[12] : Place
P.S : Check out the multimedia! It's a video, okaay ;)
2. Oliver
"Gue--" Sera membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan.
Dari tadi ia tetap berulang kali berusaha menelepon ponsel Kiera, tapi nihil. Namun berkali-kali pula Sera tetal mencoba, seakan dia berharap ada keajaiban yang membuat nomor tujuannya itu bisa dijangkau.
Dia kelihatan begitu kacau, saat tahu Kiera belum pulang juga. "Gue bukan kakak yang baik. Gue nggak tahu dia kemana, dengan siapa. Bahkan gua nggak tahu siapa aja temen-temennya." racaunya dengan kadar kepanikan yang terus meningkat.
Dia bergerak maju-mundur di dalam ruang tamu yang sempit itu, tampak benar-benar panik. Bahkan rasanya, ia bisa saja hiperventilasi sewaktu-waktu.
Aku melirik Jevon. Biasanya mulutnya itu tak bisa direm, bahkan disaat penting sekalipun.
Tapi dia tetap diam. Bahkan pembulih darah di dahinya sudah mulai menonjol--yang sering terjadi apabila ia sedang menahan suatu perasaan yang kuat.
Kali ini dia cemas.
Aku menghembuskan napas pelahan, namun rasanya sudah tak ada napas yang bisa dikeluarkan. Aku tak tahu karena apa aku merasa sesak, kenyataan kalau Kiera hilang, atau kenyataan bahwa memang benar Jevon mencintai gadis itu sampai saat ini.
Munafik.
Kenapa dia tak mengakuinya saja? Kenapa dia harus bersikukuh untuk menyangkal perasaannya? Beratus kenapa berseliweran dalam kepalaku, dan membuatku makin tertekan semakin banyak waktu yang berlalu.
"Gue--" Sera menatap kami nyalang satu persatu, di matanya melintas bagaimana konflik yang ia rasakan di dalam. "Minta maaf." ucapnya dengan suara hampir tercekik.
"Maaf, buat apa, Kak?" Angie berhasil mengeluarkan suaranya. Terdengar lumayan tenang, walau mata cokelatnya itu menyembunyikan perasaannya di kedalamannya. "Kakak nggak punya salah apa-apa."
"Nggak. Gue bikin kalian semua panik di malem bolong begini. Dan gue rasa..." ucapannya berhenti sejenak, sepertinya ragu dengan apa yang akan disampaikannya. "Kalian perlu tahu sesuatu."
***
3. Jevon
Harusnya aku tak panik seperti ini.
Harusnya aku tak peduli.
Harusnya Oliver yang seperti ini.
"Kalian pasti merasa ada suatu kemiripan dengan Kiera dan seseorang yang kalian kenal dulu."
Aku menggertakan gigi kuat-kuat, sementara angin menerpa wajahku. Was-was membuat jantungku berdetak amat pelan. Nyaris berhenti.
Amat pelan, dan menyakitkan.
"Jangan tanya gue tahu dari mana. Tapi, ya, Kiera adalah orang yang sama dengan 'Kiera' yang kalian kenal dulu."
Rasanya bau angin malam masih belum bisa mencuci sisa-sisa gejolak tadi. Tak biasanya. Kali ini aku sama sekali tak merasa sedikitpun lebih tenang. Aku mengacak-acak rambutku, frustasi saat perang antara otak dan batin tak berhenti, bahkan tambah parah.
Jauh, jauh lebih parah.
Kenapa ia harus kembali?
Kenapa harus sekarang?
Kenapa seakan-akan takdir terus mempermainkan kami? Aku bahkan bisa melihat wujud dari takdir, dengan wajah culas dan senyumannya yang licik. Ia mendorong Kiera, seperti hadiah yang dibungkus oleh pita, setelah ia puas menghapus ingatannya.
Jahat.
Seperti duri yang dibungkus rapi dengn pita besar.
Rasanya sesak, harus bersembunyi saat kenyataan yang sebenarnya terlalu jelas untuk bisa dilihat mata. Rasanya sesak, saat harus mengalah, padahal ingin.
"Angie." aku menyapanya serak, setelah berhenti di taman terbengkalai. "Ang, gue nggak bisa lagi."
"Kenapa, Jev?" suara gadis itu di telepon sangat menoreh hati. Ini bukan pertama kalinya. Ia tahu. Aku juga tahu. "Kenapa lo nggak berusaha?"
"Maafin gue, Angel."
Jujur, aku belum siap.
Aku memutuskan telepon tanpa menunggu pembicaraan selesai dan menghempaskan diri di atas rumput. Daun-daunnya menggesek pipiku, entah berdarah atau tidak. Rasanya familier. Rasanya tetap sama, bahkan setelah bertahun-tahun.
Aku memejamkan mata, berusaha membayangkan langit biru, dan udara yang segar. Apa saja, asal tidak itu.
Nihil.
Bayangan dua gadis kecil yang berlari-lari, dan dua pemuda kecil yang memperhatikan keduanya dari jauh tetap muncul di kepalaku. Tak mau hilang, dan malah makin jelas saat aku berusaha untuk melupakannya. Astaga, aku bahkan bisa mendengar bagaimana tawa mereka, seakan tak peduli dunia.
Sakit.
Aku meraih ponselku dan memasang earphonenya, lalu menyumpalkannya ke telinga.
I love this place.
But it haunted without you.
My tired heart,
Is beating so slow
"Jevon, lo dimana?" suara pesan suara itu terdengar begitu nyaring di taman yang sepi itu. Suara Oliver. "Tolong telepon balik saat lo denger pesan ini."
Aku mengabaikannya, lalu menutup mata lagi. Setiap tarikan napas rasanya berat, rasanya sesak.
"Jev, kamu dimana?" ponselku berkedip lagi, dan otomatis memutar pesan lain yang baru masuk. Kali ini Angie. "Maaf, Jev, maaf. Bukan maksud gue gitu. Please balik."
"Jevon, bales. Ini penting."
Suara Oliver lagi.
Aku tetap bergeming, dan tetap membiarkan lagu mengalun. Tidak. Tidak sekarang.
Our hearts sing less
Than we wanted, we wanted
Our hearts sing 'cause
We do not know, we do not know.
"Mau sampai kapan lo disini?"
Sesosok orang tiba-tiba menunduk diatasku, hanya terlihat siluetnya di bawah sinar malam. Suara Oliver. "Dari mana lo tau?"
Dia tak menjawab, malah ikut menjatuhkan diri di atas rumput.
"To light the night, to help us grow. To help us grow. It is not said, I always know." suaranya bersenandung pelan, sinkron dengan lagu yang berputar di ponselku. "Lo lagi dengerin itu 'kan?"
"Serem juga," aku memaksakan senyum padanya. "Gue nggak nyangka lo segitu kenalnya sama gue."
"Lo tau, tujuh belas tahun itu bukan waktu yang sebentar."
"Ya, memang bukan." jawabnya simpel, seakan itu memang hal yang jelas. "Kesini jadi bikin gue inget masa saat masih main kejar-kejaran dulu."
"Lo nggak pernah main kejar-kejaran, Bebek." dengusku tak percaya. "Lo cuma terus ngawasin Kiera. Bener-bener ngawasin. Padahal nggak guna, karena malah lo yang nangis kalau Kiera jatoh."
Dia hanya tertawa mendengarnya. "You need a mirror. Siapa coba yang juga selalu merhatiin Angie?"
"Nggak usah pura-pura nggak tahu, Oliver." aku tersenyum kecut. Karena tahu Oliver sudah tahu. "Lo tahu perhatian gue beralih."
"Astaga." tawanya kecil, lalu berhenti dan menghela napas panjang. "Kita ngomong begitu, seakan memang nggak ada yang terjadi di antara kita berempat."
"Memang ada yang terjadi." aku menimpalinya pelan. "Dan mungkin udah saatnya kita main dengan fair."
Aku diam, begitu pula dengan Oliver.
"Rumah Clay aja, fix!" seruan-seruan berisik itu tiba-tiba memecah keheningan di antara kami. "Karena lo tau, Kiera--"
Aku otomatis melompat bangun, saat mendengar suara yang familier itu mendekat. Tiga--bukan, sekarang empat malahan, sosok itu mendekat. Aku tahu tiga sosok pertama, dan bukan hal baru mereka berkeliaran jam segini. Bagaimanapun juga, tiga orang itu memang sudah sering didesas-desuskan terlihat di tengah malam, ataupun di beberapa club ternama. Tapi merupakan sebuah kejutan besar saat aku tahu siapa satu orang lagi yang bergabung dalam geng.
"Kiera?"
***
PARAH. GUA BAPER PARAH.
Thanks to realkyuke for the song recommendation :) The song not belong to me, Little House is fully Amanda Seyfried.
Stay tune :)
-Ree
P.S : Masa ada temen gua yang ngira Oliver cewe :'' HAHAHA you made my day :)
Re-publish : 22-11-2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top