Ayah dan Cinta


Btw udah baca Al-kahfi belom?
Kalo belom mohon jangan dilanjut, baca dulu al -kahfinya. Udah tahu keutamaannya? Pasti donk.

Allah dulu
Allah terus
Allah is everything

Tapi, kalo udah baca silahkan dilanjut. Semoga betah dengan cerita GJ-ku.

Happy reading..😙😙😍

_20_

_Ustadz Pribadi_

"Tapi seseorang yang percaya takdir Allah, dia tak akan tenggelam dalam luka yang menyakitkan. Justru ia akan bangkit dengan hati yang lebih kuat."

Adnil_

Cahaya mentari sudah mengintrupsi, menelusuri celah-celah jendela yang tertutun kelambu. Enggan rasanya untuk beranjak, setelah subuh aku kembali terlelap. Padahal, Rasulullah tidak menganjurkan tidur dipagi karena akan ada banyak mudhorotnya. Seperti yang kurasakan ini, malas beraktifitas.

Kupandangi langit-langit kamar, putih, tak bermotif. Kutatapi dengan kosong. Kulihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan.

Tiga bulan sudah berlalu setelah keputusan itu kuambil. Aku percaya pilihan ayah untuk putrinya. Tapi, keraguan akan masa depan pasti mengiringi.

Aku takut kelak tak bisa menerimanya. Aku tahu aku salah karena tak ingin mengetahuiny atau sekedar berkomunikasi lewat sosmed. Aku takut jika aku tahu siapa dia, aku akan membatalkan keputusanku. Jadi, lebih baik aku tidak tahu sama sekali.

Biarlah akad yang menjadi pengikat agar keraguanku tak bisa terbantahkan lalu terpatahkan

Drrt.. drtt..

Malas rasanya bahkan untuk sekedar angkat telfon. Siapa sih pagi-pagi sudah sibuk saja. Gerutuku dengan malas mengambil telfon diatas nakas samping tempat tidur.

"Waalaikumussalam," jawabku malas. Pemilik Suara bariton disebrang adalah orang yang tak asing lagi.

"..."

"Apa? Jangan bercanda kak, nggak lucu," gerutuku kesal.

"..."

"Kenapa bisa? Nggak, nggak mungkin ayah salah." suaraku mulai tersekat

"..."

"Iyya, jemput Agatha. Agatha lemes gak bisa nyetir," bohongku. Padahal karena malas juga letih dengan segala pikiran-pikiran absurd. Ditambah proses sidang skripsi yang kurang dua hari lagi.

Meski malas beranjak, kupaksakan untuk menapaki lantai kamar mandi yang dingin. Tak ingin meninggalkan rutinitas sholat pagiku. Segera kulakasanakan walau hati dalam keadaan risau. Ya Allah ya Robb, maafkan hambamu yang merisaukan perihal dunia.

Disalam terakhir, kudengar deru mobil yang berusaha memarkir didepan rumah. Masih dengan mata sembab, Segera kulipat mukena agar tak membuang waktu lama dan membuat kak Ano menunggu.

Tiba di kantor polisi, segera kuayunkan kaki memasuki ruang introgasi yang sudah kak Ano arahkan. Tiba-tiba saja kaki ini lemas melihat kulit wajah yang tak lagi tarik itu.

Semua mata diruangan itu tertuju pada ambang pintu, tepatnya pada diriku yang telah menjatuhkan lutut dilantai yang tak pernah terbayangkan ini. Kedua polisi penjaga pintu yang tadi menatapku sadis kini berubah sendu. Tangannya tak lagi menghalangiku. Tapi, membiarkanku dengan deraian air mata dan sesenggukan suara. Hiks hiks.

"Dia putri saya."

"Izinkan dia masuk," titah polisi dengan seragam lengkap yang duduk bersebrangan dengan ayah.

Saat ayah memelukku, menarikku untuk terduduk dikursi dekat ia duduk dengan tegap. "Ayah ini salah kan?" tanyaku lirih. Ayah hanya mengangguk pelan.

"Ayah hanya perlu menunggu 3 hari sayang, Sampai proses introgasi ini selesai baru diumumkan nasib ayah selanjutnya. Tetap disini atau bisa melihat senyummu tiap hari?" ck ayah, sudah begini masih saja ingin bercanda.

"Harusnya ayah tidak disini kalau ayah memang tidak salah," selaku melerai pelukan.

"Entahlah, ayah tidak yakin dengan itu. Ayah menyesal telah terlalu percaya pada orang," senyum ayah kecut, membuat ratusan panah menancap diuluh hati. Aku menggeleng tak percaya dan pastinya aku tak mengerti yang terjadi sebenarnya.

"Allah lebih tahu semuanya. Kalaupun ayah yang terbukti salah, kamu percaya, kan Allah tidak tidur?" aku hanya mengangguk mengiyyakan. "Kamu tak perlu khawatir, doakan ayah, minta sama Allah. Semuanya akan baik-baik saja."

Setelah darama tangisku reda, introgasi terhadap ayah dilanjutkan. Aku bisa menemani ayah dengan syarat aku tidak mengganggu dengan isakan tangisku. Jadilah hanya airmata yang terus mengalir bak sungai. Bagaimana tidak, semuanya seperti mengalir begitu saja. Setelah Kafani pergi, Bunda juga pergi, dan sekarang apa? Ayah juga akan pergi? Hiks.. hiks..

Usai diintrogasi, ayah masih ditahan sampai tiga hari kedepan. Kak Ano pun diperbolehkan menemui ayah. Keduanya berbicang serius. Aku tak mengerti yang mereka bicarakan, selain kasak-kusuk pembahasan mereka mengenai hal yang sulit aku pahami, tentang saham, investor dan lainnya yang membuatku pusing mendengarnya. Tapi aku yakin ini perihal tuduhan terhadap ayah.

"Jagain Agatha No," ucap ayah menepuk bahu kiri kak Ano dengan senyum menydihkan bagiku.

Lanjut ayah memelukku erat, seolah iyya akan pergi jauh. "Apa ayah bilang, ayah tak selalu disamping Agatha. Pilihan untuk menikahkanmu itu sangat tepat," bisik ayah desela pelukan hangatnya membuatku teringat akan keputusanku.

Ya, keputusan menerima lamaran yang aku tidak tahu sama sekali siapa dan seperti apa, walau ia mengirim CV ke alamat emailku yang ayah berikan, aku tak berani membukanya bahkan aku tak berniat sedikitpun untuk tahu. Sungguh aku tidak siap. Bahkan ia menghubungi nomerku dengan profil gambar masjid.

"Kita ke kampus dulu kak," pintaku saat mobil kak Ano mulai membelah jalan.

"Ngapain ke kampus? Bukannya skripsimu udah selesai?"

"Lusa adalah sidang ayah diputuskan, lusa juga Agatha sidang skripsi. Agatha mau menemani ayah kak. Agatha mau undurin jadwal sidang. Agatha gak bisa fokus kalau kalau ujian skripsi sedang ayah gak ada. hiks." tangisku kembali pecah. Allah, kenapa bisa bersamaan.

Beberapa menit sudah berlalu. Mobil kak Ano sudah bertengger depan fakultasku. Tak ingin membuang waktu, segera kuayunkan kaki yang mulai enggan melangkah ini menuju ruang dosen.

Hanya beberapa langkah, aku terhenti. Seseorang memanggilku. Saat kulihat sumber suara ternyata Gita. Kuhampiri untuk sekedar menghargai.

"Andre nanyain kak Agatha tiap hari," kuangkat sebelah alisku. "Sayang, Andre baru aja pulang setelah nerima telvon. Nggak jodoh deh buat ketemu kak Agatha."

Anak itu, padahal tiap hari chatingan masih saja bikin heboh penghuni bumi. "Terus, kenapa kalian belom pulang?"

" hehe, biasa kak, manfaatin wifi. Mubazzir kalo gak dipakek. Ya ngga vin?," tatapannya beralihpada Vina meminta dukungan. Yang kutahu dia teman seangkatan Gita juga Andre. Vina mengangguk menyetuji pernyataan Gita.

"Yaudah, kakak duluan ya. Mau ketemu dosen." keduanya mempersilahkan tanpa menanyakan tujuanku. Sepertinya mereka mengerti aku sedang tidak baik-baik saja dan tak ingin membiarkanku terlalu lama berdiri karena diintrogasi kedua adik tingkatku itu.

Usai bertemu dosen, segera kuhampiri kakak sepupuku yang sudah lama menunggu. Dengan langkah demi langkah yang kupaksakan menginjak bumi Allah yang terasa berat.

Allah, seperti inikah rasanya penolakan? Mungkinkah ustadz Fadly merasakan yang sama saat aku tanpa pikir panjang menolak perasaannya. Yang kurasakan bukan penolakan hati tapi kecewanya sudah seperti ini. Seolah semesta tak mendukungku. Apalagi ustadz Fadly yang menyangkut hati? Ah aku merasa bersalah, sangat.

"Gimana?" sambut pria yang duduk di bemper depan mobilnya denga sebelah tangan menumpu tubuhnya dan sebelahnya lagi memegang minuman dingin.

Kugedikkan bahu sebagai jawaban dan tidak lupa muka kucelku yang ditekuk kecewa. Tanpa menunggu aba-aba, kududukkan tubuhku dikursi samping kemudi. kak Ano-pun mengerti, ia langsung tarik gas untuk melajukan mobilnya.

"kak.."

"Hmm.."

"Cinta ditolak itu kecewanya seperti apa?," sontak kak Ano ngrem tiba-tiba. Sepertinya aku salah bicara.

Dia menatapku menyelidik dan mengunci mataku setelah menghentikan mobilnya dipinggir jalan. "Kenapa nanya seperti itu?"

Lagi-lagi ku gedikkan bahuku, "ditolak pengajuan sidang untuk diundur saja kecewanya seperti ini, gimana kalau cinta?"

"Kamu gak pernah ditolak?"

"Ih aku kan cewek masa mau nembak. Emm, kalo kak Ano gak pernah ngerasain ditolak?"

"Pernah," tatpanku langsung binar, karena dia salah satu cowok most wanted yang anti cewek. "Lebih tepatny bukan ditolak sih, tapi ditinggal, hilang kabar. Salah kakak juga sih gak ngungkapin."

"Yah itu bukan ditolak kak, tapi belum ngungkapin"

"By the way, kenapa kamu sangkut pautkan sama cinta? Pernah nolak?" aku hanya diam sebagai jawaban. "Ah iyya kakak lupa, kamu kan banyak yang ngejar, pasti banyak yang kamu tolak. Kakak aja mau andai kita bukan sodara sepersusuan."

"Ish, kak Ano." kulayangkan sebelah tanganku kebahu kirinya, kesal.

"Iyya deh maaf, tapi beneran deh, ditolak itu bikin gila. Temen kakak uring-uringan berhari-hari gara-gara perempuan yang sudah dia yakini menjadi ibu dari anak-anaknya nolak mentah-mentah."

"Serius kak?" apakah ustadz Fadly juga akan uring-uringan bak orang gila? Mikir apa sih kamu Tha. Husnudzon, Allah maha baik.

Sebegitu terlukakah seseorang yang ditolak karena cinta? Bagaimana dengan ustadz Fadly? Lagi-lagi ustadz itu yang terselip.

Ah, ustadz itu kan hanya bilang suka, bukan nyatain cinta. Sudahlah, untuk apa aku memikirkan keadaannya, keadaan ayah lebih genting. Lagipula, kenapa hanya ustadz Fadly yang bagitu aku hawatirkan? Sedang laki-laki yang jutolak tidak sedikit.

"Tapi seseorang yang percaya takdir Allah, dia tak akan tenggelam dalam luka yang menyakitkan. Justru ia akan bangkit dengan hati yang lebih kuat."

Benar, Allah memberikan cobaan untuk menguji hambanya agar lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya. Harusnya aku pun lebih kuat menerima cobaan yang terus menimpa hidupku. Aku percaya, ayah bagian dari ujian yang Allah persembahkan. Terimakasih Tuhan.


Thanks buat yang masih nunggu

Makasih juga buat vote dan dukungannya.

Republish 28 agustus 2020
Follow my ig melodybisu


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top