Percaya dan Tidak.
Assalamualaikum..
Bismillah..
..
Jangan lupa kasih bintangdan komennya yaa...
Gak maksa sih seikhlasnya.
Tapi, itu bakal nambah semangat aku nulis loh..
Saayang kalian yang udah setia baca, ngvote dan komen ceritaku.
Terus dukung aku ya... 😍😍😍
Happy reading..
_31_
_Ustadz Pribadi_
Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. Berjuang tak sebercanda itu.
_Sujiwo Tedjo_
Beberapa detik berlalu kak Ano sudah lengang dari ambang pintu, kemudian diikuti bunda Nin dan Naila, namun aku sempat menarik tangan Naila.
"Gak nyangka aku sama kamu, ternyata benci bisa jadi jodoh ya?" Kutautkan alis tidak mengerti.
"Maksudnya?"
"Ihh kamu itu bikin gemesh deh. Udah ah, tunggu aja pangeranmu. Oh iyya, intinya aku kemari bersama pak kiyai memenuhi undangan untuk menemani buk Nyai."
Naila berlalu begitu saja, membiarkanku sendiri kedinginan tapi berpeluh tak henti-henti. Rasanya jantungku tak berfungsi normal, apalagi aku harus siap siapa yang telah mengucap akad, memikul tanggung jawab, menjadikan aku pelengkap agamanya.
Suara ketipak langkah pelan mendekat, jantungku benar-benar seperti ingin melompat, aku tidak bisa diam dalam keterdudukanku. Akhirnya aku memilih bediri dan berbalik arah membelakangi pintu. Berbagai asma Allah kusebut untuk menguatkanku. Bismillah, aku sudah jadi seorang istri, mau tidak mau aku harus mencintainya.
Tok.. tok.. tok..
"Assalamualaikum."
Deg
Aliran darah seolah berhenti begitu saja, jantungku terasa berhenti memompa darah yang mengalair keseluruh tubuh. Suara ini? Suara tidak asing lagi, ucapan salamnya? Mungkinkah? Tidakkah ini adalah mimpi yang nyata?
Suara ketipak langkah semakin mendekat. "Assalamualaikum Agatha." Suaranya lembut, deru napasnya sangat kentara di telinga kiriku, aku menunduk, memilih menatap pinggiran kasur yang berada dihadapanku.
Jantungku semakin tak karuan saat ia memutar badanku, jantungku meletup-letup bak petasan, tubuhku seolah luruh seketika, aku tak bisa bergerak sedikit pun, bibirku kelu, suaraku tercekat. Masih tidak percaya dengan pemilik suara ini. Allah maha baik bukan? Memberikan kejutan.
"Menjawab salam itu wajib lho." Aku semakin membulatkan mata dan ia hanya tertawa lucu menatapku, dan tawa itu.. tawa yang pernah menghilang.
"Aku tahu kamu kaget, tapi tidak segitunya Tha, kagetnya entar lagi aja ya, kamu harus tandatangani ini. Surat sah bagi negara." Ia memberikan dua buku berukuran kecil, bersampul merah kecoklatan dan hijau tua pekat. Ia meletakkannya dinakas samping tempat tidur lengkap dengan pena. Tak lupa surat-surat ber-map yang harus kutandatangani juga.
Namun, aku masih dalam geming, masih timbul tanda tanya. Tapi, akhirnya kubuka satu-satu dengan tangan berketar seperti kehilangan tumpuan. Pertama kuraih buku bersampul merah terpampang garuda warna emas, diatas tertulis BUKU NIKAH ISTRI.
Bismillah, kubuka perlahan, lalu kuputar retina, bertanya-tanya dimana aku akan menandatangani. Saat aku diam beberapa detik, pria yang berstatus sebagai suamiku ini menunjukkan dimana aku harus menandatangani.
Ya, aku menandatangani diatas namaku yang tertulis sebagai istri, dengan tangan yang masih bergetar aku menuntun pena, alhasil guratannya tidak rapi. Sebelum aku tutup ternyata tempat yang tertulis sebagai suami belum juga ditandatangani, jadi aku putuskan untuk menyerahkannya. Tapi urung saat kulihat namanya. Buku itu terjatuh entah kemana, tanganku seolah tak bertenaga.
"Kenapa Tha.." pria didepanku kebingungan.
"Kafani?" Ucapku ragu, Pria dihadapanku tersenyum penuh.
"Kenapa memangnya Tha? Aku datang untuk menepati janjiku." Aku menggeleng tidak percaya.
"Bu.. bukan Ustadz Fadly?" Tanyaku lagi, ia hanya menautkan alisnya.
Dia tersenyum, "keduanya sama Tha." Perlahan aku mundur dan kakiku menginjak gaunku sendiri, akhirnya aku jatuh dan terduduk tepat pada pinggiran kasur, air mataku merembes tanpa izin. Kenapa? Kenapa Kafani berbohong?
"Kenapa Tha? Kenapa kamu menangis?" Pria ini sudah berada dihadapanku hendak jongkok mensejajarkan pandangannya padaku, tapi tiba-tiba aku berdiri yang membuatnya mundur gelagapan.
Hiks.. hiks..
Aku tidak peduli make upku luntur, biar saja hilang sekalian.
"Kamu jahat Kaf, kamu pembohong." Aku hendak melangkah tapi pria berkemeja putih berlapis jas krem menghadangku.
"Apanya yang pembohong? Aku memang jahat, meninggalkanmu tanpa kabar." Lagi-lagi aku menggeleng.
"Kamu jahat Kaf udah bohongin aku hikss.. kenapa harus Ustadz Fadly? Kenapa tidak jujur kalau kamu kafani? Hiks.." kubiarkan air mataku mengalir tanpa henti di sela-sela pori pipiku.
Aku benar-benar kehilangan tumpuan, aku yang sudah berjarak dua langkah dari tempat akhirnya luruh ke lantai. Hal yang sama Kafani lakukan. Ia menggenggam kedua tanganku erat namun aku tepis. Tapi, lagi-lagi ia meraihnya, kekuatannya tidak sebanding denganku.
"Berpura-pura menjadi guruku agar aku melupakanmu? Berpura-pura menjadi orang lain lalu membuatku jatuh cinta lagi? Hiks..
" Jatuh cinta lagi sama orang yang sama. Hiks..
"Kamu jahat, Kaf," berontakku pada tangan yang Kafani genggam.
Aku melepas kaitan tanganku sekuat yang aku bisa, aku berdiri semampuku, mengangkat gaun dengan kedua tanganku. Dengan sisa-sisa tenaga yang sudah melupakan degupan sejak tadi aku berlari.
Cklik.
Saat pintu terbuka, banyak wajah tak asing tertangkap basah seperti baru saja menguping. Aku mengabaikannya, yang ingin aku lakukan adalah lari menjauh dari pria itu dan menemui ayah, ya aku ingin memeluk ayah. Tapi, pergerakanku tidak ada hasil. Seseorang berhasil mengaitkan tangannya di pergelangan tanganku.
"Lepaskan aku, Kaf," mohonku pada pria yang berhasil memegang tanganku.
"Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. Berjuang tak sebercanda itu Agatha," ucap Kafani yang masih mengait pergelangan tangan kiriku. Semua orang di balik pintu tadi menyaksikan drama tanpa latihan ini.
Tangan sebelahnya lagi ku gunakan untuk menyeka air mata yang tak henti mengalir. Masih tak ingin membalas ucapan Kafani, tangan yang masih tersekat tiba-tiba tertarik paksa.
Bhekk..
Tubuhku menghantam dada bidang pria yang menariknya. Isakanku tak mau berhenti. Lengan kekar melingkari tubuhku erat. Aku tak bisa berkutik bahkan berontak pun tak menghasilkan apapun.
Tangisku semakin pecah, namun bukan pesakitan yang kurasa, tapi kenyamanan yang membuatku ingin meluapkan semuanya.
Hiks.. hiks..
"Kamu jahat Kaff.." pukulku pada dada bidangnya.
"Maaf Tha.. aku hanya ingin berusaha menepati janjiku. Kukira kamu akan mengenaliku, tapi nyatanya kamu lupa nama panjangku. Saat itu aku benar-benar ingin melupakanmu, aku bukan pria baik seperti yang ayahmu katakan. Tapi, qodarullah, Allah pertemukan kita setahun kemudian, bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai guru dan murid." Penjelasannya panjang.
Aku masih enggan untuk bergerak sekecil apapun, masih dalam dekapan hangatnya. Benar, aku yang melupakan nama panjang Kafani. KAFANI ROBBY FADLY.
Cukup lama pria sebagai imamku ini mendekap, akhirnya tangisku reda, sedikit aku bisa menerima. Jadi ini maksud Naila? Benci yang ujungnya nikah? Pantas saja Naila tak henti-hentinya menggodaku. Pelukan hangat ini tiba-tiba melengang, aku kembali merasankan sayup angin samar-samar dari pintu kamarku menuju balkon yang terbuka lebar.
Hiks.. hiks..
Masih dengan isak yang tersisa aku masih tertunduk berhadapan dengan pria yang aku cintai dua kali. Lalu kurasakan tangannya terulur menangkup wajahku, menyentuh daguku dengan ujung jemarinya, mengangkatnya agar tatapanku terarah padanya. Dia tersenyum, manis sekali, dan itu mendamaikan.
Perlahan jemarinya mengusap pipiku yang basah, aku sudah tidak tahu seperti apa bentuk make upku.
"Boleh kubacakan doa nikah?" Aku mengangguk pelan.
"Ehem.. gak baik bacanya kalau diambang pintu, kasian yang jomblo pada lihat, ntar kebelet nikah hahah." Tawa bunda Nin menggema, sontak saja aku menoleh kebelakang dan tersipu, melihat Naila dan Rara tertawa merasa tersindir. Aku membulatkan mata pada keduanya.
"Iya iyya deh maaf, yuk Nai kebawah." cengir Rara tanpa henti. Tiba-tiba tanganku tertari dari belakang dan akhirnya aku berada diambang pintu bagian dalam.
"Makasih tante sarannya," ucap pria yang menarik lenganku, lalu pergerakannya hendak menutup pintu terhenti.
"Eits.. jangan lama-lama, solatnya nanti malem aja, tamu pada nunggu, Agatha juga harus dimake up lagi, berantakan tuh." Sela bunda Nin, netranya mengarah padaku. Lalu diikuti pria disampingku yang juga menatapku.
"Tetep cantik kok tante," cengirnya jahil dan bunda Nin tertawa kecil, sedang pipiku sudah memanas, kuharap wajah tersipuku tak terlihat.
Dasar, pria ini gak pernah berubah.
"Kamu bisa aja, yaudah terserah, pokoknya jangan lama-lama." Tangan kanannya bergerak tegas menuju kepalanya seperti memberi hormat ala tentara.
Pintu ditutup sempurna, dan aku diam kaku, jujur saja degup jantung ini kembali kentara usai drama tangisku. Sedang Kafani juga ikut diam, nafasnya dibuang kasar.
Huwaaa... gak tahu nih yang mau nulis kelanjutannya, rada-rada sensi, padahal belum ngalamin.
Maaf yak kalau gak ngefeel..
Maaf juga di potong, gak siap bikin adegannya... gak tahu juga😣🙈
Gimana part ini?
Butuh lanjutan nggak?
Kan udah sah nih. Jadi lunas ya sampai disini?
Eh nggak, mungkin aku tambah satu part buat lengkapin kejanggalan seperti Ibra dan kejelasan Rara, emm apa lagi ya banyak deh..
Kayaknya masih banyak yang mengganjal.
Jangan lupa tekan tanda bintangnya ya ...
yang belum ngasih bintang dari part awal tolong dong dibuka lagi partnya satu-satu, tekan bintangnya ya hehe..
Tapi gak mau maksa kok, seikhlaanya saja, semoga aku juga ikhlas nulisnya, lillahi ta'ala doakan. :) :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top