[23] : Undercover
P.S : Check out Zula on media ^^
1. Kiera
"Pada seluruh pengurus OSIS, sekali lagi, pada pengurus OSIS, harap berkumpul di kelas XI IPS sepulang sekolah. Terima kasih."
Kami berempat seketika berhenti tertawa, terutama saat Clay tiba-tiba mengeluarkan ekspresi betenya.
"Aduh, sial." rutuk Clay sambil menatap speaker yang tak bersalah itu dengan dendam. "Kenapa harus hari ini? Kalian mau pulang sendiri aja?"
Pulang sendiri? Tidak. Jelas tidak. Sudah beberapa hari ini aku sengaja mengulur waktu untuk pulang. Karena bagiku sekarang, rumah hanya sekedar jadi tempat yang menaungiku dari panas dan hujan.
Aku heran. Aku sama sekali tak punya masalah dengan Oliver, bahkan bisa dibilang, yang waktu itu adalah suatu kemajuan. Tapi aku takut. Dan aku belum siap.
"Ooooh, Clay OSIS?" goda Sofia dengan cengiran. "Tumben nggak gabut."
"Berisik." gerutu gadis itu keki. "Ini terpaksa nih."
Sofia hanya menarik-marik rambut merahnya, dan mengangkat-angkat alisnya menggoda ke arah Clay. "Sesekali lo perlu dipaksa biar kerja. Iya nggak?"
"Lo--"
Zula menghela napas lelah mendengar awal perdebatan kecil keduanya. "Udahlah."
"Emang ada apa dengan rapat OSIS?" tanyaku polos.
"Ada apa?" tawa renyah gadis cantik itu terdengar merdu. "Singkatnya sih, nggak menyenangkan, apalagi gue ditunjuk sebagai ketua panitia perpisahan kelas XII. Dan ada satu iblis yang harus jadi partner gue."
"Jev, ya." komentar Sofia dengan wajah tertekuk. "Gue curiga ini ada campur tangannya Bu Rosa."
Clay hanya tertawa mendengar hipotesa gadis berambut merah itu. "Bukan curiga lagi, Sof. Si Lintah Jevon itu emang disuruh Bu Rosa. Sial juga, mending gue kena skors seminggu lagi, daripada harus kerja jangka panjang dengan dia."
"He, gue makin benci sama dia." rengut Sofia, yang bertukar pandang suram dengan Clay. "Oh iya, gue lupa ada yang serumah sama dia di sini. Sorry, Kir, no offense. Tapi kok lo bisa tahan sih? Udah mana sama Jev, sama Angie pula."
Aku tertawa kering.
"Tahan lah, nyapa aja nggak pernah." ucapku sebenci mungkin, berusaha menghalangi pandangan menyakitkan tempo hari itu. "Kalau boleh gue tahu, kenapa kalian benci pada... dua orang itu? Maksud gue kan... masih ada Oliver juga. Kalian sama sekali nggak masalah kalau sama Oliver."
"Siapa? Angie? Sama Jevon?"
Aku mengangguk. Tidak sedikit yang masuk dalam daftar blacklist V.S, tapi kedua orang ini dimasukan dalam nomor khusus. Pasti ada sesuatu, yang lebih dalam dari sekedar keirian atau kecemburuan sosial semata.
Lagi, mata kedua gadis itu bertukar pandang.
"Oh, itu gampang aja." Zula yang menjawab lebih dahulu, saat Clay dan Sofia saling menyikut menyuruh menjawab pertanyaanku. "Para Angels stick for each other. Dan kedua orang itu, menyakiti salah dua dari kami."
Zula mengeluarkan meraih map cokelatnya yang selalu dibawa kemana-mana, dan kembali meletakkan satu bundel kertas yang tempo hari itu. "Coba lo baca, poin ke tiga, dan poin ke tujuh."
Aku menerima bundelan itu dengan sebelah alis terangkat, sebelum mulai membaca kembali lembaran peraturan utamanya.
Contract of Auditorium
Saya, Kiera Putri Perdana, calon anggota Victory Sister yang baru, dengan sadar membubuhkan tanda tangan setelah membaca lampiran yang tersedia. Dengan sukarela, tanpa paksaan, tanpa ancaman, dan tekanan dari pihak manapun.
Berikut ini adalah peraturan dari anggota VS, yang akan selalu saya junjung tinggi, dan selalu saya taati. Saya siap didepak keluar dari VS, jika melanggar salah satu dari 9 peraturan utama berikut :
1. Selalu setia pada V.S, baik disaat senang maupun susah.
2. Apa yang ada di dalam V.S, tak boleh dibeberkan kepada pihak lain--baik orang tua, guru, ataupun pasangan (itupun kalau ada).
3. Setiap anggota V.S harus saling mendukung satu sama lain, dan tidak boleh :
------3.1. Membicarakan teman sendiri di belakangnya.
------3.2. Munafik.
------3.3. Berkhianat
4. Tidak menjalin hubungan dengan orang-orang yang menjadi blacklist dari V.S (terlampir di belakang)
5. Tidak membeberkan letak markas besar V.S pada siapapun.
6. Berani, dan siap menanggung resiko secara sukarela mengenai apa saja yang terjadi atas nama V.S.
7. Selalu siap untuk mengadakan perang dingin, perlawanan, penglabrakan, atau perkelahian (baik verbal maupun fisik) karena sebab-sebab di bawah ini :
------7.1 : salah satu anggota VS disakiti.
------7.2 : pelecehan nama baik salah satu, maupun seluruh anggota VS.
------7.3 : ada tantangan dari pihak lain.
------7.4 : serangan tiba-tiba.
------7.5 : dan alasan-alasan lainnya.
8. Tidak memiliki hubungan APAPUN dengan Angela Wang dan Jevon Daniswara.
9. Siap selalu untuk gila-gilaan, memalukan diri sendiri, dan aneka hal yang sepertinya terlalu panjang untuk dideskripsikan di sini.
Tertanda,
Anggota baru,
Kiera Putri Perdana.
Mataku kembali menatap ke Zula, yang dengan tenangnya menyesap minuman dinginnya.
"Gue masih nggak mengerti." cetusku jujur, karena memang, aku tak melihat adanya hubungan dari kedua poin tersebut dengan pertanyaanku tadi.
"Mungkin lo belum tahu, Kiera." Sofia menimpali. "Tapi dulu Angie anggota V.S."
"Dulu... dia V.S?" Aku tak bisa membayangkannya. Serius.
"Hah, gue masih nggak tahu apa yang bikin gue berpikir dia tambahan yang baik untuk V.S." dengus gadis bermata kelabu itu dengan sinis. Matanya berubah jadi dingin, seperti awan badai saja. "Gue tertipu."
"Udah, udah. Kalau lo mau tau Kiera, lebih baik lo ikut kita ke Jetlag, sambil nungguin Clay rapat." Zula menawarkan. "Terlalu banyak yang bakal bisa mendengar kalau di sini."
"Oh iya!" Mood Clay tampaknya cepat sekali berubah. "Sekalian aja kita umumin anggota baru, Zul! Gue yakin bakal banyak anak TLB dan SH di sana. Jet juga fine-fine aja, malah dia lumayan seneng karena kafenya rame."
"Pelantikan?" tanya Zula. "Boleh. Nanti gue broadcast ke TLB sama SH."
Ketiganya kompak menoleh ke arahku, dengan pandangan yang mengisyaratkan welcome to the next level.
"Oh ya, sekedar informasi." Clay menambahkan sembari bangkit dari tempatnya duduk saat bel selesainya istirahat berdering. "Lo masuk ke no-judge zone, dan apa yang lo denger, semua ada alasannya."
***
"Di sini?" Aku menatap bangunan di hadapanku dengan sangsi. "Ini JetLag?"
Jangan salahkan aku jika membayangkan JetLag adalah sebuah kafe berkelas, dengan desain interior yang futuristis, dan dibungkus dalam warna putih dan biru muda. Tempat ini, ah... tampak tak meyakinkan.
JetLag berdiri di sebuah kontainer yang sama sekali tak dimodifikasi. Tertutup, bahkan dengan banyak grafiti pylox yang membentuk nama tempat itu. Tulisan khas mural jalanan itu saling mengait, membentuk tulisan JetLag yang cenderung... berandal. Amat tak meyakinkan. Tempat itu lebih tampak seperti bar murah yang biasanya ada di pinggiran kota Amerika.
"Jangan nilai dari sampulnya." cetus Zula, seakan bisa membaca pikiranku. "Dimana lagi lo bisa dapet mocktail terenak di kota? Dimana lagi lo bisa main biliar secara legal di kota ini?"
"Mocktail? Biliar?"
"Zula kan ratunya biliar di JetLag." tawa Sofia pendek, setelah melihat ketidakyakinanku. "Dia tampak nggak teryakinkan. Hm, lebih baik biar dia lihat sendiri aja."
Keduanya menyeretku ke pintu masuk, yang terbuka, namun tak terlihat bagian dalamnya karena kegelapan. Di dekat pintu masuknya duduk seorang pria muda yang rambut jagungnya diikat ekor kuda. Lengannya dihiasi oleh banyak tato, sementara telinganya dihiasi oleh beberapa anting perak yang menggantung.
Agak mirip seseorang. Tapi pemikiran itu tetap saja membuatku melipir sedikit saat melihat fisiknya yang mengintimidasi.
"Zula." sapanya dengan suara serak khas perokok. "Dan Sofia. Mana Clay-Clay? Dan siapa gadis ini? Baru pertama kali gue lihat dia kemari, dan dengan kalian." tekannya pada kata-kata terakhirnya.
"Jet." Sofia menjatuhkan tasnya di atas meja kasir. "Ada ruangan VIP?"
"Jawab dulu, Sofia." pemuda itu tertawa parau, sama keras kepalanya dengan Sofia.
"Dia Kiera." Zula menengahi keduanya. "Anggota baru. Dan, Kiera, ini Jet-nya JetLag. Gue tahu lo berpikir dia mirip seseorang, karena emang, Jet sepupunya Clay."
Dia mangut-mangut mengerti, sebelum menarik palang yang menutupi pintu masuk. "Masuk, ambil saja ruangan nomor 115. Dan ya, tadi Clay nge-chat gue. Tolong jangan hancurin kafe gue dengan para pengikut kalian itu."
"Makasih, Jet." senyum gadis itu samar. "Dan ya, kayak lo nggak tahu V.S aja."
Orang yang dipanggil Jet itu hanya mengangkat sebelah alisnya yang bertindik. Tangannya mengisyaratkan untuk kedua gadis itu masuk saja, dan malahan sempat berkata, "Senang kenalan dengan lo, Kiera." dengan senyuman yang identik dengan Clay.
Kepalaku mengangguk sedikit.
Aku tak terlalu memperhatikannya, terutama karena pandanganku terpaku pada bagian dalam ruangan yang... unik.
Gelap, ya. Tak ada lampu yang dinyalakan di sini. Tapi dari luar aku sama sekali tak menyangka, kalau jendelanya ada di bagian atas, di atap. Cahaya yang masuk menyorot langsung ke meja-meja bulat yang tersebar, juga ke beberapa meja biliar di tengah ruangan. Dramatis, dan ide yang bagus untuk menghemat biaya listrik. Bagian dalam ruangan terasa sejuk karena walau tanpa pendingin ruangan, namun aku mengernyitkan hidung saat samar-samar mencium aroma bekas rokok.
Jam pulang sekolah membuat tempat ini ramai. Terutama dengan anak-anak berseragam kotak-kotak khas IHS.
"Ini sebenarnya apa?"
"Selamat datang di JetLag." Sofia memimpin jalan dengan lihai, sebelum berhenti di ruangan dengan palang logam usang bernomor 115. "Bar-nya anak dibawah umur. Gue pesen minum dulu, ada pesanan khusus?"
"Gue yang biasa aja." Zula memesan sambil menjatuhkan diri ke sofa kulit bulat di sana.
Aku menggeleng, sementara Sofia berlalu.
"Oke. Mulai darimana kita?" Zula bertanya, sambil merenggangkan tubuh seperti kucing di atas sofa. "Ah ya, mengenai V.S. Shoot the question, Kiera, nanti gue jawab sampai Clay balik."
"Baik." Aku mendudukan diri, berusaha memilah mana pertanyaan yang lebih enak ditanyakan lebih dahulu. "Kenapa kalian membentuk V.S?"
Pertanyaan mudah kan?
Tapi mata hitam gadis itu menggelap sedikit, sebelum akhirnya bertanya padaku. "Cuma memastikan, kita ada di no-judge zone kan?"
Aku mengangguk.
"Karena, lo percaya atau nggak, Kiera," Zula menjawab dengan senyuman kecil. "Kami dulu orang-orang buangan."
"Yang benar saja."Mereka pasti bercanda. "Kalian kan sangat tenar seantero IHS, kalian punya banyak kenalan, di dalam, maupun di luar sekolah."
Mereka punya popularitas. Mereka punya relasi. Dan dari yang kuamati sejauh ini, mereka punya uang dan sama sekali tak kekurangan apapun. Buangan darimananya?
"Lo nggak percaya." Suara Sofia ikut bergabung dalam pembicaraan kami. Tangannya membawa nampan dengan tiga gelas minuman. Warna-warnanya mengingatkanku pada cocktail, yang beralkohol maksudku. "Itu kenyataannya."
Aku menerima minuman berwarna biru beku dari Sofia, yang dimasukan dalam gelas wine tinggi, dan dihiasi dengan busa soda dan potongan nanas yang menggiurkan.
"Kami persis seperti lo saat belum direkrut, Kiera." Zula menjelaskan dengan tenang, sembari meneguk minumannya dari gelas. "Nyaris anti-sosial, dan sama sekali nggak punya teman."
Aku masih menatapnya tak percaya.
"Oke, jadi gini. Orang-orang menjauh karena tempramen pendek gue, dan gue yang dicap sebagai pengacau." beber Sofia tanpa malu. "Clementine lebih parah lagi. Sejak kecil, orang-orang ngejauhin Clay karena dia berbeda. Karena darah blasteran yang ada di tubuhnya."
"Dan apa lo nggak pernah bertanya-tanya, kenapa gue selalu berwajah datar? Kenapa gue nggak pernah nyapa seseorang duluan?" Zula menambahkan dengan santai. "Atau kenapa kadang gue mengernyit saat bertatapan sama orang?"
Otakku dengan otomatis mengingat bagaimana Zula menatapku dulu. "Seperti yang lo lakukan dulu sama gue?"
"Ya." Senyumnya kecil. "Gue pernah melihat ekspresi bertanya-tanya lo itu dulu, Kiera. Apa lo nggak heran?"
"Intinya, Zula dianggap sombong oleh kebanyakan orang." jelas gadis berambut merah itu singkat, sepertinya tak sabar dengan basa-basi tadi. "Padahal ini karena dia punya penyakit... pro--pro apa, Zul?"
"Prosopagnosia." jelasnya fasih. "Atau bahasa sederhananya, face blindness. Lo tau, sejenis gue nggak bisa membedakan wajah orang-orang. Sebagai contoh, gue nggak bisa membedakan wajah lo sama Sofia, sejujurnya. Gue bisa mengenali kalian berdua, itu karena rambut lo hitam, dan rambut Sofia merah."
Aku mengangguk-angguk mengerti, merasakan semuanya mulai klik ke dalam tempatnya.
"You see?" Sofia tertawa sarkastis. "Orang-orang men-judge tanpa tahu kebenarannya. Kami disini mau membuktikan, dengan segala kekurangan kami, kita bisa mencapai puncak kejayaan. Sementara kalau menurut Clay, dalam Sosiologi itu ada yang namanya kelompok sosial... ah sudahlah, lupakan saja. Gue nggak jago ngehafalin nama aneh-aneh gitu." jelasnya berapi-api.
Diam.
"Oke. Jadi itu jawaban kami." Zula akhirnya memecah keheningan, dan kembali menatapku. "Lanjut, Kir. Gue nggak mau buang waktu."
"Err...." Aku menggaruk kepala bingung. "Langsung ke masalah Angie-Jevon aja?" tanyaku ragu.
"Oh ya. Intinya, Angie melanggar poin ketiga di perjanjian V.S."
Berkhianat?
"Gue dulu merekrut dia karena kami punya ide yang sama. Mimpi yang sama." Sofia menimpali dengan kebencian yang rasanya menguar. "Tapi gue salah. Dia malah dengan suksesnya menyakiti gue dan Clay sekaligus."
Aku menyesap minumanku, namun tak mengalihkan pandangan dari mereka.
"Apa lo tau, kalau Angie itu kapten cheers?" tanya Zula tenang. "Dan kalau dia emang kayaknya punya hubungan yang mencurigakan dengan Jevon?"
"Ya." Gue tahunya cuma mereka emang punya hubungan mencurigakan.
"Kalau lo nggak tahu, dulu gue anak cheers juga. Calon kapten, malah. Gue kira kita saling bersaing sehat untuk dapet posisi itu." Dengan marah, gadis berambut merah itu menggenggam gelasnya sampai buku jarinya memutih. "Gue kira dia memang tulus."
"Singkatnya, Angie dapet posisi itu karena ada... satu-dua hal yang terjadi sama Sofia pada hari-H." jelas gadis berambut hitam itu sembari melepaskan jemari Sofia dari gelas. "Dan dulu, Clay sempet jatuh hati pada Jevon, dan dia minta bantuan Angie saat tahu gadis itu tinggal di rumah yang sama dengan mantan gebetannya."
Aku bisa melihat ke arah mana pembicaraan ini mengerucut. Tanpa sadar, aku menggigil sedikit, teringat pertanyaan di malam itu.
Apa lo udah memutuskan, untuk memilih salah satu dari mereka?
"Lo tau kan, gimana Clay kalau lagi jatuh cinta?" tanya Zula lagi. "Gadis itu hampir setiap hari nitip sesuatu ke Angie, supaya disampaikan ke Jev. Tapi--"
"Semua pemberian gue via Angie nggak sampai ke cowok itu." sela satu suara baru. "Semuanya dibuang atau dibakar, tepat setelah gue membalikan punggung."
"Clay."
"Clay."
"Clay."
Sapaan kami bertiga terdengar kompak.
"Dan kenapa imbasnya juga kena ke Jevon?" tanyanya retorik. "Karena, Kiera, cowok itu dengan mudahnya percaya sama Angie. Kejujuran yang lo ungkapkan, jika harus melawan kebohongan Angie, maka Jevon akan memilih gadis kesayangannya itu."
"Dan Oliver sama sekali nggak punya masalah sama kita, karena gue udah ada di kelas yang sama dengan Oliver. Dia baik. Dan dia nggak memihak, sejauh yang gue tahu." timpal Clay
Kami bertiga terdiam. Rasanya aneh melihat semua orang dari sisi lainnya seperti ini.
"Walau untuk kasus lo, Kiera, ada pengecualian." lanjut gadis pirang itu sambil menatapku dengan senyum. "Susah untuk tak memiliki hubungan dengan orang yang tinggal satu atap."
Aku tersenyum padanya, terutama karena dia tahu apa yang ada di antara aku dan ketiga orang itu.
"Udah ah, ayo keluar." ucap Zula pada akhirnya. "Udah waktunya kita kumpul. Kalau lo punya pertanyaan lagi, simpen aja dulu."
Dengan wibawanya yang tinggi, Zula memimpin jalan kembali ke ruangan utama JetLag. Tempat ini rasanya makin penuh saja. Semua orang tersebar, masing-masing dengan gelas minuman di tangan. Di sudut terjauh ruangan, berkumpul anak laki-laki.yang sedang merokok, namun mata mereka mayoritas menatap ke depan, terutama saat ketiga orang ini mengarakku ke atas podium.
Dari atas sini, mataku bisa bebas menyapu ruangan. Adrenalin membuat jantungku berdetak lebih cepat, namun seketika semua darahku terasa terkuras dari tubuh saat aku menatap langsung ke seseorang di ujung sana, dengan rambut terang, dan sosok yang amat familier di kepalaku.
"Yak! Selamat siang, Sisterhood, dan The Lost Boy." salam Clay cerah, seakan tadi tak terjadi apa-apa. "Kami--"
Suara Clay sudah tak terdengar lagi, yang sekarang melintas di pikiranku hanya banyak hal yang benar-benar berlawanan dengan yang sekarang kulihat. Sebatang rokok terselip di antara jemarinya, sementara asap putih mengepul dari bibirnya. Aku masih ingat sekali, apa yang waktu itu pernah dia katakan. Alasannya agar tak duduk sejauh mungkin dari wanita di kafe waktu itu.
Gue kan alergi asap rokok, Kir.
Pemilik sepasang mata hazel itu menoleh ke podium, sebelum matanya bertumbukkan langsung dengan milikku yang hitam. Pupilnya melebar saat melihat aku yang berdiri di podium, dan sama sepertiku, seluruh warna tiba-tiba menghilang dari wajahnya.
***
Maaf telat sehari! Gue udah rombak chapter ini berkali-kali, dan tetep aja nggak nemu yang pas. Terus gua juga ngerjaing challenge songfic untuk satu dan beberapa alasan. Untung aja akhirnya beres juga :')
[EDITED 1-1-2016, 11:57 a.m] : dan dengan ini, chapter ini jadi yang paling panjang yang pernah gue tulis :) Stay tuned ya sayang-sayangku.
MWAH!
-ReeLyond
(30-12-2015, 23:03)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top