[1] : Tattooed Heart
1. Kiera (New York City)
"Haloo." Aku menjawab telepon dengan suara dipanjang-panjangkan.
Dengan susah payah, aku menyelinap keluar dari ruangan itu, sembari menutup telepon dengan telapak tanganku. Musik berdentum-dentum di dalam, juga dengan lampu disko yang berwarna-warni menyinari ruangan. Suasana di sana begitu riuh, dan akan gawat jika si penelepon ini tahu aku dimana.
Yah, bukannya aku peduli sih.
Lagipula aku yakin orang yang satu ini bisa menebak aku di mana tanpa susah payah.
Angin malam langsung berhembus begitu aku membuka pintu, terasa sejuk di kulitku yang berkeringat. Padahal didalam pakai AC, tapi dengan segala euforia, pantas saja aku keringatan. Setelah yakin suasana cukup tenang untuk menelepon, aku kembali menempelkan telepon di telinga.
"KIERA REYNANDA DENARA PUTRI PERDANA!" jerit suara itu, dengan nama lengkapku selengkap-lengkapnya. Refleks, aku menjauhkan ponsel dari telinga. "Lo clubbing lagi?!"
"Halo, Sera." Aku terkikik sedikit, merasa geli entah karena apa. "Apa kabar?"
Dari telepon, aku bahkan bisa membayangkan bagaimana Sera berkali-kali menghela napas. Berusaha menenangkan dirinya sendiri, sepertinya. Well, mungkin aku agak keterlaluan menggodanya seperti ini.
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan," jawab Sera kesal saat mulai bicara lagi, "Berapa banyak lo minum, hah?"
Aku lagi-lagi terkikik. "Gue nggak minum," bantahku. "Cuma dugem aja."
Pintu dorong club terbuka lagi, membuat musik yang diputar ikut menghentak ke luar. Seorang tampan keluar, dengan tinggi yang membuatku tampak kecil sekali.
"Kiera." Cowok itu menghampiriku. "You left already?"
"Isa," Aku mengucapkannya tanpa suara, kemudian menempelkan jari telunjuk di bibir. Tanpa suara aku mengisyaratkan pada cowok itu untuk diam sebentar, lalu menunjuk ke telepon yang masih tertempel di telinga.
Cowok itu mengangguk mengerti, lalu berdiri agak jauh dariku.
Ha, aku suka yang satu ini. Mana ada sih cowok zaman sekarang yang mau minggir dulu untuk memberi ceweknya privasi? Yang ada, biasanya malah akan mencurigai siapa yang ditelepon ceweknya.
Dasar. Cowok memang cuma ada dua. Kalo nggak brengsek, ya pasti--
"Bullshit." Suara Sera terdengar kembali dari ujung telepon, memecah lamunanku yang makin melantur. "Ngomong sama siapa lo tadi?"
Loh, emang tadi aku ngomong apaan?
"Nggak ada siapa-siapa," bohongku mulus. "Salah denger kali. Oke, back to the topic, ada perlu apa?"
"Urgent, Papa pulang jam 8 pagi. Jadi balik sebelum jam itu." Ucapan Sera berhenti, menggantung. "Dan lo tolong jangan ngelakuin yang aneh-aneh."
Aneh-aneh? Emangnya dia pikir aku mau ngapain?
"Who knows, Kir?" Aku bahkan bisa merasakan dia mengangkat bahunya di ujung sana. "Lo manusia paling nekat yang gue kenal. Dan kombinasi Kiera plus alkohol sama aja ngasih minyak ke api."
"Ih gue nggak minum, serius." Aku menjawab dengan nada terluka. "Kok lo nethink ke gue terus sih?"
Err...
Mungkin aku minum, tapi kan cuma sedikit.
Satu gelas cocktail saja tak akan membunuhku 'kan?
Walau ya, benar kata Sera, kombinasi alkohol dan Kiera sama sekali bukan hal bagus.
Karena, saat terakhir kali aku minum, aku--entah kenapa, malah menanamkan tato permanen di leher belakang. Desain bulu sayap yang jatuh, dan sebaris kalimat.
Desain yang sampai sekarang aku tidak tahu kenapa kupilih.
Dan sekedar informasi, aku baru enam belas tahun saat melakukan itu semua.
Idiot maksimal, memang.
Aku tidak ingat bagaimana rasa jarum tato itu menembus kulitku. Sakit, ya. Tapi entah kenapa rasa sakit itu malah kusambut. Karena nyeri fisik itu membuat nyeri yang menusuk hatiku memudar.
Tapi itu cerita dulu.
"Gue tau lo banget, Kir." jawab Sera serius, mengembalikan aku ke dunia nyata lagi. "Dan lo nggak bakal ngomong sebanyak ini kalo lagi sadar. Lo tau, Kir, sejauh apapun lo lari dari kenyataan, lo harus hadapin juga pada akhirnya. Udah ah, gue capek nasehatin lo."
Telepon diputus.
Apa-apaan itu tadi?
Aku menggeleng, lalu memasukkan ponselku itu ke saku. Dasar Sera, kenapa sih orang yang satu itu bisa bikin orang jadi mikir kejauhan? Setelah menyingkirkan aneka pikiran yang berseliweran, aku menghampiri Isa, yang hanya tersenyum menatapku. Aku meraih tangannya tanpa kata-kata, lalu menariknya kembali ke dalam club.
"Wanna drink? My treat." Cowok itu mengedip padaku. Menggoda, sepertinya. Senyum iklan pasta gigi itu menempel di wajahnya, senyum yang berhasil meluluhkan banyak cewek.
Sayangnya, aku bukan cewek kebanyakan.
Apa aku sudah bilang kalau Isa itu cocok sekali dengan peribahasa 'diam-diam menghanyutkan'? Bisa dibilang, kira-kira dua lusin cewek sudah ada di posisi ini, dan semuanya cuma mainan.
Isaiah Newton mungkin heartbreaker paling ngetop satu sekolah, tapi ia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
Aku hanya mengangkat sebelah alis, menyimpan semua rencana licik itu dalam hati.
"Dirty Martini." ucapku, dengan nada yang tak kalah menggodanya.
Cowok berambut spike itu hanya tersenyum, kali ini dengan senyuman yang bagiku tampak lebih berbahaya daripada sebelum-sebelumnya. Atau itu hanya halusinasiku?
Isa memesan segelas ke bartender, lalu menyerahkan gelas bertangkai itu padaku dengan gaya ala pelayan. Cuih, kalau aku bukan Kiera, bisa dijamin senyuman yang katanya seksi itu bakal membuatku meleleh di kakinya.
Aku hanya tersenyum lagi, lalu menenggak cairan berwarna yang disajikan, membiarkan minuman terlarang itu membakar tenggorokan. Menikmati rasanya yang pahit di lidahku.
"Let's dance," ucapku seraya menariknya ke lantai dansa.
Bergabung dengan tubuh-tubuh yang bergerak liar dibawah cahaya berkelip. Lenganku melingkari lehernya, tangannya menekan pinggangku. Dentuman yang menggetarkan lantai seperti ikut membuat jantungku berdenyut.
Membuatku terasa seperti hidup.
Mungkin Sera benar, aku terlalu cari masalah.
Tapi ini asyik.
Mungkin kalau Sera lagi-lagi benar, aku memang harus menghadapi ketakutanku nanti. Tapi nanti, biarkanlah saja nanti.
Biarkanlah saja aku terbakar dengan api yang kumainkan sendiri.
Untuk saat ini, aku hanya ingin tenggelam lagi dalam dunia gelap ini.
***
2. Oliver (Jakarta)
"Ada anak baru?"
Aku berbalik dari arah kompor, masih dengan satu sendok sayur yang tergenggam di tangan. Sup di panci menggelegak sedikit, hanya perlu beberapa menit lagi agar matang sempurna. Disana, di meja ruang makan, seorang gadis dengan rambut cokelat lurus duduk. Cantik, dengan oriental dan kulit cerah, semua menjadikannya seperti malaikat dalam wujud manusia.
Nama gadis itu Angie, dan dia sahabatku sejak masih jabang bayi.
Gadis itu mengangguk mendengar pertanyaanku tadi, masih dengan tatapan manis dan polosnya itu. Aku berbagi rumah kecil ini dengan dua orang lainnya--Angie dan Jev. Dua-duanya sahabatku sejak kecil, jadi aku juga biasa saja berbagi sama mereka.
Tapi ini? Orang asing?
"Mereka dateng kira-kira minggu depan." Angie mengetukkan jarinya yang lentik ke dagu. "Kira-kira gimana ya orangnya?"
Whoa. Wait.
"Mereka?" Aku membeo tak percaya. Bukan cuma satu?
"Dua orang," Suara dalam Jev tiba-tiba menimpali. Cowok yang satu itu menarik kursi meja makan dengan berisik, lalu duduk di sebelah Angie. Aku langsung berbalik dari mereka berdua, seraya kembali mengaduk sup. "Pake kamar di lantai dua."
Mau tidak mau, aku mengernyit lebih dalam lagi akan pernyataan itu.
"Nggak bisa." Aku menyuarakan pikiranku. Damn, keceplosan. "Kamar itu kan--"
Tidak boleh.
Kamar atas itu hanya untuknya. Tidak boleh yang lain. Apa-apaan ini? Memangnya ada angin topan, hujan badai apaan sampai mereka berdua bener-bener ngizinin ada yang pake kamar atas? Kukira kami sudah punya perjanjian tak tertulis di antara kami, bahwa kamar diatas tak bisa diganggu gugat.
Ekspresi wajah Jev seketika berubah datar, seakan tahu apa yang hendak kubicarakan. Ya. Dia. Topik tentang dia terlalu sensitif buat kami bertiga. Pasti akhir dari pembicaraan ini nggak akan baik.
"Dia udah nggak ada lagi, Ol." jawabnya datar, sama sekali tanpa emosi. "Back to reality, Oliver. Lepasin dia. Dia udah nggak ada."
"Lo nggak tahu apa-apa, Jev." Cukup mengejutkan saat suaraku masih datar, tanpa emosi yang berlebihan. "Lo nggak punya bukti kalau dia emang udah nggak ada."
Karena aku masih bisa merasakan ikatan itu. Tidak berdasar memang, tapi cukup untuk membuatku terus menunggunya.
"Gue percaya sama apa yang gue percayai, dan gue percaya sama dia."
Jev membuka mulutnya, lalu menutup lagi. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Aku setuju sama Jev, Oli." Seseorang yang tidak kukira akan menjawab, tidak akan akan menyangsikan hal ini, malah menjawab. "Kapan terakhir kali kita ketemu dia? Umur tujuh tahun? Kita sekarang udah tujuh belas, Oli. Mungkin dia bahkan udah nggak inget kita lagi."
Angie.
Gadis itu mengatakannya pelan, jarinya dengan gugup memuntir ujung serbet. Angie juga? Apa hanya aku yang masih yakin tentang dia?
Suasana diam di dapur jadi tidak enak. Jev menatap dinding dapur, seakan ada yang menarik disana. Angie masih tetap seperti tadi, dua-duanya menghindari tatapan gue. Tanpa kata-kata, akhirnya Angie menghela napas pelan, melompat anggun dari kursinya, dan beranjak ke luar.
Aku mengerjap, namun tak mengatakan apa-apa.
Apa disini hanya aku yang masih percaya kalau dia akan kembali?
"Maaf, Oli." bisiknya saat melewatiku.
Suara gelembung sup yang mendidih, juga suara pintu yang menutup hanya bergema kosong di antara gue dan Jev. Awkward moment, jelas. Udah gue bilang pembicaraan tentang dia nggak bakal berakhir baik.
"Lupain aja dia, Ol." Jev akhirnya bersuara lagi. Nadanya masih datar, namun ada suatu yang lain di sana. "Obsesi lo udah nggak baik lagi." Jev menggeleng, lalu keluar dari dapur.
"Gue tau dia nggak sepenting itu bagi lo," ucapku sinis. Keceplosan, lagi-lagi. "Lagian apa yang bakal lo peduliin kalo lo udah punya Angie?"
"Angie nggak ada hubungannya sama ini," balasnya dingin, lebih sinis dari pada nadaku tadi. "Dia udah nggak ada, dan kalau ada pun, gue nggak peduli."
Jawaban refleks otomatis meluncur dari mulutku. "Oh, itu menjelaskan segalanya, Jev."
"Coba liat siapa yang ngomong." desisnya sinis. "Orang yang bahkan nggak bisa melangkahkan kaki ke sana. Lo tahu gimana rasanya Oliver."
"Seenggaknya gue jujur." gerutuku di bawah napasku. "Sementara lo? Hah, gue kasian sama Angie."
"Itu bukan urusan lo."
"Itu urusan gue juga, Jevon. Lo dan Angie sama-sama sahabat gue. Dan kita nggak pernah sama lagi, sejak semua jadi kacau."
Bahu bidang cowok itu menengang, kaku. Jev tiba-tiba berdiri dengan kasar, sengaja menabrak bahuku saat lewat. Pintu tertutup lagi-lagi terdengar sebagai akhir dari pembicaraan. Dimana semua berakhir seperti pengecut.
Aku menatap pintu yang tertutup, dan mengatakan hal yang harusnya kukatakan di hadapannya tadi.
Semua kabur agar tak usah berbicara.
Agar tak usah mengingat.
Munafik.
Munafik.
Munafik.
Aku pengen bilang kata itu sebanyak mungkin di depan wajahnya. Kalau ada penghargaan cowok paling munafik sedunia, pasti Jev yang menang.
Aku tahu, walau sepertinya berpura-pura akan lebih baik. Aku melihat foto dia, masih ada di dompet Jev. Tersembunyi, namun jelas sekali cowok yang satu itu menjaganya dengan baik. Tapi dia masih bersikeras. Dia tak jujur, dan bersandiwara.
Munafik.
Seandainya semudah itu untuk melepaskan seseorang. Tapi aku nggak bisa.
Aku mematikan kompor, lalu menutup panci sebelum keluar ruangan. Tidak akan ada yang punya nafsu makan setelah pembicaraan tadi.
***
Welcome to V.S Tetralogy!
Hati-hati di cerita ini, karena di beberapa bagian, mungkin bakalan buat lo pengen banting hape, HAHA
[REVISI 17-12-2015] : Terima kasih untuk @anderdwip atas diingatkan salahnya :)
[REVISI 22-12-2015] Terima kasih atas koreksinya pada mltindah :)
[REVISI DUA KALI 02-01-2015]
Love
-Ree
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top