[11] : Cat Fight and Where The Hell Is Kiera?

1. Kiera

Istirahat jadi satu waktu yang entah kenapa kubenci.

Oh oke, aku benci semua waktu, sebenarnya.

Aku memotong-motong makananku, dan menusuk-nusuknya tanpa minat. Sera, kakak kesayanganku itu lagi-lagi terlalu sibuk untuk sekedar meluangkan waktu untuk adiknya yang manis ini. Dan ini, membuatku terdampar di tengah-tengah antah berantah ini.

Sendirian.

"Oops, maaf." sebuah suara tiba-tiba mampir di telingaku, bersamaan dengan sesuatu yang rasanya mengalir turun dari tulang belakangku. "Gue nggak sengaja."

Aku menoleh, dan menyipit sedikit ke arah gadis itu. Gadis itu masih memegang gelasnya yang sudah kosong, sementara aroma cola mulai tercium dari pakaianku. Cairan dingin itu menetes dari pakaianku, meninggalkan noda cokelat yang besar.

Mataku menyipit, saat aku bisa melihat segerombolan gadis lainnya terkikik di belakang gadis itu. "Nggak sengaja?"

"Ya," ucapnya manis, memuakkan. Membuatku ingin menggamparnya saja. "Mungkin kalau lo sedikit lebih kelihatan, gue nggak bakal mengira lo tempat sampah."

Di belakang sana, banyak murid yang menghentikan aktivitas makannya dan menonton kami. Beberapa bahkan cukup berani, untuk mulai bersorak memanas-manasi suasana.

Bah, dasar kurang kerjaan.

"Oh begitu." aku menghela napas, dan bangkit dari tempat dudukku. "Jadi--"

Adalah salah besar, untuk cari masalah dengan seorang Kiera.

Aku bahkan sudah menyusun sebuah ide licik, yang melibatkan makananku, dan sedikit kemampuan melempar.

Belum sempat aku berdiri sempurna; saat tiba-tiba gerombolan murid yang menonton pecah menjadi pekikan tertahan dan sorakan. Keras sekali, sampai rasanya berdenging di telingaku.

"Oops, maaf." ucap seseorang, dengan sempurna menirukan nada manis cewek tadi. "Gue nggak sengaja."

Aku mengerjap kaget, dan mundur sedikit, saat melihat sepiring spaghetti tumpah tepat di atas kepala gadis menyebalkan itu.

Pasta itu tergelincir di rambut cewek menyebalkan itu, jatuh tepat di depan wajahnya yang shock. Aku mengernyit jijik, saat melihat bagaimana paduan saus kemerahan dan pasta yang seperti cacing itu memberi efek padanya.

Sumber suara itu berasal dari seorang gadis berwajah manis. Rambut pendeknya berwarna cokelat terang--tipe-tipe warna yang bisa dikira orang ia mengecat rambut, dan matanya berwarna kelabu. Senada dengan awan hujan.

Bibir gadis itu membentuk senyuman bersalah, namun matanya berkilat-kilat karena sesuatu.

Dan seketika, aku tahu ia sengaja.

"C-Clementine?" mata gadis-menyebalkan-yang-menumpahkan-kola-padaku itu melebar. Namun pipinya tak ayal juga segera merona merah. Malu, takut, dan marah, sepertinya. "Gue--gue--"

"Maaf," ujar gadis berambut madu itu dengan tambahan unsur dramatisasi di dalamnya. "Mungkin kalau lo berhenti bersikap kayak jalang, gue bakal melihat lo lebih dari sampah."

Bah, decihan gadis itu benar-benar menusuk hati.

Oh, pembalasan, pembalasan.

Aku tak tahu apa aku harus tertawa atau kasihan pada gadis itu.

"Gue--"

"Kapan-kapan, kalau lo mau nge-bully anak baru, pilih waktu gue nggak ada." ujarnya dingin. "Ayo Kiera, nggak guna kita terus disini."

Gadis itu menarikku--mungkin menggeret lebih tepat, keluar kantin. Dengan mudahnya dia menerobos kerumunan orang yang menyemut, yang langsung menyingkir begitu dia lewat. Gadis ini tiba-tiba berbelok tajam di ujung lorong, sementara dengan cekatan berhasil mendorongku masuk dan menutup pintu--

Toilet guru?

Yang benar saja.

"Lo tau kan kita lagi ada dimana?" tanyaku sambil memastikan apa benar anak yang satu ini masih punya akal sehat.

"Ini toilet." jawabnya singkat, namnun bibirnya membentuk serigaian kecil yang licik. "Jangan bilang lo nggak berani untuk...sekali-sekali pake toilet guru."

"Gue berani." sahutku defensif, merasa keki juga karena dia merendahkan reputasiku di sekolah lama sebagai seorang pembuat onar. "Dan asal lo tau, nggak semua orang bisa di-judge dari penampilan luarnya."

"Nih." gadis itu menyodorkan handuk kecil padaku, yang entah bagaimana caranya bisa ada dalam tasnya. "Dingin nggak? Lo pake seragam ukuran berapa? Kayaknya lo seukuran sama gue, paling cuma kependekan aja roknya." ujarnya sambil merogoh ke dalam tasnya.

Lagi, aku cukup terkesan bagaimana sepasang seragam IHS lengkap, bisa ada di hadapanku. Belum selesai sampai di situ, sebotol kecil sabun dan shampo pun muncul dari kantong-kantong kecilnya.

"Tas lo kayak kantong serba ada." komentarku singkat.

Aku menatap tas itu, dan mulai mengira-ngira apa lagi yang mungkin ada di dalam tas itu.

"Makasih." ucapnya sambil meletakan kembali tasnya di bangku, lalu menjatuhkan tas selempangnya di lantai. Benda itu berkelontang, saat bahannya jatuh mencium ubin. "Whoops, gue berisik banget ya, maaf."

Aku menunduk di atas keran wastafel, sementara mulai mencoba untuk mencuci rambutku agar tak lengket lagi. "Err, lo nggak bawa baju ini tanpa suatu alasan 'kan?"

"Nggak, gue emang setiap hari bawa baju cadangan." jawab gadis berambut madu itu lempeng, seakan itu hal biasa.

Aku melongo. Benar-benar melongo. Demi apa ada orang yang benar-benar membawa seragam cadangan setiap hari?

Gadis itu sepertinya melihat bagaimana ekspresiku, karena sedetik kemudian, dia terbahak keras-keras. "Ya ampun, nggak lah. Ekspresi lo itu, priceless  banget."

Bibirku merengut kesal. Bete juga rupanya, karena aku masih bisa dikerjai oleh anak yang satu ini. Aku menelan rasa keki itu, terutama karena gadis inilah yang--walau aku tak membutuhkannya, menyelamatkanku.

"Apa nggak masalah kalau gue...pake?" aku menatap pakaian yang terlipat di tanganku, lalu kembali padanya. "Lo pasti bawa ini karena perlu 'kan?"

"Yup." gadis itu tertawa kecil, sebelah tangannya menyibak bagian belakang roknya. Banyak bercak-bercak disana. Mulai dari cat hijau neon, sampai ke glitter perak yang menempel. "Tapi lo pasti lebih perlu. Udah, buruan sana! Gua masih perlu balik lagi."

Aku menyelip masuk ke dalam kamar mandi, dan bergegas melepaskan kemeja basahku. Bagian belakangnya dihiasi oleh noda kecokelatan yang besar, yang sepertinya, tak bisa hilang kalau tak cepat dicuci. Bahan katun kemeja cewek itu masuk dengan mulus ke tubuhku, sama seperti roknya yang pas di pinggangku.

Cuma, ya. Roknya berhenti beberapa senti di atas lututku. Tak masalah buatku, namun pasti kesiswaan bakal kena serangan jantung kalau melihatku..

Yah, bukannya aku peduli sih.

"Makasih." aku menjawab singkat, seraya keluar dari kamar mandi. "Mm, siapa nama lo tadi? Cle-what-what?"

Gadis itu menatapku lekat-lekat dengan pandangan tajamnya.

"Astaga, gue nggak percaya ini," gadis itu tiba-tiba tertawa lagi, membuatku merasa keki karena.bisa ditipu lagi. "Sofia menang taruhan, Zula pasti kesel. Gue Clay, btw. Inget nama gue baik-baik, karena siapa tahu, lo bakal butuh gue suatu saat nanti."

"Gue Kiera." aku menarik tisu panjang-panjang, sambil berusaha mengeringkan rambutku.

"Ya, gue tahu itu." jawabnya dengan sedikit tawa. "Hmm..."

Dari caranya gadis itu mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu, aku yakin bukan sesuatu yang bagus yang ada dipikirkannya.

***

2. Oliver

"Bentar, ada yang kurang."

Kata-kata Jev itu membuat kami semua berhenti, dan saling menatap satu sama lain. Ini waktu makan malam, dan di meja sudah terhidang empat piring, sementara ada satu kursi lagi yang kosong.

Ada satu orang yang kurang.

"Kiera." ucap Sera setelah keheningan beberapa saat. "Ada yang liat dia?"

"Bukannya dari tadi dia di kamar sama Kakak?" tanya Angie dengan wajah bingung.

"Lho, bukannya dia tadi di bawah sama kalian?" Mata hazel Sera membulat. "Dia nggak diatas sama gue..."

"Dan dia nggak di bawah sama kita." timpal Jev.

Seketika semua mata beralih padaku.

Otakku berputar cepat, berusaha menyatukan informasi-informasi yang baru kuterima.

"Yang tadi gue mintain tolong buat jemput Kiera siapa?" Sera bertanya dengan hati-hati.

Semua mata beralih padaku.

***

A/N :

Meh-ha-ha-ha-ha!

Hai-hai semuaa! Senang sekali CMIYC tembus 100 votes! Yha maaf, gua tau gua receh :'')))

:*

-Ree

P.S : Tadinya multimedia mau foto Sera, tapi sayang, gua belum bisa menentukan cast buat Sera :''(((

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top