Kafani
_37_
_Ustadz Pribadi_
Seharian penuh kami lewatkan waktu bersama Nek Rahma, kepasar, memasak, tentunya bercerita banyak hal tentang Kafani kecil. Nostalgia. Sampai-sampai ayah menelfon kami beberapa kali, menanyakan keberadaan kami.
Beberapa cerita Nek Rahma yang mengundang tawaku seperti...
"Kafani itu dulu kalau pagi-pagi tidak ada sayur asam pasti ngambek, gak mau makan,"
Yang tentunya kalimat nek Rahma ditolak Kafani. Atau,
"oh, yang pernah bikin nenek ketawa dulu, Kafani pulang dengan cakaran merah dipipinya, mamanya kaget, khawatir, dikira itu cakaran kucing eh ternyata itu cakaran anak perempuan hahaha.. sejak saat itu Kafani gak berani deket-deket cewek, kayak macan katanya."
Hahaha..
Yang juga disambut tawa olehku, sedang Kafani adem ayem seolah itu bukan tentang dirinya.
"Pernah juga nduk, Kafani lari-lari msuk kerumah meluk nenek kayak udah ngelihat hantu, gak tahunya dikejar kodok. Cakep-cakep takut kodok." Nek Rahma geleng-geleng.
Didalam mobil, menuju pulang. Aku tersenyum mengingat semua cerita nek Rahma tentang Kafani kecil, parahnya dia menyangkal semua cerita nek Rahma, dibilang ngarang.
Aku jadi punya ide untuk membuktikan cerita nek Rahma itu benar atau tidak, ada kodok dikolam taman kompleks yang tak terawat, aku bisa mengajaknya kesana kapan-kapan.
"Kenapa kamu senyam-senyum?" suara baritone dari sampingku memecahkan lamunanku.
Aku menoleh dengan menahan senyum, aku tak ingin dicuriagainya telah menyusun rencana.
"E.. enggak kok, biasa aja," alibiku dan mengalihkan pandangan ke tepian jalan yang ramai kendaraan.
Sore adalah jadwal pulang para karyawan, membuat laju kendara harus berjalan pelan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Gak usah mikirin kata-kata nek Rahma, aku nggak begitu," tegasnya. Seolah mengalihkan kenyataan dan itu semakin membuatku gencar untuk merealisasikan rencanaku.
Aku tersenyum melihat ekspresi sulit diartikan dari wajahnya, aku hanya manggut-manggut mengiakan.
Sampai dirumah jam 16.45. ayah sudah siap dengan kopernya. Tadi pagi ayah memang bilang kalau ia akan keluaar kota mengurus bisnisnya, mengingat om Hisyam masih diluar Negeri. Tidak lupa, ada kak Ano juga yang siap dengan kopernya, seperti biasa, dia akan menemani ayah mengurus bisnis sekaligus belajar berbisnis, karena semua bisnis yang digeluti ayah dan ayahnya akan turun ke tangannya.
"Sepertinya sudah waktunya berangkat, No." tutur ayah melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
"Kafani, Agatha memang sudah jadi istrimu, tapi dia tetap putri ayah, maka ayah titip dia." Pesan ayah yang disambut anggukan dan senyum hangat dari Kafani.
Aku menghampiri ayah dan memeluknya, terharu. "Ayah kok ngomong gitu sih?"
"Tanggung jawab ayah sudah ada di Kafani sayang, ayah tidak lagi khawatir meninggalkanmu karena sudah ada yang menjaganya, menjaga kamu maupun hatimu." Senyumnya penuh penekanan.
"Tanpa ayah titip, sudah saya jaga kok yah. Akad itu mewakili semuanya." Kafani mendekat dan mencium tangan ayah.
Kami berjalan melewati ambang pintu dengan aku yang masih melingkarkan tangan kananku dipinggangnya, dan ayah merangkulku dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menarik koper sampai didekat mobil yang akan ayah kendarai.
Kulihat kak Ano berbincang serius dengan Kafani, tidak jelas apa yang mereka bicarakan, tapi aku melihat ekspresi wajahnya yang tidak tenang dan khawatir, lalu kak Ano menepuk bahunya seolah mengatakan pasti baik-baik saja.
Setelahnya ayah dan bang Ano diantar kebandara, Kafani memintaku untuk siap-siap karena kami akan menginap dirumah papa. Katanya ini kesempatan, mumpuang ayah lagi keluar kota.
# # #
Perjalanan 20 menit, tidak ada pembicaraan khusus antara aku dan Kafani, lebih tepatnya aku yang tertidur karena seharian penuh waktuku digunakan.
Setengah sadar, aku tahu mobil telah berhenti melaju, usapan lembut di pipi kananku terasa, tak perlu kutanya siapa pelakunya, aku sudah tahu.
"Gak mau bangun putri tidur?" bisiknya. Deru nafasnya lembut menghantam kulit wajahku, dihirup, dihembuskan lagi, hingga kubiarkan beberapa detik berlalu, menikmati hembusan nafasnya.
Perlahan aku membuka mata. Kaget bukan main, wajahnya kurang dari lima senti di depan wajahku, aku tak lagi bisa mengontrol degup jantungku.
Satu, dua, semakin mendekat.
Slet.
"Ayo turun, jangan betah di mobil," ucapnya sambil kembali keposisinya setalah membuaka seat belt ku.
Hhh.. akhirnya Aku bisa bernafas lega, pikiranku yang kurang terkontrol.
"Sudah sampai?" kafani mengangguk sebagai jawaban.
Sebelum membuaka pintu mobil, aku mengajukan satu pertanyaan yang membuatnya urung juga membuka pintu mobil.
"Tadi ngomongin apa aja sama kak Ano?"
"Kenapa Tanya itu?" alisnya tertaut sebelah dengan posisi duduk miring menghadapku.
"Soalnya serius banget"
"Oh, kami berencana untuk berangkat bersama"
"Masa sih?" aku menatapnya penuh curiga. Masa rencana segitu bicaranya lama? "kok kamu kayak khawatir dan kaget gitu, sedih pula, ada masalah?"
"Oh iyya? Nggak tuh biasa aja. Yaudah yuk turun," sanggahnya lalu mencubit hidungku pelan. Akhirnya aku menyerah, toh dia akan cerita sendiri kalau sudah waktunya.
Sampai dirumah yang ukurannya tiga kali lipat dari rumahku, tidak ada suara apapun, kecuali suara hening dan katupan kakiku dan Kafani yang beradu.
Sudah tiga kali Kafani mengucap salam, namun taka da jawaban. Kafani memintaku duduk disofa mewah di ruang tamu yang menjadi penyambut pertama kali saat pintu utama dibuka.
Kafani berjalan menuju pintu di pojok ruangan yang tersambung keruang makan. Ya, aku tahu, karena ini kunjungan keduaku di rumah megah bak istana ini.
Sebelum Kafani sampai diambang pintu, tiba-tipa keluar perempuan paruh baya, yang kutahu dia bik Nanik, pekerja dirumah ini.
"Eh Aden, maaf den, bibik lagi masak gak kedengeran."
"Papa belum datang bik?"
"Belum, den. Tuan gak pernah pulang sore kalau tidak ada perlu di rumah. Lebih sering menghabiskan waktu di kantor, mungkin merasa kesepian."
Aku tetap diposisiku, disofa panjang yang terletak ditengah, diapit dua sofa berukuran pendek. Menunggu keduanya yang tengah mendekat.
"Sejak kapan papa begitu?" suaranya aku tahu, ada kesedihan yang meliputi sesal.
"Sejak saya disini tuan sudah begitu, katanya tidak ada lagi yang menunggunya saat saya tanya kenapa tuan pulang larut malam, tidak ada tujan untuk ia ingin cepat-cepat pulang."
"Eh, aden sama istrinya? saya buatkan teh dulu, Den." Katanya beranjak ingin pergi saat sampai dihadapanku.
"Eh gak usah bik, lanjutkan saja ceritanya," cegatku saat ia akan pergi, memintanya duduk di sofa yang aku duduki, begitu pun Kafani, berakhirlah aku berada ditengah-tengah mereka.
"Terus bik?" selaku setelah keduanya selesai membenarkan posisi.
"Sampai mana ya? Oh, katanya tuan, semenjak istrinya meninggalkannya, semuanya juga pergi, tidak ada yang tersisa termasuk putra semata wayangnya. Katanya, sebelum saya ada pekerja yang sudah dianggap orang tua oleh istri tuan, maksudnya mama Aden. Katanya dia juga pergi, kembali kerumahnya."
Disamping kananku, Kafani memegang erang tanganku. Aku baru tahu hal ini, aku baru tahu kenapa dulu Kafani tak pernah menceritakan perihal keluarganya.
"Sejak saya bekerja disini, tuan sering melamun kalau sedang di rumah, kalau tidak di rumah dia akan pulang larut malam disaat semua orang terlelap dengan mimpinya. Tapi, sejak dua tahun yang lalu, saya baru melihat wajah cerahnya, pulang tidak terlalu malam lagi, paling-paling pulangnya isya'.
"Saya tidak berani menanyakan tentang perubahannya, takut saya terlalu lancang. Kalau dulu tuan irit bicara dan tidak peduli dengan keadaan rumah juga dirinya, sejak dua tahun terakhir ini tuan lebih banyak bicara, mulai mengatur keadaan rumah yang tidak sesuai keinginannya, mulai meminta pendapat soal penampilannya. Saya turut senang, walau saya tidak tahu alasan perubahannya."
Tunggu, dua tahun yang lalu?
Kulihat kafani mendongakkan wajahnya, seolah ia menahan cairan di matanya agar tidak menguap.
"Semenjak bibik kerja disini, apakah papa pernah bawa perempuan kerumah ini?" suaranya serak putus-putus, seolah tercekat tapi ia paksakan.
Bibik menggeleng.
"Yaudah makasih bik, saya mau kekamar dulu. Kami akan menginap disini."
"Kamar tuan di lantai atas dekat tangga?" Tanya bibik seolah memastikan saat kami sudah berdiri.
Kafani mengangguk.
"Tuan tak pernah absen untuk bertanya setiap pagi apakah kamar itu sudah dibersihkan. sebelumnya saya bertanya-tanya untuk apa dibersihkan setiap hari tapi tidak pernah berpenghuni. Namun saya tidak berani menanyakan itu, Den, saya hanya bertanya-tanya dalam hati."
Kafani tertunduk, mengaitkan tanganku erat, menariknya perlahan menuju tangga, meninggalkan bibik tanpa berkata. Ia berjalan mendahuluiku dengan tanganku yang tertaraik.
"Maaf bik, kami permisi," pamitku saat Kafani tak mengeluarkan sepatah kata pun setelah pemberitahuan dari bibik.
"Kalau perlu sesuatu bilang, Non," Ujarnya lebih keras karena kami sudah berlalu.
Aku menoleh dan mengucap terimakasih yang diangguki oleh bibik yang tersenyum penuh arti.
Sampai dikamar, tidak ada sepatah kata pun yang Kafani utarakan, ia justru terduduk, melamun sesekali memerhatikan kamar ini.
Aku tahu kamar ini tak pernah ditempati, dari aromanya, terdengar pengharum bunga lavender yang berpadu dengan aroma debu ung. Walau kamar ini bersih, akan sangat kentara bagaimana ruangan tanpa penghuni ini menyapa hidung.
"Kaf,.. " sapaku pelan, takut tindakanku salah.
Ini sudah hampir adzan maghrib, biasanya Kafani akan beranjak ke masjid dan biasanya ia akan membersihkan badannya terlebih dahulu. Pasalnya, aku tidak tahu di mana handuk diletakkan.
Saat aku beranjak ingin meminta pada bik Nani, Kafani mencegatku untuk tidak kemana-mana. Ia bilang handuknya ada dilemari kotak bawah. Sepertinya ia paham apa yang aku cari.
"Kamu tidak mau berjemaah dimasjid?" tanyaku hati-hati sambil menyodorkan handuk di hadapannya yang masih tertunduk menghadap lantai.
alhamdulillah
jazakumullahi khair sudah mau baca ceritaku sampai sini.
aku gak nyangka ceritaku bakalan sepanjang ini.
jangan lupa tinggalkan jejak dengan tekan tanda bintangnya ya...
saaaaayang kalian yang udah mau nunggu dan baca, aplagi mensupport penulis amatir kayak aku ini heheh...
Tanpa banyak yg komen aku terp update nih.. karena kusayang kalian😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top