[13] : One Step Forward, Then Two Step Back

P.S : Check out Sera on the media :)

2. Oliver

"Gue pengen tahu, apa sih yang lo liat dari adek gue?"

"Liat apanya?" aku hanya menjawab datar, sembari sibuk mengoleskan mentega di atas roti. "Dia cewek, dan cuma sebatas itu."

Aku mendengus pelahan, namun pandangan-pandangan meneliti terasa di sisi kepalaku.

"Nggak usah sok polos, Ol." tawanya terbahak-bahak. "Dari cara lo memandang Kiera aja gue tahu lo cinta mati sama dia."

What? "Aku nggak memandang dia."

"Tepat." tiba-tiba Sera menjentikkan jemarinya, masih dengan sisa tawa. "Lo bahkan nggak bisa natap dia karena lo takut dengan perasaan lo sendiri. Lo tahu lo terlalu mudah dibaca, Oliver."

"Apa pentingnya kita ngomongin ini sih?" aku menyahut gusar. Sialan, rupanya untuk ukuran cowok sepertinya, Sera jelas punya insting dan kemampuan kepo setaraf ibu-ibu arisan.

"Lo tau, nggak ada gunanya juga ngelak. Gue hampir tahu semua yang ada di antara lo," ucapnya sambil menunjukku, "Jevon," ucapnya dengan isyarat mata. "Dan Kiera. Cuma, gue nggak tahu apa yang tersembunyi di antara kalian bertiga."

Aku meletakkan pisau mentega di atas piring, sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Nggak ada apa-apa di antara kami. Dan kalau Kakak mau tahu, tanya Jev. Bagaimanapun juga, disini dialah yang ada apa-apa dengan Kiera."

Karena Jev-lah ini semua terjadi.

"Wah, sayang." Sera mengambil sepotong roti yang baru kuolesi. "Gue berangkat dulu ya. Tolong anterin Kiera sekalian."

Cowok jangkung itu melangkah ke pintu dengan ringan, nqmun berhenti saat tangannya beru saja menyentuh kenop logamnya. "Oh iya, sayangnya, gue lebih setuju kalau Kiera sama lo."

Aku tak merespon ucapannya itu, dan pura-pura tak mendengar sampai pintu berdebam menutup. Aku tetap diam, walau suara kecil jauh di dalam sana tetap berbicara, sekeras apapun aku berusaha mengabaikannya.

Suara yang mengingatkan padaku, kalau semua itu tak mungkin. Kali ini bukan hanya Jev penghalangnya, namun juga faktor lain. Dan kali ini, hanya waktu dan nasib yang bisa menentukan.

Karena memori sama sekali tak bisa berubah.

Sekeras apapun aku berusaha.

***

1. Kiera

"Hah, what-what?"  Aku terlonjak grogi saat tiba-tiba seseorang mengguncang-guncangku.

Aku mengerjap beberapa kali, berusaha mengumpulkan seluruh kepingan kesadaranku jadi satu. Beberapa saat kemudian wajah Sera mulai nampak di hadapanku, dan dia sudah lengkap berpakaian dengan seragam sekolahnya.

"Bangun, Kebo." katanya sambil mengguncang-guncangku, dan ini malah membuatku disorientasi. "Ya ampun, susah banget sih bangunin lo."

"Pergi sono, Kak," erangku tak terima, sambil menutupi kembali kepala dengan selimut. "Gue masih ngantuk."

"Udah hampir jam 6, Kir." Sera kembali mengguncang-guncang bahuku, dan membuang selimutku entah kemana. "Buruan ke bawah, kalau udah beres ritual pagi lo. Gur berangkat duluan, ada pelajaran tambahan pagi."

Aku mengerang kesal, lalu menjatuhkan diri lagi ke atas tempat tidur saat Sera sudah keluar lagi. Huft, rasanya aku baru tidur beberapa jam.

Oh oke, aku memang baru tidur beberapa jam.

Aku meraih headset dan mencolokkannya ke ponsel. Tak lama kemudian, kedua belah penutup telinga itu sudah menyumpal telingaku, srmentara aku membiarkan saja lagu berputar secara random. Aku tahu, kebiasaan buruk memang, bahkan ini masih terlalu pagi untuk mendengarkan lagu. Tapi aku tak bisa benar-benar sadar, jika belum bertemu dengan musik.

Oh, aku sangat perlu musik yang menghentak-hentak di pagi hari seperti ini.

Permainan intro drum dan gitar segera menyambut telingaku, berdentum-dentum di pagi yang sunyi. Aku berguling-guling sebentar di atas tempat tidur, sebelum akhirnya melompat dan turun ke lantai bawah.

Aroma lezat yang menguar dari arah dapur kontan membuat perutku berkerucuk. Astaga, beruntung sekali punya seseorang di dalam rumah yang pintar memasak. Aku mendorong pintu dapur hingga terbuka, namun hanya ada satu sosok di sana.

Aku berdiri ragu disana, karena jelas, ada suatu kesepakatan yang tersembunyi di antara kami. Aku akan menganggap dia tak ada, dan dia akan menganggapku tak ada. Semudah itu. Seorang Oliver, entah kenapa menjadi sebuah misteri bagiku.

Dibandingkan dengan tiga lainnya, ia tampak paling....tersembunyi di dalam gelap?

Sosok itu, tampak seperti dalam dunianya sendiri. Sosoknya yang tak sejangkung Sera membuatnya tampak cocok berada di sana, tampak alami, tampak sudah biasa.

Tampak...familier.

Another shadow in the memory,

The ghost of paranoia slips into my mind.

"Tutup pintunya lagi, tolong." suaranya tiba-tiba memecahkan lamunanku. "Udah lap--oh, lo."

Entah kenapa, sambutan tak antusiasnya itu membuatku sedikit kecewa.

It's getting harder to remember

Just what it is I need to say

"Mana yang lain?" aku bertanya pelahan sambil menarik satu tempat duduk di meja makan.

Another shadow in the memory.

I'll never be the same again.

"Angie berangkat bareng temennya tadi." jawabnya datar, sembari membalik roti yang mendesis-desis di penggorengan. " Dan Jev ada pelajaran pagi*."

Dia menatapku lekat-lekat, seakan berusaha membor kepalaku, dan mencari sesuatu di dalamnya.

So tell me where the fire is.

And why is everybody running.

For all I know I could be losing my mind.

And the dust it settles in.

Dia menggelengkan kepalanya, dan langsung berbalik lagi ke kompor. Punggungnya yang menghadapku, terasa familiar. Tulang punggungnya yang menonjol tampak seperti sayap, membuatnya tampak seperti malaikat. Malaikat pelindung, mungkin.

Aku tertegun saat itu juga. Astaga, apa sih yang kupikirkan?

Whoa - Lost inside my mind...

"Nih." katanya sambil meletakam sepiring di depanku. Aku mengangkat salah satu ujungnya, dan cukup puas saat melihat apa isinya. Kebetulan yang bagus sekali dia mengisi roti ini dengan selai favoritku. "Garing, dengan selai stroberi dan susu, kan?"

Is there something going on around me?

Is there something I should know?

Aku mengerutkan dahi, sementara dia sudah kembali berbalik ke arah kompor.

"Darimana lo tahu?"

Kita bahkan belum pernah punya satu percakapan lengkap yang utuh.

"Bukannya emang--" dia berhenti sejenak, seakan ragu apa yang akan dikatakannya. "Sera yang ngasih tahu." jawabnya datar.

Aku hanya mengangkat bahu, walaupun dalam hati tak puas dengan jawaban itu. Bisa jadi 'kan Sera benar-benar memberi tahunya? Walau memang ya--mustahil.

Sera tak pernah secara spesifik memesankan atau memasakkan apapun makanan kesukaanku. Aku bahkan ragu kalau dia ingat.

"Jadi, Oliver," jariku memotong-motong rotinya jadi kotak-kotak kecil. "Lo emang suka masak?"

Oke, ini satu pertanyaan yang payah.

Aku hanya bisa menepuk ddahi dalam hati.

"Ya." diluar dugaan, dia menjawab dengan nada yang berbeda, tak lagi datar. "Sejak dulu. Awalnya nggak suka, tapi kemudian lo--maksud gue, temen gue ada yang suka banget makan masakan gue, sejelek apapun hasilnya itu."

Tapi aku mendengar kata yang terselip itu. "Tadi lo bilang--"

"Abaikan aja." jawabnya datar, sambil menggoyang-goyangkan spatulanya. "Sejujurnya...nama lo mirip nama temen gue itu."

Dan seketika aku menyimpulkan, temannya itu bukan Jev, ataupun Angie.

Dari nadanya, pasti seorang anak perempuan. Oliver (rasanya aneh aku menyebutnya langsung begitu) tampak berbeda setiap kali menyebutkan apapun yang berhubungan dengan dia.

"Dan sekarang dimana temen lo itu?" aku bertanya dengan antusiasme yang agak dipaksakan. "Gue pengen tahu, orang yang bikin lo mencintai dunia ini."

"Dia..." lagi-lagi dia ragu, "Sudah ada di tempat yang lebih baik."

"Dia pindah?"

Oliver tertawa sedikit, lalu kembali berbalik ke penggorengannya. "Ya. Pindah ke surga." jawabnya masih dengan tawanya, yang entah kenapa terdengar ironis di telingaku. "...atau setidaknya, jiwanya." gumamnya samar.

Aku tak mengerti yang terakhir itu.

"Gue--"

"Nggak usah bilang turut berdukacita." dia memotong kata-kataku, dan membawa piringnya ke meja makan tepat di seberangku. "Karena gue nggak butuh basa-basi gitu."

Aku diam, dan seketika kami ikut terbawa dalam keheningan lagi.

"Itu selai kacang dan stroberi ya?" tanyaku sambil menunjuk piringnya, bahkan sebelum melihat isiannya. Satu lagi, usahaku yang payah dalam mencairkan suasana.

Namun dia tiba-tiba berhenti menggigit rotinya, dan mengambil serbet untuk mengelap tangan. Aku menghindari tatapannya, yang lagi-lagi, terasa seperti menembus kepalaku.

"Apa..." aku bisa merasakan bahu itu menegang. "Apa lo nggak inget apapun, Kiera?"

Aku menatapnya kosong, berusaha menggali apapun fragmen-fragmen yang ada di kepalaku. Tatapannya setara dengan tatapanku, saling menembus satu sama lain, berusaha mencari.

Tapi apa yang kucari?

"Lupakan aja." ucapnya lagi, kembali ke nada datarnya yang dingin. "Anggap aja gue nggak ngomong apa-apa tadi."

Is there something going on around me?

Is there something I should know?

Aku menatap punggungnya yang sudah berbalik lagi, lalu mengalihkan pandangan ke atas piringku.

Apa maksudnya?

Pertama orang-orang disini menatapku dengan aneh, lalu bagaimana mereka sepertinya berusaha menganggapku tak ada. Sekarang ini? Ini benar-benar seperti mengambil selangkah maju, namun kemudian mundur lagi dua selangkah. Begitu seterusnya.

Everything just seems to vanish in the haze....

Entah kenapa, aku jadi tak bernafsu makan lagi sekarang.

***

(*) : Sera beda setahun dengan Kiera, jadi dia udah kelas XII, sementara Jevon, dia akselerasi. Maksudnya pelajaran pagi itu kayak pelajaran tambahan menjelang UN tapi pagi hari gitu.

A/N :

Credit to the Lyrics : The Living End - Astoria Paranoia. Percayalah sama gua, walau liriknya rada mellow gimana gitu, tapi lagunya ngerock abis wkwk :'')

P.S : gua sudah menentukan cast buat Sera. Tebak itu siapaa :3

P.S.S : Gua untuk dua minggu ke depan hiatus dulu yaa wkw. Biasa ada UAS :')

With love

-Ree


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top