[16] : Unexpected
1. Kiera
"Lo mau ikut nggak?"
Aku mengalihkan perhatianku dari buku biologi yang masih terbuka di atas tempat tidur, dan meletakkan pensil di atas buku latihan yang baru setengah dikerjakan.
Pemuda itu berdiri di ambang pintu, dengan jaket kelabu yang tersampir di lengannya. Dia tampak seperti tak nyaman berada di sekitar sini. Matanya sedari tadi beralih ke berbagai arah, antara mengamati, atau berusaha mencari jalan kabur yang paling cepat.
Tunggu, siapa namanya? Jovan? Atau Evan?
Aku berusaha menyembunyikan kebingunganku dengan mengangkat sebelah alis. "Pergi kemana?"
Dia menggerak-gerakkan tangannya seperti bingung mau mengatakan apa. "Makan." akhirnya hanya satu kata itu yang terlontar dari mulutnya.
Lagi--aku hanya mengangkat sebelah alis bertanya.
"Oliver ada latihan ekstra di sekolah, Angie juga." jemarinya menyisir rambutnya dengan tak nyaman. "Dan kemampuan masak gue mampu bikin satu kota keracunan. Jadi makan di luar sepertinya satu-satunya opsion yang paling baik."
"Sera?" aku menyelipkan pensil sebagai pembatas bukuku, lalu meletakkannya ke meja. "Jelas kakak gue tersayang itu lebih dari cukup untuk memberi makan kita berdua."
Please Sera aja yang masak, please Sera aja, berkali-kali aku mengulangi itu dalan hati. Sebenarnya aku sedikit berniat menghindari orang yang satu ini, terutama karena aku belum bisa memutuskan bagaimana aku harus bersikap di sekitar dia setelah pembicaraan yang menggantung antara aku dan Mamanya tadi.
Ujung bibir pemuda itu bergerak sedikit. "Itu masalahnya. Sera juga barusan pergi."
Aku mengerutkan kening, dan melemparkan pandangan penuh pertimbangan padanya. Tanpa jawaban, aku meraih bukuku, dan membukanya di halaman yang tadi. Aku bisa merasakan pandangannya ke arahku, membuat sisiku yang ditatapnya terasa hangat.
Astaga, kenapa dia tak berhenti menatapku juga? Aku mulai tak nyaman setelah beberapa saat berlalu.
"Apa?" tanyaku risih pada akhirnya.
"Jadi?" tanyanya balik.
"Ya, jadi apa?"
"Mau nggak?" tanyanya sabar.
"Mau apa?"
Aduh; ini makin konyol saja.
"Makan lah, Kiera."
"Mungkin."
Dia mengangkat sebelah alis. "Mungkin?"
Aku bisa melihatnya beberapa kali menghela napas pelahan.
"Terserah lo deh, Kiera." desahnya pasrah. "Kalau lo nggak mau, gue pergi sendiri--"
"Lupakan makan di luar." ucapku sambil tergelak. "Ke supermarket aja, gue punya kemampuan yang lebih dari cukup untuk menyiapkan sebuah makan malam."
***
3. Jevon
Aku melewati cermin kaca, dan segera mengutuki diri sendiri.
Di wajahku terukir sebuah senyum kecil, sesuatu yang jarang sekali nampak di seorang Jevon Daniswara. Ini pasti akan menjadi kecurigaan masal, namun aku bahkan tak bisa menghilangkan senyuman itu dari bibirku.
"Lo mau naik motor atau mobil?" tanyaku sambil menatap kunci yang tergantung.
Gadis itu hanya melirikku sebentar, lalu kembali menoleh ke arah lain. "Terserah."
Aku mengambil kunci motor.
Mengajak Kiera makan diluar sama sulitnya dengan menyuruh singa makan selada. Sialan Sera. Cowok itu tadi pergi sambil mengedipkan mata, dan melemparkan satu pesan yang hampir membuatku menggantungnya di puncak Monas.
"Gue pergi dulu ya." ucapnya sambil menyambar kunci mobilnya. "Ajak Kiera makan, gih. Lumayan kan, gue ngasih lo satu headstart dibanding Oliver."
Aku hanya mengerutkan kening bertanya padanya. "Buat apa?"
"Lo tau, gue lumayan suka juga Kiera berpasangan sama lo." ucapnya sambil mengetukkan jari di dagu, sama sekali mengabaikan pertanyaanku. "Walau lo belum ngomong sama dia--tapi okelah."
Aku makin tak mengerti.
"Harusnya lo bilang gitu sama Oliver." balasku datar.
Sera tersenyum kecil. Senyuman yang seakan dia mengetahui sesuatu yang aku tak tahu. Dia dengan santainya memutar-mutar kunci mobil di tangannya.
"Oh gitu? Padahal gue setuju-setuju aja lihat lo sama Kiera." ucapnya sambil lalu. "Ya udah ya, gue berangkat dulu."
"Seberapa banyak lo tahu?" aku terlalu gatal untuk tak bertanya. "Kenapa gue punya feeling kalau kami semua ada dalam skenario lo?"
Dia berhenti di tengah langkahnya, dan mengangkat sebelah alisnya. "You will be surprised." ucapnya sebelum akhirnya berlalu pergi, meninggalkanku dengan berbagai pertanyaan yang mulai muncul lagi di kepalaku.
Diam-diam, aku mencuri pandang ke arahnya, dan mendesah pasrah. Orang yang dihadapanku sekarang, yang hanya memasang ekspresi datar dan nyaris dingin itu benar-benar asing. Aku jadi tak mengenalnya. Dan aku jadi semakin ragu kalau gadis ini benar-benar Kiera yang sama.
Gadis itu menunggu agak jauh dariku sementara aku mengeluarkan motor. Dia sendari tadi tetap diam, dan aku benar-benar tak punya pengalaman yang cukup untuk mencairkan suasana.
"Naik." kataku sambil menyodorkan helm padanya.
Matanya sempat berkilat ragu sebentar. Dia menatapku dengan sangsi, seakan menganggapku tak cukup terpercaya untuk memegang kendaraan ini.
"Hei, lo tahu, gue udah punya SIM, dan sudah dinyatakan lulus dengan aman untuk mengendarai benda ini." ujarku sembari memutar leher menatapnya. "Kalau itu yang lo khawatirkan."
"Sebenarnya gue nggak takut akan itu..." jawabannya samar-samar menghilang, sebelum kurasakan tangannya menggenggam jaketku sebagai bantuan untuk naik. "Kalo gue sampai jatoh, gue bakal gentayangin lo sampai mati."
Aku tak bisa tak tersenyum saat mendengar ancaman tadi, dan gerutuannya mengenai betapa susahnya naik motor macam begini. Oh Kiera, andaikan dia tahu....
Dia menggengam ujung jaketku, namun rasanya canggung. Dia memveri jarak antara tubuh kami, dan aku takut dia jatuh bila tetap dalam posisi itu.
"Kiera?" aku melarang diriku sendiri untuk tersenyum hanya gara-gara mengucapkan namanya. "Gue sarankan lo duduk lebih deket."
"Lo--"
"Dan sebelum lo berpikir gue modus," potongku langsung. "Dengan posisi begitu lo nggak bakal seimbang dan gampang jatuh."
Aku bisa merasakan gadis itu memutar matanya dari belakangku. Kukira dia akan mendekat, namun...
"Kenapa turun?" tanyaku saat tiba-tiba dia turun.
"Kita mau belanja di mana?"
"Supermarket depan komplek, mungkin?" tanyaku tak pasti. "Terserah, di mana aja."
"Turun." perintahnya membuatku tersentak. Aku pasti menampakan sesuatu dalam ekspresiku, karena sesaat kemudian, dia melanjutkan. "Apa? Jarak sedeket itu nggak bakal bikin gue mati karena jalan kaki."
Aku menatapnya seakan dia punya tujuh kepala.
"Apa?" ujarnya kembali sambil mengangkat sebelah alis--yang notabene, dengan cara yang amat sangat identik dengan kakaknya. "Jangan bilang lo nggak bisa jalan." cetusnya asal.
Aku memelototinya, tapi menurut. Heran. Tadi dia bilang terserah, kemudian sekarang dia mau jalan kaki. Aku memasukkan kembali motor ke dalam garasi, sebelum kembali ke sisi gadis itu.
"Ayo."
***
"Main 20 question, yuk." suara gadis itu akhirnya memecahkan keheningan di antara kami. "Gue bosen juga lama-lama diem, tapi gue juga belum terlalu mengenal lo. Jadi....ya begitulah."
Belum terlalu adalah under rate, aku tertawa dalam hati. Kami benar-benar asing, yang hanya sekedar bertukar salam saat berpapasan, dan hanya pura-pura tak mengenal saat bertemu di sekolah. Ironis.
"Ayo." kataku menyanggupi. "Gue apa lo duluan?"
Tak ada salahnya 'kan? Lagipula kalau beruntung, mungkin aku bisa memastikan beberapa hal.
"Gue aja." dia menendang-nendang batu yang ada di jalan. "Nama lengkap lo?"
"Evan." gadis kecil berambut hitam legam itu memanggil seseorang, namun aju baru menoleh, saat tangannya menarik ujung kemejaku. "Liat Mama nggak?"
Aku menunjukkan kepadanya arah dimana wanita dewasa yang berdiri di ujung lain ruangan, dengan gaun hijau tua dan rambut disanggul elegan. "Ngomong-ngomong, namaku Jevon, Kiera."
Gadis itu tampak tak memperhatikan.
"Mama!" pekiknya senang sambil melepaskan genggaman tanganku. "Makasih Jovan!"
Gadis itu baru saja berbalik memunggungiku, saat lenganku bergerak sendiri. Aku menahannya di tempat, dan menatap polos ke manik matanya yang dalam. "Jevon, Kiera. J-e-v-o-n. Bukan Evan, bukan Jovan."
Matanya berkelip menatapku. Seketika, aku tahu dia hanya menggodaku. "Jevon, akan kuingat itu."
Aku tersenyum tipis dengan ingatan yang tiba-tiba menghampiri itu. "Jevon Daniswara. J-E-V-O-N. Bukan Evan,bukan Jovan. Lo?"
Gadis itu menatap ujung sepatunya yang terus melangkah, seperti tak merasakan tatapanku padanya. Dari samping, aku bisa melihat bagaimana keningnya mengernyit sedikit, tapi aku tak tahu kenapa.
"Lo nanya nama lengkap gue?" tanyanya ragu. "Kehitung satu, ya?"
Aku mengangguk, lalu menunggunya untuk menjawab. Untuk beberapa saat ia tetap diam.
"Kiera Putri Perdana." ucapnya singkat pada akhirnya.
"Nggak ada yang lain?" tanyaku memancing. Sebenarnya aku sudah tahu dari Sera nama gadis ini selengkap-lengkapnya.
"Apa yang membuat lo berpikir gue punya nama lain?" tanyanya dengan nada yang sulit diartikan.
"Nggak ada alasan." aku mengangkat bahu, berhasil berbohong dengan mulus. "Siapa tahu?"
"Next." kali ini ucapannya menjadi agak ketus. "Apa hubungan lo dengan Oliver dan Angie?"
Huft. Untung mudah.
"Kami sahabatan." jawabku pasti.
"Kenapa kalian tinggal serumah?"
"Karena kami semua mau masuk IHS." ucapku seakan itu menjelaskan semuanya. "Akan lebih mudah bagi kami untuk tinggal di tempat yang sama."
"Dan dengan Angie?" tanyanya mulus. "Gue melihat sepertinya kalian punya hubungan yang aneh."
"Nggak seperti yang lo pikirkan, Kiera." aku mengabaikan desiran saat mengucapkan namanya. "Gue, Oliver, dan Angie sudah jadi sahabat sejak dulu. Tak kurang, tak lebih."
Kiera menatapku tak mengerti. Kukira dia akan bertanya, atau mendebat, atau apalah. Namun dia hanya diam. "Giliran lo."
Aku menghela napas diam-diam, bersyukur dia tak bertanya mengenai kami lebih jauh.
"Apa hubungan lo dengan Sera?"
"Kakak-adek." gadis itu menjawab lempeng.
"Masa sih?"
"Iyalah."
"Lo terlihat....amat sangat mesra dengan kakak lo itu." cetusku. "Apalagi status lo berdua sebagai saudara angkat, jadi lo bisa pacaran dengan kakak lo sendiri."
"Haha, kesimpulan ngawur yang menarik." tawanya kering. "Yang jelas, sekalipun gue suka sama Sera, gue nggak bisa pacaran sama dia."
"Apa lo suka sama dia?" aku berusaha agar tak ada nada yang aneh dalam suaraku. "Sera, maksud gue."
"Siapa sih yang nggak suka sama Sera?" tanyanya balik dengan tawa kering. "Charming, perhatian, baik, gentleman. Siapapun pasti jatuh cinta sama dia."
Aku menjaga ekspresiku agar tetap datar. Astaga, apa-apaan sih kepalaku malam ini, aku memijat pelipis tanpa kentara saat sederet memori lain lewat di otakku.
"Siapa yang nggak suka sama Oliver?" gadis kecil itu berkacak pinggang. "Dia baik, perhatian, nggak kayak kamu." ucapnya sambil menjulurkan lidah.
Aku mengernyit kesal padanya. Ada suatu perasaan yang sulit untuk dijelaskan bagiku. Apa aku harus jadi seperti itu baginya?
"Begitukah?"
"Tentu saja." dia mendongak menatap langit. "Lanjut. Tanggal lahir lo?"
"30 Oktober." aku menjawab singkat. "Lo?"
Lagi-lagi ia terlihat ragu. "Sejujurnya, gue nggak tahu."
"Kenapa?"
"Entahlah." dia mengangkat bahunya tanpa pusing. "Gue pribadi nggak terlalu suka ulang tahun. Jadi itu bukan masalah besar buat gue."
"Terus--hei, hei! Lo mau ngapain?"
Gadis itu tiba-tiba berbelok saat melewati salah satu toko yang berjejer. Etalasenya dibanjiri cahaya kekuningan yang temaram, menampilkan manekin dengan sweter rajut yang indah. "Seriously?"
Aku menatap punggungnya yang sudah menjauh, seperti laron yang terbius oleh cahaya. He, sudah sejauh ini kami berjalan? Tapi tampaknya tujuan utama kami--makan, harus tertunda dulu untuk sementara.
Aku menyusulnya, dan memperhatikan apa yang dia perhatikan. "Lo mau ngapain di--"
"Ish, berisik." sikutnya tiba-tiba. "Lo di luar aja kalau nggak mau ikut."
"Hei--hei!" Dia masuk tanpa persetujuanku. "Yang benar saja." aku menghela napas panjang dan menyusulnya ke dalam.
"Jevon." panggilnya begitu aku masuk. "Ke sini sebentar."
Ada dua gantungan ponsel rajut di tangannya. Satu berbentuk kucing hitam, dan satu berbentuk landak cokelat. Kiera mengangkat yang landak itu, dan terbahak setelah memperhatikannya dan aku.
"Saya ambil dua-duanya, Mbak."
Pramuniaga itu mengangguk dan memindai label harga kedua benda itu. Aku berdiri di samping gadis yang sibuk memperhatikan aneka kerajinan tangan di rak. "Boleh gue tahu kenapa lo ketawa tadi?"
"Nggak." balasnya tanpa mengangkat kepala. "Cuma gue, si Landak, dan Tuhan yang tahu."
"Bahkan gue--yang jadi objek tawa lo, nggak boleh tahu?"
Gadis itu menoleh sekilas dan menjulurkan lidahnya. "Enak aja."
Kiera mengeluarkan dompetnya, dan menarik dua lembar uang biru dari dalamnya. Gadis itu mengeluarkan gantungan kucing-nya sambil berjalan, kemudian memasangkan benda itu ke ponselnya.
"Dasar cewek." gumamku saat memperhatikan bagaimana dia menjauhkan ponselnya untuk mengagumi benda yang tergantung di sana. Kekanakan, tapi aku tak berbohong karena aku senang melihatnya. Terutama saat sebuah senyuman melengkung di bibirku saat menatapnya tersenyum kecil.
Senyuman itu.
"Nih, buat lo." gadis itu menggoyang-goyangkan sebuah gantungan lagi di hadapan wajahku, membuatku tersentak sedikit dari lamunanku.
Benda itu bergemerincing karena loncengnya, riang seakan menunggu untuk diambil. Manik mata hitam boneka kecil itu berkilat, sedikit mengingatkanku pada mata seseorang.
"Buat apa?" tanyaku sambil memandang benda itu sangsi.
"Ini hadiah buat lo, Jevon Daniswara." Kiera mengucapkannya dengan nada datar, namun menyiratkan sedikit tawa di baliknya. "Untuk merayakan pertemanan baru mungkin? Walau ya, kita baru sampai ke pertanyaan ke tiga, but that's okay."
"Teman baru?" ulangku tak percaya. Aku menggeleng bingung, benar-benar tak mengerti jalan pikiran gadis ini.
"Kenapa?"
"Karena, bukannya itu yang dilakukan orang sebelum jadi teman?" tanyanya balik, sementara jemarinya menggoyang-goyang gantungan landak itu. "Saling mengenal, maksud gue."
"Jadi intinya, sekarang lo menyiratkan kalau kita teman?"
Aku mengutuki diri sendiri saat, lagi-lagi, senyumku terkembang. Teman, terdengar baik di telingaku.
"Iyalah, duh." Kiera menukasku dengan tak sabar. "Jadi sekarang, ambil atau nggak?"
Aku meraih benda itu, bahkan dengan tak sengaja menyebtuh jemarinya sedikit. Senyuman gadis itu mengembang saat aku meraih pemberiannya.
"Terima kasih." senyumku padanya.
"Sama-sama." ucapnya dengan senyuman kecil yang memesona.
"Ngomong-ngomong." aku mengeluarkan dompet, dan mengecek ketersediaan uang di sana. "Karena keputusan lo yang membuat kita jalan kaki, dan karena ini sudah malam, maka gimana kalau kita makan diluar aja?"
Kiera tak merespon.
Mata gadis tertuju pada bagian di dompetku saat aku menoleh. Foto tua yang yang memajang foto gadis kecil berambut ikal, dengan senyuman kecilnya, dan mata hitamnya yang berkilat-kilat penuh akal.
Mataku melebar, sesaat ketika aku menyadari kesalahanku.
"Kenapa ada foto gue di situ?"
***
Haaaa, akhirnya chapter ini beres juga (setelah tulis-hapus sekitar empat kali, dan brainstorming selama berhari-hari) *nangis bahagia*
Chapter paling panjang di CMIYC, by the way :)
Vomments yaa ;)
-Ree
(11-12-2015)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top