Luka Rara


assalmualaikum

alhamdulillah, Allah masih beri kesempatan untuk update.

malem jumat nih, udah pada baca Al-Kahf belum?

kalo belum, yuk baca. mumpung masih Allah beri kesempatan. jumat depan belum tentu Allah beri kesempatan.

takdir Allah, siapa yang tahu? iyya kan.

_26_

"Melukai itu mudah Tha, menyembuhkannya yang susah. sembuh mungkin bisa, tapi bekasnya masih bersisa."

_Ustadz Pribadi_

Secuil sinar mentari mengintip dicelah jendela, membuat Rara yang tertidur pulas menggeliat. aku sengaja memintanya menginap karena aku minta ditemani, sedang kak Ano harus pulang mengurus beberapa pekerjaan yang Ayah tinggalkan.

Bakda subuh aku sudah membuat beberapa makanan untuk sarapan. tidak ada Bik Inah yang mau memasak, dia izin pulang sebulan yang lalu karena anaknya lahiran.

"Ampun, kenapa kamu gak bangunin aku Tha?" todong Rara sambil mengucek matanya yang baru terbuka.

"Emang kenapa? kamu kan gak solat!"

"Aku kan pengen lari pagi, sekarang hari minggu. siapa tahu tetangga depan nongol," suaranya serak khas bangun tidur.

"Kamu itu bangun tidur bukannya baca doa, cuci muka dan sikat gigi malah ngigau tetangga baru."

Rara cengengesan mendengar omelanku pagi-pagi dan dia beranjak kekamar mandi.

***

Pagi ini semesta seakan tersenyum, aku lupa untuk bersyukur bahwa semesta Allah ciptakan untuk disyukuri. aku justru menyalahkan karena seolah mengejek keadaan hatiku yang tak karuan.

"Kamu gak ada agenda untuk menjenguk ayahmu?" kegeleng kepala pelan sambil mengayunkan kaki diatas trotoar. ya, Rara benar-benar mengajakku lari pagi, padahal matahari sudah beranjak naik. Katanya selain alasan biar ketemu cowok-cowok cakep itu agar aku bisa merefresh pikiran setelah semalem kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya dan kenapa ayah tiada dirumah.

kami berjalan menyusuri jalan yang dilewati banyak anak muda yang sekedar ingin menyehatkan badan, atau sekedar ingin merefresh kepala yang tiap harinya dipenuhi pekerjaan atau pun pelajaran.

"Kalo gak mau kemana-mana, kita silaturrahmi ketetangga baru aja gimana?" tautan alis Rara bergerak keatas kebawah memohon agar aku mau.

"Kamu ngebet banget si pengen kenal, Reza gimana?" matanya membulat sempurna dan ekspresi wajahnya berubah seketika. sedetik kemudian mengalihkan wajahnya dari tatapanku dan berjalan lebih dulu meninggalkanku kearah jalan pulang karena matahari semakin terik dan menyengat.

"Lagian kamu kesini niat belajar buat ujian besok 'kan Ra, gak usah neka-neko deh. belajar, jangan cowok cakep aja dipikirin. Pikirin tuh gimana ujiannya, apa aja yang kemungkinan yang akan ditanyakan penguji." langkah Rara terhenti dan saat aku mulai sejajar dia mengikuti.

"Iyyadeh. iyya tuan putri. mentang-mentang udah ada yang punya dan bentar lagi bakal sold out."

Aku tersenyum kecut mendengar penuturan Rara, dia gak tahu kalau-kalau orang yang akan menikahiku tak pernah kutemui. bagaimana mau aku temui sedang aku tak pernah memberinya akses untuk menghubungiku.

Sampai didepan rumah, Rara nyengir kuda melihat pria berbadan atletis sedang memandikan mobil SUV berwarna putih itu, dia melihatku seperti menemukan mangsa. aku mengerti maksud Rara, dia serius dengan niatnya.

"Assalamualikum, Tante," sapaku pada perempuan paruh baya yang sedang menyiram bunga dihalaman rumahnya, tepat disamping mobil terparkir yang sedang dimandikan.

Rara sudah menatpku intens, aku paham dia tapi dia gak paham maksudku menemui tante Rani ibu dari pria yang sedang menggosok mobilnya agar mengkilat bahwa aku tak mau berkenalan langsung dengan pria itu. aku memilih menemui ibunya agar ibunya yang mengenalkannya sebagai tetangganya.

"waalaikum salam, Agatha." Aku sempat berkenalan memang sama perempuan didepanku ini sejak hari pertama dia menapaki rumah ini. "ini siapa? sodaramu?" kulirik Rara yang menautkan alis, kuberi kode dia untuk menyalami tante Rani.

"Bukan tante saya temennya," senyum Rara setelah menyalami tante Rani.

Wanita cantik nan anggun ini ber-oh ria, faham melihat lirikan Rara yang seolah memperhatikan sesorang yang sedang membersihkan mobilnya akhirnya dipanggilnya.

"Dit, sini Dit, kenalan sama tetangga kita, biar betah. siapa tau cocok sama kamu." Netra wanita paruh baya dihadapanku mengunci mataku dengan senyumnya yang sirat akan makna.

apa maksud tante Rani? cocok apanya? duhh jangan pura-pura bego deh Tha, tatapannya tuh bisa dibaca. tante Rani suka sama kamu.

"iyya Ma, bentar." Jipratan air untuk membersihkan busa di mobilnya tak terdengar lagi, sepertinya sudah dimatikan dan suara derap langkahnya menghampiri kami.

Rara yang tadi senyam-senyum gak sadar mengerti taktikku tiba-tiba saja berhenti, mukanya berubah tegang. padahal pria yang ingin ia kenal belum sampai dihadapan.

"Aku kerumah duluan ya Tha, permisi tante," pamitnya tanpa menoleh. Sahabatku ini berbalik badan tak menghiraukan ketidak fahamanku. Tadi dia yang ngebet pengen kenal, belum kenalan main kabur aja. Kulirik pria yang tadi tercengang sekaligus kaget melihat Rara yang sudah berbalik badan dan melangkah menjauh. aku curiga.

"Ehm.." kucoba mencairkan suasana, karena mendadak tante Rina bingung menatap putranya yang bengong.

"Eh.. dia, Ma?" tunjuk pria berkaus oblong putih dengan matanya yang mengarahku kemudian berpindah lagi menatap wanita yang dipanggilnya Mama.

"iyya, cantik 'kan?" senyumnya sumringah dan jangan lupa, pujian itu juga membuatku tersipu malu, "pasti kamu bakalan sering pulang kerumah," senyumnya tanpa jeda ditambah kerlingan menggoda putranya.

"Apaan sih, Mama." Kikuk seketika. Ia pun sepertinya malu, terlihat jelas wajahnya yang diarahkan kebumi dan menggaruk tengkuknya tak gatal.

"Yaudah tante, saya kejar temen saya dulu." Agar kecanggungan ini berakhir.

"Eh kalian belum kenalan. kenalan dulu donk, Dit," todong tante Rani dengan tepukan ringan disebelah lengan pria yang basah kuyup ini.

"Eh.. ah..ii.. iyya ke..kenalkan Raditya Rega, panggil Radit aja", suaranya gugup dan tautan tangannya yang mengarahku untuk bersalaman.

"Maaf," sesalku dengan menelungkupkan kedua tanganku didepan dada, dia malu dan menarik tangannya kikuk karena uluran tangannya seolah ditolak. "namaku Agatha Syakila, panggil Agatha." Pria dengan jins panjang yang sengaja dipotong selutut ini mengangguk pelan dan tersenyum.

"Sudah, kan Ma, aku lanjut nyucinya ya?" mohonnya pada wanita dihadapanku. tanpa manunggu persetujuan mamanya dia berbalik dan melangkah menjauh.

"Yaudah tante, saya permisi. Assalamualaikum." Kuayunkan kaki menjauh dari rumah mewah.

Sampai dirumah, kukerahkan kaki menuju kamarku. Aku yakin ada sesuatu terjadi pada Rara. kulihat dia berdiri depan jendela kamarku yang menghadap jalan. dari jendela itu akan tampak rumah mewah yang tadi aku kunjungi.

"Ra." Rara menoleh kikuk seperti pengintip yang tertangkap basah.

"Kamu kena.. kring.. drrtt.. kring.. drrtt.." suaraku terjeda karena bunyi handphoneku diatas nakas. akhirnya kuurungkan untuk menghampiri Rara yang mematung.

Segera kuraih handphone yang tak kubawa sejak tadi. "Dari tadi itu handphonennya bunyi," suara Rara menjelaskan. kutautkan alis seolah menanyakan kenapa dia tidak mengangkatnya.

"Nomor tak dikenal, makanya gak aku angkat," jelas rara kemudian. dia mengerti tautan alisku. tadi aja dia gak ngerti taktikku.

"Halo, assalamualaikum," sapaku setelah telfon kuangkat.

"Waalaikumussalam, AGATHAAAA.." kujauhkan handphone dari telinga karena suara khas perempuan yang terdengar berteriak membuat telingaku terngiang-ngiang, ciut.

"HALO AGATHA.. KEMANA AJA, KOK BARU DIANGKAT TELFONKU?" kukeraskan volume karena permintaaan Rara melihat tingkahku menghindarkan telfon, mungkin dia khawatir karena penefon nomor tak dikenal.

"Maaf, ini dengan siapa?" suaraku lebih dinaikkan.

"Masyaa Allah, sudah lupa sama temen sendiri hiks.. hiks.." isakannya pura-pura. kuingat-ingat milik siapa suara ini.

"NAILA?" suaraku berteriak bahagia juga rindu berpadu. sedang Rara yang sedari tadi duduk dipinggiran kasur berjingkat kaget. Aku masih tetap berdiri mematung dipinggiran kasur dekat nakas dan meraih handphone kembali setelah tadi kujauhkan dan volume kini kuperkeci. Rara tak lagi bisa mendengar.

Bersamaan dengan itu Rara menautkan alis dan menggerakkan bibirnya "siapa?" tanyanya berbisisk tanpa suara.

"Kirain udah lupa, " suara disebrang mulai melunak. Kuletakkan jari telunjuk depan bibir, mngintrupsi Rara untuk diam dan akan kujelaskan setelah selesai.

"Hey Agatha, apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, kamu gimana?"

"Yang jelas Rindu, berat. hahaha." Tetap saja, Naila tidak berubah. tawanya, alaynya, dan yang pasti suaranya.

Jujur saja, aku juga rindu. percakapan mengalir begitu saja, dari menceritakan kegiatan Naila hingga kegiatanku.

Naila masih dipondok melanjutkan studynya, tapi dia pindah kepondok tahfidz. masih dipondok yang sama tapi beda aturan juga kegiatan. sekarang saja dia telfon pakai nomor pondok hanya untuk ingin menyapaku, katanya. Terlalu lebay bagiku. Padahal setiap liburan atau pulangan pondok dia tak pernah berhenti menghubungiku.

Kami bertukar kisah hingga ada beberapa kalimat pernyataan Rara yang membuatku tegang seketika, membuat desiran dialiran darahku mengalir dingin dan hangat bercampur.

"Ustadz Fadly berhenti lho Tha, bahkan semenjak kamu berhenti. aku lupa mau bilang dari dulu."

Terus, kenapa harus lapor Naila? ini hanya akan membaut jantungku tidak baik-baik saja. bisikku dalam hati.

"Terus, kenapa sekarang ingat?"

"Soalnya ada kabar lagi kalau Ustadz Fadly bakalan Nikah." Deg. seketika jantungku seolah berhenti memompa aliran darah yang masuk. suaraku tiba-tiba tersekat mendengar ocehan Naila yang tanpa henti.

"Jadi, pas denger kabar Ustadz Fadly bakalan nikah aku langsung inget kamu." kenapa aku?

"Soalnya, dari cara ustadz Fadly ngasih kamu kitab aja keliatan dia suka kamu. tapi sayang kamunya cuek. tak acuh gitu," lanjut Naila seolah mengerti diamku yang tanpa suara.

"Terus apa urusanku tentang hal itu Nai? kamu kira aku bakalan cemburu atau apa gitu denger kabar Ustadz mau nikah?"

"Ya nggak, bukan gitu maksudku Tha.. siapa tahu hatimu tergerak dan setelah itu ada rasa yang memang menjanggal mendengar kabar ini."

"Hhhh.. jangan harap Nai, Hatiku baik-baik saja, sungguh." bohong. justru hatimu sakit kan? iyya, sakit, dadaku juga sesak. apa obatnya? masalahnya bukan sesak nafas, tapi sesak dengar kabarnya.

"Dengan kamu bilang baik-baik saja, seoalah kamu memberitahu bahwa nyatanya hatimu bermasalah"

"Iyya, hatiku bermasalah Nai, karena ayah, bukan karena kabar ini." kuharap Naila mengerti dan berhenti memojokkanku mengenai pembahasan hati.

Pembohong, iyya aku. maaf Nai, hatiku memang nggak baik karena Ayah yang masih mendekap dijeruji besi, tapi jujur hati tambah gak baik mendengar kabar ini. Miris hatiku. Padahal aku yang sok gak peduli, ngatain cuek, gak asik dan lain sebagainya. tapi, kenapa aku sekarang yang kelimpangan memikirkannya?

Ya Allah ya Robb, maafkan hambamu yang terlalu sering berdusta. Sekarang aku seperti kemakan omonganku sendiri. benar kata Naila, berkata sesuatu dipesantren itu ibarat berdoa diwaktu dan tempat yang istijabah. aku kelimpungan sendiri mengingat kata-kataku yang seolah semuanya Allah balikkan menjadi antonimnya.

"Baiklah, aku percaya. aku mau bilang, bentar lagi aku mau berhenti Tha, ayah sakit-sakitan tapi aku selesaikan hafalan dulu. insyaa Allah bulan ini aku selesai."

"Maasyaa Allah, semangat Nai. aku iri sama kamu, dan semoga ayahmu diberi kesembuhan. aamiin.."

"Aamiin.. yaudah aku tutup dulu yah, kelamaan. melewati batas niih hahah.. Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam"

Kembali kuayunkan Kaki menuju Rara yang terbaring dikasur bosan.

"Masih pagi, jangan tidur, gak baik. sarapan dulu."

"Siapa yang tadi?" kuceritakan siapa penelfon tak dikenal tadi yang ternyata Naila, teman sekaligus saudar dipesantren. kuceritakan panjang tentang Naila yang sifatnya tak beda jauh dengan Rara.

Jadi, bersama Rara aku seolah menemukan Naila. terlalu asik bercerita tentang Naila, membuatku lupa tujuanku sebelum menerima telfon.

"Tadi kenapa kamu langsung pergi? padahal kamu yang ngebet pengen kenalan!" Raut wajah Rara tiba-tiba berubah sendu, senyumnya tersimpul kaku.

"Udah yuk, sarapan, aku dah laper. kamu udah masak 'kan?" aku tahu ini hanya pengalihan saja.

"Gak usah dialihkan gitu, Ra, aku udah masak kok. Tapi raut mukamu menunjukkan seolah kamu kenal pria tadi dan sesuatu terjadi sebelumnya." Netra Rara membelalak sempurnah, seolah perkataanku adalah benar.

Rara tersenyum, senyum penuh luka yang terbaca. "iyya, memang aku kenal. Dia sesorang yang pernah memberi luka. Laki-laki pertama yang aku cintai setelah Ayah."

Aku faham, ternyata dibalik sifatnya yang ceria tenyata banyak menyimpan luka. Aku tertipu dengan sifat apa adanya dan cerianya, seolah dia tak pernah memiliki luka.

"Mungkin ini takdir yang Allah tunjukkan agar semuanya baik-baik saja."

"Gak ada luka yang baik-baik saja, Tha."

"Iyya, mungkin Allah takdirkan kalian bertemu agar luka lama ditiadakan."

"Luka lama ditiadakan lalu membuat luka lagi? begitu maksudmu."

"Hushh.. jangan gitu, Ra." Kuraih tangannya, dingin. sepertinya dia benar-benar pria berarti dihidupnya. Aku penasaran, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya. biarlah hatinya tenang lebih dulu.

Lagi-lagi Rara tersenyum, senyum penuh luka yang lagi dipendamnya, "Melukai itu mudah Tha, menyembuhkannya yang susah. sembuh mungkin bisa, tapi bekasnya masih bersisa."


alhamdulillah.. jazakillahi khair

udah ada kan ustadz Fadly?

siapa tuh yang nanya ustadz Fadly, udah ada tuh..

btw jangan lupa fote dan komennya ya di part ini.

gimana partnya? udah panjang tuh.. maaf kemaleman, tapi masih hari kamis kann..? ckck

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top