Namanya juga Sayang

Bismillahh...
Maaf yah update tengah malam. Sengaja hihi. Biar jadi semangat buat kalian pas bangun hehe

Pede.

Selamat membaca.

Tapi sebelumnya cari tempat posisi yang enak dulu deh, part ini akan paaaaaaaannjaaaaanggg banget.
Selanjutnya tekan bintang..

Lalu...

Silakan dibaca...

Jeng..

Jeng..

Jangan lupa baca basmalah, ntar baper lagih😄😄

_43_

_Ustadz Pribadi_


Selama perjalanan, Andre tak pernah berhenti mengoceh, padahal dirinya tengah memegang kendali kemudi untuk membelah keramaian jalan.

"Bang Kaf-Kaf.. bang Kaf-kaf itu beruntung ya bisa dapetin kak Agatha."

Nah lhoo.. panggilannya itu loh, dasar Andre, tapi lucu juga kedengerannya.

Kafani yang mendengar pertanyaan Andre langsung menatapku yang berada di samping kanannya, tersenyum lalu kembali menghadap ke depan.

"Emm.." jawabnya singkat ditambah anggukan kecil.

"Pendek amat jawabnya. Panjang dikit napa. Bilang, iyya dia itu salah satu nikmat terbesar yang Allah kasi. Nah kalo gitu kan enak," suaranya mencibir seolah tak terima dengan jawaban simple Kafani.

Sedang yang mendapat cibiran hanya tersenyum kecil, sesekali melirikku, tangan kekarnya berpindah melingkari bahuku, menarikku untuk dapat bersandar dibahu bidangnya.

Kau tahu? Keadaan seperti itu bisa membuatku mendengarkan degup jantungnya yang berdetak kencang, pun dengan jantungku yang sama-sama berderu.

Bahu bidangnya nyaman, debaran di dada seolah terabaikan, meski terasa kaku, tapi Kafani seolah membuat keadaan mencair, hangat.

Kafani Menatap spion kecil yang berada di depan, yang bisa menampilkan sosok dirinya dan diriku yang sedang berpelukan dari arah samping, begitu pula separuh wajah Andre tampak disana, sambil melirik spionnya.

"Dengan begini, apa aku kurang menunjukkan rasa syukur?" Tanya Kafani tiba-tiba. Kak Ano yang berada di samping kemudi menoleh ke belakang, di mana posisi kami berada.

Sontak aku ingin melepas pelukan tapi Kafani menahannya.

"Ah elu Kaf, bisa ditahan dikit nggak sampe kerumah. Semua yang ada di depan ini jomblo." Kafani terkekeh kecil, Andre memberengut sambil fokus kedepan.

"Tauk nih bang Kaf-Kaf nih, kan bikin ngiri bang Ano, akumah apa? Masih TeKa." Dengan cepat kak Ano menoyor lengan kiri Andre, dan yang mendapat toyoran meringis jahil.

Andre memang mudah akrab dengan siapapun, bahkan dengan orang yang hanya bertemu sekali. Jadi, tidak heran jika dengan Kafani dan kak Ano yang sudah bertemu berkali-kali dua tahun yang lalu tidak merubah semuanya. Tidak membuat canggung. Dia memang pandai mencairkan keadaan, supel, dan jangan lupa, dia rada bawel. Padahal laki-laki.

Ketika mobil mulai hening, suara Andre tak lagi terdengar, hanya suara murottal yang terlantun memecah keheningan, dan dekapan Kafani semakin nyaman. Aku betah.

"Kaff.."

"Hmm.." jawabnya singkat tapi tangan kirinya menambah lingkaran di bahu depan, sedang tangan kanannya mengusap puncuk kepalaku yang tertutup hijab. Kurasakan dia seolah menghirup aromanya, menciumnya lembut.

"Masih inget Rara kan?"

Lama, dia solah mendapat jeda berpikir, tapi pergerakan kepalanya yang kurasakan menepel di ujung kepalaku menunjukkan ia mengangguk.

"Rara udah lahiran anak pertamanya. Kalo lelahmu udah ilang, kita jengukin Rara yuk, pengen liat dedek bayinya. Pasti gemesin," ucapku bersemangat setelah melepaskan diri dari pelukannya. Tapi, kedua tangannya yang melingkar di bahuku berpindah ke pinggangku, seolah ia tak ingin ada jarak sedikitpun di antara kita.

Ia tersenyum menatapku yang begitu bersemangat ingin menemui Rara. Jelas semangat, karena aku juga rindu padanya.

"Lelahku sudah hilang sejak dibandara tadi."

"Loh.. jadi sebelum dijemput masih istirahat dihotel?" Kafani menggeleng. Kutautkan alis tidak memahami maksud Kafani.

"Kan ketemu kamu," jawabnya seolah paham tatapan tanda tanyaku. Tapi, jawabannya masih ambigu. Meski paham aku masih berpura-pura tidak paham.

"Uhuk.. uhuk.."

Sebelah tangan Kafani terangkat, menjewer hidungku pelan sambil berkata, "cukup ketemu kamu, segala penat sudah terangkat," lalu dengan cepat memelukku lagi.

"Uhuk.. uhukk.." untuk kedua kalinya suara Andre dibuat-buat, sedang kak Ano menatap kami sekilas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bersyukur Kafani langsung memelukku, jadi aku bisa menyembunyikan wajah tersipuku di dalam pelukannya.

Sepertinya hobby dia sekarang meluk aku deh, dikit-dikit meluk. tanpa babibu aku mulai berani melingkarkan tanganku di pinggang rampingnya. Dia kurusan.

"Bang, gombalannya yang bermutu bang, udah biasa." Andre berkomentar.

"Ini bukan gombalan Ndre, aku gak suka gombalin cewek kek kamu. Tapi ini kenyataannya."

Andre yang mendengar sebuah kebenaran tentang dirinya langsung memasang wajah kuyunya, meggaruk tengkuknya tak gatal. Kafani terkekeh melihatnya, pun kak Ano.

"Kok tahu Andre suka gombalin cewek?" tanyaku sambil mengangkat kepala agar bisa menatap wajah berahang tegas itu.

"Dulu, sebelum balik ke Turki, pernah kepergok Andre gombalin cewek-cewek gak jelas yang lagi lari pagi depan rumah." Aku ber oh ria, merasa cukup dengan jawabannya.

Pasalnya Andre memang begitu. Jadi, jangan heran kalau dia punya banyak kenalan, sekalipun tukang siomay alun-alun, penjual bak-paw depan kampus, emm penjual gulali, siapa lagi? Ah, banyak. Dia kaya kenal semua.

"Ndre, anterin gue dulu napa kerumah, biar udah nganterin gue lu ada temennya. Gue capek, pengen cepet-cepet istirahat."

"Yah, ngak.. ngak.. kalo diantar duluan gue jadi nyamuk sendirian donk bang-bang. Gak mau ah, anterin manten baruan dulu, baru bang Ano."

"Lo kan jomblo, ntar pulangnya sendirian. Kesepian donk."

"Udah terbiasa sendiri. Don't worry. Ntar kalo ada emak-emak jomblo gue embat dah buat nemenin kesendirian gue." Sontak Kami tergelak bersama mendengar penuturan Andre yang memelas.

"Serah lo deh."

Andre benar-benar mengantar kami terlebih dahulu ke rumah, sedang kak Ano masih di mobil, tak bergerak sedikit pun. Andre membantu membawakan koper ke dalam rumah.

Sebelum aku dan Kafani berlalu dari mobil, kak Ano memanggilku dengan posisi tetap di kursi mobil, hanya membuka jendela.

"Om Ali kira-kira udah pulang ngantor belum?"

"Belum lah kak, masih pagi gini. Sore baru pulang. Oh iyya, ntar malem makan malam bersama. Kak Ano dateng kan?"

"Insyaa Allah." Seraya mengangguk. "Oh iyya, Agatha." Aku menatapnya intens, seolah ada perihal penting yang akan dia sampaikan.

"Kamu kok masih manggil Kafani? Gak ganti? Gak enak didenger udah suami istri." Seringainya jahil melihatku yang merubah mimik muka tiba-tiba.

Lalu, tatapanku berpindah pada Kafani yang lengannya masih melingkar di pinggangku posesif. Dia pun menatapku.

"Kamu nggak keberatan kan, aku manggil nama?" Kafani tersenyum dan mengangguk berat. "Yaudah kak, kita kedalem, hati-hati. Assalmulaikum.

Argh.. apakah dia ingin panggilanku berubah untuknya? Daripada malu sendiri, aku berbalik badan membawa Kafani untuk segera istirahat.

🍁🍁🍁

Makan malam pertama setelah kepulangan mahasiswa Turki. Ada rasa bahagia yang tak dapat terdefinisi secara detail. Bunda Nin, om Hisyam, papa mertua, dan Kak Ano. Andre? Dia memang sudah disini sejak sepulang mengantar kak Ano.

Segala jenis masakan terhidang. Bik Inah memang pandai memasak segala jenis masakan. Dari rendang, ikan pepes, sop buntut, kare ayam, emm banyak deh. Jadi, banyak pula yang tersaji dimeja berbagai macam makanan dari yang berat hingga vegetarian.

Melihat mereka semua berkumpul, lelahnya memasak sejak siang tadi seolah terangkat tiba-tiba. Aku bersykur Allah beri nikmat yang tiada tara.

Menatap semuanya yang melingkari meja makan satu persatu, tepat berhenti diposisi Andre yang berada dikanan ayah, tempat di mana biasanya bunda duduk.

Tak terasa setetes air bening melewati senyum bahagiaku. Aku rindu bunda.

Kafani yang menyadari itu langsung menepuk bahuku, menyadarkanku bahwa nasi yang sudah kusendok masih tak kusentuh. Aku tersenyum menatapnya, tatapannya mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja lalu aku mengangguk dan menatap nasi yang sudah kusiram dengan sop.

🍁🍁🍁

Usai makan malam yang berlangsung khidmat, tak lupa aku dan bik Inah sudah menyiapkan cemilan pencuci mulut, puding. Puding rasa mangga dan coklat yang sudah tersaji di meja ruang tamu.

Para pembisnis sudah mulai asyik dengan obrolannya yang bertema bisnis. sedang kami, para kaum muda lebih memilih bersantai di teras rumah yang memang tersedia beberapa kursi. Cukup untuk empat orang. Aku, Kafani, kak Ano dan Andre.

"Emm.. kak Ano kuliahnya udah selesai?"

"Belum. Tahun depan Insyaa Allah."

"Emang sekarang lagi libur?"

"Belum sih, tapi kemarin aku ikut ujian duluan, biar bisa pulang ikut Kafani." Aku mengangguk paham.

Perbincangan malam diteras rumah, dominan suara Andre yang bawel bertanya sana-sini perihal kuliah kak Ano atau pun Kafani. Seolah ia tertarik untuk kuliah disana.

"Eh, disana ada pesantrennya nggak sih bang?" Tanyanya menatap kak Ano. Sedang kak Ano mengangkat bahunya.

"Coba tanya Kafani, dia yang lebih tahu daerah sana. Dua tahun disana aku cuma ngurus bisnis, fokus kuliah. Gak sempet lihat kanan kiri."

"Cewek bercadar pun gak sempet dilirik?"

Sontak kak Ano menepuk bahu Andre pelan. "Ah elu, cewek terus yang diurus."

"Yee.. lagian pulang ke indo masih jomblo. Gak bawa bidadari dari sana gitu kek, kalo gak mau sendiri kan bisa dikasi gue bang-bang," gerutunya manja yang dibuat-buat. Aku dan Kafani hanya terkekeh memperhatikan keduanya.

"Kenapa tanya-tanya pesantren disana?" Tanya Kafani saat tawa kami sudah reda.

"Abis lulus, pengen mondok bang, mau tobat. Mau belajar agama yang jauh sekalian."

"Biar gak ketemu masa lalu yah?" Tanyaku menggodanya. Raut wajahnya langsung pias yang ditertawakan kak Ano.

"Oh jadi cewek tadi siang yang ketemu bikin lo kikuk kayak batu itu masa lalu lo?" Wajah Andre semakin menegang saat kak Ano mengungkapkan kejadian saat mereka berdua siang tadi.

Kak Ano semakin menggoda Andre yang mati bak kutu. Bawelnya tiba-tiba menghilang dan seolah mengabaikan kak Ano yang bercerita pertemuannya dengan cewek berambut hitam pekat yang digerai begitu cantik nan anggun yang tiba-tiba menyapa Andre dan membuat Andre membeku.

Aku rasa cewek yang ditemui kak Ano adalah cewek yang sama yang bertemu denganku dan Andre di alun-alun tahun lalu.

Melihat Andre yang memelas, membuatku iba. Dia seolah kehilangan kata membahas cewek yang ia temui tadi siang. Jadi, aku mencoba merubah topik.

"Kalo kamu lulusnya 2 tahun lagi, berarti mondoknya 2 tahun lagi dong Ndre. Sedang kak Ano tahun depan uda lulus. Siapa yang mau jadi penunjuk jalan kamu di sana?"

"Lah.. bang Kaf-Kaf gak balik lagi ke Turki?" Tanya Andre masih berusaha menetralkan mimik wajahnya. Kafani hanya menjawab denga gelengan.

"Jadi nanti bang Ano balik sendirian dong ke turki?" Aku dan Kafani kompak mengangguk, tapi tidak dengan kak Ano.

"Ya nggaklah. Gue pulang ke indo itu mau jemput tulang rusuk gue, biar bisa nemenin sekaligus jadi penyemangat gue di sana." Sontak aku membualatkan mata, pun dengan Andre yang antusias.

Kafani? Jangan ditanya, mukanya dia datar plus kaku kek kerupuk. Cuma sekarang mendingan. Mungkin dia juga tahu kepulangan kak Ano, makanya tidak kaget sepertiku.

"Kak Ano beneran?" Tanyaku memastikan? "Naila kak?"

Kak Ano mengangguk yakin dengan senyum bahagianya. Alhamdulillah.

"Jadi kapan nih kerumah Niala? Naila udah dirumahnya lo kak."

"Insyaa Allah secepatnya."

"Apanya yang secepatnya?"

Kami berempat tiba-tiba menoleh bersamaan ke ambang pintu. Tampak bunda Nin yang tengah mengajukan pertanyaan dari bagian perbincangan yang didengarnya.

"Eh bunda, maksudnya itu secepatnya bunda akan punya menantu."

"Oh iyya?" Tanya bunda antusias dan menghampiri kak Ano. Berujunglah malam itu dengan perbincangan penting antara anak dan ibunya yang memiliki rencana baik.

🍁🍁🍁

Sinar mentari mulai menelisik celah-celah jendela. Aroma embun pagi masih samar-samar terasa dirongga hidung. Aku menyikap tirai jendela hingga penerangan alami memenuhi kamar.

Setalahnya aku memilih tetap berdiri di jendela yang menampakkan pemandangan belakang rumah. Ada kebun kecil disana yang ayah rawat. Tapi, semenjak kepergian bunda, ayah berhenti merawatnya, ia menyibukkan diri dengan bisnisnya.

Ayah bilang, kebun itu ada karena bunda yang minta. Bunda ingin sesekali memetik cabai sendiri, terong, bahkan kangkung juga bayam. Kata bunda lebih aman dan kandungannya tidak tercampur obat tanaman, ya meski hasilnya tidak sebagus para petani. Juga itu buat ayah yang malas berolah raga. Bunda baik kan? Dia mampu mempengaruhi ayah yang malas berolah raga denga alasan kebun. Jadi, secara tidak langsung ayah sudah berolah raga.

Aku tidak tahu, setiap kapan ayah merawat kebun kecil itu. Karena dulu aku lebih suka berada diluar ,mencari kebahagiaan dengan teman, , bahkan saat liburpun aku tidak ada dirumah. Aku merasa sendiri, tidak punya saudara. Padahal bunda selalu stay dirumah kecuali diajak ayah keluar kota urusan pekerjaan.

Jadi, aku menyesalinya sekarang. Bunda dulu pasti merasa kesepian dan aku dengan asiknya mencari keramaian yang ujung-ujungnya tetep gak bikin bahagia. Bahagia sih secara dhohir, bathinku nggak.

Tapi, melihat sikap bunda yang selalu ada buat aku saat sedih, saat keputusan-keputusan ayah hatus kujalani, aku merasa tak pernah menyesali kehadiranku yang selalu membuatnya kesepian, menganggapnya tak mengerti keadaanku. Padahal bunda selalu mengerti diriku, tapi aku yang tidak mau mengerti keadaannya.

Tiba-tiba tangan kekar yang melingkari pinggangku. Tentu saja aku kaget. Aku meliriknya sekilas, sudah rapi. Sejak kapan dia ganti baju? Bukannya tadi masih dikamar mandi?

"Kamu ngelamunin apa siha,sayang."

Aish.. panggilannya. Selalu pipiku nggak mau diajak kompromi.

"Eh.. aku ngelamun ya?" Tanyaku pura-pura tidak sadar. Kurasakan dagunya yang tersandar dibahuku bergerak keatas kebawah dengan gerakan kilat.

"Sampe gak sadar suami udah berdiri lama dibelakangnya."

" masa sih?" Tanyaku lagi memastikan. Selama itukah aku melamun?

"Iyya, minta dipeluk biar sadar. Atau kamu kepikiran semalem?"

Sontak adrenalinku bertambah melesat. Aku memang sadar, posisi dekat seperti ini membuat logikaku kurang berjalan normal, hatiku yang lebih mengendalikannya.

"Ih.. apaan sih. Udah ya nggak usah dibahas." Kataku seraya mencubit lengannya yang melingkar dan aku dengan mudah mencubitnya.

Ia meringis. Tapi, alih-alih akan melongarkan pelukannya, malah semakin mempererat.

Lama hening. Kami sama-sama menikmati angin pagi itu yang cerah. Kelauan embun yang tersinari matahari didaunan mulai hilang. Aroma maskulin yang menelusuri hidungku menambah kadar ketenangan, kehangatan yangvjuga ia ciptakan.

Aku seolah tak ingin beranjak dari posisi ini. Kafani terlalu nyaman untuk dihindari. Oh Allah, sebegitu besar nikmat yang Engkau berikan. Terimakasih telah menjadikan makhluk dibelakangku ini halal untukku.

"Kaf.." panggilku memecah keheningan. Sepertinya dia juga terlalu menikmati pelukannya padaku sampai matanya terpejam begitu.

"Kamu ngantuk?"

Dia menggeleng, lalu membuka matanya perlahan. "Abis mandi dingin dan kamu menghangatkan"

Uch.. ternyata dia merasakan yang juga kurasakan. Aku kembali mentap kebun juga pemandangan yang sangat jarang kuperhatikan, dari pada aku memperhatikan wajah yang menempel dibahuku dan membuat kesehatan jantungkubterganggu. Padahal memang sudah terganggu sejak awal.

"Ka.. kamu nggak keberatan aku manggil Kafani?" Tanyaku hati-hati.

"Emm.. mau bilang keberatan takutnya kamu yang mau ganti juga keberatan." Katanya panjang masih dengan posisi memelukku. Betah banget dia.

"Aku kepikiran kata kak Ano, kalo manggil nama kaya yang bukan suami istri." Kafani terkekeh kecil.

"Aku gak ngelarang kok kalo kamu mau ganti panggilan."

"Emm.." kuputar retinaku, mencoba mencarai panggilan yang pas. Tapi nggak ketemu, bingung.

"Enaknya ganti apa? Mas? Atau Aa'," ih aku geli sendiri bilangnya. Tapi aku tetep melanjutlan pilihan yang kuajaukan. "Atau aku panggil abang? Eh.. bang kaf-kaf mungkin kaya Andre? Hihi.." aku tertawa mengingat panggilan Andre yang terdengar lucu. Kafani tersenyum menanggapi.

Dia diam seraya berfikir. "Panggil sayang juga boleh," bisiknya bikin merinding tepat ditelinga kananku, karena kepalanya tepat dibahu kananku.

Jangan tanya bagaimana aku, panggilan sayang seolah virus buat aku. Setiap Kafani memanggilku sayang ada bongkahan es yang seolah pecah belah.

Aku menimbang-nimbang usulannya, terlebih aku maaih berdiakusi dengan hatiku. Apakah nanti hatiku akan baik-baik saja? Ah rasanya ingin lompat saja dari jendela ini. Kafani benar-benar buat aku kikuk.

Dan akhiernya memilih, "nggak ah, alay."

"Loh, apanya yang alay? Itu kan panggilang sayang. Lagian bikin suami seneng itu pahala loh."

Tiba-tiba pelukannya mengendur, jangan-jangan ngambek lagi. Ah, itu bukan tipe Kafani. Tangan kekarnya beralih kebahu, memutar badanku, mata kami terkunci, dia menatapku dengan senyum manisnya. Oh Allah, sesempurna inikah Kau ciptakan makhlukMu untukku?

Wajahnya mendekat, jantungku kembali berpacu lebih dekat. "Aku sayang kamu, tapi kamu gak pernah balas panggilan sayangku. Padahal itu kode. Cewek kan suka sama kode-kodean." Bisiknya pelan dan bibirnya menyentuh bibirku sekilas, tubuhnya langsung berbalik dan berjalan menjauh seolah menunjukkan dia ngambek. Aku tahu itu hanya taktiknya.

Tanpa berpikir dua kali, aku membawa tubuhku berlari mencoba mengejar langkah jenjangnya meski jantung ini masih belum reda. Kuraih badan kekarnya, melingkarkan tengam di pinggangnya yang langsung membuatnya berhenti berjalan.

"Kok ngambek sih"

"Nggak, gak ngambek. Aku bukan cewek."

"Iyya aku mau manggil sayang."

"Gimana-gimana? Coba ulang" katanya antusias sambil membalik badannya.

"Ih, nggak usah diulang."

"Itu kan cuma pernyataan bukan panggilan." Eh iyya bener juga.

"Coba praktekin. Sayang mau kemana!" nadanya menirukan suara cewek.

"Nggak ah, kamu kok alay gitu." Wajahnya dibuat masam setelah mendengar kalimat penolakan.

"Namanya juga sayang," katanya seraya melepas lengannya yang tadi melingkar di pinggangku. Ih, beneran ngambek.

Aku menarik nafas panjang. Mwncoba menyiapkan mental. Lalu kutangkupkan kedua tanganku diwajahnya bergetar, mencoba berjinjit "iyya sayang." Bisikku lalu mencium pipinya sekilas. Dengan gerakan kilat, aku berlari keluar kamar demi menetralkan rasa maluku.

Sungguh demi apapun, semoga Allah ridho atas apa yang aku lakukan membuat suamiku senang.

_END_

Yeayy...
Alhamdulillah.. aku menyelesaikan project ini. Gak nyangka bisa selesai dan pembacanya bisa sebanyak itu.

Pertama terimakasih kepada Allah telah memberikanku kesempatan menulis ini. Semoga Allah ridho.

Kedua, terimakasih kepada segenap pembaca ceitaku, yang mensupport aku, nyemangatin aku.
Intinya terimakasih banyak, tanpa kalian cerita ini bukan apa-apa.

Curhat dikit.

Sebenarnya cerita panjang ini aku mengangkat dari cerpenku yang mendapat pujian dari teman menulisku.

Kalin tahu?
Ending sebenarnya adalah sampai Agatha dan Kafani akad. Tapi, karena aku sayang kalian dan minta tambah part, aku tambah deh.

Tapi untuk yang minta lanjut sekarang, maaf. Ini sudah mentok ideku. Dan kabar baiknya nanti aku akan bikin skuel cerita ini.
Mungikn cerita Ano, mungkin juga Andre. Dan tentunya kalian akan bertemu Agatha dan Kafani juga disana. Kalau mau sihh.. hehe

Kalo kalian mau yang mana?

Oh iyya jangan lupa mampir cerita baruku yak..

"NAFISH AZHURA"

ceritanya teen fiction, tapi bernuansa islami gitu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top