[2] : Rebel
1. Kiera (New York City)
"LO UDAH GILA APA?"
Aku menutup mata lagi, lalu menimpa kepala di bawah bantal. Benda membal itu berhasil menghalangi teriakan sadis milik Sera, namun tidak berhasil memblokir suara melengking itu.
Aku mengubur diri makin dalam, berusaha kembali tidur walau kakakku itu ngamuk bagaikan macan.
Lagian siapa suruh bangunin orang dengan brutal?
Tirai jendela ditarik hingga maksimal, membuat cahaya matahari benar-benar masuk dan menyengatku. Bukan sorot panas itu yang menggangguku, tapi cahaya terang membuatku merasa seperti vampir.
Dalam arti sesungguhnya.
Ini sudah tengah hari, namun aku masih terlalu sakit kepala untuk bangun. Jelas, kombinasi sisa-sisa zat alkohol di tubuhku, dan teriknya cahaya matahari sama sekali bukan pilihan bagus. Bukannya bangun, aku malah tambah sakit kepala.
Ugh. Kepalaku. Rasanya sudah siap meledak saja. Perasaan sedikit mual dan pening sudah biasa kurasakan, padahal sepertinya aku baru minum sedikit kemarin.
Dan sepertinya, Sera sudah gatal ingin menimpukku gara-gara aku melindas semak mawar kesayangannya tadi pagi.
"Apa-apaan baru balik jam enam pagi, mabok berat, ngebut dijalan, dan nggak bawa SIM pula?!" bentaknya lagi. "Coba lo mikir dulu sebelum gerak, bisa ga sih?"
"Males," balas Kiera dari balik selimut. "Lo aja sana."
"Kiera!" Sera berusaha merebut selimut Kiera, yang sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. "Lo denger nggak sih?!"
Aku memejamkan mata rapat-rapat, terutama karena kepalaku mulai sakit dan berdenging lagi karena Sera. Kali ini sakitnya lebih parah, seperti gabungan antara hangover dan sakit kepala saat aku harus mengingat sesuatu.
"Denger," gumamku tak jelas. "Dan gue nggak peduli."
Aku bisa mendengar kakakku itu garuk-garuk kepala tak habis pikir dengan kelakuanku.
"Pokoknya lo hari di grounded, gak boleh keluar hari ini!"
Dan dengan bantingan pintu keras, Sera keluar dari kamar.
So what kalau aku di grounded?
Karena disini, bukan ia yang tipe manusia bertanggung jawab. Disini akulah yang pencari resiko. Rasanya jantung yang berpacu cepat begitu sulit untuk dilewatkan. Rasanya begitu mudah, hidup tanpa kekhawatiran, tanpa memikirkan resikonya sekarang. Bagai candu, sulit untuk berhenti.
Berbeda dengan Sera. Dia itu tipe anak baik-baik yang benar-benar baik. Baik kelakuannya, nilai sempurna, taat pada hukum dan aturan. Bagaikan langit dan bumi denganku. Jangankan mabuk atau bikin tato sepertiku, tidak mengerjakan tugas pun sepertinya belum pernah.
Aku tahu ini salah, atau lebih tepatnya, aku tahu ada yang salah.
Dulu kami tak begini.
Dulu aku tak begini, sepertinya.
Ada yang hilang, dan aku tak tahu apa.
Aku menutup mata di balik buntalan selimut, mematikan otak dan seluruh inderaku untuk sekarang ini.
Aku lelah, dan aku mau tidur.
Tiba-tiba ponselku berdering dari dalam laci. Suaranya hanya samar, karena memang sengaja kusumpal dengan kaus kaki. Aku mengerang, lalu bangkit seraya mengacak-acak tumpukan kaos kaki disana. Tanpa melihat siapa, aku langsung mengangkat telepon.
"Ya, Isa?" aku menyapa begitu mengenali suara di seberang. "Pesta di Versa?"
Cowok itu menjelaskan sedikit tentang pesta liar di salah satu bar elit tersebut. Tempatnya di Hoboken, salah satu daerah terliar di penjuru Amerika ini. Dengan janji malam yang tak akan terlupakan, plus aneka cocktail, adrenalin dan lain-lain. Aku hanya mendengarkan sekilas, tak terlalu peduli.
Rasanya sedikit clubbing tidak ada salahnya.
Tanpa memperdulikan statusku yang dilarang keluar, aku kembali berbaring santai di atas kasur, mulai merencanakan apa yang kupakai, make-up, dan hal yang terpenting; bagaimana cara untuk kabur.
"Jam sembilan?" tanyaku memastikan setelah ia selesai berbicara. "Tentu saja aku datang."
Aku kembali masuk ke bawah selimut, berusaha memejamkan mata lagi. Setidaknya aku harus menghilangkan rasa yang familier di kepalaku dulu.
Tapi entah kenapa, semakin aku mencoba, semakin perasaan sakit kepalaku malah mengingatkanku pada sesuatu.
***
3. Jevon (Jakarta)
Ah.
Aku membuka mata, lalu mengerjap beberapa kali. Pemandangan yang tampak di hadanku hanya langit cerah. Biru, dengan awan-awan yang bergerombol seperti kawanan domba.
Disini nyaman. Hangat, dan membuatku ngantuk. Aku menghela napas, lalu berusaha menyangga tubuh dengan siku.
Oh.
Sesuatu menggelitik wajahku, halus, dan aromanya seperti apel.
Rambut?
Aku menyibakkannya, dan mendongak. Seseorang membiarkanku tertidur di pangkuannya, saat dia juga duduk tertidur. Napas hangatnya menyapu wajahku, terantuk-antuk pelan seperti kelopak dandelion. Wajahnya sebagian tersembunyi di bayangan. Tanpa sadar, tanganku terulur dan menyentuh pipi itu dengan lembut.
Sepasang mata hitam terbuka, gelap dan dalam. Mata itu menatapku balik, berkilat bagai sepasang manik kaca. Aku mengerjap beberapa kali.
Matanya.
Mata itu.
"Jev," Suara itu terdengar asing dan familier di saat yang sama. "Jevon."
Aku benar-benar bangun dari pangkuannya sekarang, duduk di hadapannya, menatap wajahnya lekat. Seakan aku takut ia akan menghilang saat aku mengerjap sekali saja.
Itu dia.
Rambut gadis itu tergerai hingga sebatas punggung. Masih hitam, sama seperti yang dulu. Masih ikal, juga sama seperti dulu. Wajahnya sudah berubah, lebih tirus setelah semua lemak kanak-kanaknya menghilang. Ia tidak tersenyum, hanya menatapku datar seakan tak mengenaliku.
"Jev," panggil suara itu lagi. "Jevon," Nadanya menjadi panik, seperti ketakutan.
Aku menatap gadis yang masih duduk tak bergerak disana. Matanya masih datar, dan sama sekali tak mengerjap. Hitam dan dingin, seakan terbuat dari gelas.
Seperti boneka.
Tidak nyata, tidak hidup.
"Jevon!" panggil suara itu lagi. "Jev!"
Aku menyadari sesuatu. Bukan dia yang memanggilku. Bukan suaranya.
Kali ini aku merasakan seseorang mengguncang-guncangku lemah, tapi cukup untuk menyadarkanku. Pemandangan berganti. Dari langit biru berawan jadi langit-langit gelap kamarku. Dari pemandangan taman jadi ruangan kamarku yang gelap.
Dari dia, jadi wajah pucat pias milik Angie.
Aku mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan mataku dengan kegelapan.
"Ang? Angela?" Aku memanggilnya dengan nama kecilnya, buru-buru bangkit dari posisi tidurku. "Ang, kamu nggak apa-apa?"
Gadis itu menggeleng berkali-kali, tangannya gemetar hebat. Pelahan, aku meraih tangannya dan merengkuh tubuh kecil itu. Angie menggigil, sekujur tubuhnya dingin. Gadis itu mencengkram kaosku erat-erat, dan mulai terisak dalam diam sementara pikiranku berlari jauh sekali. "Angie?"
Panic attack.
Lagi.
Mungkin ini karena Oliver menyinggung-nyinggung tentang dia tadi sore. Gara-gara itu, aku jadi bermimpi tentang gadis itu lagi, dan Angie mengalami serangan panik lagi.
Huh. Rupanya cowok yang satu itu perlu diberi pelajaran juga.
Aku duduk lebih tegak, sementara tangan kananku menepuk-nepuk pundak gadis itu lembut.
Angela punya hidup yang berat, aku tahu. Mungkin bahkan terlalu berat untuk sosok cantiknya itu. Aku bahkan masih ingat pertama kali gadis itu mengalami serangan panik seperti ini. Mungkin rasa bersalah menggerogotinya dari dalam, tapi semua manusia pasti punya kesalahan. Gadis itu menyesalinya, dan itu cukup.
"Shh," aku beralih menepuk-nepuk rambut cokelatnya. "Nggak apa-apa Ang,"
"D-d-dia, Jev," Gadis itu cegukan, lalu menatapku dengan mata berairnya. "Aku liat dia."
Aku diam, takut untuk merespon. Takut mengeluarkan kata-kata yang salah. Namun jantungku berdetak lebih cepat, antara takut dan cemas kalau Angie sampai tahu.
Ini sudah cukup buruk tanpa Angie perlu tahu kalau aku baru saja bermimpi tentang orang yang sama dengan yang menghantui mimpinya.
Iya 'kan?
"Dia udah nggak ada kan, Jev?" tanyanya seakan bisa menebak apa yang aku pikirkan. "Itu cuma mimpi 'kan?"
"Dia nggak nyata, Ang," aku mengucapkan itu buru-buru, seakan rasanya pahit dan harus diludahkan. "Dia udah nggak ada."
Siapa yang tahu ternyata berbohong bisa sesakit ini?
"Kamu nggak akan pergi kan?" tanyanya lagi.
Pergi.
Entah kenapa, pertanyaan simpel ini benar-benar menohok hati.
"Kalau aku pergi, memangnya mau kemana?" aku tertawa singkat, namun segera menghela napas saat Ang tidak menganggap itu lucu.
Aku menariknya, membuatnya berbaring di sisiku.
"Angela, Angela, Angela." aku menghela napas, lalu menggenggam jemarinya yang masih dingin. "Kamu percaya sama aku?"--gadis itu mengangguk. "Kita bukan apa-apa kalau nggak saling percaya, Ang." aku mengecup jemarinya. "Aku percaya kamu, kamu percaya aku, dan itu cukup buat kita berdua."
Gadis itu diam. "Janji?"
"Iya." balasku singkat, seraya menatap langit-langit kamar yabg kosong. "Kamu percaya 'kan?"
Aku bisa merasakan anggukan pelannya dalam pelukanku. Aku menghela napas, masih dengan pandangan terpaku ke atas sana. Dalam kegelapan, mataku melihat sepasang mata kaca tadi. Aku tersentak dan refleks memejamkan mata, namun bayangan sepasang mata itu tak juga hilang dari ingatanku.
Kali ini sorotnya sedih. Seakan--
Tidak, tidak, tidak. Dia udah nggak ada. Aku menghela napas pasrah, dan membenamkan ujung hidungku ke rambut halus Angie yang sudah cepat terlelap.
Harumnya seperti apel.
Aku menarik napas panjang, seakan setiap hirupan napas terasa seperti udara segar yang membasuh sisa-sisa dia yang ada dalamku.
Astaga, rasanya ini salah sekali. Mendekapnya dalam pelukanku, namun memikirkan orang lain di kepala. Aku benar-benar tak mengerti lagi, tapi saat ini yang penting hanya Angie.
Hanya, dan akan selalu Angie.
***
4. Sera (NYC)
"Sera,"
Aku melongok dari kamar, masih dengan pensil di tangan. Giovanni Perdana--ayahku, berdiri di ruang tamu, sedang melepaskan dasi hitamnya.
"Ya, Pa?" Aku melepaskan alat tulis, dan beranjak untuk membantu Papa menggantung jasnya di lemari.
"Mana adikmu?" tanyanya dengan alis terangkat. "Tumben dia diem."
Aku terdiam sebentar, akhirnya mengerti kenapa hari ini tenang sekali. Kiera biasanya memutar lagu dance dengan speaker kamarnya. Dentumannya menghentak sampai ke lantai dasar, bahkan piring-piring di rak pun agak bergetar karenanya. "Mungkin dia tidur, Pa."
"Ooh," Keluarga Perdana senior itu mengangkat bahunya. "Bilangin sama dia, jangan lupa makan. Itu anak udah kurus kayak sapu lidi," ucap Papa dengan nada datar.
Aku mengerjap sekali, lalu sekali lagi.
"Papa garing ah!" Aku akhirnya merespon setelah mengerti. Dasar ayah aneh, aku tertawa dalam hati. Papa selalu bercanda dengan muka datar. Dan karena datarnya itulah kenapa lucu. "Iya nanti Sera kasih tau."
Papa hanya mengangguk samar, lalu meraih tas kerjanya dan beranjak menuju ruangannya. "Oh ya, Sera. Jangan lupa kasih tau adik kamu tentang itu. Jangan main sembunyi-sembunyian lagi, Sera. Adek kamu sudah cukup umur, dia tahu mana yang baik buat dia, mana yang nggak."
Aku mengangguk, lalu menghela napas saat Papa pergi. Kiera sudah dewasa, ya. Tapi aku masih kakaknya, dan aku masih harus memastikan ia baik-baik saja. Dan satu lagi, kenekatan Kiera menjadi salah satu pertimbanganku, sedewasa apapun dia.
Aku beranjak ke lantai dua, melangkah dalam pikiranku sepanjang koridor. Suasana sepi ini rasanya aneh, tak biasa. Apa mungkin aku terlalu keras padanya tadi pagi? Aku menyangsikan dia masih tidur. Gadis itu pasti ngambek, dan menolak berbicara padaku kalau begini.
Tapi siapa yang tahu kalau tentang Kiera? Si adik paling gila yang kupunya.
Dengan kebiasaannya yang amat sangat buruk, anehnya gadis itu masih mempertahankan beasiswanya di Clinton. Nilai Kiera cemerlang memang, namun bagaimana caranya? Apa jangan-jangan adikku itu punya ingatan fotografis? Ah, sepertinya tidak juga.
Aku tahu jelas otaknya itu ada di atas rata-rata, tapi dia hampir tak pernah berusaha. Belum lagi catatan psikolog sekolah yang sudah nyaris setebal Yellow Pages itu. Apa ini karena dia kurang perhatian?
Ah, kurasa tidak.
"Kiera," Aku mengetuk pintu kamar Kiera pelahan. Pintu kayu gelap yang tebal itu bendentum saat kepalan tanganku menyentuh permukaannya, tapi tak ada respon. "Kir, tidur ya?"
Tak ada jawaban.
Aku memutar kenop pintu saat sampai hitungan kesepuluh tak ada juga reaksi. Ruangan itu gelap seluruhnya, membuat hanya siluet barang-barang yang nampak. Mural citylight di dinding berpedar temaram dalam gelap, merupakan satu-satunya hal yang bisa membuatku melihat di sini.
Tanganku meraba sekeliling, membantuku untuk menuju ke tempat tidur Kiera tanpa menabrak apapun. Gadis itu tampak terkubur di balik selimut-selimut, menutupi sosoknya dari pandanganku. Pelahan, aku mengguncang-guncang bahunya, berusaha membangunkannya selembut mungkin. "Kir, bangun kir."
Tak ada respon. Kali ini aku mengguncang bahunya lagi lebih kuat, namun sensasinya membuatku langsung mengernyit heran.
Wait.
Bahu adikku itu tak seempuk itu.
Tanpa banyak bicara aku menyibakan selimut, menampakan bantal guling yang terssembunyi di baliknya. Seketika, jantungku rasanya jatuh sampai ke kaki. Aku... tertipu lagi? Jemariku meraih saklar lampu di samping tempat tidur, membuat cahaya cerah seketika membanjir di ruangan. Di lantai tercecer pakaian Kiera tadi pagi, sementara di meja rias macam-macam alat make-up bertebaran asal.
Lipstik yang masih terbuka, butiran halus bedak banyak yang menempel di kaca. Terdapat noda eyeliner di sana, dan semua bukti itu, cukup membuat tanganku menyibak tirai. Jendela kacanya terbuka lebar, dan garasi tempat Accord milik Kiera terparkir pun sudah kosong.
What.
The.
Fudge?
"Kiera!"
***
FAQ : gimana cara baca nama Angie?
- En-jie.
[REVISI 02-01-2015]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top