Jealous
_34_
_Ustadz Pribadi_
assalamualaikum..
huwaa akhirnya Update.
kangen nggak?
maaf yah, lama. maafkan juga typonya.
selamat membaca, janagn lupa vote dan komennya.
.
.
.
.
.
.
Suara adzan terdengar sayup-sayup di telingaku, perlahan aku bangun mengumpulkan kesadaranku. Setelah dirasa terkumpul ... astaghfirullaha'adzim. Aku melewatkan solat malamku, kuingat-ingat dosa apa yang kuperbuat kemarin hingga membuatku tidak bangun malam.
Astaghfirullah. Lagi-lagi aku lupa bahwa kemarin adalah hari sakralku. Sontak aku menoleh kearah kanan di mana seseorang semalam merebahkan tubhnya. Nihil. Kemana?
Pertanyaan demi pertanyaan tak bisa kujawab, hanya berasumsi. Mungkin ke masjid. Ah, tak mau berlama-lama dengan pikiranku, aku bergegas ke kamar mandi untuk melaksanakan solat subuh.
Aku tak pernah menyangka, rencana Allah seindah ini, Pertemukan aku kembali dengan seseorang yang memang takdirku walau sebelumnya jalan yang aku pilih salah. Allah telah menegurku dengan kesakitan yang Allah tunjukkan bahwa jalan yang aku lakukan salah, bahwa semuanya tidak benar.
Usai solat subuh aku bergegas kedapur untuk membantu bik Inah memasak. Seketika aku merasa begitu menyesal telah melewatkan solat malamku. Apakah Kafani sengaja tidak membangunkanku?
Arghh.. sudahlah, akan kuingatkan nanti.
"Selamat pagi, Bik," sapaku saat bibik berkutat dengan pisaunya memotong brokoli. Tapi, bibik membalas dengan senyum anehnya.
"Masak apa, Bik?"
"Non maunya masak apa?"
"Lah, kan bibik yang nyaiapin."
"Maksudnya bibik, Non masak sendiri apa yang dimau Aden. Ini bibik nyiapin untuk yang lain." Jelasnya dengan pandangan masih focus pada sayur ditangannya.
"Aden?" Tanya ku tidak mengerti. Ada siapa? Siapa yang dimaksud bibik.
"Ya Aden suamimu lah Tha, gimana sih. Jangan bilang masih lupa kalo sudah punya suami."
Ishh.. aku bergidik geli saat tiba-tiba bunda Nina datang menjawab pertanyaanku dan menyentil daguku dengan telunjuknya.
"Ya samain ajalah bik," jawabku kesal, "mana aku tahu dia suka apa." Bohong. Ya, aku berbohong, aku tahu Kafani suka sayur asam untuk menu pagi dan rendang ntuk siang.
Diluar sudah berisik suara laki-laki berdiskusi. Mungkin pulang dari masjid. Bibik bergegas membawakan teh hangat keluar setelah aku menolak untuk mengantarnya.
# # #
Usai sarapan, kami berkumpul diruang tamu dengan koper-koper bunda yang siap dibawa pulang pagi ini. Ah, bukan pulang, tepatnya dia akan balik ke Amrik menemani suaminya yang amat dicintainya.
Bunda bilang, dia tak mau ditinggal om Hisyam dalam waktu lama, terkadang ditinggal tiga hari keluar kota saja tidak kuat menahan rindu. Aku tertawa mendengar pernyataannya, dia sudah seperti ABG pacaran saja, padahal anaknya sudah cukup usia untuk memberinya menantu.
"Gak nambah lagi sehari di sini Syam? Nina?" tawar ayah pada adiknya. Keduanya saling tatap lalu bunda Nin menyeruput teh yang berada di hadapannya, sedang om Hisyam memperbaiki duduknya.
"Bukannya nolak, Bang, tapi kami harus balik lagi ke Amrik," ucap om Hisyam yang juga diangguki bunda Niin.
Tiba suara koper di geret terdengar. "loh Ano juga mau pulang?" Tanya ayah saat kak Ano sudah di dekat kami dengan koper masih ditangannya.
"Oh Ano ke apartemen aja om, mobil Ano ada disana. Biar Ano diantar pak Nanang," katanya. Nanang adalah supir pribadi keluarganya. "gak enak juga kalo masih di sini, yang ada malah ganggu pengantin baru," lanjutnya dengan kedipan jahilnya yang mengarah padaku.
Aku melototinya tajam. "Hahaha.. mukamu lucu Tha, coba deh lo liat Fadl," tawanya menggema.
Seseorang disampingku berusaha melihat wajahku, segera kurubah mimik mukaku dan tersenyum tidak tulus padanya sekilas. Ah, dasar aku.
Kurutuki diriku yang bertingkah konyol sepagi ini, mengundang tawa semua yang ada diruangan, juga mampu membuat seseorang yang duduk disampingku menahan tawa.
Kak Ano mengambil posisi duduk disampingku yang masih lengang, aku tak bergeser sedikitpun membuat dia tak kunjung duduk.
"Agatha," tegur ayah. Aku masih kesal padanya, terpaksa bergeser dan memajukan bibir bawahku, meliriknya tajam.
"Uluh-uluh, adikku. Tingkah masih anak-anak kok udah nikah sih?" tangannya mengusap kepalaku kasar sebelum duduk lalu mencubit pipiku gemas yang masih cemberut. Seketika aku ingat sesuatu, kesalku tiba-tiba hilang.
"Kak," nadaku pelan, ia hanya melirik heran dengan alisnya yang tertaut seolah mengatakan 'tadi aja cemberut, kok tiba-tiba adem ayem?'
"Siapa Naila?" tanyaku masih dengan nada pelan, kuyakini tak akan didengar ayah juga om Hisyam yang masih sibuk membahas bisnis, termasuk sesorang yang berada di samping kananku yang sekali-kali ikut menimpali pembicaraan khusus itu.
Seketika keringat mulai membasahi kulit muka kak Ano, tatapannya tak lagi mengarah padaku, namun pada bunda yang sibuk memainkan benda pipih di tangannya serius.
"Bunda, penerbangannya jam berapa? Gak kesiangan?" netranya masih mengarah pada bunda Niin, tapi aku tahu dia hanya mengalihkan pertanyaannku.
Bunda Niin menatap arloji di pergelangan tangannya, "Mas kiranya gak kesiangan ya?" Tanya bunda Niin memotong fokusnya om Hisyam. Om Hisyam melirik bunda Niin dan akhirnya mengangguk.
Bunda Niin, Om Hisyam juga kak Ano beranjak menggeret koper masing-masing setelah berpamitan dan menyalami kami semua, tak luput juga pesan-pesan bunda yang berniat menggodaku saat aku menyalaminya.
"Jadilah istri solehah, yang bisa bahagiain suami, terutama jangan lupa kalo sudah punya suami," setelahnya terkikik kecil.
Sebelum kak Ano terlalu jauh, aku mencekal tangannya kesal, menyeretnya lebih jauh dari kerumunan.
"Kak Ano belum jawab pertanyaanku." Seketika dia kembali kikuk tak ada lagi mata tajam mengarah kemataku.
"Kenapa kamu Tanya begitu?" tanyanya masih mengalihkan pandangan. Dari kejahuan semua orang menatap kami, menunggu.
Kutoyor lengan kekarnya pelan. "Ish, kak Ano itu gak bisa nyembunyiin sesuatu."
"Apa yang aku sembunyiin?" dahinya mengernyit, mencoba menetralisir dirinya.
"Kakakku tersayang," kuputar badannya untuk menghadap kearahku, kukunci manik matanya yang tajam. "kakak memang nggak bilang kalau nyembunyiin sesuatu, tapi mata kakak yang bilang. Mata kakak juga bilang bahwa ada sesuatu antara kakak dan Naila."
Manik coklat gelap milik kak Ano membulat sempurna, ia kembali mengalihkan pandangannya.
"Iyya deh iyya, adek kakak memang paling bisa baca mata. Naila adik kelasku," jawabnya.
"Terus?"
"Terus apa? Aku udah ditunggu tuh."
"Terus kakak suka?" alisnya tertaut. "nggak mungkin kalau hanya sekedar adik kelas, tapi tatapannya canggung."
Kak Ano meninggalkanku, ia berjalan menuju orang-orang yang menunggunya, aku mengejarnya.
"Kakak ish, tingal bilang iyya aja susah. Kakak suka kan?" Tanyaku lagi dengan melangkah dibelakangnya.
Kak Ano mengangguk pelan sambil berjalan tanpa menghadapku. "Aku bantu," girangku saat tahu begitu. Langkah kak Ano semakin cepat setelah mendengar ucapanku.
Usai mengantar kepergian om Hisyam ayah kembali memasuki rumah. Saat aku hendak berbalik juga ingin kembali kedalam, walau aku tidak tahu rencana selanjutnya apa. Tapi, tanganku tercekal, ternyata Kafani mengait. Rasa hangat tiba-tiba menyusuri peredaran darahku, aku tidak sadar sudah sejak kapan dia menggenggam pergelangan tanganku.
Aku mentapnya penuh tanya, sedang yang ditatap diam tak ingin bergerak seolah tidak merasakan pergerakanku.
"Kaf," panggilku pelan, karena wajahnya serius. Aku tidak tahu mengapa.
"Bisa kita duduk sebentar dikursi?" tanyanya saat mengajaknya kembali kedalam rumah.
Masih dengan ekspresi datarnya, ia tak kunjung bicara bahkan tidak sedikitpun melihatku. Kami duduk berdua tapi seolah berperang dingin. Aku tidak tahu apa maksudnya memintaku duduk, seperti ada sesuatu yang ingin dia bicarakan serius. Aku masih menunggu. Yang seperti ini benar-benar terlihat ustadz Fadly
"Ehm.. kamu tahu hukumnya interaksi antara lawan jenis yang bukan mahram 'kan?" tatapannya masih mengarah pada rerumputan yang ditanam menyusuri tanah di halaman rumah. Aku mengangguk, yakin dia akan melihat pergerakanku tanpa bersuara.
"Tapi, kenapa kamu masih melakukannya?"
"Maksudnya?" tanyaku dengan tautan kedua alisku.
Dia menghirup udara dalam lalu dikeluarkannya kasar, badannya berputar 60 derajat, menghadapku. "Sepupu itu bukan mahram Tha, kamu tahu hukum menyentuh dan bercanda berlebihan kepada yang bukan mahram." Seketika pernyataannya membuat senyumku mengembang. Wajah datarnya mendorongku untuk menggodanya.
"Kamu cemburu?" kuangkat sebelah alisku, menatapnya dengan senyum simpulku. Entah dari mana aku mendapat keberanian menggodanya. Ingin rasanya tertawa kencang sepenuhnya melihat muka datar sekaligus masamnya.
"Nggak, aku hanya mengingatkan." Tubuhnya kembali diputar lurus menatap lantai di depannya. Sangat kentara bahwa pernyataanku benar.
"Cieh, pak ustadz bisa juga cemburu, kirain bisanya cuma dingin, kaku kayak kerupuk."
"Aku serius Tha," tatapannya tajam mengarah padaku. Benar-benar pria kaku. Akhirnya tawaku lepas.
"Hahah.. kamu itu kentara banget kalo beneran cemburu, dia itu Cuma kakakku jangan khawatir." Dia berdiri dengan muka masamnya.
"Ck, kamu anggap teguranku hanya bercanda?" menatapku yang masih terduduk. "Sekalipun kakak, hukum sepupu itu tetap bukan mahram, kamu masih bisa dinikahinya." Nadanya naik seoktaf. Tawaku langsung hilang. Kucekal tangannya dan ikut berdiri.
"Maaf," jawabku menunduk. Segera kulepas tangannya yang tadi kecegat. Ia berbalik, mengangkat daguku yang tertunduk dan tersenyum, akupun membalasnya.
"Jangan ulangi lagi ya?" kepalanya menggeleng dan menggenggam kedua tanganku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban, dia belum tahu kalau kak Ano saudara sepersusuanku. Tiba-tiba senyumnya hilang, mukanya kembali datar, genggaman tangannya dilepas dan hendak berbalik lagi tapi aku berhasil mencegatnya.
"Pak Ustadzku sayang, meski aku dan kak Ano sepupu, kami tidak bisa dinikahin." Dahinya mengerut dan alisnya tertaut. "Dulu Agatha neteknya ke bunda Niin sampai umur 2 bulan."
Bibirnya membulat berbentuk oh, tapi hanya sekejap lalu tersenyum lebar.
Wushh..
Katakan aku terbius.
"Kamu manggil aku apa tadi?" dengan senyumnya yang masih setia.
Kuingat-ingat, ha? Seketika mulutku mangap dan mataku melebar. Apa yang aku katakana? Ustadzku sayang?
Aaaa...
Aku berlari melewatinya dan segera memasuki rumah berlari dengan rona pipi yang memanas. Apa-apaan aku ini. Dasar, konyol. Pasti sudah kepedean.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top