[21] : He, She, Me
1. Kiera
"Yakin nggak mau ikut ke markas?" tanya Clay setelah memberhentikan mobil di depan rumahku.
"Nggak apa-apa kan?" tanyaku ragu. "Gue perlu mengurus beberapa hal dulu."
Gue perlu meluruskan beberapa hal dengan empat orang yang ada di dalam sana, pikirku sambil melirik sedikit ke arah rumah itu. Suasana hatiku sedang sedikit lebih bagus, jadi kupikir, mungkin ini waktu yang tepat untuk sedikit berbicara dengan mereka.
"Nggak apa-apa sih." ucapnya sambil menatapku malas dari atas setir. "Lain kali juga bisa."
"Halah, Si Clay itu kepengen banget lo ikut, Kir." Sofia menimpali dari bangku belakang.
"Udah, udah." Zula dengan helaan napas panjang menyela mereka. "Ini udah malem, dan gue juga kayaknya nggak bakal ke markas. Gue capek, dan musti siap-siap aja besok bakalan didetensi sama Bu Rosa."
"Oh, iya juga." Clay menguap lebar, dan menjatuhkan kepala ke atas setir. "Ya udah, besok aja. Lo besok mau gue jemput, Kir? Di tempat yang tadi aja ya? Jam 6.15, tepat." ucapannya bahkan tak menunggu jawabanku.
"Clay," tegur Zula lagi.
"Oh, iya. Maaf." Gadis berambut madu itu merona. "Kalau gitu, kalau lo butuh tumpangan lagi, chat gue aja."
"Oke." Aku membuka pintu mobil. "Makasih.... untuk semuanya."
"Sama-sama." kuap gadis berambut madu itu. "Itu gunanya teman dan saudara kan?"
Aku tersenyum padanya. "Bye, Clay, Sofia, Zula."
Mereka melambai balik, sampai akhirnya mobil oranye itu tinggal titik yang menghilang di kejauhan.
Pelahan, aku membuka pintu gerbang, berusaha agar tak mengagetkan siapapun. Tak dikunci, untunglah. Namun ketika aku hendak membuka pintu depan, aku menepuk dahi sendiri dalam hati.
Pintu depan rumah ini selalu dikunci, aku lupa itu. Kunci bagianku ada di Sera, dan aku tak akan bisa masuk kecuali meminta orang dalam membuka pintu.
Astaga, satu lagi akibat dari tindakan spontanku yang bodoh.
"Kiera?" panggil satu suara tiba-tiba.
Aku menoleh, dan menatap Oliver yang berdiri di belakangku dengan dua kantong plastik besar yang ditenteng di tangannya. Pemuda itu cuma sendirian, tampaknya dia habis berbelanja kebutuhan rumah. Ujung bibirnya terangkat sedikit, melemparkan senyuman kecil padaku.
Tanpa banyak bicara, ia membuka kunci pintu, dan dengan gestur layaknya pria sejati, ia menahan pintu agar aku bisa masuk duluan. Matanya menyipit sedikit saat baru masuk, sebelum berujar ringan padaku, "Sepi ya?"
"Kemana orang-orang?" tanyaku sambil memperhatikan sekeliling. Benar-benar sunyi, seakan cuma ada aku dan Oliver di sini.
"Harusnya lo ngabarin Sera kalau pergi ke mana-mana." ucapnya sambil tersenyum kecil. Ujung bibirnya masih terangkat sedikit, namun matanya tak ikut menunjukkan senyuman yang sama. "Lo tahu, kakak lo itu udah kayak orang depresi di atas sana."
Depresi di sini maksudnya pasti bersikap seperti orang gila yang kehilangan bayinya. Heran juga, tumben Sera tidak membomku dengan ratusan misscall atau pesannya seperti biasa.
"Gue...," Aku menggaruk kepalaku sedikit, sebenarnya aku tahu kenapa. "Ini susah."
"Ya, gue tahu kok maksud lo." ucapnya tenang, sambil memimpin jalan menuju dapur. "Lo laper? Gue mau masak, kalau lo mau makan."
"Nggak usah, makasih--" tolakku halus, namun segera disela oleh suara perut yang bergemuruh.
Astaga, sialan perutku ini.
Oliver tertawa. "Tampaknya ada yang nggak setuju."
Aku berusaha agar tak membenamkan wajah sendiri dalam-dalam. Rasanya ini memalukan sekali. Bisakah Bumi terbelah saja sekarang, dan menelanku bulat-bulat?
"Nggak usah malu, ayo." Senyumnya sambil melangkah ke dapur.
Aku menatap punggungnya yang melangkah lebih dulu di hadapanku. Aku masih tak mengerti, punggungnya tampak seperti pelindung. Mungkin ini berhubungan dengan--sesuai kata Sera, ingatanku yang hilang.
"Oliver." panggilku setelah berhasil menyusulnya. "Apa...boleh gue tanya?"
"Silakan." ujarnya tanpa menoleh. Bahunya menegang sedikit, tapi begitu sedikit, sampai aku tidak yakin dia benar-benar merasakannya.
Pemuda itu mengeluarkan barang-barang dari kantongnya, dan mulai bergerak untuk menyimpannya ke tempat yang benar. Tangannya dengan cekatan memasukkan makanan kering ke lemari kabinet, menyimpan makanan beku dan daging-dagingan ke kulkas, juga toiletries ke raknya yang benar. Dia bergerak dengan ringan, karena aku tahu, disinilah daerah kekuasannya.
Aku menatap punggungnya lagi, berusaha mencari secuil saja ingatan tentangnya.
"Apa bener kalau kita dulu kenal?"
"Iya."
"Apa dulu kita deket?"
"Ya."
"Seberapa deket?"
Dia berhenti bergerak. "Seberapa dekat? Seberapa dekat?"
Tiba-tiba dia tertawa keras-keras, walaupun tak ada nada senang dalam suaranya. Frustasi, mungkin. Itu lebih tepat. Oliver berhenti di hadapanku, dan tanpa kutahu, tangannya menangkup kedua pipiku. Tidak kasar, bahkan sentuhannya lebih lembut dibandingkan bayanganku.
Sepasang matanya menatapku lekat, cukup dekat untukku, sampai aku bisa melihat semburat keemasan dan hijau di dalam kolam cokelat gelap itu.
Ia terlihat familier.
"Sedekat ini, Kiera." ucapnya serak penuh emosi. "Kira-kira seberapa dekat dua orang yang harusnya tak bisa jauh satu sama lain? Seberapa dekat menurutmu, kalau aku selalu menyimpan sakit seorang diri saat melihatmu? Karena aku tahu, kamu tak lagi mengingat apa yang kuingat. Karena kamu tak lagi merasakan apa yang kurasakan."
Mata cokelat itu terlihat begitu terbuka, begitu polos. Seakan semua tudung yang melingkupinya terangkat habis. Aku jadi bisa melihat ke dalam matanya, dan menembus langsung ke dalam perasaannya.
Ia begitu... sakit. Hancur.
Dari jemarinya yang melekat di pipiku, terasa hangat dan aneh. Rasanya membuat sesuatu di dalam hatiku membuncah. Begitu kuat, sampai membuatku tak bisa membuka suara.
"Kita sedekat itu, Kiera." ucapnya sendu, dengan ujung jemari yqng dengan lembut mengusap pipiku. "Aku, denganmu. Sementara Jev--"
Kalimatnya terpotong, sementara ragu melintas di matanya.
"Sementara?"
"Jev dengan Angie." ujarnya datar. "Kita berempat baik-baik saja, sampai ke saat waktu memisahkan kita."
Lenganku tanpa sadar terangkat, dan melingkarkan diri ke punggung pemuda itu. Aku menariknya mendekat, dan membiarkan kepalanya bersandar ke bahuku.
Ini tak terasa aneh. Ini tak terasa terlalu cepat. Rasanya sangat normal, seperti memang... sudah biasa.
Oliver merespon pelahan. Jemarinya turun, dan balas merengkuhku lembut. Rasanya seperti dilindungi, seperti diselimuti oleh malaikat. Bahunya yang kuanggap seperti sayap malaikat itu melengkung lelah, seakan beban yang selama ini dibawanya mulai membuatnya penat.
Aku membiarkannya, dan berusaha merasakan kehadirannya yang mengisi satu kepingan dalam diriku.
Rasanya familier.
Aku menatap dinding yang kosong di balik bahunya, melihat pintu yang ada di sana mengayun tertutup tertiup angin. Detak jantungnya yang bertalu serasa merambat, membuat denyutan yang seirama dengan milikku.
Aku berusaha. Berusaha mengingatnya, berusaha merasakannya.
Aku memejamkan mataku, dan menghela napas sambil menyandarkan diri ke bahunya.
Aku lelah.
Seperti bagaimana lelahnya malaikat ini menahan luka, yang mulai menggores, dan membuatnya makin lemah.
***
Aku tersentak bangun tiba-tiba, di tengah kegelapan yang pekat. Mataku mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dalam kondisi cahaya minim.
Di... kamar?
Aku mengulurkan tangan, berusaha mencari steker lampu meja. Cahaya remang menyala seketika, membiaskan rona kuning ke seisi ruangan.
Kamar?
Aku membaringkan diri kembali, pelahan ke atas bantal. Tunggu, apa tadi aku mimpi? Aku berusaha menyusuri kembali ingatanku, mendapati bahwa potongan peristiwa tadi sebening kristal. Sama sekali tak kabur.
Tapi...
Frustasi, aku akhirnya memanjat turun dari tempat tidur, dan memutuskan untuk mengambil minum di dapur.
Dengan langkah yang diusahakan sepelan mungkin, aku menuruni tangga, dan menuju ke tempat yang--astaga. Memikirkannya saja aku tak bisa.
Aku menghela napas pelahan saat meraih kenop pintu, sambil menyingkirkan segala potongan kejadian yang membuat diriku sendiri merona malu. Dengan mudah pintu terbuka; namun aku kaget, ternyata aku tak sendiri.
Gadis itu hanya menoleh sekilas, sebelum kembali menatap ke gelas bening yang digenggamnya. Dia bersandar di meja dapur, dengan setengah diri tertutup gelap. Gadis itu menatap gelasnya lekat, dan memutarnya ke kiri sekali, dan ke kanan sekali.
"Ada hal yang menarik?" suaranya tiba-tiba memecah tatapan tak sopanku.
Aku menggeleng tanpa kata, sebelum melangkah melewatinya, dan mengambil segelas air. Aku meneguk cairan itu pelahan, namun masih tetap terganggu dengan tatapan tajam yang rasanya menembus kepalaku itu.
"Apa lo sudah memutuskan?" tanyanya tanpa basa-basi. "Kalau lo akhirnya sudah memilih salah satu dari mereka?"
Aku mengernyit tak mengerti. "Maaf?"
"Haha." tawanya garing. "Gue lupa."
Gadis itu meluruskan tubuhnya, membuat seluruh wajahnya tersembunyi dalam gelap.
"Inget aja, Kiera. Lebih baik lo menyakiti di awal, dibandingkan harus menyakiti di akhir." gadis itu meletakan gelasnya, dan melangkah menuju pintu. "Karena sakit di awal bisa disembuhkan seiring berjalannya waktu, tapi di akhir, akan membekas sepanjang hidup."
Aku menatapnya dengan tak setuju. "Untuk apa menyakiti kalau sebenarnya bisa dihindari?"
"Lo nggak tahu, Kiera. Mungkin lo merasa nggak menyakiti, tapi orang lain yang merasakannya, orang lain yang lebih tahu."
"Gue nggak mengerti apa yang lo omongin." Aku menatapnya dingin, sementara di kepalaku kembali terputar poin ke delapan dari perjanjian V.S.
"Begitukah?" tanyanya samar. "Oliver mungkin bisa menjelaskan lebih."
Aku mengernyit saja padanya. Dasar gadis aneh. Aku tak mengerti.
Gadis itu keluar tanpa bicara. Pintunya tertutup tanpa suara, dan membuat sesuatu tersambung di otakku.
Aku membuka pintu, dan menatap ke lorong yang gelap. Pintu dapur sama sekali tak menghadap ke jendela. Tak mungkin pintu menutup karena tertiup angin.
Aku mengerjap beberapa kali, mulai menyadari sesuatu.
Bukan angin yang menutup pintu saat aku bersama Oliver.
Angie.
***
Selamat Natal!
Merry Christmas!
Feliz Navidad!
Maaf ngaret sehari publishnya. Anggap aja ini hadiah Natal dari gue *digeplak*
Ho ho ho!
-Ree
(25-12-2015, 10:32)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top