Dunia vs Ilmu
Assalamualaikum..
Bismillah...
Happy reading...
Semoga gak bosen...
Dan jangan lupa votmennya..
Aku juga butuh pendapat kalian untuk menjadikan tulisanku lebih baik lagi.
_23_
_Ustadz Pribadi_
Dunia itu gelap, dan ilmu adalah cahaya. Maka untuk bertahan dikegelapan harus punya cahaya.
Adnil_
Kutitip luka disela-sela angin menyambar jalan, luka yang tak seharusnya ada. Lelah rasanya menerima kenyataan bahwa aku bukan anak tunggal dari seseorang yang mencintaiku sejak Allah takdirkan ada, pria yang menjadi cinta pertamaku, pria yang bagiku pelindung segala resahku, pria yang selalu ajari aku tentang kekuatan agar aku tetap tegar.
Ya, sekarang setidaknya aku harus tegar menerima kenyataan bahwa yang kita miliki tidak seutuhnya milik kita, bahkan kita tak punya hak apapun tentang apa yang Allah berikan, semuanya hanya titipan.
Pikiranku teralihkan. Wanita paruh baya menjadi titiik fokusku saat mobil yang kak Ano kemudi menjadi salah satu pengendara yang memadati jalan.
“Kak, pinggirin deh mobilnya. Itu nenek kesulitan nyeberang.”
Kakak terbaikku ini benar-benar mengikuti perkataanku, dia tak ingin beranjak dari kursi kemudi. Sedang aku segera membawa kakiku menghampiri nenek berusia sekitar 60an.
"Nenek mau kemana? Saya bantu nyeberang ya?" ucapku sambil merangkulnya dari samping kiri. Nenek itu melihatku sekilas dan mengangguk, lalu kembali menatapku intens.
"Kamu calon istri Kafani 'kan?" Deg. Suara has wanita lanjut usia membuat jantungku seolah berhenti berdetak mendengar nama itu, lebih tepatnya dua kata sebelum nama itu. Calon istri.
Kutautkan alisku, "Kafani nek?" Dari mana nenek tahu Kafani? Ah mungkin dia salah orang. Nama Kafani tidak hanya satu bukan?
"Iyya, kamu yang dibawa Kafani dulu itu. Nenek gak mungkin lupa."
"Kapan ya nek? Nenek salah orang mungkin?"
"Ah, nenek hampir lupa sama kajian. Nenek harus menghadiri kajian dimesjid seberang sana tuh," tunjuk nenek pada masjid ber-cat hijau tua kolaborasi dengan hijau daun yang membuatnya manis.
"Ah iyya, saya bantu nyeberang nek."
"Kamu ikut aja kajian, setelah kajian kita bisa lanjutkan perbincangan. Mau ya?" ucap nenek memohon dan aku tidak tega.
"Nenek rindu Kafani."
Aku tercengang menimbang ajakan nenek. Mungkin akan langsung ku iyakan jika tahu nenek ini siapa. Tapi sungguh aku tidak tahu, atau mungkin aku lupa. Entahlah.
"Mau ya, nak? Nenek masih ingin bertemu kamu lebih lama," bujuknya. Akhirnya aku menyerah.
"Saya diantar sama kakak nek, saya izin dia dulu ya nek?" Perempuan lanjut usia itu mengangguk senang. Aku jadi ikut senang.
Berjalan menemui kak Ano, pikiranku masih mencari-cari kamus wajah yang pernah aku temui. Nenek itu memang seperti tak asing lagi dimataku. Tapi, apakah benar aku pernah bertemu dengannya?
"Kenapa gak jadi?" Suaranya memecah konsentrasiku. Kak Ano sudah bertengger disamping kiri mobilnya. Mungkin bosen menungguku kelamaan.
"Neneknya gak jadi nyebrang?" Aku mengerjapkan mata.
"Jadi kok, tapi Agatha mau izin sama kakak. Katanya disana tuh," tunjukku pada masjid yang ditunjuk nenek padaku, "ada kajian. Sekalian kak Ano ikut juga. Daripada nunggu Agatha, buang waktu. Mending diisi dengan ilmu. Iyya kan?"
Kak Ano tercengang sebentar lalu mengangguk pelan. "Sekalian sholat dzuhur. Gara-gara kamu nangis kakak gak berjemaah dimasjid deh tadi." sontak kubulatkan mata dan menusuknya dengan tatapan tajamku.
Dia nyengir tak berdosa. "Iya, iya deh maaf, becanda," tangannya mengubek-ngubek himar yang melekat dikepalaku, "Kamu juga harus bisa menerima bahwa semua yang ayahmu lakukan bukan semata-mata kehendaknya, itu sudah skenario Allah," lanjutnya lagi. Tatapanku yang tajam luluh.
Ia memencet remot kontaknya untuk mengunci mobil. Berakhirlah kita nyamperin nenek dengan bungkam, memikirkan asumsi masing-masing.
Setelah sampai, tanpa membuang waktu lama, kami menginjakkan kaki di masjid menyejukkan. Rumah Allah yang penuh kedamaian. Nenek mengambil posisi duduk yang nyaman, sedang aku melesat ke kamar mandi karena jarum jam kecil sudah mendekat angka dua dan jarum panjang berada diangka sembilan dan aku belum melaksanakan sholat dzuhur.
Nampaknya semua orang sudah duduk dengan tenang, bersiap menerima ilmu yang akan diuraikan.
Usai sholat, aku mendekati nenek yang berada dibarisan terdepan namun mengambil posisi dekat tembok, agar nyaman bersandar jika lelah. Nenek menatapku tersenyum penuh kasih sayang dan membuat aku merasakan seolah dia benar-benar nenekku, mengingat aku tidak pernah tahu rasanya kasih sayang seorang nenek, karena mereka meninggal sejak aku masih balita.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabaarokaatuh." salam khas pria paruh baya terdengar dari depan tempat mimbar berada, mungkin. Karena pembatas pria dan wanita menjulang dan tak tampak sedikitpun walau hanya sebatas bayang-bayang. Jadilah bagian Kaum Hawa hanya bisa mendengar tanpa tahu ekspresi penceramah.
Semua jemaah menjawab dengan khidmat penuh semangat. Jujur, miris sekali melihat semua jemaah rata-rata ibu-ibu dan sesepuh. Hanya satu dua anak muda yang menjadi bagian jemaah taat dan ingin menuntut ilmu ini.
Lantas, kemana generasi muda selanjutnya yang akan memperjuangkan agamanya? Jangan tanya agama di zaman yang sudah akhir ini. Agama hanya dijadikan status KTP saja, Al-quran pun sudah dibiarkan usang dan berdebu, menjadi pajangan tak berharga. Astaghfirullah, aku pun termasuk bagian anak muda yang seperti itu. Tapi, saat ini aku sedang belajar untuk tak menjadi bagian dari anak muda akhir zaman.
"Dunia sudah tua dan renta, sudah tidak kuat menopang beban berat penuh dosa. Dunia sudah menangis miris, melihat penghuninya tak peduli akan bumi yang dipijaki.
Bagaimana mau peduli, sedang pada tubuhnya sendiripun tak pernah dihargai. Banyak manusia berbondong-bondong mengejar dunia yang fana ini, hingga lupa tubuhnya butuh asumsi. Saat apa yang dikejar telah diraih, tubuhnyapun sudah tak kuat menahan ambisi.
Anda lihat semua, banyak orang-orang kaya harta tapi tinggalnya dirumah sakit ternama, fasilitasnya terjaga, tapi tak pernah nyaman karena sakit yang diderita.
Saat setelah sembuh, hartanya tak lagi menumpuk, yang dikata karena biaya rumah sakit terlalu memupuk. Padahal dirinya yang sombong tak merasa diuji dengan sakitnya.
Setelah miskin, ekonomi susah, sembako naik tak berarah, pemimpinlah yang salah.
Zaman benar-benar telah berada dupuncaknya. Penghuninya hanya memikirkan dirinya, mengejar kebahagian yang katanya berada diakhir. Sampai diakhir, kebahagiaanpun tak kunjung tiba. Padahal bahagia sederhana, cukup bersyukur dan mengharap ridhonya.
Diceritakan, suatu kaum bertanya kepada rasulullah. 'Ya Rasulullah, tujuan hidup hanyalah untuk mendapat ridho Allah. Yang saya tanyakan, apakah gerangan tanda-tanda bahwa Allah sudah ridho kepada kita?'
'Sesungguhnya, tanda allah ridho kepada hambanya adalah dengan melihat pemimimpin suatu kaum. Jika Allah ridho terhadap suatu kaum, maka Allah kirimkan pemimpin yang baik pada kaum itu, hingga baiklah juga keadaan kaum tersebut karena pemimpin yang baik."
Benarkah? Jadi, indonesia yang riuh dan terancam keamanannya karena Allah tidak rodho terhadap kaumnya?
Pikiranku tak lagi fokus pada tausiah-tausiah yang ustadz sampaikan. Pikiranku sibuk dengan asumsi-asumsiku sendiri. Kalut, sedih melihat dunia yang menangis kesakitan karena ulah manusianya. Ridho Allah tak lagi menjadi tujuan utamanya.
"Namamu siapa nak?" Suara nenek memecah asumsi-asumsi yang berperangdalam kepalaku.
"Agatha, nek."
"Ah, iyya Agatha nenek lupa."
Semua jemaah beranjak dari duduknya, karena ceramah telah usai dan adzan asar sebentar lagi akan dikumandankan.
"Nenek beneran pernah ketemu Agatha?"
"Iyya nak, mungkin kamu lupa. Karena kita pernah bertemu bertahun-tahun yang lalu. Kamu pernah bilang nama nenek sama dengan nama ibumu."
"Iyyakah?" Tanyaku meyakinkan. Nenek hanya tersenyum mendamaikan khas seorang ibu.
"Sudahlah kalau kamu lupa, kita harus segera wudhu, nanti telat berjemaah."
Jadilah kami segera memasuki kamar mandi khusus wanita yang berada dikiri pojok masjid. Disela-sela itu, kutanyai perihal informasi kajian dan nenek yang bersemangat mengikuti kajian.
"Terakhir Kafani menemui nenek, dia pamit ingin menuntut ilmu yang jauh dan meminta doa nenek agar dilancarkan. Padahal sudah dua tahun lamanya tidak bertemu. Sekali bertemu dia pamit.
Dunia itu gelap nek, dan ilmu adalah cahaya. Maka untuk bertahan dikegelapan harus punya cahaya.
"Kata-katanya yang membuat nenek terharu dan membuat nenek semangat belajar hingga menua. Kafani bilang belajar itu bukan soal usia, tapi soal mau."
Nama Kafani kembali terngiang diasaat aku benar-benar telah mengikhlaskannya, telah mengikhlaskan rasa yang bertahan lama didada.
Wah gimana nih.. Kafani hadir lagi..
Tapi dalam ingatan..
Kira2 tetep bertahan sama rasa yang baru apa bakal balik ke yang lama? Wkwkw..
Terimakasih sudah mau mampir di cerita absurdku... wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top