[10] : Fudge, and Raging Cherrios

P.S : check out the multimedia! Angie is there :))

4. Sera

"Lo tau, sebenernya hari ini kita cuma mau pergi ke Jetlag doang. Lo tau kan? Kafe markas besarnya anak IHS?" ucap Jay sambil mengamati aku yang sedang mengetik di ponsel.

Dia pasti tahu aku sedang mengirim pesan ke siapa.

"Perhatiin aja papan di depan, Pantat Panci." timpalku datar, setelah meletakkan kembali ponselku dan kembali mencatat.

"Ck, baru sekali ini gue ketemu cowok yang rajin banget nyatet kayak lo, dasar Kodok Kudisan." decaknya saat melihatku benar-benar serius mencatat pelajaran. "Back to the topic, Sera, sebenernya lo nggak harus selalu ikut tiap kali kita keluar."

"Nggak, gue lagi pengen aja." balasku singkat, masih dengan tekun menyalin contoh soal dari papan tulis

"Terus adek lo gimana?"

"Kiera emangnya kenapa? Dia baik-baik aja." aku akhirnya menulis titik untuk mengakhiri kalimat. "Dia nggak masalah, tapi kok lo yang tiba-tiba perhatian?"

"No reason." Jay mengangkat bahunya. "Oh iya, kalau gue deketin adek lo boleh nggak?"

"You say what?" geramku ke arahnya. Tanpa sadar, aku benar-benar membuat kertas bukuku bolong di satu titik.

"Lo tau, bukan cuma gue yang berpikiran seperti itu." jawabnya santai, sama sekali tak terpengaruh olehku yang memanas. "Hampir semua cowok yang liat adek lo di hari pertama, langsung berubah gebetannya jadi adek lo."

Seriously?

"Jadi," aku menggertakan gigi galak ke arahnya. "Lo secara nggak langsung bilang kalau adek gue jadi...gebetan bersama cowok satu sekolah?"

It's like...what the fudge? Aku tahu Kiera cantik, dengan mata dan rambut hitamnya yang kontras dengan kulitnya yang sedikit kecokelatan. Tapi mendengar adik sendiri jadi incaran kurang lebih empat-ratusan anak laki-laki di IHS, jelas membuat insting seorang kakak yang baik keluar.

"Nggak satu sekolah juga, sih." ucapnya sambil mencoret-coret kertas di hadapanku yang terbengkalai. "Sejauh yang gue tahu sih, kecuali Angga, Hansel, Jevon, Gerald, Rigel..."

Tidak membantu.

Ujung bibirku merengut kesal. Semua yang anak itu sebutkan 'kan memang sudah punya pacar, duh.

Eh tunggu.

"Jevon? Yang anak aksel?" aku mengulang satu nama itu.

"Ya, kenapa?" tanyanya tanpa curiga.

Aku berusaha mengatur nada agar sedatar mungkin. "Bukannya dia juga masih single, ya?"

"Ck," decaknya lagi, "Gue baru tahu ada juga cowok yang suka ngegosip kayak lo. Tapi ya, dia masih jomblo, walau satu sekolah juga tahu, siapa gebetan abadinya."

Rasa ingin tahuku muncul, namun dengan susah payah kutahan, karena amat sangat mencurigakan kalau aku bertanya lagi. Gebetan abadi? Hanya beberapa cewek yang ada di dekat cowok yang diam-diam tinggal di rumah yang sama denganku itu.

Yah, jangan salahkan aku. Walau ada di rumah yang sama, kami hanya sekedar berbagi tempat untuk bernaung. Tak ada ikatan atau hubungan apapun di antara kami berlima.

Angie.

Ya. Ya. Ya. Pasti dia.

"Lo tau, Sera," Jay tertawa tiba-tiba, memecahkan pikiranku. "Baru sekali ini gua nemu cowok yang kelakuannya cewek kayak lo."

Mataku menyipit ke arahnya. "You say, what?"

***

3. Jevon

"Makasih ya, Jev," Angie mengatakannya, sambil mengangkat kotak kardus kecil. "Lo bantuin gue sampe nggak masuk kelas gini."

"Santai aja, 'Ngie." aku megulaskan senyuman kecil untuknya. "Sekali-kali bolos Kimia leh ugha."

Gadis itu tertawa kecil, suara tawanya merdu seperti lonceng kecil. "Apaan sih, sok gaul banget, leh ugha."

Sepanjang koridor sudah sepi, membuatku lumayan bersyukur juga, karena aku sedang malas bertemu dengan banyak orang. Dasar orang-orang kurang kerjaan, apa nggak ada hal lain yang bisa mereka lakukan selain ngurusin masalah orang lain?

Suara langkah kaki kami terdengar samar di lorong, sementara kami berjalan dengan jarak, berupa pikiran masing-masing yang saling bergumul.

"Jev," Angie memecah keheningan beberapa saat kemudian. "Gue takut."

Aku mengerling ke arahnya, sebelum membuang napas lambat-lambat. Melepaskan semua beban yang rasanya terikat di dada. "Gue juga."

Rambut Angie terlihat kemerahan di bawah terpaan sinar matahari, tergerai panjang melewati bahunya. Gadis itu berjalan di depanku, membuatku tak tahu bagaimana ekspresinya.

"Gue takut ini bakal berubah kayak dulu lagi." tanyanya dengan tatapan menerawang. "Dimana gue bikin semua jadi kacau lagi."

Astaga, kenapa harus topik ini lagi sih?

"Lo tau, 'Ngie," aku menghela napas pelahan, menatap ke arah yang berbeda dari gadis itu. "Jangan terus menyalahkan diri kamu sendiri. Kita semua salah, deal with it."

"Kamu nggak tahu rasanya, Jev." ucapnya sendu. "Saat suatu masa, dimana temen lo terpaksa dipanggil sama Yang Maha Kuasa, dan itu gara-gara lo." gadis itu terdiam sebentar. "Padahal gue belum sempet minta maaf ke dia. Padahal gue masih ada salah sama dia. Gue, gue--"

Angela berhenti tiba-tiba.

"Ang, Angie?" aku memutarinya, berdiri di hadapannya, hanya untuk disambut dengan air mata yang jatuh bebas dari pelupuk matanya. "Ang? Astaga, jangan nangis lagi."

"Gue salah, Jev, salah banget." isaknya samar, karena wajahnya terkubur di balik tangannya. "Semua ini karena gue."

Aku bimbang, berdiri mematung di hadapannya.

"Gue egois, gue tahu." isaknya tanpa berhenti. "Gue mau kalian semua. Gue mau kalian nggak lupa sama gue. Apa gue sebegitu egoisnya?"

"Kamu nggak salah, Angela." aku berlutut di hadapannya, meraih tangannya yang kecil dan lembut dalam tanganku. "Manusiawi untuk merasa tak ingin kehilangan."

"Tapi itu kenyataannya." jemarinya yang lentik menggenggam tangaku erat. "Semakin berusaha gue menjaga kalian, semakin jauh kalian pergi."

"Gue nggak akan pergi, Angela." ucapku lagi, sama seperti sebelum-sebelumnya. "Lo liat? Gue masih disini setelah bertahun-tahun, Oliver juga. Inget? Selama nafas ini masih ada, Angie."

Suara isakan gadis itu terdengar nyaring di koridor sepi ini, bergaung mengisi kesunyian. Aku mengangkat diri dari posisi berlutut, tanpa sama sekali melepaskan genggaman pada jemarinya. Tubuhku terasa bergerak otomatis, seakan memang sudah diprogram untuk menarik dan merengkuh gadis ini kuat-kuat.

Rasanya seperti masa kecil lagi.

Seperti saat kami masih bermain di rumah pohon dan tanpa peduli menelusuri padang ilalang di dekat rumah kami dulu. Aku bahkan bisa merasakan bagaimana aroma rumput dan sinar matahari sore yang menyoroti kami dulu itu. Rasanya...familier. Menenangkan, karena tahu seseorang yang ada dalam pelukanku ini tak akan memyakitiku. Karena tahu aku aman.

"Ehem."

"Apa kita mengganggu..." tiba-tiba segerombolan langkah kaki berhenti dekat dengan kami. "...aktivitas kalian?"

Mataku menatap langsung ke sepasang sepatu Nike bergaris hijau-pink neon, yang bersanding serasi dengan dua sepatu lain yang tak kalah bermereknya. Pandanganku naik ke atas, sebelum akhirnya menatap langsung ke wajah tiga orang yang sama sekali tak ingin kulihat sekarang--ataupun kapanpun.

Ketiganya menenteng tas selempang yang menggembung, sementara wajah mereka mengeryit jijik ke arah kami. Seakan kami punya penyakit menular atau apalah.

Ini pasti tak akan berakhir baik.

"Wah, wah." cibir gadis yang rambut hitamnya lurus sampai ke punggung. "Rupanya sekarang, mantan Ketua OSIS kita sudah tahu yang namanya bolos untuk pacaran."

***

(17-11-2015)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top