selembar surat

_4_

_Ustadz Pribadi_

Jangan membenci apa yang seharusnya
Memang tak perlu dibenci
Terlebih perihal rasa
Karena ia ada tanpa direncana

Adnil_

___________________€€_________________

assalamulaikum

Agatha...

Mengingat minggu depan adalah pertemuan terakhir kita belajar, dan untuk satu minggu kedepan saya tidak bisa mengajar Agatha, karena ada tanggungan lebih besar yang Pak Kiyai percayakan kepada saya.

saya minta maaf sebesar besarnya, saya juga minta maaf jika selama mengajar Agatha saya cuek, tak pernah memandang Agatha, karena saya takut pandangan saya tak terjaga.

Saya minta maaf jika selama mengajar Agatha ada salah yang tak terlihat.

Agatha terimasih sudah mau menerima saya sebagai guru Agatha, terimakasih juga sudah membuat pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah bisa saya jawab, bukan saya tak mampu menjawab, tapi saya tak mampu mengucapkannya, karena semua jawabannya adalah Agatha.

terimakasih juga sudah menyadarkan saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah saya dengar dari kebanyakan murid yang saya ajari, kamu wanita hebat, wanita cerdas, dari pertanyaan-pertanyaanmu membuat saya sadar bahwa perjalanan saya menuju Allah masih sangat jauh.

Untuk mengajarimu mencintai Allah sungguh bukan saya ingin menolak tapi karena sayapun juga tak mengetahui bagaimana caranya. Tak seperti yang Agatha ketahui, saya pun tak mencintai Allah sepenuhnya Agatha, karena saya sadar masih ada makhluk allah yang mampu memalingkan saya dari Allah.

Agatha..

Saya bersyukur allah kirimkan kamu sebagai murid sekaligus guru bagi saya, sebenarnya saya tidak pantas menjadi gurumu, karena pengetahuan saya tidak seberapa.

Agatha..

Maaf, saya tak pantas punya rasa seperti ini, rasa yang lahir sebelum bertemu Agatha di pesantren inI. Agatha, uhibbuki qobla nata'allam, dan saya harap kamu mengerti maksudnya. Berharap pula kamu mau belajar mencintai Allah bersama-sama.

Wassalam

Fadly.

_________________€€___________________

Surat ini tertulis rapi bukan dengan tinta pena, tapi tinta printer. Sebegitu niatkah sampai diketik?

Nyatanya bukan ditulis dengan apa yang terpenting, tapi isinya, apa yang disampaikan.

Apa maksud ustadz fadly? Aku tak mengerti. ada rasa sebelum bertemu aku di pesantren? rasa apa? Apakah ustadz Fadly pernah bertemu denganku sebelumnya? ah perasaan ini tak karuan, ia membuat perasaanku susah untuk di mengerti.

Aku harap presepsiku tentang dia menyukaiku itu salah, iyya kan? Berfikirlah yang jernih Agatha, tak ada bukti atau tanda dia menyukaimu. Tapi, bagaimana dengan pernyataan surat ini? bukankah ini pernyataan sekaligus bukti yang kuat?

Arghh..

haruskah aku benci?, haruskah aku hargai?, dan haruskah aku berbohong bahwa aku sudah melupakan Kafani?, tidak. aku tak bisa berbohong bahwa Kafani masih tak bisa hilang dari hatiku, Kafani masih melekat pada fikiranku, hanya raga Kafani saja yang tak pernah terlihat.

walau aku mampu berbohong akan kafani tapi tidak dengan hatiku, hatiku tak bisa berbohong, dan ustadz Fadly? Aku membencinya, sungguh walau sebenarnya tidak boleh membenci seseorang yang sudah berbagi ilmunya. Maaf.

"Huss... Agatha...." suara yang tak asing lagi didengar juga lambaian tangannya dihadapanku. yah, Naila, lagi-lagi dia memecahkan lamunanku. Naila menatapku lekat-lekat, seolah ada yang dia telusuri. segara kututup kitab yang terbuka dan kuselipkan surat yang kubaca didalamnya.

Aku yang duduk bersandarkan tembok kamar bersebrangan dengan pintu kaget melihat Naila tiba-tiba sudah disampingku, kayak hantu tiba-tiba ada.

"Apa sihh ... heran gitu liatnya, sudah lupa sama salamnya?" balasku dengan tatapan aneh.

"Ye.. kamu tuh yang heran, kenapa? aku udah ngucap salam dua kali tapi gak dijawab-jawab, lagi mikirin apa sih sampek salamku yang menggema tak kedengeran, ehh.. tak dihiraukan lebih tepatnya." Naila mengumpatku yang sama sekali tak menyadari kedatangannya, bahkan tak mendengar salamnya.

Hhh... surat ini benar-benar bikin aku gak karuan, tiba-tiba Naila terfokus pada kitab yang aku pegang, bahkan ia lupa aku tak menjawab pertanyaannya. Sesegera mungkin ia meraih kitab yang sedari tadi aku dekap. tak ingin Naila tahu kitab itu, tapi percuma kitab sudah berada ditangannya.

"Cie kitab baru ... kitab apa sih ini Tha..?" tanyanya curiga. Sesegera mungkin kutarik kembali kitab yang ditangan Naila sebelum ia membuka isinya dan menemui surat didalamnya.

Uch.. lega. hampir saja Naila tahu, aku rasa dia akan curiga lalu memaksa agar diberi tahu, kalau tidak dia akan meraih kitabnya secara paksa. Jadi serumit ini hanya selembar kertas yang dioret tinta. Heuft.

"Baik.. tak mau memberitahuku atau aku harus cari tau sendiri?" beginilah berhadapan dengan princes kepo.

"Iya iya.. maksa banget nih orang," timpalku kesal dan memutar bola mata mencari kata yang cocok untuk dikeluarkan, tapi aku akan ngerasa bersalah jika harus berbohong pada satu orang ini, orang yang adalah sahabatku, bahkan saudara bagiku.

Alhasil kuceritakan semuanya, kitab yang diberikan ustadz Fadly adalah Fathul Mu'in, kitab yang menjelaska tentang fiqih. Kitab yang sama dengan Fathul Qorib, hanya saja pembahasannya lebih luas, lebih rumit dalam memahaminya. Tentang surat, aku agak ragu Naila bisa dipercaya, atau bisa saja dia histeris dan membuat semua mata tertuju padanya.

Ow.. tidak...

Naila benar-benar heboh, matanya membelalak kaget. "woaa... dari ustadz Ff..bmph." segera kubekap mulutnya agar suaranya yang menggema terhenti. Kulebarkan mataku bersamaan dengan kerutan di dahiku juga mimik muka yang memberi isyarat untuk dirahasiakan.

Akhirnya dia mengerti, mengangkat tangannya dan menunjukkan dua jari 'peace' . Aku melepasnya dan ia hanya berbisik memastikan kebenarannya. "ustadz Fadly?" matanya masih melebar tak percaya namun dengan senyumnya yang aneh penuh makna (jahil), dan aku masih dengan isyarat jari telunjuk menempel dibibirku, "Sssstt...." lalu menggerak-gerakkan kepalaku mengiyakan tanpa suara

💌💌💌

Malam telah larut, keheningan terus berlanjut, tak ada kasak-kusuk yang menyambut, mataku masih enggan mengatup padahal sudah mengantuk. Tak ada ketenangan dibalik hening, hatiku masih gelisah, pikiranku masih berjelajah. Wahai hati haruskah serumit ini?

Aku membenci yang seharusnya tidak perlu dibenci. Membenci pernyataan dari sebuah surat tentang perasaan? sungguh ini bukan salah rasa, tidak ada yang salah perihal perasaan.

Maaf, untuk perasaan harus kutegaskan. Tidak ada yang perlu berharap tentang hal ini, agar tak ada hati yang terluka. Tapi sungguh, aku membenci perasaan ustadz Fadly. Tak bisakah dia menahan rasanya? tak bisakah dia bersikap layaknya Ali?.

Kuambil kesempatan ditengah malam, dimana semua santri telah berlayar kepulau kapuk. Namun, tidak dengan diriku, masih ada yang mencegahku untuk berlayar.

Bismillah. Allah lah sebaik-baik penulis skenario.

Kata demi kata ku-urai dengan tinta diatas lembar putih mengalun manja. Kutuang semua rasa tanpa kebohongan yang menyapa. Biarkan sunyi menjadi saksi bahwa tak ada dusta diatas tarian pena. Kualunkan senyum usai menyiratkan rasa.


Alhamdulillah, setidaknya hatiku lebih lega. Kubaca kembali kata demi kata agar tidak ada kata yang menyakitkan atau menyinggung perasaannya, setidaknya sudah kugunakan kalimat sehalus mungkin.

Kuambil kesempatan terjagaku untuk memasrahkan segalanya kepada Robbku, berharap kegelisahan segera sirna. Memohon petunjuk terbaiknya, memohon maaf jika keputusanku keliru, memohon jalan yang sebanarnya telah Ia peraiapkan.

"Assholaatu khoirun mminannaum"

Suara adzan terdengar sayup-sayup dari toa mesjid santri putra. begitu tenang, mententramkan jiwa yang mendengarnya.

Satu kata untuk muadzdzin, merdu.

Dub. Suara ini seperti tak asing lagi terdengar ditelinga. Ustadz Fadly?. Memang ustadz yang menjengkelkan bikin tak enak hati. No, ini bukan ustadz Fadly, dia masih be4ada di jogja, 'kan? Bilangnya masih seminggu disana.

Plhuk.

Bukan pukulan, tapi segulung mukenah dilapisi sajadah tebalnya Naila, membuatku kaget ketulungan. Ia sengaja menjatuhkannya dihadapanku agar tersadar dari lamunan.

"Bengong aja si kamu Tha, masih subuh."

"Sstt.. adzan." tanganku berisyarat.

Naila menunjukkan kedua jarinya berbentuk V, bertanda dia tak sengaja, sedang tidak sadar, atau memang belum sadar sepenuhnya. Hiks..

Kami sama-sama menengadah, berdoa setelah adzan dan tak lupa kami juga berdoa mengambil kesempatan waktu ijabah antara adzan dan iqomah.

Kami sibuk masing-masing, berkomat- kamit mengadukan segala keluh kesah dan keinginan yang kami tidak tahu itu benar kami butuhkan atau hanya keinginan ambisi semata.

Republish 6 Juli 2020
Follow my ig: melodybisu
Dan tag jika kamu mengutip bagian didalamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top