Go Home

_5_

Ustadz Pribadi

Bukan perpisahan yang membuat tangis dan sesak didada, tapi kenangannyalah yang ingin membuat kita kembali ke linimasa.
"Indah"

Adnil_

           Satu minggu berlalu aku belajar bersama ustadz Anfal. di hari terakhir ustadz Anfal berpamitan, begitupun aku. kami saling meminta maaf. pembelajaran berjalan sempurna menurutku, karena tak ada yang mengganjal sedikitpun.

          Aku menitipkan surat untuk ustadz Fadly. "Bukankah besok masih hari terakhir Agatha belajar? besok kan ustadz fadly yang akan mengajar!" tolak ustadz Anfal setelah kusodorkan surat yang aku bilang tertinggal di dalam kitab minggu lalu.

"maaf ustadz, besok saya tidak bisa belajar, nanti malam sudah pulang ke Surabaya, ayah sudah menjemput saya dari semalam."

        Pelajaran di hari itu berakhir. perasaan ku begitu berat harus meninggalkan pesantren tempatku menuntut ilmu agama, kurang rasanya berada disini, terasa sebentar.

          Apalagi kalau yang ngajar sejak awal adalah ustadz Anfal, yang awal pertemuan saja percakapan menjadi renyah, pasti tak akan membosankan dan aku akan meminta ayah untuk lebih lama lagi memberi kesempatan belajar disini.

--£--

           Hari semakin gelap, jam 8 nanti aku harus keluar dari gerbang lesantren, Ayah sedang berpamitan kepada pak KIYAI. bunda tidak ikut, karena bunda sedang sakit di Surabaya. sebenarnya itu adalah tujuan Ayah menjemputku lebih cepat, bunda dirawat di rumah sakit.

"Nai ... semoga kita bisa dipertemukan kembali, meski nggak disini," ucapku dengan nada parau yang melihat Naila sudah terisak bak anak kecil ditinggal ibunya.

Hiks.. hiks... "Iyya Tha kita bisa ketemu disurabaya, aku janji bakal kunjungin kamu kalo sudah pulang hiks."

         Naila juga berasal dari Surabaya, makanya kita langsung deket seperti saudara merasakan hal yang sama dilahirkan di kota yang sama, tak harus susah-susah membangun chamestry dengan orang yang kota kelahirannya sama walau beda kabupaten.

"Udah ah ... jangan mewek kek anak kecil gitu, malu sama umur," candaku.

Hahaha...

Akhirnya kita ketawa bersama, merasa Naila di ejek.

"Ye ... gini-gini kan karena kamu, karena aku sudah sayang bak saudara."

"Uch.. terimakasih saudaraku, semoga kebaikanmu allah balas dengan berlipat dan aku tak akan lupakan itu," ucapku sambil memeluknya erat seperti teletubbies sebagai tanda perpisahan.

"I'll miss you Nai," bisikku didekat telingnya yang hanya didengar olehnya.

"Aku juga akan merindukanmu Tha," balas Naila sambil melepas pelukannya.

         Bukan perpisahan yang membuat tangis dan sesak didada, tapi kenangannya yang ingin membuat kembali ke linimasa.

          Aku berangsur pergi keluar kamar setelah menyalami anak-anak kamar yang telah menemani hari-hariku selama dipesantren, tak semua ada dikamar sih hanya yang lagi berhalangan saja, karena kegiatan ba'da maghrib dimusholla masih aktif.

Good bye NuJa.

__£__

"yah..," panggilku memecah keheningan antara aku dan ayah. ayah hanya menoleh dengan senyum dan terlihat dipaksa, akupun membalas senyumnya.

ku urangkan niatku untuk bertanya, melihat ada raut kecemasan dalam diri ayah. Ia hanya pura-pura tenang. Mungkin.

          Suasana tetap hening, ditemani deruh mobil yang kami naiki. Sesekali kuperhatikan ayah dengan wajah cemasnya, tatapan kosong, ucapan tasbih dan tahmid yang tak pernah terputus dari bibirnya, bibir yang selalu mengeluarkan kata bijaknya, bibir yang selalu berkata lembut tanpa nada marahnya.

          Aku bersyukur, bersyukur telah dilahirkan dari rahim seorang istri dari pria dihadapanku ini.

Deg

          Seketika aku ikut cemas mengingat kecemasan ayah yang tak pernah pudar. Bunda. pasti ayah sedang mencemaskannya, sakit apakah bunda hingga ayah begitu mencemaskannya?

          Bunda dirawat dirumah sakit. pantas saja tatapan kosong ayah penuh kehawatiran. Selama ini bunda adalah orang yang paling menjaga kesehtan, dia satu-satu orang paling tangguh dirumah, dia tak pernah sakit.

Tess..

Setetes cairan bening berhasil lolos dari pelupuk mataku.

Ahhh ... pikiran nakalku tak mau berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Semoga bunda baik-baik saja. Ya, dia pasti baik-baik saja, dia wanita hebat, dia pasti kuat.

Lamat-lamat aku menatap wajah seriusnya yang sedang menatap jalanan kota, fokus memegang kendali roda kemudi.

"kamu kenapa Tha liatin ayah kayak gitu?, kamu tadi manggil ayah ada yang mau kamu sampein? ayah nungguin kamu ngomong malah bengong."  sontak aku kaget, segera kuhapus jejak cairan bening yang menyapa pipiku dan mengalihkan tatapanku pada ayah.

"mm.. bu.. bunda sakit apa yah?" tanyaku mengeluarkan isi kepala yang penuh tanda tanya sedari tadi. walau tujuan awal yang ingin ditanyakan bukan itu, Tapi tentang belajarku di pesantren.

        Biarlah akan ku ungkapkan pada ayah ketika semuanya sudah baik-baik saja, rasanya bukan waktu yang tepat untuk ungkapkan ini disaat keadaan ayah penuh kekhawatiran soal bunda, ya kukira begitu, terlebih ia sedang mengemudi.

         Ayah hanya menggeleng dan tak lupa senyum simpulnya, walau aku tau dibalik senyumnya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"bunda tak apa tha, dia baik-baik aja, kamu tak perlu khawatir ya? bundamu adalah perempuan hebat." ya, benar, bunda memang hebat, aku bangga padanya.

         Aku hanya mengangguk mendengar penuturan ayah.

Ayah bilang tak perlu khawatir? sedang dirinya terlihat jelas dari sorot matanya, ada kehawatiran yang membuncah. Mencoba menyembunyikan?, kurasa ayah tak sepandai itu bisa menyembunyikannya. Tapi, biarlah aku tak mau menambah beban khawatirnya, walau pada nyatanya aku ikut merasakan kehawatiran seperti yang ayah rasa.

Bagaimana bisa aku akan berhenti menghawatirkannya, sedang dia adalah wanita terhebatku, yang merawatku, menjagaku, segalanya bagiku.

         Sekitar 1 jam 40 menit  dari pesantren menuju Surabaya. Alhamdulillah Allah masih memberikan keselamatan kepada kami selama perjalanan.

Jam 10 kami sampai dirumah, ayah memintaku beristirahat atau sekedar bersih-bersih dan besok pagi ke rumah sakit jenguk bunda. Ayah akan balik kerumah sakit sekarang juga.

"Agatha ikut yah, yang perlu istirahat itu ayah, bukan Agatha. Agatha kan duduk manis di mobil."

Ayah menarik nafasnya panjang, menghembuskannya pelan lalu mengangguk menystujui permintaan.

Malam itu aku bermalam dirumah sakit DR SOETOMO SURABAYA.

          Angin pagi masih menyelimuti. Aroma obat dimana-mana menyeruak masuk ke indera penciuman tanpa kenal waktu. Lorong rumah sakit masih sepi, tak banyak para dokter dan perawat berlalu lalang, langit masih gelap, para penunggu kerabatnya yang sakit masih banyak yang terlelap diruang tunggu.

Saat kakiku hendak menaiki tangga, seseorang menghentikan langkahku.

"Agatha."

Tanpak laki-laki berperawakan jangkung tersenyum dan mengibas-ngibas rambutnya yang masih basah.

"kita pulang kerumah. kamu capek ya? habis ini kamu pulang dan istirahat, om Ali sudah nunggu di parkiran. Bunda sama ayah yang jaga bunda kamu. Biar kak Ano yang antar, om Ali juga pasti capek nyetir sendiri jemput kamu." Ucap kak Ano serius.

Sampai di tempat parkir, aku melihat ayah bersabdar di bemper belakang mobil sambil menengadah, memejamkan mata, mengurai banyak yang dirasa.

Saat sadar ada gemersik kaki yang berjalan mendekat, ayah membuka matanya, menatap kami dengan senyum beratnya, muka lelah dan khawatir tak beranjak dari sana.

"Kamu pulang aja sama Ano, ya. Ayah gak jadi balik, mau nemenin bunda."

"Kan sudah ada om Hisyam yah."

Kak Ano yang berada disampingku menyetujui. "Iyya, sudah ada bunda juga, om."

Tapi apa yang dilakukan ayah? Ia hanya menggeleng, kukuh dengan pendiriannya. Aku tahu ayah lelah, tapi keras kepalanya tidak bisa di tolerir.

"Tapi, yah ...."

"tak apa. Ayah mau disini, kamu pulang saja," titahnya dan berdiri hendak kembali.

"Yaudah kalo gitu Agatha nemenin ayah jaga bunda. Agatha juga masih rindu Bunda," nada parauku tak bisa dimanipulasi, lelah ini tak bisa dipungkiri.

Kak Ano hanya geleng-geleng menghadapi anak dan Ayah yang sama kerasnya.

"kalau kamu dirumah sakit nanti gak bisa istirahat Tha, mukamu kayak kertas habis diremuk-remuk, jelek tau. Mending pulang kerumah, mandi, bersiin badan biar seger dan istirahat abis itu balik lagi kerumah sakit. kakak bakal anter kok jangan khawatir," kali ini kak Ano yang menimpali, ikut berbicara setelah dari tadi bungkam hanya menjadi pendengar antara aku dan ayah yang berdebat. Hanya sesekali menyetujui atau menimpali.

          Kak Ano adalah sepupuku, putra tunggal dari adik ayah, paman Syam. Nama lengkapnya Anovatris Abraham. Abraham adalah nama turun temurun dari eyang kakung. kak Ano mengikuti nama silsilah dikeluarga Abraham karena dia laki-laki, akan mewarisi perusahaan eyang kakung, satu-satunya pewaris dari keluarga abraham.

          Sedang aku, nama akhirku diambil dari nama bunda bukan nama ayah. Syakila, Rahma dwi Syakila- Agatha Syakila. Ayah bilang, sekalipun namaku mengikuti keluarga Abraham, kelak aku akan mengikuti silsilah keluarga suami, seseorang yang menggantikan tanggung jawab ayah atas diriku.

            Kak Ano selalu melindungiku, bahkan sejak usia kami masih sekolah dasar. kak Ano, dia akan memarahi siapaun yang membuatku menangis. Yah, menangis. Aku perempuan cengeng, manja, apalagi pada kak Ano, seolah dia adalah kakak kandungku, aku akan bermanja padanya dan dia akan mengabulkan apapun seolah aku benar adik perempuannya.

Thanks for reading, i hope you like it.

May allah bles my purpose to write this story.💜

Publish :5 april 2019
21: 45 _jumat

Republish: kamis, 9 juli 2020
Follow may ig : melodybisu
Dan tag jika kamu mengutip apapun yang ada didalmnya😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top