[17] : Tersembunyi
1. Kiera
"Kali ini apa lagi yang lo sembunyiin, Kak?"
Sebelah bahuku bersandar di ambang pintu kamar, sementara menatap Sera dengan lengan tersilang. Dia sedang duduk sembari membaca buku--novel roman favoritnya, sepertinya. Sera menoleh, menatapku sekilas, sebelum akhirnya memasang pembatas buku dan memperhatikanku sepenuhnya.
"Lo udah makan, Kir?" tanyanya setelah menatapku.
"Udah." aku melipat kedua lenganku di depan dada. "Menyenangkan sekali, Kak." ucapku dengan sarkasme yang kental dalam nada.
Sepertinya Sera menyadari sarkasmeku. Tatapannya berubah serius, sementara menatapku dari ujung ke ujung--kebiasaannya untuk memastikan aku tak terluka. "Kiera? Kenapa?"
Aku menggigit bagian bawah bibirku. Tentu saja, aku tak terluka secara fisik. Tapi sisi lainku terluka. Sakit.
"Kiera?" nadanya makin naik karena cemas, sementara matanya yang sewarna madu berusaha mencari ke dalam diriku. "Kiera, Sayang. Kenapa? Apa Jev nyakitin lo? Ngapa-ngapain--"
"Aku lihat fotoku, Kak." ucapku setenang mungkin. "Di dompet Jevon."
Dia berhenti di tempatnya, posturnya kaku secara tiba-tiba.
"Oliver tanya aku, Kak." tambahku lagi, masih berusaha dengan nada tenang. "Apa aku ingat sesuatu."
Sera masih diam tak bergeming, walau wajahnya memucat seiring dengan kata-kataku.
"Aku lihat bagaimana cara mereka menatapku, Kak." ucapku dengan nada goyah. "Seakan aku bisa membakar mereka dengan hanya melihatku."
Bahu langsing Sera jatuh, tahu kalau aku merobohkan semua bentengnya. "Kiera, gue--"
"Kenapa rasanya semua orang lebih tahu tentang aku dibandingkan diriku sendiri, Kak?" aku menggigit bibirku kuat-kuat, saat merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. "Gue nggak mau membenci lo lagi, Kak Ser. Tapi kenapa lo masih juga berusaha menyembunyikan sesuatu dari gue?"
"Gue..." Sera tampak tercabik. "Ini nggak sesederhana kelihatannya, Kiera."
Aku menunggu dalam diam. Terutama karena aku takut, aku akan benar-benar menangis apabila mengeluarkan satu kata lagi.
"Gue nggak bisa seenaknya." ucapnya pelan-pelan, masih ragu. "Karena ini bukan tentang gue, Kir. Ini juga bukan cuma menyangkut perasaan lo aja. Ada empat hati yang harus gue jaga disini."
"Seenggaknya lo bisa kasih tahu gue, Kak. Cuma sebatas apa yang gue boleh tahu." aku menggigiti bibir semakin kuat. "Kakak kayak terus berusaha menjagaku agar tetap dalam gelap. Agar aku cuma bisa lihat apa yang ada dalam kegelapan itu aja. Kenapa, Kak? Apa bener?"
"Gue--" Kakakku itu membuka mulutnya, dan langsung mengatup lagi. Dia bingung. "Astaga. Kiera, Kiera jangan nangis." matanya melebar panik menatapku.
"Gue--nggak--" setiap kerjapan mataku malah membuat tetes demi tetes air mata jatuh ke pipi. "Gue--nggak--nangis."
Bohong.
Aku menarik napas dalam-dalam, namun rasanya aku tak bisa bernapas. Kepalaku menunduk, membuat tetesan-tetesan bening jatuh bebas ke lantai.
"Kiera--"
Sera tiba-tiba berdiri di hadapanku, dan meraih diriku yang lebih kecil darinya. Lengannya kuat memelukku, sementara ujung hidungnya terbenam dalam rambutku. Begitu erat, rasanya berat dan penuh perasaan yang bergulung-gulung, seperti mengalir dari setiap diri kami yang bersentuhan.
Aku memejamkan mata, merasakan kehangatan yang menjalar, berusaha melumasi setiap bagian hati yang sudah lelah. Berusaha menambal tiap kekosongan dalam jiwa. Membiarkan diriku direngkuh dalam pelukannya, seperti masa kanak-kanak. Hangat, dan lembut. Namun kali ini dingin, dan air mataku mengalir lebih deras karenanya.
Lenganku mengeratkan diri ke punggungnya, berusaha meyakinkan diri sendiri kalau yang ini benar-benar nyata. Aku berusaha mencari kehangatannya yang biasa, namun tak ada.
Dia yang mengingatkanku pada seribu hal yang membuatku nyaman. Mengingatkanku pada kue vanila Mama, mengingatkanku pada pelukan hangat di hari hujan, mengingatkanku pada orang yang menggandeng tanganku di hari pertama sekolah, yang dengan sabar membuatkanku kue ulang tahun saat tak ada seorang pun yang ingat hari ulang tahunku.
Ini Sera, kakakku tersayang yang selalu beraroma seperti rumah. Salah satu dari seseorang yang bisa membuatku percaya, bisa membuatku merasa aman. Seperti berjalan dengan tenang di tempat yang gelap, tak takut karena aku tahu tak akan ada yang menyerang. Tak akan ada yang berkhianat.
Ia masih hangat secara fisik seperti biasa. Ia juga masih beraroma seperti biasa. Otakku mengatakan kalau ini memang Sera, tapi hatiku rasanya jauh sekali. Rasanya sama seperti saat aku menjauh darinya. Kosong, dingin, dan terasa amat asing.
Jemarinya mengusap-usap rambutku, membentuk pola-pola abstrak di permukaannya. Biasabya ini menenangkan, tapi rasanya kali ini berbeda.
Aku menangis lebih keras.
Apa hatiku sudah berubah lagi? Selalu menjadi dingin saat merasa terkhianati?
"Kiera?" panggilnya dengan nada retak. "Maafin gue. Maaf, maaf, maaf, maaf." racaunya berkali-kali.
Aku membenamkan kepala di bahunya, membiarkan saja Sera mendudukkanku ke atas tempat tidur. Dia tahu kalau aku sudah memaafkannya, walau rasanya dadaku masih saja dingin. Entah berapa lama kami tetap diam, tapi rasanya, lama, lama sekali.
"Apa kita memang pindah kesini karena sengaja, Kak?" tanyaku sambil meraih sehelai tissue dan membersit hidungku.
"Ya."
"Apa aku memang punya hubungan dengan Jev, Oliver, dan Angie?"
"Ya."
Kepindahanku dan Sera ke sini ternyata memang bukan kebetulan. Tatapan, pertanyaan, foto, dan dugaan saling melengkapi, seperti kepingan puzzle yang cocok satu sama lain. Aku memijat pelahan pelipis dan berusaha mengatur napas, karena rasanya, semua ini terlalu memenuhi otakku.
Sudah pasti Sera tahu apa-apa tentang ini. Dan dari pengalamanku yang sudah-sudah, Sera pasti merencanakan sesuatu di kepalanya. "Apa Kakak selama ini tahu--"
"Ya. Kiera." jawabnya dengan pasrah. "Tapi tolong jangan benci gue lagi, Kir. Gue nggak tahan harus berantem sama lo..."
"Aku nggak marah sama Kakak." ucapku tanpa nada. "Aku juga nggak benci sama Kakak."
"Apa kamu bener-bener mau tahu?"
"Ya."
Jawabanku terdengar mantap, walau dalam hati aku masih ragu.
Seperti keraguan saar keluar di hari yang mendung, aku tak tahu mengambil selangkah maju ini lebih baik atau tidak. Siapa yang tahu? Mungkin saja jurang yang membentang di hadapanku saat melangkah.
"Baik." akhirnya Sera bangkit dan menyimpan kembali novelnya ke rak. "Istirahat, Kir. Lo perlu banyak energi buat nanti."
"Tidak akan semelelahkan itu jika hanya--"
"Kiera." interupsi Sera dengan sabar. "Gue udah bilang, ini nggak sesederhana yang lo pikir."
***
2. Oliver
"Gue pulang." salamku letih sambil melepaskan sepatu.
Aku menyampirkan nunchaku di sebelah bahu, sementara menyeret tas latihanku ke dalam. Keningku mengernyit saat mendengar suasana begitu sepi, bahkan suara tapak kakiku saja rasanya terdengar disini.
Aku langsung menuju dapur, dengan tujuan hendak mencari minuman dingin. Aku baru setengah jalan menuju sana saat...
"Kiera berhak tahu." aku bisa mendengar suara Sera dari sini. Pelan, tapi cukup keras untuk bisa mengikuti pembicaraan. "Dan gue nggak bisa ngebohongin--oh bukan, menutupi apapun dari dia lagi."
Oh, jadi mereka memutuskan untuk memberitahu Kiera?
"Apa ini karena--"
"Bukan, Jev." potongnya tajam. "Suatu saat lo akan mengerti, kalau setetes aja air mata dari orang yang lo sayang, bisa membuat hati hancur. Seakan lo juga turut merasakan sakit yang mereka rasakan."
Gue tahu perasaan itu. Tapi aku terus diam, mendengarkan.
"Dan gue sayang banget sama Kiera, Jevon." ucapnya mantap. "Hati gue hancur saat melihat dia nangis tadi."
"And by the way, Oliver." aku tersentak kaget saat pintu tiba-tiba terbuka, menampakan Sera yang tampak setengah frustasi, setengah patah hati; dan Jevon yang menatap dinding dengan kosong. "Gue tahu dari tadi lo nguping. Lo bisa masuk sekarang."
Aku mengambil tempat ddi seberang Jev, sementara Sera tetap mondar-mandir tanpa henti di dapur yang kecil.
"Jadi." Sera mengetukkan jarinya ke meja. "Gue ulangin lagi, khusus buat lo, Oliver. Kiera berhak tahu semuanya, tapi gue nggak mau kalian mengumbar, sepatah katapun, kenapa kalian bisa pecah." ucapnya serius.
"Udah gue bilang, lo nggak perlu khawatir sama--"
"Gue nggak peduli sama kelangsungan masa lalu kalian, Jevon." potongnya tegas. "Gue cuma mau, Kiera nggak boleh lebih memilih kalian dibandingkan gue."
"Lo udah sakit jiwa--"
"Gue nggak sakit jiwa." dengan tenang dia memotong. Kali ini nadanya dingin, menusuk. "Udah dari kecil gue menjaga Kiera supaya tak tersakiti, supaya dia tetep aman di dalam gelembung yang gue bikin."
Aku menatapnya dengan pandangan tak mengerti.
"Dan kalau dia mau untuk mengetahui tentang masa lalunya, kalian yang harus masuk." sambungnya dengan nada protektif. "Satu aja dari kalian yang bikin dia sakit, sedikit aja, nggak bakal gue biarin lepas begitu aja."
Aku menatapnya, seperti melihat sisi lain dari dirinya.
"Akan gue usahakan." aku mengerjap kaget saat suaraku berkhianat, bahkan sebelum otakku sempat berpikir. "Apa karena itu lo berusaha mendorong kami, tapi sama sekali membiarkan Kiera nggak tahu apa-apa?"
"Lo tau, Sera, kalau Kiera tahu apa yang lo sembunyiin dari dia, ini bakal bertambah--"
"Gue udah nggak peduli." nadanya retak sedikit. "Yang penting sekarang dia baik-baik aja, untuk nanti, bakal gue pikirin sendiri."
Sera melangkah keluar tanpa mengucapkan apapun lagi. Pemuda itu tampak berbeda saat aku melihat sisi lainnya, dan aku tak tahu ini bagus atau tidak.
"Lo tahu, Oliver?" Jevon tiba-tiba memecah keheningan dengan suara kaki kursinya yang menggesek ubin dengan kasar. "Kayaknya kali ini bakal berbeda."
Aku mengangguk, sebelum akhirnya bangkit dan melangkah ke kulkas. Mataku memilah-milah minuman apa yang kira-kira bisa memuaskan dahagaku, sebelum akhirnya aku menarik kepala dengan sekaleng minuman isotonik di tangan.
"Fair play?" tanyaku setelah meneguk isi kaleng itu banyak-banyak. "Kita berarti punya kesempatan yang sama dalam ini. Nggak ada ngalah, nggak ada nusuk dari belakang."
Jujur, aku bosan dengan wacana fair play ini. Munafik sebetulnya, karena aku tahu kami berdua masih saling menyembunyikan sesuatu.
"Ya." Jev membuka pintu, namun berhenti sesaat sebelum keluar. "Walau gue nggak tahu, apa lawan yang lain bakal main dengan bersih apa nggak. Dan mungkin, kali ini bakal ada lawan yang ada di dalam kawan gue sendiri."
Aku berhenti ditengah meneguk minumanku.
Yang dia maksud itu siapa?
***
4. Sera
Aku mendongak menatap langit, sementara asap rokok terus-menerus berhembus dari bibirku.
Ini semakin buruk.
Aku bahkan tak tahu apa ini benar atau salah.
Aku menghembuskan napas pelahan, sementara asap rokok mengepul dalam bentuk asap putih. Rasanya sesak. Kiera tak tahu kalau aku merokok. Kiera tak tahu kalau aku tak alergi pada asap rokok.
Astaga, satu lagi kebohonganku padanya.
Aku berusaha menampakan semua yang baik di hadapannya. Sebagai kakak yang baik, sebagai pegangan yang baik, sebagai satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Aku tahu Kiera bukan lagi gadis kecil yang tak mengenal dirinya sendiri. Bohong-bohong kecil ini semakin lama semakin bertambah besar. Seperti permen yang cepat menghilang saat dihisap, lalu kemudian manisnya akan hilang, sehingga harus menghisap permen yang lain lagi.
Dan ini juga.
Satu kebohongan, akan diikuti kebohongan lainnya untuk menutupinya.
Aku menghisap rokokku dalam-dalam, merasakan asapnya menyesakkan. Rasanya merasakan sesak yang secara fisik lebih baik daripada sesak secara batin. Mungkin inilah yang menyebabkan orang menyakiti diri sendiri.
Mungkin inilah kenapa Kiera menyakiti dirinya sendiri dulu.
Aku menggeleng, berusaha menghilangkan pikiranku itu. Tak mungkin kan? Aku sudah memastikan dengan segala yang kubisa agar dia sama sekali tak tersakiti, walau itu artinya aku yang harus menanggung sakitnya.
"Siapa--oh." aku refleks menjatuhkan rokok yang kugenggam, saat tiba-tiba pintu tingkap loteng terbuka. "Kak Sera."
Setengah tubuh gadis itu menyembul dari balik tingkap, menampakan Angie yang tampaknya baru mandi. Rambut cokelatnya masih basah, dan pipinya masih memerah setelah mandi dengan air hangat.
"Angie." ujung sepatuku diam-diam menginjak rokok yang masih menyala, dan setengah berharap kalau gadis ini tak melihat apapun. "Ngapain lo?"
Gadis itu dengan ahli melompat naik ke dalam, dan menutup lagi tingkap itu. "Sama dengan kakak, kayaknya."
Aku tertawa kecil mendengarnya, padahal tak ada yang lucu. "Memang menurut lo, gue ngapain di sini?"
"Melarikan diri." ucapannya terdengar amat yakin. "Juga bersembunyi dari kenyataan."
"Mungkin." aku tersenyum padanya, sementara beban yang ada di dadaku pelahan mulai menguap, walau aku tahu nanti perasaan itu akan kembali, dengan intensitas yang lebih parah, dan lebih menyakitkan. "Lo sendiri? Kenapa yang lo perlu tempat untuk lari dan sembunyi?"
"Aku?" ganti dia yang tertawa sekarang. "Biasa, Kak. Cuma masalah cewek."
Tapi aku tahu lebih dari itu.
"Ternyata memang susah ya, jatuh cinta dengan orang yang sudah mencintai orang lain?" aku tertawa kecil, tahu srkali bagaimana perasaan Angie yang sudah terpendam sekian lama terhadap salah seorang sahabatnya itu. Sengan langkah panjang-panjang menuju ke pintu tingkap, dan membukanya. "Gue duluan, ya."
***
Duar! Gue cinta plot-twist. Sudah makin dekat sama konflik nih huehehe, gue seneng :))
Stay tune ,
-Ree
(15-12-2015)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top