Takut Rindu

Assalamualaiku..

masih ada yang nunggu?

afwan ya lama. penulis sudah aktif kuliah, mohon dimaklumi.

emm.. doain semoga lancar, kalaupun ada halangan semoga bisa teratasi..

wkwk ngarep.

happy raeding

_40_

_Ustadz Pribadi_

Turkey, 15 November 2019.

Pagi di musim kemarau, kota terpadat di Turki yang menjadi pusat perekonomian, budaya, dan juga sejarah. Kota yang pusat perdagangan dan sejarahnya terletak disisi Eropa, sementara sekitar sepertiga penduduknya tinggal di sisi Asia.

Kota ini merupakan pusat pemerintahan dari Munisipalitas Metropolitan Istanbul, berbatasan dengan Provinsi Istanbul. Keduanya memiliki keseluruhan populasi sekitar 14 juta penduduk. Dan salah satu penduduk yang hanya berstatus sementara di Istanbul adalah mereka, dua laki-laki yang merantau mengejar pendidikannya di kota paling padat penduduknya dan menempati peringkat 6 terbesar didunia.

Dua laki-laki ini sedang bersantai didapur kecil, rumah yang disewanya.

"Lo nggak bikin adik gue hamil tanpa suaminya kan?" Tanya Ano santai dan terlalu tiba-tiba membuat pergerakan Kafani yang sedang menungkan air kegelas terhenti.

"Ya kali gue tega ,bang bikin Agatha hamil dan ngidam tanpa gue."

"Lo serius? Jadi lo belum nyentuh sama sekali?" selidik Ano menyipitkan matanya.

"Nyentuh?" pria itu mengerutkan keningnya masih mencerna, tapi tiba-tiba kerutannya pudar dan tersenyum menang.

"Pastinya nyentuh lah bang, tidur aja pelukan, emang abang tidurnya dipeluk guling?"

"Wah.. wah.. berani lu ya sama abang ipar mentang-mentang udah nikah, tahu gitu gak gue restuin lo."

Kafani tertawa puas menggoda ipar sepupunya itu. Kedua seperti teman lama yang disatukan kembali, langsung nyatu, seperti saling mengerti dan memahami.

"Eh tapi maksud gue bukan nyentuh gitu, maksud gue lo belum nyentuh Agatha yang bisa bikin dia hamil kan?" tambahnya lagi.

"Astaghfirullah bang Ano, gak percayaan amat, gue gak mungkin tega, bang."

Pergerakannya meminum air yang tadi ditungnya digelas dan hanya berisi setengah dilanjutkan.

"Emang lo kuat mubadzirin rezeki ynag jelas-jelas buat lo?"

Kafani hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Kalau abang iparnya masih diladeni tidak akan ada usainya. Kafani menggeleng tak paham dengan pikiran abang iparnya itu.

Kedua pria yang memang sama-sama cuek dengan urusan perempuan kalau sudah bersatu akan seperti tim dalam kompetisi debat.

"By the way lo ada kuliah?"

"Em.." Kafani mengangguk tanpa melihat sumber suara, ia sibuk memasakkan air untuk membuat secangkir teh hangat bagi mereka berdua.

"Jam berapa?"

"Sembilan," jawab Kafani singkat.

"Udah hampir dua minggu di sini tapi kok gue gak pernah liat lo telpon Agatha ya?"

Lagi-lagi Kafani hanya menjawab dengan bahu yang digerakkan keatas tanpa berbalik menoleh sang penanya yang duduk manis di meja makan.

Tanpa Kafani sadari, pria yang berada di belakangnya memainkan HP lalu menghubungi seseorang di tanah airnya.

Saat tersambung, Ano beranjak dari duduknya, berjalan menuju teras rumah sederhana yang mereka sewa untuk tinggal.

Dilayarnya tampak gadis berhijab pastel dengan wajah cerianya.

"Halo, Assalamualaikum princess."

"Waalaikumussalam kak."

"Apa kabar dirimu? Baik-baik saja di indo?"

"Baik. Kakak sendiri? Lancar kuliahnya?"

"Benar-benar baik, atau pura-pura baik?" goda Ano tanpa mempedulikan pertanyaan perempuan di seberang.

Pasalnya Ano paham, menyimpan rindu itu menyusahkan, apalagi rindunya yang saling tapi tidak mau saling mengungkapkan, hanya saling mendoakan mungkin, agar susahnya menanggung rindu tidak terlalu berat.

Perempuan di layar tampak mendengus kesal, tentunya cemberut. Sedang Ano tertawa puas melihatnya.

"Oh iyya, happy graduation ya princess yang udah gak jomblo lagi."

Perempuan disebrang masih setia dengan bibir yang dimajukan, tapi kemudian tersenyum dan mengangguk.

"Kak, Kafani baik-baik aja kan? Dia gak sakit kan? Gak terjadi sesuatu kan sama dia?"

"Yaelahh.. kakak yang telfon kok dia yang ditanyain? Tanya aja sendiri sono." Ketus Ano pura-pusa kesal.

"Ishh.. tadi Agatha nanya tapi gak dijawab, malah sibuk menggoda Agatha."

Tawa Ano pecah seketika. Ia beranjak dari teras rumah menuju dapur.

"Ssstt.. kamu kangen kan?" tanaya Ano dengan suara pelan sambil berjalan. Wajah yang terlihat dilayar tanpa respon, tapi Ano tahu dari binary matanya menjawab iyya.

"Kaka juga tahu dia gak perna nghubungin kamu. Tapi dia sering telpon papanya buat nanyain kabarmu. Bentar aku tanyakan orangnya tapi diem-diem ya..?"

lawan bicaranya hanya mengangguk. Menurut.

Sampai didapur, orang yang dimaksud Ano sedang menghangatkan minyak goreng di atas penggorengan dengan spatula yang siap ditangannya. Dua teh hangat sudah terseduh di atas meja berukuran kecil, cukup untuk berdua.

"Fadl.." yang dipanggil hanya menoleh sebentar lalu kembali fokus dengan mangkuk yang diadu-aduknya.

"Ko beneran gak kangen ya sama Agatha?"

"Kangen," jawabnya singkat tanpa menoleh.

"Kenapa gak pernah kasi kabar?"

"Dia juga enggak," jawabnya yang tetap focus memasukan adonan yang diaduk dimangkuk tadi ke minyak yang sudah panas.

"Yaelah.. cewek tuh dimana-mana gitu, gengsinya tinggi, harusnya lo yang ngalah ngasi kabar duluan. Makanya penjual Koran tuh nggak ada yang cewek, rata-rata cowok. Hal yang nggak mungkin kalo cewek ngabarin duluan."

Wajah yang masih menghiasi layar handpon Ano mendengus kesal, dibilang gengsi, padahal kenyatannya begitu. Ingin menyangkal tapi sudah terlanjur nurut untuk tetap diam.

"Bukan begitu bang."

"Emangnya gimana?" sanggah Ano cepat.

Kafani berbalik dengan spatula masih setia di tangannya. Sepertinya akan ada penjelasan panjang kalau dia sudah berbalik dan menatap Ano serius.

Ano sudah siap dan merubah tampilan dirinya dengan tampilan Kafani yang akan terlihat di layar Agatha puas. Tanpa Kafani sadari bahwa handphone Ano menyala dan sedang merekan dirinya agar terlihat oleh Agatha.

"Kalo telfon Agatha terus denger suaranya, apalagi wajahnya, gue takut gak bisa nahan rindu dan tiba-tiba lari beli tiket buat pulang ke indo. Emang abang mau ditinggal sendiri? Yang ada kuliah juga gak kelar-kelar bang gegara kepikiran suaranya, apalagi wajah cantiknya."

"Halah.. lebbay lo," cibir Ano.

Kafani berbalik dan berjingkat kaget.

"Abang sih Tanya Agatha, gosong nih." Yang dituduh hanya tertawa puas.

Ano kembali merubah fokusan layarnya agar menampilkan dirinya.

"Lo denger sendiri kan princess? Dia bukannya gengsi tapi takut gak bisa nahan keinginan buat ketemu kamu." Katanya sambil menghadap handphon yang diangkat sejajar dengan wajahnya.

Kafani sudah meniriskan hasil masakannya yang sedikit gosong lalu membawanya ke meja makan.

"Maksud abang apa ngomong begitu?"

Tanpa menjawab, Ano langsung membelokkon benda pipih ditangannya untuk mengahadap Kafani.

Tampaklah wajah perempuan yang katanya membuatnya takut tidak bisa menahan rindu.

Sontak Kafani kaget dan menganbil gatget Ano seketika lalu menghindar, berjalan menju kamar, tidak memperdulikan Ano yang sudah tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan Kafani.

** *

Siang ini aku memutuskan untuk beristirahat dikamar saja, sepagian sudah membantu bik Inah beres-beres, lagipula kemarin sudah seharian dirumah Rara menemaninya.

Aku tidak pernah pamit pada Kafani, padahal itu perlu, agar kepergianku tidak dilaknat para malaikat.

Tapi, Kafani bilang selagi aku tinggal bersama ayah dan dia tidak bersamaku, cukup aku pamit pada Ayah. Jadilah aku hanya izin kepada Ayah walau pada akhirnya ayah juga bertanya apakah aku sudah izin pada suamiku?

Berbagai alasan untuk aku membuat Ayah percaya dan yakin bahwa aku tak perlu setiap saat izin pada Kafani, karena itu adalah pesannya.

Mengingat Kafani, juga bunga kirimannya. Ah, aku lupa belum berterimakasih padanya, cukup aku hanya ingin mengirimi sederet pesan dengan ucapan terimakasih, tidak lebih.

Saat aku hendak mengambil handphone yang kuletakkan diatas nakas, tiba-tiba terdengar dering begitu nyaring.

Kak Ano?

Ngapain?

Tumben?

Kok kak Ano si? Bukan Kafani?

Atau sedang terjadi sesuatu pada Kafani?

Arghh..

Segera kegeser tombol pnel hijau. Tampaklah wajah girangnya yang masih kuyu seperti bangun tidur

"Assalamualaikum princess."

Sapanya seperti basa dengan nada sok imutnya yang menyebalkan. Kujawab sewajarnya.

Nyatanya ada rasa sesal kenapa kak Ano yang menefonku? Bukan pria yang saat ini aku rindu, walau tidak napik kemungkinan kalau aku juga rindu pada pria yang menghias layar ini, tapi gak terlalu.

Berlanjutlah percakapan dia yang menanyakan kabar, tentu saja dengan nada menggodanya. Jangan Tanya aku bagaimana, sudah terlalu sering di goda pria menyebalkan seperti dia.

Sampailah pada acara dimana kak Ano seolah ngprank Kafani dengan menanyakan yang tidak-tidak. Membuat semuanya solah taka da aku yang mendengar percakapan keduanya.

"Kalo telfon Agatha terus denger suaranya, apalagi wajahnya, gue takut gak bisa nahan rindu dan tiba-tiba lari beli tiket buat pulang ke Indo. Emang abang mau ditinggal sendiri? Yang ada kuliah juga gak kelar-kelar bang gegara kepikiran suaranya, apalagi wajah cantiknya."

"Halah.. lebbay lo." Ledek kak Ano.

Suara yang aku rindukan itu terdengar santai nan jelas. Aku terenyuh.

sekarang sudah faham maksudnya yang tak pernah mengabariku. Tak apa jika memang itu alasannya, yang pasti dia masih mencari tahu kabarku walau caranya berbeda. Ya, dengan menanyakannya pada papa, atau mungkin ayah. Karena ayah juga juga pernah menyampaikan salam Kafani kepadaku.

Apakah ayah tidak curiga tentang salamnya? Mungkinkah akan curiga kenapa Kafani tidak menghubungiku langsung? Mengapa harus menitipkan salam?

Ya, ayah memang curiga tapi akhirnya geleng-geleng mendengarkan ucapan Kafani saat menceritakannya padaku.

"Ada salam dari Kafani, baik-baik jadi istri katanya. Heran deh ayah sama menantu ayah. Katanya biar romantis. Romantic kok lewat ayah, ckck niat pamer apa gimana? Karena ayah singgel?"

Aku tertawa mendengar pernyataan ayah yang geleng-geleng.

"Awalnya ayah curiga kalian kenapa-napa, tapi ya gak jadi. Menantu ayah rada aneh, memang ya, buah itu gak jatuh jauh dari pohonnya."

Begitulah Kafani.

Tiba-tiba layar di gatgetku bergerak seperti ada gempa, lalu muncullah wajah Kafani yang berkeringat sambil berjalan dan napasnya menderu.

Tidak ada senyum yang menghiasi disitu, seketika aku hawatir, namun sepertianya ia mengabaikanku yang sedang berada dilayar gatget, ia malah sibuk berjalan entah aku tidak tahu kemana ia pergi.

Wajah semakin tampak saat penerangan semakin leluasa. Sepertinya dia tak lagi berjalan didalam ruangan, tapi diluar ruangan.

Seketika ia berhenti, menatap layar yang otomatis akan tampak diriku, dia sedang menatapku, kaku.

Aku tersenyum, tapi kau tahu? Bibir yang aku tampakkan agar tetap melengkung. Aku memohon pada mata untuk menahan genangan yang seolah meronta ingin keluar.

Tatapannya tetap dingin, namun tersirat akan makna didalamnya. Ya, kami saling menatap satu garis.

"Ka.. kamu gak papa?"

Ha?

Seketika otakku lama merespon ucapannya. Maksudnya?

Kualihkan layar handphonku kearah lain agar tak menampilkan wajahku disana, karena air mata yang sejak tadi aku tahan menguap. Mataku tak bisa diajak berkonspirasi.

Setelah mengusap cairan yang membasahi pipiku, aku kembali menghadapnya yang tanpa senyum, justru terlihat gugup. Lihat saja keringat dipelipisnya mengkilap, pun dikeningnya.

"Siapa yang nggak papa?"

"Istriku." Jawabnya spontan. Aku tertawa geli mendengarnya yang berbicara dengan muka datar.

"Ish, singkat banget. Gak ada senyumnya."

"Takut kalo senyum."

Ha? Maksudnya? Duh lagi-lagi aku tidak paham kata-katanya yang ambigu.

"Takut kenapa?"

"Takut istriku semakin merindukanku."

Aku tertawa, padahal nadanya tetap saja datar. Pede sekali dia. Tapi, benar adanya, aku rindu dan akan semakin merindukannya kalau melihat senyumnya.

"Jangan tertawa." Seketika tawaku terhenti. Ah, aku benar mengikuti perintahnya. Kutautkan kedua alisku tidak paham, seolah aku bertanya kenapa, kenapa aku tidak boleh tertawa?

"Jangan tertawa, ketawamu membuatku candu." Aku tersenyum mendengarnya. Dasar pria tukang gombal.

"Nggak usah senyum-senyum, aku gak lagi ngegombal."

Ishh.. apasih maunya pria ini? Ketawa gak boleh, senyum juga gak boleh. Serba salah. Jadilah aku hanya bungkan menatapnya sebal. Baru juga pertama kalinya bercakap.

"Pertanyaanku yang pertama belum dijawa loh."

"Hah? Yang mana?"

"Kamu nggak papa?"

"Memangnya aku kenapa?"

"Ditanya malah nanya balik. Kamu nggak papa kalau aku merindukanmu?"

Nah lho, pria ini selalu saja mampu membuat dadaku meletup-letup kegirangan. Padahal pertanyaan sederhana dan nggak penting dijawab. Karena jawabannya sudah pasti dan jelas tidak apa-apa, masih saja begitu.

Jangan tanya bagaimana kekesalanku pada pria di layar gatget ini, sudah tak ada lagi yang tersisa, yang ada hanya rasa... rasa apa ya? Definisikan sendirilah. wkwkwk..

jazakumullahi khairan..

sayang kalian yang udah baca sampe part ini.

oh iyya, baca cerita baruku yuukk yang judulnya Nafish Azhura..

aku update barengan sama part ini. semoga minat ya.. hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top