[15] : Memento
4. Sera
"Kaaaak, udah janji," rengut adikku itu kesal. "Ayo ih, nggak boleh gitu. Gue kan udah ngerjain tugas detensi dengan sebaik-baiknya, jadi lo punya utang traktiran!"
Kiera mengamit lenganku, lalu menggelayut manja di sambil merengut. Aku sebenarnya masih mau ngambek padanya, tapi ekspresi mata-anak-anjingnya itu terlalu sulit ditolak.
Huh, dasar manipulator.
Sore yang agak gerimis itu, Kiera dengan sukses menarikku ke salah satu mall terdekat dari sekolah. Setelah berputar-putar--cuci mata, itu kata Kiera, kami akhirnya berhenti di salah satu kafe yang cukup ramai disana.
Palang kayu bergaya jalanan Eropa itu berbentuk oval, dengan tulisan nama toko dan dua siluet biji kopi yang membingkainya. Tempat itu terlihat kontras dengan kanan-kirinya yang modern, seperti salah zaman saja.
Café de Sourire.
Aroma kopi yang pahit bercampur dengan aroma vanila dan susu bergula seketika menerpa saat Kiera mendorong pintu kacanya, membuatku ingin memejamkan mata sebentar dan menikmati saja aroma ini. Di dalam terasa lebih hangat dibandingkan di luar. Entah karena atmosfernya, atau karena interiornya, aku tak tahu. Nyaman sekali.
"Kak, gue mau itu." pintanya manja sambil menunjuk etalase yang dipajangi aneka kue yang menggugah selera.
"Yang mana? Opera cake?"
"Ih bukanlah." ucapnya keki, namun keningnya terlihat berkerut, berpikir. "Yang stroberi kak. Mille feuille yang stroberi itu."
Aku menatap etalase lagi, sebelum akhirnya menemukan kue yang dimaksudnya. Lapisan-lapisan tipis pastry yang diapit krim, dengan selai stroberi dengan jumlah yang royal yang dibubuhkan di atasnya. Heran, kenapa para gadis bisa makan sesuatu yang amat manis seperti itu, pikirku sambil meringis sedikit.
Ujung mataku mengawasi Kiera, sembari memesan kepada kasir yang mengenakan celemek putih. Adikku itu sedang sibuk mengamati seisi ruangan, tampaknya sedang memikirkan sesuatu sembari sesekali mengetik pesan di ponselnya. Dia kembali menatap sekeliling lagi, namun tiba-tiba mata hitam Kiera membulat, lalu menoleh sebentar, sebelum kembali menatap ke etalase dengan kaku.
"Kak, ada yang ngeliatin aku." ucapnya sambil pura-pura memperhatikan etalase dengan seksama.
Aku mengangkat sebelah alis. Biasa sebenarnya kalau Kiera diperhatikan. Tapi sebagai kakak yang baik, aku tetap bertanya.
"Dimana?"
"Deket pintu besar, sebelah pot palem."
"Yang ibu-ibu?" tanyaku setelah mengintip sekilas. "Ibu yang rambutnya di-highlight merah, dan antingnya yang hoop itu?"
"Iya."
Memang benar, ibu itu memperhatikan Kiera lekat-lekat. Aku mengendikkan bahu, berusaha berpikir positif. "Dari agensi kali, Kir. Mungkin dia berpikir, kalau lo calon model yang bagus."
"Agensi?" tanyanya skeptis. "Yang bener aja."
"Ya kali aja--"
"Pesanannya, Kak." tiba-tiba si kasir itu memecah pembicaraan kami dengan nada riangnya. "Satu cafe latte, satu mille feuille, dan satu paket spesial kafe hari ini. Ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Nggak, ini aja." ucapku sembari mengeluarkan dompet dan melemparkan senyuman ramah ke gadis itu. "Makasih."
Aku mengangkat nampan kayu itu, sementara Kiera masih setia mengekor di belakangku. Adikku itu menarik ujung sweaterku, masih tampak tak yakin dengan wanita itu. Suasana sore yang hujan begini benar-benar berpengaruh pada jumlah pengunjung. Terbukti, hampir semua tempat duduk sudah penuh, dan kalau ada pun bekas pengunjung sebelumnya belum dibersihkan.
"Kak, jangan duduk di deket sana." Kiera menarik-narik ujung sweaterku, saat aku menuju ke meja terdekat yang kosong. "Di luar aja."
Di luar? Aku menatap ruangan yang dibatasi kaca transparan itu, dan mencelos saat melihat betapa banyak kepulan asap disana.
"Kiera," ucapku sambil menghela napas pelan. "Gue alergi asap rokok, inget? Udahlah, lo nggak bakal diapa-apain juga sama dia."
Gadis itu tampak skeptis. "Tapi kan--"
Dia merengut, tapi akhirnya setuju duduk disana dengan diam. Dia mengambil kursi paling jauh yang bisa ia dapatkan, namun duduk disana tanpa menggerutu sedikitpun. Aku menepuk-nepuk kepalanya, meyakinkannya kalau tidak akan ada apa-apa selama ada aku.
Ah, dasar adikku sayang.
Aku meletakkan piring mille feuille di hadapannya, sementara aku mulai membuka kemasan gula sachet dan menuangkannya ke cangkir. Aku mengaduk-aduk kopiku, sambil berspekulasi. Kiera baru saja hendak memasukkan suapan pertama ke mulut, saat tiba-tiba satu suara menginterupsi kami.
"Kiera?" wanita itu menyapa adikku. "Kiera 'kan?"
***
3. Jevon
"Mama?" aku kaget saat membuka pintu, terutama karena wanita separuh baya yang berdiri disana.
Tapi aku lebih kaget lagi, saat melihat dengan siapa Mama berdiri disana.
"Oliver sama Angie mana?" tanya Mama sambil mengangsurkan kotak besar padaku. "Kok tumben sepi?"
"Angie masih ngelatih anak-anak cheers." aku mengucapkannya sambil berjalan. "Oliver masih latihan karate. Kayaknya dia mau ngincar lomba tingkat kota deh, Ma."
Beliau mengangguk-angguk mengerti, dan sesaat kemudian, beliau baru teringat sesuatu.
"Jevon, kok kamu nggak kasih tau Mama sih?" ucapnya tiba-tiba dengan nada menuduh. "Nih, Mama ketemu Kiera di Sourire."
Beliau menarik Kiera yang menampakan wajah bingung. Aku melemparkan pandangan ke arah Sera, yang hanya mengangkat bahu bingung, dan mengendikkan dagu ke arahku. Isyarat supaya aku saja yang mengatasi. Aku menepuk dahi secara mental, tahu ini akan sulit sekali.
Astaga.
Mama sama sekali tak tahu apa-apa tentang ini. Mampus aku.
"Masuk dulu deh, Ma." aku berbasa-basi sedikit. "Mau minum apa? Teh? Jus? Air?"
"Air aja," beliau masih menarik gadis berambut ikal hitam itu, sebelum bertanya lagi saat aku belum bereaksi. "Kamu kok nggak nawarin Kiera minum? Jangan bilang kamu lupa sama temenmu sendiri--"
Gadis itu pasrah saja ditarik kemana-mana. Mata hitam gadis itu memancarkan ketidaktahuannya sama sekali, ini pasti membingungkan untuknya.
"Ma, Jev ambilin minum dulu." potongku panik. Aku mengisyaratkan ke arah Sera untuk mengikuti, dan menuju ke dapur. Kami berdua butuh diskusi sekarang. Secepatnya. "Bentar ya."
"Gue tebak, Mama lo nggak tahu apa-apa soal kalian?" Sera dengan mudah menyejajarkan langkahnya denganku. Peryantaannya lebih terdengar sebagai pertanyaan di telingaku, namun sayangnya, ia menebak dengan tepat.
"Nggak," aku menuangkan air ke dalam gelas kaca besar. "Orangtua manapun akan serangan jantung kalau tahu apa yang menjadi akibat dari ulah anaknya di masa kecil."
"Apa lo juga nggak mau ngasih tahu gue, sebenernya ada apa di antara kalian berempat?"
"Nggak bisa." jawabku datar. "Ini terlalu kusut, Ser. Gue harus berusaha menguraikan ini satu-satu, sebelum bisa untuk mengungkapkan semuanya."
"Kapan lo bakal beres, Jev?" tawanya tampa humor. "Kenapa sih orang-orang? Lo nolak, Oliver juga nolak. Apa perlu gue tanya Angie?"
"Jangan!" spontan aku bereaksi. "Please, Kak. Jangan tanya-tanya Angie soal ini."
Udah cukup Angie. Biar aku yang menyelesaikan semua ini.
"Kenapa?" Sera mengangkat alisnya, namun sepasang mata yang nyaris hazel itu tampak berkilat mengetahui sesuatu. "Lo pasti punya alasan kenapa lo melindungi Angie dengan sebegitunya."
Ow. Itu benar-benar analisis tajam.
"Itu--"
"Saran gue, Jev," Sera mulai melangkah keluar. "Nggak semua yang lo lihat itu bener-bener asli. Kadang manusia itu terlalu buta, sampai nggak bisa melihat hal yang jelas ada di depan mata kita."
"Apa--"
"Lo akan tahu sendiri nanti, Jev." Sera menepuk dahinya tiba-tiba, dan berhenti saat beru setengah jalan. "Oh iya, sebaiknya lo ke depan, kalau mau jadi Knight in Shining Armor-nya Kiera. Good luck, Jev"
***
1. Kiera
"Gimana kabar Mama sama Papa, Kir?" tanya wanita setengah baya itu dengan akrab. "Udah lama, ya nggak ketemu. Tinggal dimana sekarang?"
"Baik, Tante." jawabku ragu. Udah lama nggak ketemu? Memangnya aku pernah ketemu ya? "Papa masih di New York."
"Di New York? Jauh ya." decaknya kagum. "Kamu sendiri? Sekolah di mana sekarang?"
"Saya di IHS, Tante, masih kelas XI."--masih dengan nada sok sopan.
"Ooh, udah gede, ya." ucapnya maaih dengan nada ramah. "Oh iya. Yang sama kamu di mall itu pacar?"
Hah?
Kali ini benar-benar aneh. Bukannya kalau tante ini kenal dengan keluargaku, harusnya dia kenal Sera dong?
Jujur, aku sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan wanita ini. Aku berusaha mengorek otakku dalam-dalam, mencari clue siapa wanita ini.
Oh ya, dia ibunda dari Jovan--atau Evan? Atau siapalah itu.
Berarti intinya, kalau tante ini kenal aku, berarti harusnya aku kenal dengan si Evan ini dong? Aku yakin sekali, aku baru pertama kali bertemu dengannya saat pindah ke sini. Jadi tante ini kenal aku dari mana?
"Bukan, Tante." aku berusaha tetap sopan, namun dalah hati mulai berdoa supaya siapa saja, tolong selamatkan aku. "Dia kakak saya."
Kali ini, tante ini yang mengerut bingung. "Kakak? Bukannya kamu anak tunggal?"
Ha?
***
Gua pengen ngasih chapter bonus, tapi kayaknya nggak jadi deh :(
Tunggu aja, bakal ada di spin-offnya V.S Tetralogy kok :)
*reg, CMIYC aja belum beres :(*
-Love
Ree.
(
08-12-2015)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top