Jangan Takut
SELAMAT MEMBACA
JAZAKUMULLAHI KHAIR..
_41_
_Ustadz Pribadi_
Jangan takut untuk merindu, ada doa yang terus menderu. walau rinduku tak sebesar rindu kepada Rasulku, yang terpenting kamu sudah menjadi takdirku, yang akan mendapingiku bersua dengan Rabb dan Nabiku.
Adnil_
Semenjak hari dimana aku dan Kafani bercakap di telfon, kami semakin gencar saling mengabari. Kenapa tidak dari dulu begitu. Nyatanya kami sama-sama takut tidak bisa untuk tak merindu. Padahal hal itu wajar bagi yang LDRan.
Setahun berlalu, kini sudah akhir tahun. janji Kafani akan pulang setiap liburan. aku selalu menunggu waktu itu, namun Kafani tak kunjung mengabari. Apakah dia akan memberikan kejutan dan tiba-tiba mengetuk pintu rumah, lalu senyum candunya membuatku terperangah?
Arghh.. sepertinya aku terlalu berasumsi. Atau jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya?
Ya Allah.. semoga tidak terjadi apapun.
Cklek..
Pintu utama terbuka, aku yang terduduk selonjor di kursi panjang demgan cepat menurunkan kaki dan memperbaiki hijabku.
Dalam hati aku mengira-ngira ayah, karena kalau tamu tak mungkin langsung membuka pintu tanpa mengetok.
"Assalamualaikum."
Sapa pria paruh baya setelah tatapan kami berserobok. Benar, itu ayah. Tapi, siapa yang ditunggu ayah? Kenapa ia masih memegangi pintu dan meliahat kearah luar?
"Papa?." Kagetku, saat papa mertuaku sudah berdiri tersenyum disamping ayah.
"Assalamualaikum menantuku."
"Wa..waa alaikumsalam," jawabku gelagapan.
"Oh begitu ya.. putri ayah kalau sudah punya mertua, yang dijawab cuma salam mertuanya. Salam ayah sendiri nggak dijawab."
"Ma.. masa sih yah?"
Netraku membulat. Padahal seingatku aku menjawab... ah iyya aku menjawab satu salam. Arghh.. itu karena efek kaget.
Kedua pria itu menghampiriku, eh bukan. Mereka menghampiri sofa yang telah menunggu untuk diduduki.
Ayah mempersilahkan papa duduk, sedang ayah menghampiriku yang masih setia mematung di ujung meja.
"Kok papanya nggak dipersilahkan duduk?"
"Eh.. maaf," sesalku. "Agatha buatin teh dulu," lanjutku saat merasa tatapan mereka menertawaiku.
Aku beranjak ke dapur dengan segera.
Duhh... kenapa aku jadi begini? Eh papa ngapain kesini? Tumben.
Teh sudah tersaji didepan papa mertuaku sekaligus cemilan yang tersedia.
Soreku ditemani papa dan ayah. Kurang beruntung apa diriku? Allah telah melimpahkan nikmat yang tak pernah putus, tapi apalah aku yang tak pandai berterimakasih.
***
Usai solat isya' papa dan ayah mengobrol diruang tamu. Papa sengaja tidak pulang karena masih ada yang akan dibicarakan katanya.
Aku sengaja tidak masak untuk makan malam, karena papa sudah memesankan katering sore tadi sebelum ke masjid.
Jadi, disinilah aku, duduk berhadapan antara papa dan ayah. Mereka berdua sangat kompak layaknya saudara. Uluh-uluh aku jadi rindu Rara, apa kabarnya?
Rara sudah menikah 3 bulan yang lalu. Aku sempat menghadiri pestanya, setelahnya tidak ada kabar lagi darinya. Semoga bahagia bersama Reza.
Tak terasa airmataku menetes. Segera kuusap dengan punggung tanganku. Papa sempat memperhatikan apa yang aku lakukan, namun aku seolah tak mengetahui dan menganggap tidak ada apa-apa.
"Tha.."
Panggil ayah lembut setelah sebelumnya saling bertatapan dengan papa, seolah mata mereka saling berbicara dan bertanya ada apa dengan diriku.
Kutatap mata ayah yang sudah menatapku lebih dulu. Aku tahu mataku tidak bisa berbohong. Banyak pertanyaan disana, bukan hanya tentang Rara yang tiba-tiba tidak ada kabar, ini juga tentang bunda yang aku rindukan, tentang Kafani yang ku khawatirkan kepulangannya.
"Iyya yah?" nadaku tak kalah halus dan pelan sambil tersenyum.
"Kamu kenapa?"
Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Sedang ayah mengambil kedua tanganku.
"Sudah bertahun-tahun ayah hidup sama kamu, mata kamu gak bisa bohong."
Netra ayah memerah, kulihat ada genangan yang mencoba meluncur namun ayah menahannya. Entah, bagaimana bisa.
"Agatha cuma rindu bunda.."
"Kamu seperti bundamu.."
Kami sama-sama tersenyum saat kata yang keluar dariku dan ayah bersamaan, lalu genangan air ini secara bersama pula lolos dari tempatnya.
Kami berpulukan. Papa hanya menatap kelakuan kami dengan tatapan sendu.
"Kalian inihh.. bikin aku iri."
Suara papa mengintrupsi. Kami melepas kaitan tangan kami masing-masing.
"Maaf pa.."
Papa hanya tersenyum membalasnya.
"Papa jadi rindu Kafani."
Deg
Sontak pertanyaan ini kembali setelah haru bersama ayah meluap. Akankah Kafani pulang?
"Oh iyya Tha.. Kafani udah bilang belum kalau dia gak bisa pulang liburan kali ini?"
Netraku masih membulat sempurna, masih mencerna pertanyaan sekaligus pernyataan yang papa utarakan.
Benarkah?
Suara papa masih terngiang ditelinga. Kenapa? Kenapa tidak pulang? Bukankah Kafani sudah janji akan pulang setiap liburan?
"Thaa.. papa nanyain tuh.." suara ayah menyadarkanku.
"Uh.. ehh.. be..belum pa."
"Kafani gak bisa pulang. Katanya sekalian pulang tahun depan dan gak bakalan balik lagi ke Turkey."
"Kak Ano juga lagi butuh Kafani disana sayang.." ayah menambahi. "Ayah juga ingin tahu hasil kolaborasi bisnis anak muda."
Tawa ayah dan papa pecah bersamaan, sedang aku hanya tersenyum menanggapi. Sekedar menghargai.
Sulit rasanya, Kafani tidak bilang bahkan untuk sekedar minta maaf. Apakah aku sudah tidak penting?
Aku tahu, pasti papa melihat perubahan di wajahku sampai-sampai dia berkata lagi.
"Kafani bilang dia gak siap buat bilang langsung ke kamu, padahal papa udah nolak buat nyampein itu ke kamu. Tapi sampai sekarang dia belum bilang? Dasar anak itu.. "
"Mirip papanya kan?" Lanjut ayah. Keduanya kembali tertawa.
Selanjutnya aku tak menghiraukan perbincangan kedua pria yang berstatus orang tuaku. Aku undur diri menuju kamar.
Tahu bagaimana menjadi aku? Kecewa. Itu pasti. Kafani tidak menepati janji.
Selang beberapa waktu pintu kamarku di ketuk.
Saat kubuka, wajah polos Andre yang pertama tampak.
"Hehe.. assalamualaikum. Malmingan yukk.. jomblo nih, kak Agatha kan juga lagi jomblo."
Haduuhh.. begini nih Andre yang sebenarnya, yang menyebalkan. Tanpa dihiraukan, aku hanya memutar bola mata dan segera menutup pintu kembali, menolak tanpa kata.
Tapi, pintu ditahan.
"Eits, kapan lagi? Kata papa kak Agatha lagi galau gegara doi gak jadi pulang. Iyya kan? Keluar di malam minggu mungkin bisa bikin hati kak Agatha lebih fresh."
"Hayuk ah, kapan lagi? Jalan sama cowok keren yang masih jomblo. Klo udah gak jomblo gak bakal punya kesempatan loh.. kak Agatha juga mumpung belum ada doi. Yuk ahh.. pliss temenin Andre si jomblo ngenes ini."
Suaranya memohon sambil menahan pintu. Aku menghela napas berat. Kenapa tiba-tiba ada Andre? Tapi, memutuskan untuk malmingan bukan hal buruk. Andre benar, mungkin aku bisa menghibur diri.
"Ayolah, aku sudah izin bang Kafani kok," ucapnya saat melihat aku masih mikir keputusan yang akan diambil.
"Yaudah aku ganti baju dulu"
"Gak usah, udah cantik kok. Natural. Ini juga pesan dari bang Kafani kalo kak Agatha gak boleh cantik-cantik. Takut ada yang kesambet. Aku juga yang kena."
***
Semilir angin malam menghembus celah-celah hijab yang kukenakan. Menyelinap daun telinga, kulit kepala terasa dingin.
Ya, Andre membawa motor kesayangannya. Aku tak masalah, sudah terbiasa. Pastinya hal ini mengingatkanku pada beberapa tahun silam, saat aku dan Kafani melanggar aturan Allah.
Arghh.. aku teramat menyesal. Andai waktu bisa diputar, akan kuturuti perkataan ayah dan tidak terjerumus dosa pacaran.
Tapi, kini hanyalah tinggal berandai, dan aku berdusta? Allah meletakkan penyesalan di akhir agar menjadi pelajaran. Ya, ini menjadi pelajaran untukku, untuk anakku dimasa depan.
Ha? Anak?
Aishh.. aku segera menggelengkan kepala memikirkan hal itu. Harusnya aku menikmati semilir angin di malam minggu.
"Ehmm.. kak. Kak Agatha gak papa kan?"
Andre memecah lamunanku.
"Eh.. gak papa. Kenapa?"
"Sepi, kek aku bawa kuntilanak. Merinding"
Bugh..
Tanganku mendarat dipunggungnya yang bicaranya asal. Tapi yang menerima pukulan hanya tertawa senang.
"Eh Ndre, kamu tumben kerumah? Cuma mau ajak aku malmingan?" Tanyaku saat motor Andre sudah terparkir di tempat khusus parkir alun-alun kota.
"Nggak sih, awalnya mau curhat. Tapi ya nggak jadi. Kak Agatha lagi galau kan."
"Loh, nggak, biasa aja tuh. Curhat aja kalo mau ...." tiba-tiba suaraku harus terhenti, begitu pun langkahku dan Andre.
"Andre.."
dari kejauhan tampak seorang gadis sebaya dengan Andre, berjins coklat gelap dengan tunik putih tulang yang dilipat se lengan, rambut hitam pekatnya tergerai dibahu lentiknya.
Dengan senyum tulusnya, ia berjalan menghampiri kami. Kulihat perubahan Andre yang seolah membeku, gelagapan. Dia seolah tidak siap dengan keadaan ini.
Sedang gadis yang memanggilnya semakin mendekat.
"Apa kabar Ndre?" Sapanya ramah.
"Ba.. baik. Kamu?"
Sumpah demi apapun, ini bukan Andre yang supel dan gombalannya dimana-mana, terutama pada gadis cantik. Ia tak segan mengambil kesempatan menggoda. Tapi ini? Berbeda, bukan Andre yang biasanya.
Keduanya saling bertanya kabar yang sudah jelas di depan mata masing-masing tampak baik-baik saja.
"Dia siapa Ndre.." gadis itu melirikku yang berdiri disamping Andre dan hanya menyimak.
"Oh... eh.. kenalin pacar gue, Agatha."
Deg. Apa-apaan Andre, dikira aku doyan berondong? Gadis didepanku menyalamiku ramah, sedang Andre sudah seperti kakap terdampar di darat, susah bernapas. Namun ia masih berusaha untuk tetap baik-baik saja.
Melyana. Gadis itu menyebut namanya saat tangannya bertautan denganku.
Aku yakin, ada sesuatu antara keduanya, mengingat bagaimana raut wajah gadis bermata bulat dan coklat pekat itu berubah ketika Andre menyebut kata PACAR.
"Oh.. cantik Ndre," nadanya parau, ada ketidak relaan yang terbias di pendengaranku. "Seleramu sudah tinggi ya.."
Andre tersenyum kikuk. Ada kilasan ingin cepat-cepat mengakhiri perjumpaan itu.
"Yaudah Mel, aku duluan yahh.."
Ting..
Notif pop up di handphonku, menampilkan sederet kalimat yang saat itu membuatku lupa bahwa tanganku sudah ditarik Andre.
Kafani
jangan takut untuk merindu, ada doa yang terus menderu....
Tak semua terlihat dipanel pop up. Maka kuputuskan mengklik ikon buka untuk membaca keseluruhan pesannya dengan sempurna.
Kafani:
Jangan takut untuk merindu, ada doa yang terus menderu. walau rinduku tak sebesar rindu kepada Rasulku, yang terpenting kamu sudah menjadi takdirku, yang akan mendapingiku bersua dengan Rabb dan kekasihnya.
Maaf..
Maaf tak menepati janji pulang saat libur, kuharap kamu memahami.
Salam sayang, buat yang tersayang, dari orang yang disayang😚😙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top