[22] : Tangled
P.S : Check out V.S Angel on media ^^
1. Kiera
Mataku tak bisa terpejam. Astaga, sialan.
Aku bergerak gelisah di atas tempat tidur, berkali-kali membuat selimutku berantakan. Bukan, ini bukan efek aku sudah tidur tadi. Pikiranku seakan menolak untuk dimatikan kali ini, dan dengan segala hal yang terus berpusar memenuhi otak, kepalaku rasanya jadi ingin pecah.
Ini sudah jam 3 pagi, demi Tuhan! Aku belum tidur sama sekali.
Frustasi sendiri, aku meraih lagi ponselku untuk entah keberapa kalinya, hanya untuk mengecek feeds yang hanya dipenuhi oleh iklan online shop.
Clementine. A added you as friend by LINE ID.
Clementine. A invite you to 'V.S Angel'.
Dengan kernyitan heran, aku menatap layar ponsel yang benderang di dalam kegelapan kamar, sebelum menyentuh notifikasi yang baru masuk itu. Sebuah bulatan grup baru muncul di layarku, dengan foto sampul yang membuatku terkikik di pagi yang masih gelap ini.
Damn, dari mana orang-orang ini dapat fotoku? Sudah diedit pula. Dan ID aplikasi chat-ku? Hebat juga, jelas orang-orang ini punya jaringan komunikasi yang amat luas.
Tak masalah sih, cuma... sedikit kagum.
Jemariku menyentuh tombol join di layar. Iseng, aku mengetik pesan singkat ke roomchat.
Kiera : Clay, penawaran lo masih berlaku nggak?
Clay : KIERA MAU NEBENG? ADA SERA GA?
Aku mengerjap sedikit saat balasan kilat itu masuk ke ponselku. Astaga. Selain karena aku tak menyangka balasannya akan datang secepat ini, bom capslock di pagi buta begini jelas bukan ide yang bagus. Rasanya seperti diteriaki secara virtual.
Kemudian, satu respon lagi masuk ke ponselku.
Zulaaa : Clay -_-
Aku bahkan bisa membayangkan nada suara menegur Zula dari pesannya. Aku terkikik geli, benar-benar tak habis pikir.
Tiba-tiba, ponselku bergetar, menandakan telepon masuk dari gadis berambut hitam lurus itu.
"Halo?"
"Kiera, nggak usah ditanggepin si Clay." Suara Zula menyapaku tanpa salam. "Dia suka gitu, paling nanti juga bosen sendiri."
"Oh, oke." aku mengulum senyum. "Udah bangun, Zul?"
"Gue nggak bisa tidur." jawabnya singkat, namun masih menggantung. Seakan dia mau berkata lebih banyak, tapi masih ragu. "Udah dulu ya, Kiera, bye."
Baru saja sebentar telepon terputus, saat tiba-tiba satu telepon lagi masuk. Aku mengangkat sebelah alis, mengira-ngira siapa ini.
"Halo?"
"Kieraaaa!" pekikan di ujung satunya membuatku menjauhkan ponselku dengan kernyitan. "Nggak usah dengerin Zula! Gue serius nih, Sera ikut nggak?"
"Clay." Aku memuntir ujung selimutku. "Sebelum itu... gue boleh tanya nggak?"
"Kenapa?"
Nama kakakku yang kubaca di pesan Clay itu membuatku kembali teringat beberapa hal, dan ini tak nyaman. Ini nggak adil buat Clay. Aku memberinya banyak harapan, tapi itu hanyalah harapan kosong mengingat posisiku dan Sera saat ini.
Aku tak tahu, apa yang sebenarnya kurasakan padanya sekarang. Marah? Tidak juga. Aku tak marah pada Sera. Kecewa? Sedikit, tapi bukan itu. Sulit bagiku untuk percaya pada orang, namun begitu mudah bagiku untuk hilang kepercayaan.
Mungkin itu yang kurasakan pada Sera.
Aku menghela napas pelahan. Cobalah sesekali percaya, Kiera.
"Gue bingung harus gimana." ucapku lamat-lamat, setelah keheningan yang cukup panjang. "Clay? Lo masih disana?" tanyaku tak yakin, saat keheningan yang terdengar di ujung teleponku.
"Iya, gue masih dengerin, Kir."
"Boleh curhat?" Gue sesekali perlu saran dari cewek.
"Mm-hm." gumamnya samar, dengan suara berkeresak di ujung sana. Tampaknya gadis itu berganti posisi sekarang.
"Tapi ini bakal panjang, gimana kalau gue aja yang telepon lo?"
Gadis itu tertawa. "Pulsa bukan masalah bagi gue, Kiera. Udah, lanjut aja."
Aku rasanya ingin memeluk gadis itu kuat-kuat.
"Jadi...." aku menggantungkan kata-kataku, saat ragu kembali menyergap.
Sialan logikaku sekarang. Sepertinya gadis berambut pirang itu menyadari keraguanku dari ujung sana, karena sesaat kemudian dia berbicara.
"Lo bisa percaya sama gue, Kir." Nada gadis itu kali ini serius, tidak bercanda dan benar-benar mendengarkan sekarang. "Kalau lo takut, nggak apa-apa. Gue tahu ada beberapa hal yang nggak bisa lo ceritain ke orang lain, yang cuma bisa lo sendiri yang tau."
"Nggak." Aku menggaruk kepalaku kesal. "Gue butuh temen bicara. Gue mentong mikir sendiri."
Gadis itu diam, namun aku tahu dia mendengarkan.
"Jadi gini," ucapku ragu. "Gue harus bersikap kayak apa, saat selama ini ternyata gue nggak tahu sesuatu dari seseorang yang gue kenal deket banget? Apa gue salah kalau gue marah?"
"Apa ada alasan dari orang itu buat nggak ngasih tahu lo?"
"Gue percaya... maksud dia untuk melindungi gue." ucapku sambil memeluk lutut. "Gue tahu itu, tapi hati gue masih menolak untuk percaya."
Keheningan sejenak menyelimuti kami.
"Kiera, sejujurnya gue bukan seorang pemberi saran yang baik." Aku bisa merasakan senyum gadis itu dari telepon. "Itu hak lo, sebenarnya."
Aku mendesah frustasi. "Apa nggak ada saran lain yang lebih membantu?"
"Ada, tapi gue bukan lo." jawabnya tenang. "Setiap pribadi punya jawaban atas masalahnya masing-masing, Kiera. Dan cara menemukannya itulah yang bakal jadi pelajaran kehidupan buat lo."
Aku tertawa sedikit. "Sejak kapan lo jadi bijak begini?"
"Sejak temen gue perlu seseorang yang bisa menggeplak dia dengan kenyataan." balasnya dengan sedikit tawa. "Ada lagi yang mau lo ceritain?"
"Eh," Aku benar-benar ragu kali ini. "Tapi ini bakal menyangkut ke... poin ke delapan."
"Oh, Angie?" tanyanya sambil lalu. "Percaya atau nggak, sebenernya gue nggak masalah lo temenan sama siapa aja. Selama sikap lo bukan kayak dia, gue nggak ada masalah."
"Sebenernya bukan itu." aku membungkus diri dalam selimut, merasa tiba-tiba perlu kehangatan. "Jadi singkatnya, bisa dibilang, gue entah bagaimana caranya hilang ingatan, dan kakak gue nan jenius itu dengan sengaja menyatukan gue dengan orang-orang di masa lalu gue."
"Whoa, whoa." potong Clay di tengah aliran kata-kataku. "Gue nggak ngerti."
"Oke, pelan-pelan." Aku menghela napas pelahan. "Coba lo tanya bagian yang nggak ngertinya."
Aku juga sebenarnya tak mengerti, huft.
"Lo hilang ingatan?"
"Menurut Sera begitu."
"Gimana bisa?"
"Kecelakaan. Gue nggak inget sejujurnya, tapi kata Sera begitu."
Gadis itu kedengaran seperti menggaruk kepalanya bingung. "Dan orang tua lo? Yang asli?"
"Meninggal, lagi-lagi menurut Sera." Aku menatap langit-langit, berusaha kembali mengorek sedikit saja informasi. "Gue diadopsi karena waktu itu Mama Catlyn jatuh hati pada gue."
"Lagi-lagi kata Sera?"
"Ya, begitulah." aku menghela napas, sambil memijat pelipis yang pening karena memaksakan diri berpikir. "Dan ini belum selesai."
"Hm, cerita hidup lo udah kayak FTV saking banyak unsur dramanya, Kir. Gue masih nggak ngerti, gue bisa menemukan orang yang benar-benar hilang ingatan di dunia nyata." goda Clay dari ujung sana. "Oke, lanjut."
"Nah, singkatnya," Aku mengubur diri. "Sekarang gue tinggal di rumah yang sama dengan para manusia dari masa lalu gue."
"Angie?" tebak Clay.
"Bukan cuma dia." Aku memindahkan telepon ke sebelah tangan yang bebas. "Tapi Jevon sama Oliver juga."
Aku tiba-tiba bisa merasakan mata kelabu Clay membelalak kaget padaku.
"Hah? Serius?"
"Deadly serious." balasku lempeng.
"Gimana bisa?"
"Tanya Sera." Aku mengangkat bahu, walaupun Clay tak bisa melihatnya dari ujung sana.
"Dan dimana letak masalah lo?"
"Karena, Clementine." ujarku pasrah. "Gue sama sekali nggak punya ingatan apapun tentang mereka. Di saat mereka...."
"Mereka apa?"
Aku mengigiti bibirku, tiba-tiba kembali terbayang mata cokelat gelap yang penuh emosi itu. "Gue takut Clay." ucapku pada akhirnya.
"Kenapa?"
"Mereka harusnya punya hubungan yang deket dengan gue." ucapku samar. "Dekat, sekali. Tapi gue nggak bisa ingat apapun, secuil pun."
"Coba ingatlah dengan hati, Kiera." suara serius Clay terdengar dari ujung sana. "Saat ingatan tak bisa diandalkan lagi, hati masih terus mengingat."
"Itu masalahnya." bisikku lirih. "Hatiku juga sudah tak mengingat lagi."
***
Jarum jam menunjukkan pukul 5.45, saat aku benar-benar selesai mengikat dasi seragamku. Aku menghela napas panjang saat melihat bulan gelap membayang di bawah mataku, benar-benar terlihat, membuatku tampak seram karenanya.
Terberkatilah siapapun yang menciptakan kosmetik.
Aku memoles wajahku dengan concealer dan bedak, satu hal yang rasanya sudah lama sekali tak kulakukan. Sapuan demi sapuan kuas menggelitik wajahku, makin membuatku tampak seperti... bukan diriku.
Ini menyenangkan. Astaga.
Menyenangkan tak usah jadi diri sendiri. Bisa menjadi orang lain, dengan segala kepribadian yang bisa sesukanya kuatur. Hidup terasa lebih ringan. Tanpa beban.
Aku tahu ini salah. Kelainan jiwa, mungkin.
Tapi kemana lagi seseorang yang telah terlalu rapuh menyembunyikan diri? Tak ada. Menjadi lebih kuat tidak bisa menggunakan pribadi yang sama dengan si rapuh.
Dulu aku telah berhenti bersembunyi di balik topeng ini, tapi kenapa sekarang aku harus kembali lagi?
Oh ya, tak selama itu, sebenarnya.
Aku menggeleng, berusaha mengusir semua pikiran ngawur itu sebelum beranjak ke dengan tas sekolah tersampir di bahu. Pintuku baru terbuka sedikit, saat aku menangkap bayangan seseorang yang dengan gugup berjalan mondar-mandir di depannya.
Sera?
"Kiera--" Matanya menyapu wajahku. Sepertinya dia sadar dengan perubahanku ini.
Matanya berubah, tapi aku masih terlalu bimbang untuk bisa memaafkannya sekarang. Kakakku itu tersenyum sedih, dan mengangsurkan benda yang digenggamnya padaku sebelum pergi tanpa kata.
Sweater.
Sweter kelabu milik Sera, tepatnya. Benda yang hangat dalam genggamanku itu rasanya mengalirkan pesan padaku. Kuat, seperti aliran listrik yang menyengat.
Kiera, jaga diri. Jangan dingin-dinginan, nanti sakit lagi. Nggak apa-apa lo marah, gue nggak marah kok. Nih, gue pinjemin jaket.
Aku menggigiti bibirku, merasakan mataku mulai memanas. Aku bisa merasakan Sera mengatakan itu langsung padaku, dan aku, tak cukup kuat untuk menerima perhatian kakakku itu.
Aku tak cukup pantas.
Aku tak bisa. Apalagi dengan hatiku yang belum merelakan sikapnya yang menutupi perihal ini dariku.
Aku masuk kembali ke kamar, agar tak ada yang melihat betapa rapuhnya aku. Namun ujung mataku menangkap sosok seseorang di ujung lain koridor, dengan matanya yang tajam, menyorotku, sebelum akhirnya dia menggeleng dan memalingkan wajah.
Memalingkan diri dariku.
Itu bukan Sera, juga bukan Oliver. Sorot matanya tadi tak bisa kuartikan, namun aku pernah melihatnya, entah kapan, entah dimana.
Mata Jev yang menatapku sekilas tadi menusukku dengan parah.
Padahal tadinya kukira kami sudah bisa disebut teman.
Tapi pandangannya seakan dia jiwanya ditusuk. Sakit, namun merelakan. Aku tak mengerti.
Ada apa dengan orang-orang? Pertama Sera, Oliver, lalu Angie. Sekarang dia juga?
Aku meremas sweater milik Sera kuat-kuat, merasakan air mata yang mulai menetes.
***
Chapter ini berat ya :''
Salam :)
-Ree
(26-12-2015, 22:49)
[REVISI] : Dedicated untuk penyemangat dan teman setia gua yang udah baca cerita ini sejak masih nggak ada apa-apanya. Yang bilang dia #TeamJevon karena namanya Jev ganteng :* malvenaraline
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top