Gue pusing, dan lagi nggak mau bicara sama siapapun sekarang."
"Jawab gue, Jevon." desisku sementara mencekal kerah bajunya. "Lo jangan mundur lagi."
Dia hanya menulikan diri, dan melangkah dengan cepat menuju ke dapur. "Jevon!"
"Gue nggak menguntit kalian, tanya Angie kalau lo nggak percaya." tukasnya kesal, sama sekali tak menatapku. "Dia yang mau ke kafe itu. Dan nggak, itu bukan urusan lo gimana perasaan gue."
"Pengecut." decihku padanya. "Lagi-lagi lo mau mundur? Kenapa lagi, Jev?"
"Kenapa? Kenapa?" tantangnya balik. "Mudah aja, Oliver. Bukannya memang sudah disiratkan di takdir kalau lo harus sama Kiera? Untuk apa gue memperjuangkan apa yang memang bukan ditakdirkan untuk gue?"
Dia hanya tertawa sinis padaku, dan dengan amat mudah, tangannya melepaskan cekalanku di kerahnya dengan amat mudah.
Dalam iris matanya yang gelap tersirat sesuatu, hampir sama dengan ekspresinya waktu itu. Aku tahu itu. Aku tak suka melihatnya.
"Lebih baik lo coba dan terluka seribu kali, Jev." ucapku pelahan, berusaha setenang. "Daripada lo harus menyesalinya di seribu kehidupan."
Aku tahu sejak dulu, Jevon selalu mundur karena dua hal. Karena aku, dan karena Angie. Kadang dia bisa menjadi seseorang yang amat tidak egois, namun di satu sisi, aku ingin sekali menamparnya--atau menonjoknya, atau apalah, dengan kenyataan yang ada.
Apa dia tahu, dengan ia yang berusaha melindungi, malah ia yang menjadi orang yang menyakiti.
Seperti saat dia berusaha tak menyakiti Angie, namun pasti lebih sakit bagi Angie saat tahu kalau Jev tak menganggapnya lebih dari sahabat kecil. Bahwa ia tidak seistimewa itu baginya.
Itulah yang aku dan Angie alami selama ini.
Di luar dugaanku, dia hanya tersenyum penuh ironi padaku. Jevon hanya menatapku penuh arti sambil mengambil minuman kaleng dari kulkas, sebelum duduk di meja makan dan memberikan seluruh perhatiannya padaku.
"Bukannya itu udah gue lakukan?" tanyanya balik. "Gue sudah menyesali apa yang terjadi antara gue, lo, dan Kiera semenjak saat itu."
"Dan sekarang lo punya kesempatan untuk memperbaikinya lagi." Dengan tak sabar, aku menukas kata-katanya. "Kenapa? Apa lo sudah menyerah?"
Aku sungguh-sungguh ingin menampar orang yang satu ini.
"Lo tahu, Oliver," desisnya sambil menyipit ke arahku. "Sejak awal, gue-lah yang menghalangi di tengah benang merah kalian. Gue-lah orang yang mengganggu jalannya takdir. Bukan seharusnya gue ada di sini."
"Apa lo tahu, Jev? Takdir bisa berubah dengan usaha."
Seperti banyak yang dicontohkan dalam sejarah. Menunjukkan kalau usaha akan mengalahkan takdir yang tersirat. Aku tahu, aku bisa saja kalah dengan Jevon.
Aku tahu, aku takut, tapi aku menerimanya kalau memang sudah begitu seharusnya.
Mungkin aku terlalu mendorongnya sampai ke titik sensitif, tapi sungguh, dia sepertinya perlu seseorang yang menamparnya dengan kenyataan.
"Apa, Ol? Takdir malah berubah mengenaskan pada saat gue berusaha mengubahnya."
Aku menghembuskan napasku keras, frustasi sendiri dengan kekeras-kepalaan Jev. "Ini bukan salah lo, Jevon--"
Dalam mata itu, seperti ada percikan emosi yang datang tiba-tiba.
"Semua ini nggak bakal terjadi kalau dulu gue nggak jatuh cinta sama Kiera, Oliver!" bentaknya pada akhirnya. Tangannya menggebrak meja dapur keras, sementara kaleng minuman di tangannya remuk sedikit. "Kalau gue nggak mulai bermain dengan api, mungkin kita masih bisa utuh berempat. Kita masih jadi satu, seperti dulu."
"Sekali lagi, ini bukan sepenuhnya salah lo, Jevon." Oliver menjatuhkan diri di salah satu kursi. "Orang nggak bisa memilih pada siapa dia jatuh cinta. Gue juga mungkin bakal melakukan hal yang sama kalau gue suka Angie."
"Tapi lo nggak." balasnya platonis. "Itu bedanya lo sama gue, Oliver. Lo dan Kiera memang udah berbalas, tapi gue?"
"Lo nggak tahu." Aku menggeleng dan melepaskannya. "Kiera dari dulu nggak pernah suka sama gue seperti gue suka sama dia."
Matanya terlihat lebih gelap saat ia menatapku lagi. "Lo bercanda."
"Nggak." Aku tersenyum menatapnya. "Mungkin kasus gue ini sama dengan bagaimana Angie yang nggak pernah lebih dari temen buat lo. Apa lo tahu isi dari surat Kiera kecil?"
***
1. Kiera
"Oliver punya juga keberanian untuk menyelamatkan lo."
Aku mengernyit sedikit saat melihatnya, di mana gadis yang bersandar di koridor lantai dua yang kosong. Helaian rambut cokelatnya yang mengilap tergerai sampai ke punggung, lagi-lagi menghalangi pandanganku ke ekspresinya. Pandangannya jatuh ke lantai tanpa ketertarikan, sementara lengan langsingnya mengetuk-ngetukkan diri ke dinding.
"Jujur, gue agak iri sama lo." lanjutnya lagi, sama sekali tanpa menoleh ke arahku. "Kapan gue akan seperti itu?"
Ha?
"Lo mulai ngaco," balasku dingin. Wajah malaikat gadis ini sama sekali tak tampak bisa melakukan hal seburuk yang diceritakan para Angels. Gadis ini pengkhianat, golongan terendah dari yang paling rendah, namun aku masih tak bisa merasakan kebencian apapun padanya. "Sebaiknya lo mulai periksa ke dokter jiwa, Pengkhianat."
Senyumannya manis sekali, nyaris membuatku diabetes hanya dengan melihatnya. Dia bangkit dari posisinya, dan menatapku seperti menatap teman. Akrab, kalau boleh kutambahkan.
"Lo tahu, kadang gue berharap, kenapa gue nggak jatuh cinta sama orang lain aja? Bahkan kadang gue berharap, kenapa gue nggak jatuh cinta sama Oliver aja?" tanyanya retoris, sebrlum senyumannya itu mengembang. "Untuk itu, gue mau ngobrol dengan lo, Kiera."
"Untuk apa?"
Mata cokelat gelap itu berkelip sedikit. "Hanya tentang beberapa hal."
Tapi aku tetap diam, dan menunggunya melanjutkan kata-katanya.
"Jadi lo udah tahu dari Zula dan kroco-kroconya, mengenai hubungan kami, huh?" tanyanya tenang, sama sekali tak merasa aibnya terbongkar atau apa. "Jujur, gue nggak mengira kalau hasilnya akan begini."
Rasanya aneh mendengar orang ini membicarakan teman-temanku. "Kalau tujuan lo ke sini hanya untuk menjelek-jelekan temen gue, mendingan--"
Angie menegakkan diri, dan memblokir jalanku dengan lengannya yang membentuk palang di dinding.
"Gimana kalau gue bikin permainan?" tanyanya manis, lengkap dengan senyuman yang terbalut madunya. "Kalau lo menang, lo boleh minta satu hal dari gue."
Alisku terangkat tinggi-tinggi. "Apa yang bikin lo pikir gue butuh sesuatu dari lo?"
Mata gadis itu berkelip sedikit. "Karena cuma gue satu-satunya di rumah ini, yang memegang kebenaran, dan nggak terikat dengan janji sama Sera."
"Sera?" Mataku membulat saat mendengar nama kakakku itu disebut. Janji? Apa lagi yant kali ini kakakku itu rencanakan? "Memangnya apa yang menjadi perjanjian sama kakak gue?"
"R a h a s i a." balasnya manis. "Ikut permainan gue, Kiera, dan lo bisa tahu semuanya. Apa aja. Gue nggak membatasi."
Alam bawah sadarku tahu, kalau akan besar sekali kemungkinan aku akan dicurangi oleh Angie dalam permainan ini. Tapi penawarannya terlalu menggelitik.
Tapi aku Kiera, dan bermain licik adalah spesialisasiku.
"Permainan apa?" tanyaku pada akhirnya. Astaga. Aku benar-benar terlalu mudah dipancing.
Gadis itu hanya mengulaskan senyuman manisnya, tahu dengan pasti dengan mudahnya ia memperoleh kesepakatan dariku. "Kita lihat nanti."
Dari kata-katanya, mungkin saja ini akan membawaku ke kesimpulan yang kuinginkan, atau malah menghancurkanku nanti. Bila aku harus hancur nanti, biarkanlah.
Aku seorang Kiera, dan aku sudah tak punya apa-apa lagi yang bisa dihancurkan.
"Jadi, deal." ucapku padanya.
"Bagus, ini lebih gampang dari perkiraan gue." Angie melemparkan satu senyuman sekilas, dan berlalu menuju ke lantai bawah. "Tinggal tunggu kabar selanjutnya dari gue, Kiera."
***
Maaf! Seriusan, gue beberapa hari terakhir ini mabok setiap liat layar hape. Bukannya lancar, otak gue malah mumet setiap liat layar. Udah mana pendek pula.
Btw, gue pengen tanya untuk para sider, kalian emang suka silent atau jangan-jangan kalian gatau cara--atau bahkan gatau ada tombol vote?
Vomments yak HAHA,
-Ree
(11-01-2016)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top