Sudah Lupa

_15_

_Ustadz Pribadi_

         Seklumit rasa absurd mengarungi relung dada, membuat pillu siempunya. Bukan seperti ini yang ingin kurasa, kegundahan yang tiada ujungnya. Semoga saja masih berujung, aku tak ingin tenggelam dalam alunan rasa tak bertepi. Sungguh aku tak mengerti. Harusnya aku tidak diam seperti ini, tapi tengadahkan kedua tangan dan memohon petunjuk pada sang pengatur alam. Pernyataan ayah tadi malam benar-benar membuatku gundah tak menentu, suara khasnya masih terekam jelas dibenak tanpa sisa.

         “Tha…  rekan ayah melamarmu, ayah harap kau akan menerima nya. Umur tidak ada yang tahu Tha, ayah hanya ingin putri  ayah benar-benar ada yang menjaganya sebelum malaikat menjemput ayah, dan pastinya ayah jua harus tahu siapa dan seperti apa pria yang akan memindahkan tanggung   jawab ayah.”

         Aku masih bergeming didepan kelas menatap lalu lalang mahasiswa yang berhambur memesuki kelasnya masing-masing, sedang dua menit lagi kelasku harus dimulai, tapi dosenku belum datang dan aku masih berperang melawan pikran-pikiran absurdku.

         “whoy Tha.. gak mau masuk kelas? dilihatin pak Ridho tuh,” tegur Aldho selaku KMku.

          Aku terperanjat kaget saat pak Ridho yang Aldho sebut menatapku intens dengan jarak lima langkah. Oh, itukah dosen pengampu matkul hari ini? Emm.. lumayan bikin merinding .
Segera  kumasuki kelas dan sudah disambut Rara dengan senyum khasnya.

         Suasana baru menandakan libur panjang masih tercium baunya dengan teman yang masih sama, muka yang biasa dilihat setiap harinya. Merasa bosan, mungkin. Tapi bersabarlah, ini sudah tahap akhir.

Ya, ini adalah awal semester akhir.

          Aku tak lagi mengikuti dua  semester dalam waktu tempuh satu semester. Satu tahun kulewati penuh perjuangan agar tak ada kelas yang harus ku ulang. Alhamdulillah nilaiku diatas rata-rata, walau tidak sempurna, setidaknya tidak mengulang.

         Mulai saat ini Tak ada lagi yang namanya kelas bentrok, tak ada lagi kelas yang dipenuhi adik tingkat, tidak ada lagi tugas berlipat, dan tentunya tidak akan ada lagi Andre yang dengan sejuta gombalan recehnya.

         Mengingat Andre, pria itu tak pernah lagi menghubungiku selama liburan. Mungkikah ada yang salah pada dirinya? Jujur saja, candaan garingnya membuatku melupakan beban walau hanya sedikit. Setidaknya berkurang. Dan sekarang aku lagi membutuhkannya, butuh candaan garingnya. Setidaknya pernyataan ayah semalam tereleminasi dari pikiranku walau itu hanya sebentar.

         “kalau kamu gak jawab, berarti kamu menerimanya. Ayah anggap begitu.”

          Ah, perkataan ayah, sungguh menghilangkan vokusku hari ini. Mengapa ayah mengambil keputusan begitu cepat? ini bukanlah pilihan yang berlaku sementara. Memilih teman hidup itu adalah pilihan yang harus dipersiapkan dengan matang karena menyangkut pertahanan seumur hidup, bukan hanya sementara.

        “hey Tha.. kamu kenapa sih?” Tanya Rara membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar  semua penghuni kelas sudah berangsur keluar. Jadi, sedari tadi aku berkecipung sama pikiran sendiri dan tidak tahu apa saja yang dibahas dosen, syukur-syukur ini pertemuan pertama, paling nggak hanya membahas kontrak kuliah, bukan mata kuliah.

         “woy Tha ... lo kenapa sih ngelamun dari tadi?”

         “em ... ah gak papa Ra, keluar yuk. Kelasnya dipakek kan?” ajakku setelah dirasa hanya tinggal kami berdua.

         Kami melesat cepat setelah banyak adik tingkat yang mulai megambil posisi duduk, mencari tempat yang nyaman untuk menerima matakuliah pertama. Ada yang mengambil posisi paling depan, dengan alasan agar bisa menyerap materi sepenuhnya. Ada juga yan tak segan untuk mengambil posisi paling belakang pojok kelas, tidak ada lagi alasannya selain bersedia payung sebelum hujan, maksudnya berjaga-jaga jika matakuliahnya membosankan bisa langsung merem tanpa terlihat dosen pengajar.

       Bagamana aku bisa tahu? Hah, aku pun mahasiswa, juga paham karakter mahasiswa.

         Sampai diluar kami beranjak menuju kelas berikutnya yang dijadwalkan di kelas sebelah. Alih-alih memasuki kelas, seseorang yang nyangkut dikepala tadi pagi mencegah langkah kami, tepatnya aku, karena dia memanggilku. Sedang Rara, mau tidak mau juga harus terhenti karena kami sedang beriringan.

         Lama berbincang sekedar basa-basi seolah teman lama, untung saja dosenku belum datang.

        “tumben lama gak spam chat? Aku chat kamu juga gak dibalas,” tanyaku penasaran, karena bukan hal wajar. Bilang tidak ada paket, masa sampe dua bulan. Tapi apa peduliku, hanya saja mersa ada yang kurang, dia sudah seperti adik.

         “ciaelah ditanyain, kangen ya kak?” adduh, sepertinya aku salah pertanyaan deh.

        Harusnya kenapa masih muncul, kirain udah hilang ditelan bumi. Berhadapan dengan orang terpede didunia harus pandai-pandai memilih pertanyaan.

         “pede amat sih lu, amit-amit Agatha ngangenin lu. Mending ngangenin kucing, gemesin.” begitulah kalau Rara sudah ketemu Andre, tidak ada akurnya. Tapi, lumayan bis jadi hiburan. Mereka berdua bikin kesel tapi gemesin.

       “ih ... sirik aja sih kak Rara, gak ada yang ngangenin yak? Sni biar saya yang ngangeni.”

        “ogah, najis gue dikangenin lu”

        “eh gini-gini saya punya seribu pesona loh kak, kesambet saya baru tau rasa.” Rara bergidik ngeri.

       “hah? kesambet sama lu? kayak gak ada cowok lain aja.”

        “hmm kak Rara belum tahu rasanya  kepikiran orang berhar-hari sampek gak bisa tidur. Nanti saya bikin kak Rara kepikiran saya sampe gak bisa tidur baru tau rasa.” Rara semakin muak dan berlagak ingin muntah.

        “ingat loh Ra, ucapan itu bakal balik Kediri sendiri. Hihi,” celahku diantara keduanya.

         “bener tuh kata kak Agatha. Nanti kalo kak Rara gak bisa tidur gara-gara mikirn saya, telfon aja saya, 24 jam buat kak Rara, nanti saya antarkan obat nyamuk biar gak ganggu kak Rara dan bisa ketemu saya dan nyeyak lagi tidurnya, gimana? Heheh.”

        “eh dasar lo, adik tingkat kurang kerjaan.”

       “ye, mending kurang kerjaan daripada nggak ada kerjaan.”

        “udah Udah, Kalian ini kayak Tom and Jarry aja. Kamu masuk sana And ... keburu datang dosennya.”

         “ehe iyya kak.” cengiran menyebalkan menghiasinya. Sedang Rara memutar retinanya malas.

         “eh.. Kak, dosenku belum dateng.” baliknya setelah melihat kedalam kelasnya melalui celah jendela yang tak jauh dari kami berdiri. “boleh saya Tanya sesuatu?” tatapannya tanpa ragu, seolah pertanyaannya begitu penting.

        “boleh. Saya akan jawab kalau saya bisa jawab.”

        “pas bundanya kak Agatha hamil, suka ngidam kopi ya kak.” hah? Bunda? Kopi? Tidak salah dengan pertanyaannya? Pentingkah pertanyaannya?.

        “kenapa Tanya begitu?” keningku mengerut heran.

       “iyya … soalnya tadi malem kak Agatha bikin saya gak bisa tidur. Kak Agatha mengandung kafein ya?”

        “hahaha…” bukan tawalku yang pecah, tapi Rara, setelah dari tadi diam dengan muka seriusnya, menunggu pertanyaan aneh si Andre. Sedang aku hanya menimpali dengan tawa ringan.

         Kugelengkan kepala merutuki tingkah adik tingkat yang suka gombal ini.

        “kamu ada-ada saja And, udah sana masuk. Tuh dosenmu sudah masuk,” tunjukku pada ambang pntu kelas Andre. Aku dan Rara pun berangsur memasuki kelas yang bersebelahan dengan kelas adik tingkat itu.

         Lagi-lagi aku tak bisa vokus pada apa saja yang dibicarakan dose didepan kelas. Sesuatu yang mengalihkan vokusku sejak bangun tidur kini kembali setelah beberapa menit lalu menghilang akibat kehadiran Andre dengan tingkah anehnya, dan yang lebih aneh lagi aku merasa kehadiran Andre membutku nyaman, laiknya dia adalah seorang adik. Andai saja dia adikku, pasti aku akan tertawa setiap hari dengan candaan garingnya.

         Teringat soal adik, bunda pernah bercerita bahwa ia bukan tak ingin memberikan adik, hanya saja bunda beberapa kali keguguran dan akhirnya pasrah bahwa Allah tidak lagi memberi kesempatan untuk menitipkan anak kepada bunda dan ayah. Saat itu aku sudah memasuki sekolah menengah pertama dan merajuk meminta adik.

         Kini aku mengerti kenapa bunda tidak bisa memiliki bayi lagi, selain kehendak Allah bunda juga merahasiakan kelainan pada rahimnya hingga detik-detik terakhirnya dibumi, sampai-sampai ayah harus mengetahuinya dari dokter saat membawa tubuh pucat bunda yang dalam keadaan tak sadarkan diri, dan itu juga bunda rahasiakan dari ayah dengan alasan tidak ingin membuat beban ayah bertambah. Begtulah pengakuan ayah yang menyesal dan menyalahkan dirinya atas ketidak tahuan penyakit bundan yang disimpannya rapat-rapat hngga aku berumur 20 tahun.

         “sekarang usia putri kecil ayah sudah 21 tahun, tepat satu tahun yang lalu bunda pergi meninggalkan kita. Tugas ayah sebagai suami sudah tehenti saat itu juga dan ayah hanya melanjutkan tugas ayah sebagai seorang hamba juga seorang ayah."

         "Tugas seorang ayah mendidik puterinya. Sekarang Agatha sudah berubah menjadi wanita muslimah sesungguhnya, ayah merasa berhasil telah mendidikmu."

        "Tapi, ternyata keberhasilan ayah tidak sepenuhnya sempurna. Keberhasilan ayah  akan sempurna ketika ayah telah menjabat tangan pria yang baik agamanya juga kepribadiannya, yang telah berani mendatangi ayah untuk memindahkan tanggung jawab ayah atas putrinya.”

         Kalimat panjan ayah kembali menohok dada, itu adalah kalimat pembuka sebelum ayah mengutarakan maksudnya tadi malam. Rentetan kalimat itu yang juga membuatku bungkam tak berkutik, bahkan tak menyanggah sediktpun. Rasanya kalut kala itu. Aku yang selalu bawel denga sanggahan bahkan penolakan ketika ayah meminta atau menawarkan sesuatu. Seperti permintaan ayah agar aku tidak memakai jins yang memperlihatkan lekuk tubuhku dan dengan sejuta alasan yang aku utarakan untuk menolak permintaan ayah agar aku menjadi wanita muslimah seutuhnya.

Sekarang aku sudah mengerti dengan hukum pakaian ketat, aku mulai enggan dengan pakaian itu, bahkan semua pakaian ketat yang kumiliki dibakar. Awalnya merasa mubadzir dan ingin memberinya ke anak yatim, tapi ayah melarang karena sama saja aku menyalurkan dosa dengan memberikan pakaian gak baik itu.

       “Tha.. ayok pulang,” ajak Rara yang bertengger didepanku dengan tas selempang yang sudah siap menggantung dibahu kirinya.

       “lo kenapa sih dari pagi melamun terus, gue kesepian tauk. Gak ada Agatha yang nyerocos seperti burung beo, gak ada cerita-cerita yang biasa gue dengar. Apalagi liburan panjang. lo kemana aja sih liburan? sibuk sama mainan baru?” cerocos Rara tanpa jeda. Aku tak punya kesempatan mejawab pertanyaannya satu-satu. Selalu begtu, pertanyaannya dilempar tanpa ampun.

         “ih, apaan sih, mainan baru apa? aku bukan anak kecil lagi, gak ada mainan baru ya,” sanggahku saat kami melewati lorong kampus menuju kantin. Sepeerti biasa, kami akan makan siang di kantin dan berbagi keluh kesah.

       “oh iyya, lupa belum move on dari mantan. Iyya kan?”

       “mantan?”

       “jangan pura-pura lupa deh lo kalo punya mantan. Lo belum bisa lupain Kafani kan?”

       "Ishh.. sudah lupa kali Ra, jangan ingetin lagi"


Jangan lupa dukungannya, fote dan komen.

Makasih sudah mau mampir pada cerita garingku.
😍😍😍

Republish 14 agustus 2020
Follow my ig  melodybisu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top