Diluar Dugaan

_22_

_Ustadz Pribadi_

"Mempraktekkan kejujuran itu sulit, apalagi mengajari kejujuran"

Adnil_

Happy reading..

"Niatku ingin menghitabahmu, tapi kalau kamu sudah ada yang punya aku tak bisa apa, hanya bisa berencana."

Whuss..

Angin sepoi menerpa kulit dermisku, menyadarkanku dari kalimat panjang yang Ibra ucapkan. Nadanya begitu berat dan samar.

Segurat rasa kecewa melambung tinggi, seolah ia akan dijatuhkan kepermukaan bumi menjadi kepingan tak utuh lagi. Begitu aku mendeskripsikan raut wajah pada sosok pria dihadapanku. Dia tersenyum, namun seolah ada luka, dia menertawakan lukanya sendiri, begitu yakin lukanya tak akan terobati.

"Kamu baik. Percayalah, kelak kau akan temukan orang yang lebih baik dariku, dan tentunya terbaik untukmu."

Ibra mengangguk samar. "Aku permisi, Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam warohmatullah."

'Maaf Ib, semua ini bukan kehendakku. Aku tak bisa apa,' deruhku didalam hati saat Ibra berlalu dengan langkah yang tak bisa diartikan.

Jika bukan Ibra, lantas siapa? Ah kepo sendiri 'kan. Padahal sudah tak mau tahu siapapun orangnya. Cukup minta Allah untuk tanamkan cinta pada yang benar menjadi pemilik tulang rusuk ini.

"Oh my god, I admire him so much."

Rara terperangah, dan mataku membulat sempurna melihatnya begitu kaget.

"Dikhitbah Ibra?" puk.. puk.. telapak tangannya beradu kepalanya bergerak kekanan dan kekiri.  "kalau gue jadi lo, nyesel Tha."

"Udah ah, aku harus ke kantor pp.. ayah," hampir saja lidah ini tak bisa diajak kompromi.

"Yaudah, gue juga harus pulang. Mami minta antar ke salon. Jangan lupa gue sidangnya lusa," nadanya ditambah se oktaf agar terdengar saat kakinya mulai menjauh.

"Iyya, assalamualikum," mungkin sudah tidak terdengar. Dia belum terbiasa dengan salam, tapi akan aku biasakan.

Dengan cepat aku melengang dari area kampus. Tujuanku bertemu ayah dan berharap mendapat notif dari kak ano bahwa ayah sudah dirumah. Semoga saja.

Terik panas mulai menerpa, kututup jendela mobil dan menghidupkan AC. Jujur, aku lebih suka menikmati udara alami dari pada sejuk buatan AC. Tapi udara disiang bolong seperti ini polusi terlalu padat, ditambah padatnya jalan dengan bermacam-macam kendaraan, apalagi dijam-jam pulang sekolah.

Kulihat banyak siswa berseragam dongker dan abu-abu yang ikut memadati jalanan. Ada yang boncengan dengan motor antara pria dan wanita, ada juga pejalan kaki di trotoar yang berbaur antara laki-laki dan perempuan. Semuanya seperti sama, tidak ada kecanggungan atau rasa risih. Dan aku menyesal pernah menjadi seperti mereka. Aku menyesal tidak belajar agama lebih luas sejak dulu.

Padahal sangat jelas dalam hadist bahwa rasulullah pernah memerintahkan kaum perempuan untuk berjalan pelan dan meminta untuk berjalan dipinggir jalan saat rasulullah mengetahui ketika itu perempuan dan laki-laki berbaur dijalan.

Mengapa demikian? Karena dikhawatirkan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berbaur apalagi ditempat umum, dikhawatirkan terjadi fitnah dan prasangka tidak baik. Maka, bisa saja orang yang melihatnya menyangka yang tidak-tidak. Misalnya, perempuan tidak terdidik, gak tau diri, murahan dan sebagainya.

Innalillahi, aku pernah menjadi mereka dan aku menyesal, sangat.

Seiring waktu, harapan yang sejak tadi kuinginkan terwujud nyatanya tidak. Sampai saat aku sudah berada dihalaman kantor polisi, mobil kak Ano juga masih bertengger ditempatnya. Aku berdecak kesal karena sejak tadi panggilanku tak pernah diangkat. Sedang apa kak Ano? Tumben dia mengabaikanku.

Tanpa ingin membuang waktu, segera kulesatkan kakiku menuju ruang pelayanan untuk menanyakan keberadaan ayahku, tapi urung saat kulihat kak Ano berjalan gontai dari ruang besuk.

"Kak Ano," sergahku. Ia terlihat kikuk dan tegang karena terlalu kaget.

"Maaf kak, Agatha ngagetin ya? Assalamualaikum."

Dia hanya menggeleng dengan rasa tegang sekaligus khawatir yang sepertinya menyelimutinya. "Wa-waalikumussalam."

"Kak Ano di telfon kok gak diangkat sii.. gimana ayah? Sudah bebas kan? Ayah gak terbukti salah, kan?" Kak Ano hanya diam dengan ekspresi yang susah untuk ditebak.

"Jawab kak, dimana ayah? Ayah sudah pulang kah? Atau masih di sel? Ah kak Ano kayak patung, Agatha mau ketemu ayah." Segera kuseret kakiku melangkah keruang dimana kak Ano berasal. Tapi ... langkahku terhenti, kak Ano mencegatku dengan ekspresi yang masih sama sejak tadi, tegang.

"Kita harus bicara dulu Tha."

"Bicara apa kak? Bisa kan bicaranya setelah Agatha ketemu ayah? Ayah masih di sel 'kan?" kulihat kak Ano masih diam dan kuanggap itu sebagai jawaban iya.

Kutarik tangan yang kak Ano kaitkan untuk mencegahku. Segera percepat langkahku menuju sel yang harus melewati ruang besuk. Dua polisi mencegatku. Mengintrogasiku tentang identitas yang ingin aku temui. Kutunjukkan kartu namaku dan berhasil.

Saat tiba di pintu masuk ruang besuk, kulihat dua pria tak asing bagiku. Ayah, pria terbaik yang aku punya dan satunya? Kenpa bisa pria itu ada disini? Untuk apa menemui ayah? Kenapa bisa kenal ayah?

"Adik suami mamah pengacara Pah, Andre bisa bantu Papah. Please, terima tawaran Andre."

"Nggak usah Dre, papa percaya Allah yang maha tahu keberannya."

Bhuk..

Kedua lututku terhantam lantai menyakitkan ini, sakit. Tapi, lebih sakit satu organ yang dilindungi ruas-ruas tulang rusuk. Cairan bening mengalir begitu saja.

Kedua pria yang kukenali tercengang melihatku yang sudah ambruk diambang pintu. Kurasakan bahu bergetarku disentuh seseorang.

Papa? Apa maksudnya?

"Kak Agatha?"

Keduanya menghampiriku yang tertunduk. Kak Ano menautkan kedua tangannya dibahuku. Seolah ingin menyalurkan kekuatan padaku, ia pastinya juga tahu hal ini, mengingat dia mencegahku menemui ayah. Aku sadar, ternyata ini maksud kak Ano melarangku?

Kutepis tautan tangan kak Ano dan berdiri dengan kasar lalu pergi meninggalkan luka yang tak tahu penyebabnya.

"Agatha, dengarkan ayah dulu," teriaknya saat aku sudah menjauh. Kuabaikan panggilannya, begitupun panggilan kak Ano yang mengejarku.

Aku tahu langkahku tak sepanjang dan secepat laki-laki, maka aku kalah. Kak Ano berhasil meraih lenganku, menghentikanku, dan memelukku, memberi ruang untuk aku bersandar dan meluapkan tangisku.

"Hiks.. hiks.. kak Ano jahat," kupukuli dada bidangnya yang tepat dihadapanku, mendekap tubuhku yang hanya sebahu dengannya. Namun ia diam. Membiarkanku memukuli dadanya hingga puas.

"Hiks.. apa maksudnya kak? Apa lagi yang nggak Agatha ketahui? Kak Ano jahat. Hiks.. pasti kak Ano juga tahu maksud ini semua kan? Jelaskan kak, jelaskan!" teriakku masih dalam dekapannya.

Kurasakan kak Ano menggerakkan kepalanya kekanan dan kekiri. Bertanda dia juga tak bisa menjelaskan apapun.

"Makanya kita balik yuk, kita akan dengarkan penjelasan dari ayahmu."

Sontak aku menggeleng dan melepas pelukannya. "Kak Ano aja yang dengarkan, Agatha sudah jelas mendengarnya. Ayah punyak anak lain selain Agatha. Hiks."

"Kita tidak bisa menyimpulkan jika hanya mendengar sebagian."

"Pergi kak, kakak ngak berada diposisi Agatha, jadi kakak gak tahu apa yang Agatha rasain. Pergi, tinggalkan Agtha sendiri."

"Sabar Tha, ingat pesan Rasulullah. Jika kamu menganggap ini musibah ingatlah hadis yang menceritakan ketika rasulullah bertemu seorang perempuan yang menangis dikuburan dan berkata 'Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah' dan perempuan itu berkata 'enyahlah dari hadapanku, kamu tidak merasakan musibah yang menimpaku sehingga tidak mengetahui perasaanku' bukankah kata-kata itu sama dengan yang kamu ucapakan?"

"Apa yang rasulullah ucapkan ketika perempuan itu menyadari bahwa yang berkata adalah rasulullah kemudian meminta maaf? Beliau bersabda 'sesungguhnya, kesabaran yang sempurna adalah saat manusia tertimpa musibah'."

Aku hanya bisa bungkam mendengarnya, seolah aku tertampar dengan pesan rasulullah. Benar, hadist itu diriwayatkan Anas ibn Malik r.a. (HR Al-Bukhari dan Muslim)

"Lagipula untuk membedakan orang mukmin dan munafik itu dari tingkat kesabarannya."

Deg.

Benar-benar dibuat mati aku hari ini. Kesadaranku seolah tak berfungsi.

"Kamu gak mau 'kan dikatakan orang munafik karena tidak sabar dengan ujian yang Allah berikan?" segera kugelengkan kepala, tak ingin di cap sebagai munafik.

"Maka dari itu kita ke ayah, mungkin ada alasan yang membuat ayah melakukan itu, menyimpan semuanya dari kamu."

Aku menurut. Pria yang bertittle sebagai sepupuku ini membimbingku menuju ruangan yang bagiku menyakitkan.

"Agatha." ayah memelukku, tapi tidak ada balasan dariku, hanya derai air mata yang terus mengalir. Rasanya aku benar-benar menjadi wanita tercengeng didunia.

"Maafin ayah," suaranya melemah, sedang aku masih tak berkutik sedikitpun. Kuperhatikan pria yang tadi memanggil ayah, papa. Dia tertunduk bukan dengan rasa bersalah, tapi kurasakan ada luka  yang memikul pundaknya. Sama sepertiku, terluka.

"Hiks.. hiks.. Mempraktekkan kejujuran itu susah yah, apalagi mengajari kejujuran."

Ayah semakin erat mendekapku.

"Yah, Ayah yang ajarin Agatha untuk selalu jujur sekalipun menyakitkan."

"Maaf Tha, ayah akan jelasin semuanya"

Ckckck...

Alhamdulillah 'ala kulli hall..
Thank yang udah mau mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top