[18] : Escapade Fellas

4. Sera

"Kiera, jangan marah, ya." aku bertanya takut-takut, saat rasanya keheningan tak bisa lagi kutahan.

Adikku itu diam, matanya itu berubah jadi datar dan dingin, walau bibirnya mengatakan, "Gue nggak marah, Kak."

Aku bertukar pandang dengan Jev, lalu dengan Oliver. Amat sangat bohong kalau mata Kiera sudah berubah. Mata hitam Kiera selalu menjadi cermin, namun akan selalu menutup diri, saat ia berhadapan dengan orang asing.

Oh astaga. Jangan lagi.

Kiera mendorong kursinya kasar, dan beranjak ke luar tanpa komentar lebih lanjut. Dia hanya menggeleng sedikit, dan membiarkan pintu berdebam menutup pembicaraan kami.

Kemudian sunyi.

"Well, ini nggak berakhir baik." komentar Jev datar, namun matanya masih tertuju ke arah pintu, seakan berharap bisa melihat menembus pintu. "Padahal ini belum semua."

"Gue juga nggak tahu lagi." desahku pasrah, sembari membuka kulkas dan meraih minuman pertama yang terlihat di depan mata, sebelum memutuskan untuk mengejar Kiera.

"Inget janji kalian. Gue nggak main-main dengan apa yang gue katakan." pesanku sebelum keluar. "Dan satu lagi, coba lebih peka dengan sekeliling lo." ucapku tanpa mengalamatkannya pada siapapun. Biarlah mereka menyimpulkan sendiri. "Ada hal yang jelas, tapi nggak pernah disadari. Dan asal lo tahu, sakit bagi orang yang berharap lebih untuk tetap berada di sisi seseorang yang hanya menganggapnya teman."

Pandangan Oliver mengerti siapa yang kumaksudkan, namun ia tetap menjawab, dengan nada kosong. "Harusnya lo ngomong gitu sama Kiera."

Aku tertawa ironis. "Kenapa? Supaya dia sadar kalau kalian berdua punya perasaan lebih padanya, walau ia sama sekali clueless?"

Senyuman anak yang satu itu membalasku dengan misterius. "Lo tahu maksud gue dengan pasti, Sera."

"Asal lo tahu," aku meraih kenop pintu. "Perasaan lebih gue ke Kiera nggak seperti yang kalian pikirkan."

***

Aku menemukannya di kamar, sedang mengerjakan soal Biologi seakan tak terjadi apa-apa.

Kamar berukuran 4x4 meter itu tampak biasa saja, normal. Dindingnya yang dicat gading polos masih bersih, dan semua benda masih tertata di tempatnya. Aku menghela napas diam-diam. Baguslah. Berarti Kiera tidak sedang dalam mood untuk membanting benda-benda di sekelilingnya. Dan sampai di titik ini, aku hampir yakin kalau aku saja yang agak paranoid.

Tapi aku menatap adikku itu, dan tahu itu tak benar.

Tangannya menggerakkan bolpennya dengan cepat diatas kertas, namun keningnya berkerut berpikir. Ini adalah mode autopilot-nya Kiera. Tubuhnya akan mengerjakan sesuatu, benar-benar otomatis, tapi pikirannya pasti melayang entah kemana.

"Kiera?" aku mengetuk pintunya, walaupun aku sudah setengah masuk ke ruangan. "Boleh masuk?"

"Masuk aja, Kak." jawabnya tanpa mengangkat kepala.

Kemudian dia kembali mengabaikanku. Kasurnya melesak sedikit saat aku duduk di sisinya, namun ia juga tak mengacuhkanku.

Aku memperhatikannya mengerjakan soal demi soal dengan cepat, bahkan tampaknya Kiera tak perlu berpikir lagi. Ini menyeramkan, sungguh. Kiera cerdas, ya. Tapi ini benar-benar...seram.

"Kir." aku memanggilnya. "Kiera marah ya?"

"Nggak." gadis itu bahkan tak menatapku. "Kata siapa gue marah?"

"Kata gue." balasku dengan tatapan paling polos yang kubisa. "Lo jelas-jelas mengabaikan gue, Kiera."

"Gue...." Kiera menghela napas panjang, lalu berbalik dan menatap langit-langit kamar yang putih. "Ini cuma....too much."

Dia bergeser sedikit, secara tak langsung mengizinkanku untuk berbaring di sebelahnya. "Jangan dipaksakan, Kir."

Dia mengerjap menatap langit-langit, namun pandangannya kosong. Jemarinya meraih jariku, dan menggenggamnya erat-erat.

"Gue nggak tahu, Kak." jawabnya tanpa melepaskan jemariku. "Rasanya aneh. Gue sama sekali nggak ingat apapun, sedikitpun."

"Nanti juga kamu terbiasa." aku mengusap punggung telapak tangannya. "Tapi kamu nggak marah, kan?"

"Nggak." jawabnya singkat. "Kenapa sih dari tadi Kakak takut banget aku marah?"

"Karena...." aku ragu harus memberitahunya atau tidak. "Lo adek gue, dan sesama saudara harusnya nggak boleh begitu."

Astaga, aku ingin menimpuk diriku sendiri dalam hati. Bohong lagi.

"Tenang aja, Kak." jawabnya ringan, namun masih tanpa nada riang apapun di suaranya. "Aku nggak marah kok."

Bohong. Aku menghela napas pagi ini. Kiera berangkat sendiri. Sama sekali tak memberitahuku, bahkan sama sekali tak meninggalkan pesan apapun.

Padahal tadinya aku percaya kami baik-baik saja.

Padahal tadinya kukira kami akan tetap seperti biasa.

Tapi aku salah.

***

1. Kiera

Idiot mungkin kata yang tepat untuk mendeskripsikanku.

Waktu masih tinggal di New York, butuh waktu hampir setahun bagiku untuk ingat jalan dari sekolah ke rumah. Aku tahu, aku penghafal arah yang buruk, dan pergi ke sekolah sendiri merupakan satu dari sekian banyak tindakan spontanku yang beresiko.

Aku menatap jalan raya yang masih sepi dengan nyalang, benar-benar bingung harus naik apa, ke arah mana, dan bagaimana. Ini sama saja dengan bunuh diri, rutukku kesal.

Entahlah. Tapi jelas, aku tak mungkin kembali lagi ke rumah.

Tidak, apalagi aku masih tak bisa menentukan sikap pada semua orang.

Dengan pasrah, aku mendudukkan diri ke bangku halte terdekat, dan mulai mencoba segala cara yang bisa dipikirkan otakku untuk bisa sampai ke sekolah. Aku menyingkirkan segala keinginan untuk mencabut gantungan kucing hitam dari ponselku, dan memutuskan untuk fokus pada layar ponsel.

IHS Jakarta direction, ketikku cepat.

Memalukan untuk mengakuinya, tapi ya, aku menggunakan salah satu jalan paling cepat untuk mencari informasi.

Yep. Internet.

Aku menatap peta yang terbuka di layar LCD ponselku, dan mengerang kesal.

Ya, aku sudah mendapatkan peta dan arahan arah ke IHS, tapi masalahnya, aku sama sekali tak mengenal jalan-jalan ini. Jalan Ahmad Yani, kemudian akan tembus ke jalan Ir. H. Juanda? Jalan itu saja aku tak tahu yang mana!

Astaga.

"Yo Kiera!"

Tubuhku refleks melonjak kaget saat suara klakson yang keras itu memecah keheningan pagi. Sebuah mobil van keluaran Jerman berhenti di depanku, tampak mencolok dengan cat orange-krem yang bold.

Jendela depannya terbuka, menampakan pengemudi dengan rambut madu pendeknya. Senyumannya yang lebih cerah daripada matahari pagi ini, agak sedikit menyilaukan, sementara di bangku belakang, dua orang lainnya sibuk mengobrol dengan suara rendah.

"Clay?"

"Lo ke sekolah kan?" tanyanya sambil membuka jendela.

Aku mengangguk.

"Sini, berangkat bareng gue aja!" ajaknya semangat, sambil melambai-lambai antusias dari tempatnya mengemudi. "Masih banyak kursi kok di dalem!"

Aku mengeluarkan setengah suara dengus dan tawa. Iyalah. Mini-van seperti ini kayaknya bisa mengangkut satu tim sepakbola di dalamnya.

Oh, oke. Kembali ke topik.

"Serius nggak apa-apa?" Bah, basa-basi. Aku nggak punya pilihan lain kan? Aku melirik ke arah dua orang di belakang itu. Netral. Kali ini ekspresi duo itu datar.

Eh, tapi aku berani bersumpah kalau melihat Zula--gadis berambut hitam itu, tersenyum sedikit padaku.

"Udah, naik aja!" perintahnya semangat, sambil membuka pintu samping van, yang membuatku melongo saat masuk ke dalam.

Orang-orang ini benar-benar niat.

Bagian dalam van keluaran tahun 1951 itu dimodifikasi habis. Bagian dalamnya jadi lapang, dengan sofa kulit krem di satu sisi, dan sisi lain didominasi dengan laci-laci bercat oranye. Tirainya yang bermotif kotak-kotak menutup kaca bagian belakang, sementara depan dibiarkan terbuka, membuat seisi van jadi terang.

"Duduk dimana aja, Kir." Clay mengangkat tas-tas sandang seperti yang dipakainya waktu itu. "Maaf berantakan. Oh! Mendingan lo duduk di depan, biar gue ada temen ngobrol!"

Gadis yang seperti kelinci Energizer itu menarikku kembali ke depan, dan duduk di balik kemudi.

"Mau minum? Sof, ambilin minum dong di kulkas," ucapnya tanpa menunggu jawabanku. Dia dengan ahli memasukkan kunci dan menyalakan mobil, yang suaranya bergerung pelan saat berjalan.

"Gue sarankan lo pake sabuk pengaman kalo duduk di depan sama Clay," celetuk satu suara tiba-tiba, dengan nada tertawa yang tersirat di balik suaranya. Satu tangan terulur ke arahku, menjejalkan sekaleng minuman ringan ke arahku. "Anak yang satu ini kalo nyetir udah kayak apa tau."

"Hush, Sof," tangan Clay mencari-cari ke dasbor mobilnya, sebelum akhirnya mengambil sesuatu, dan melemparkannya ke arah belakang.

"Ow! What the--"

"Sofia, bahasa lo, tolong." suara lain menimpali di belakang.

Ujung bibirku berkedut sedikit, ingin tertawa. Tapi aku mengeluarkan suara batuk sedikit, dan membuka kaleng minuman untuk menghindari itu.

"Ha! Strike satu!" tawa gadis berambut pirang ini puas. "Oh iya, Kir, kok lo nggak berangkat sama Sera sih? Padahal gue setengah berharap waktu liat lo tadi, bakan ada Sera juga..."

Aku tersedak. Benar-benar tersedak. "What the--"

Dua orang di belakang sana tertawa terbahak-bahak. "Najis, Clay."

"Baru juga ketemu sekali."

"Sabar ya, Nak."

"Hih. Rese lo pada," cemberutnya tanpa mengalihkan perhatian dari jalan. "Tapi seriusan, Kir? Orang seganteng Sera itu aseks?"

Kali ini aku tersedak, lagi.

Bukan. Bukan karena pertanyaan Clay yang amat sangat blak-blakan, tapi karena secara langsung, anak ini mengatakan kalau Sera tampan.

Huh, kenapa sih aku malah diajak bicara mengenai orang yang saat ini tak ingin aku bicarakan?

"Uh... Ya, begitulah." ucapku setelah meletakkan minuman itu ke cup holder di samping. "Sebenernya..."

"Sebenernya apa?" tanyanya antusias, lengkap dengan mata kelabunya yang berkelip penuh semangat. "Sera ternyata normal? Ya Allah, tolong jadikan itu kenyataan..."

Satu.

Dua.

Tiga....

"Najis."

"Nggak kuat gue."

"Hih, berisik kalian!"

"Udah-udah." Zula menengahi dengan suaranya yang dalam. "Mendingan, Clay, gimana broadcast-nya? Kiera ikut nggak?"

Aku meliriknya tak mengerti. "Ikut apa?"

"Ya ampun, gue lupa!" pekiknya tiba-tiba, sementara tangannya memukul setir. "Zul, tolong broadcast-in. Tuh HP gue di tas, retsleting depan. Lo udah bisa kan? Udah? Bagus." ucapnya, lagi-lagi tanpa menunggu jawaban lawan bicara.

"Broadcast apa?" tanyaku penasaran, setelah suasana kembali tenang. "Ikut apa?"

"You'll see."

Sejurus kemudian ponselku bergetar, dan sebuah pesan singkat masuk dari sebuah official account.

OSIS CALVARY : This is the day! Join us at the auditorium, after school. Bring ur RSVP message, and enjoy the night! Sincerely -V.S Angels.

"Keren, 'kan?" tanya Clay dari tempatnya. "Lo ikut nggak?"

"Tunggu-tunggu." aku berusaha mencerna informasi. "Gue nggak ngerti."

"Nggak ngerti bagian mananya?"

"Bagian....semuanya."

Di luar dugaanku, Clay malah tertawa. "Udah gue bilang, Sof, anak yang satu ini nggak tahu apa-apa."

Lho, kok jadi Sofia?

"Oke, oke." Semangat gadis itu tampak memancar keluar, walau ia tetap berusaha menyetir dengan aman. "Jadi intinya, ini acara ulang tahun V.S yang kedua. Di aula, pulang sekolah. Banyak kok yang ikut, ada TLB, ada anak SH, ada anak TH...."

"Clementine," potong Zula segera, sepertinya ia merasakan ketidakmengertianku. "Kiera aja belum tahu V.S itu apa."

Mata kelabunya melebar. "Oh, iya kah?"

"Oke-oke. Lo fokus nyetir aja, Clay," tiba-tiba Sofia muncul di sisiku. "Kiera, ke belakang aja dulu. Biar gue sama Zula yang jelasin. Lo perlu tahu sedikit tentang IHS rupanya."

Aku menyelip untuk menuju ke belakang, dan mendudukkan diri ke atas lantai kayu gelapnya yang terpoles mengilap.

"Jadi," mulai Zula tenang. "Kami, adalah V.S Angel. Terserah lo mau bilang kami apa, tapi definisi paling gampangnya, kami adalah geng yang paling berkuasa di sekolah."

Sofia mengangguk setuju, membuat rambut merahnya bergoyang seirama. "Zula leader-nya, dan walau gue nggak ssuka menyebut kami geng, tapi ya, kami punya kedudukan paling tinggi di antara kelompok-kelompok lainnya."

"TLB itu The Lost Boy," timpal Clay yang tiba-tiba ada di sisiku. "Mereka...apa istilah lo, Zul? Ah iya, patner kerja V.S. Bisa dibilang, TLB adalah versi cowok dari V.S dan bedanya, anggota mereka lebih banyak."

"Itu cuma karena mereka nggak pilih-pilih anggota." gerutu Sofia di bawah suaranya. "Oke lanjut. Lalu selanjutnya SH."

Clay mengetuk-ngetuk dagunya. "SH itu Sisterhood. Mereka semacam...orang-orang yang pro dengan V.S? Sejenis itulah."

"TH itu anak sekolah sebelah, jadi nggak usah gue jelasin."

"Itulah yang harus lo tau tentang IHS, Kiera." Zula bangkit dari tempatnya duduk. "Sekarang, ayo semuanya. Mau sampai kapan kita di dalem?"

Gadis berambut hitam lurus itu meraih tasnya, diikuti dengan Sofia dan Clay.

"Oi, Clay." aku memanggilnya sebelum keluar. "V.S sendiri kepanjangan dari apa?"

Gadis pirang itu menoleh, dan tersenyum misterius padaku.

"Lo bakal tau kalau udah saatnya." bisik Clay sebelum melangkah keluar. "Sekarang, watch us."

"Siap, guys?" tanya Zula pelan. "One, two, three--"

"V.S! WE WILL FIGHT, WE WILL WIN, NOBODY CAN STOP US!"

***

HAI GUYS!

Udah tau belom? CMIYC ganti cover looh :) Kalian lebih suka cover yang lama atau yang baru?

P.S : Hai para silent-readerku sayang! *apa sih Ree* gue jadi pengen denger suara kalian HEHEHE. Boleh nggak? ;)

[REVISI] : dedicated to ayuindra . Kenapa? HEHEHE ada deeeh

Sincerely,

-Ree
(16-12-2015)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top