Akhirnya..


Jangan lupa vote dan komennya yaa..

Jangan jadi pembaca pasif ya..., minimal tekan bintang dipojok bawah lahh..

Hargai penulis, nulis itu gak mudah, harus luangkan waktu hehe..

Happy reading.

_29_

_Ustadz Pribadi_

Pagi itu semesta masih sama, memamerkan Rajanya dan aku sendiri menikmati udara pagi menghembus apapun isi bumi.

Ya, aku sendiri. Bik Inah masih belum balik dari kampungnya, sedang Rara pulang usai sidangnya kemarin. Pulang dari penjara, usai percekcokan sengit dengan kak Ano, aku masih sempat menghadiri sidang Rara yang ternyata Reza sidang juga dihari itu.

Tapi, masih sempat-sempatnya Reza menitipkan sebuket mawar putih untuk Rara padahal dirinya juga sidang. Ada rasa tidak enak menyelimutiku karena dihari sidangku Reza memberiku sesuatu sedang aku, hari sidangnya saja tidak tahu.

"Semoga lancar sidangnya," ucapku saat Reza hendak pergi kemarin dan buket sudah beralih ditanganku. " Maaf Za, aku tidak tahu kalau kamu sidang hari ini, kamu juga tidak memberitahuku. Jadi,..."

"Tak apa Tha, kamu ngasih ucapan aja udah lebih dari cukup buat aku"

"Tapi bener Za aku gak enak, gini aja deh kamu bilang apa yang kamu mau."

"Pengennya sih mau kamu Tha, tapi Allah gak izinkan."

Saat itu pula wajahku berubah tegang dan Reza masih dengan polosnya menyeringai. Saat ia sadar dengan ekspresiku, dia juga merubah mimik mukanya.

"Maaf Tha, bercanda. Cukup kasih buket itu ke Rara dan sampaikan terimakasih telah membantuku."

Aku terheran ketika itu dan sontak bertanya, Rara membantu apa tapi, Reza kikuk dan nyengir kuda tak menjawab lalu pergi begitu saja dengan salamnya.

Sampai kapanpun yang namanya tukang gombal tetep aja masih ngegombal walau sudah hijrah sekalipun. Contohnya Reza. Aku bersyukur dia tidak secanggung dulu, seperti saat setelah aku menolaknya.

Semakin tinggi mentari beranjak, semakin hangat pula sinarnya yang menerpa. Aku yang sedang duduk ditangga depan rumah akhirnya beranjak, malas rasanya menyiapkan sarapan, apalagi harus sarapan.

Biasanya banyak tipe orang yang sedang banyak pikiran. Pertama Ada yang malas makan (hilang mood) ketika sudah banyak pikiran(bermasalah).

Kedua, ada juga yang justru lebih banyak makan untuk menghilangkan pikiran-pikiran beratnya.

Ketiga, ada juga yang lebih suka terlelap lama, berharap masalah dan pikiran beratnya menghilang walau hanya sementara.

Terakhir, ada yang bijak terhadap masalahnya, ia akan menghadapinya dan tidak akan melakukan hal yang akan memodhoratkan dirinya. Misalnya, tidak makan, tidur lama, banyak makan tanpa henti, yang mana semua pekerjaan itu merusak dirinya.

"Agatha.." seseorang mengintrupsi saat aku hendak menutup pintu, akhirnya kubuka pintu lagi lebar-lebar tanpa aku harus keluar.

Seorang laki-laki bertubuh jangkung, berpakaian rapi khas mahasiswa kedokteran menyapaku dengan kikuk.

"Ya..?"

"E.. aa.. Rara.. masih disini?" Sontak aku menggeleng tanpa berpindah posisi.

"Sepertinya dia akan enggan kemari."

"Ke.. kenapa?" Suaranya gugup.

Hhh.. dasar pria gak peka, ya jelas karena kamu lahh.., tidak ada yang merubah Rara pendiam selain dua hal. Satu, karena orang yang menyakitinya. Kedua, karena orang yang disukainya.

Aku mengernyitkan bahu dan berlalu, membiarkan Radit kebingungan. Harusnya aku tak begitu, tapi sungguh aku seperti ikut merasakan luka yang sahabatku alami, ditambah problemku.

£££

Diruang persegi 4 x 4 m^ sudah tak asing lagi bagiku. ruang menyakitkan, begitu aku menyebutnya. Sudah dua minggu ayah menempati tempat dingin ini, tempat dimana tak ada selimut dan bantal, tersekat sel menjulang dari bawah ke atas.

Hari ini, kebebasan ayah diputuskan. Entah aku yang berakhir memutuskan dengan melepas ikatan, atau bukti berhasil ditemukan? Yang jelas kini suasana menegang, semuanya menunggu seseorang untuk berakhirnya keputusan.

"Assalamualaikum." Sontak semua mata tertuju pada asal suara dan menjawabnya serempak, namun dengan nada dingin.

"Apa kabar Wir, apa kabar Li? Bagaimana ini bisa Ali disini?" Tatapan Om wira menghunus, seolah ia benci pertanyaan basa-basi.

"Tanyakan baik-baik Wir, kita jangan asal menuduh, tabayyun dulu." Ucap ayah menyabarkan saat Om Wira yang berada disampingnya hendak berkata dengan emosi memuncak.

Ayah paham sekali karakter Om Wira, dia keras. Ayah sudah lama kenal dan dekat sejak sekolah dulu. Begit ayah yang pernah bercerita sosok om Wira yang kelak akan menjadi mertuaku, katanya agar akau paham terlebih dahulu. Tapi, ayah sedikit pun tak pernah bercerita atau menyinggung soal putra om Wira yang kelak akan menjadi imamku.

"Ada apa sebenarnya Li? Apakah ini ada sangkut pautnya dengan bisnis kita?"

"Tentu ada Thorik, justru disini bisnis kita yang menjadi perantara." Berkata menatap pria paruh baya yang dipanggilnya Thorik dengan sinis.

"Biar aku yang menjelaskan Wir, khawatir emosimu yang lebih dulu mencuat." tatapan om Wira beralih pada pria disamping kirinya. Tatapan itu tak lagi kuat, kini mulai melemah dan mengangguk pelan. Sepertinya ayah benar-benar mampu mengontrol temannya itu.

Semuanya diam, hening. Ayah menarik nafasnya pelan dan menghembuskannya kasar. Ia mulai menjelaskan tentang proyeknya yang hampir memenuhi pemasaran, tapi sesuatu terjadi. Tiba-tiba terjadi kerugian besar dan semua data menunjukkan bahwa ayahlah dalangnya.

"Apa kamu percaya Ali akan melakukan itu?" Sergah om Wira yang membuat laki-laki berkemeja silver itu menggeleng sempurna.

"Sama, aku pun sama sepertimu. Tidak percaya. Tapi kamu tahu? Ali mendapat tawaran ia akan dibebaskan dengan syarat.." sengaja om Wira menjeda dan pria bernama Thorik itu menunggu lanjutan tidak sabar.

"Dengan Syarat putri Ali mau menikah dengan putramu." Sontak Om Thorik tercengang kaget.

"Kenapa kamu kaget Rik? Bukankah ini rencanamu? Memalsukan surat agar terjadi kerugian besar, padahal tidak ada kerugian sama sekali dalam proyek ini."

"Tunggu, siapa yang mengancam Ali begitu?" Ayah mengeluarkan selembar mab berwarna merah lalu dibukanya, dan menyerahkan selembar surat itu pada pria berkemeja silver yang sejak tadi berdiri di ujung meja persegi ini.

Aku dan kak Ano hanya menyimak. Om Thorik mengambil kertas yang disodorkan padanya, membacanya perlahan, lalu netranya membulat sempurna.

Aku tahu surat itu saat kemarin kak Ano memberi tahuku. Surat itu berisi perjanjian tentang jaminan dibebaskannya ayah dari tuduhan penggelapan dana proyek yang syaratnya adalah aku.

Sungguh, aku merasa menjadi perempuan paling hina dan murah yang menjadi mainan, ditukar dengan jaminan.

"A.. aku ngak pernah nulis surat ini, siapa yang mengirimnya?" Om Thorik berkata tegas.

"Asistenmu Rik," suara ayah berat.

"Sungguh aku tak pernah menulis surat ini atau mengirimnya kesini. Sebulan terakhir aku berada di Australi, mengurus bisnisku disana, dan untuk bisnis yang ini kusarahkan pada putraku."

"Ibrahim?" Tanya Om Wira sinis, dan Om Thorik mengangguk pasti.

Setelah itu ayah melanjutkan kembali penjelasan yang tadi dipotong om Wira, bahwasanya data yang dipalsukan masih belum bisa mengeluarkan ayah dari sel-sel menyakitkan ini. Pihak polisi menuntut bukti yang lain, karena data yang dipalsukan tidak kuat.

Berakhirlah dengan surat perjanjian itu. Ayahpun menceritakan perihal Ibra yang menyukaiku namun aku menolaknya. Karena itu memang harus dilakukan bagi wanita yang masih terikat dengan khitbah.

Wajah pria jangkung yang mulai menua itu tersirat amarah, ia lalu menelfon seseorang yang aku gak tahu siapa. Ia izin untuk menelfon. Polisi sudah mengingatkan berkali-kali untuk tidak terjadi keributan.

Tak lama dari itu, seorang pria berpakaian rapi khas kantor datang dengan wajah gugup seperti ketakutan. Om Thorik yang sejak tadi menahan emosinya akhirnya mencuat dengan melempar kertas ber mab merah itu kemuka pria yang kuperkirakan berumur tiga puluh lima-an.

"Jelaskan apa ini maksudnya Andra? Mereka bilang kamu yang mengantar surat ini?" Todongnya pada pria yang baru datang dan menunduk takut.

"Maa.. maaf pak. Surat ini memang saya yang mengantarnya," suaranya sedikit bergetar dan berkata tanpa melihat lawannya. "Tapi, ini atas perintah Mas Ibra. Awalnya sa.. saya kira ini juga perintah da dari pak Thorik. Tapi, sa.. saat saya tanya kembali ternya itu mas Ibra yang menginginkannya."

"Apa kamu tahu perihal proyek baruku dengan Wira mengalami kerugian?"

"Tidak, pak. Semuanya mas Ibra yang mengurusnya. Saya tidak diperkenankan ikut andil. Mas Ibra bilang, biarkan mas Ibra yang mengurusnya, dia sudah ahli."

"Payah..." pria yang sejak tadi ingin memangsa akhirnya gusar, mengusap rambutnya kasar.

"Kasus ini berarti mengatas namakan aku untuk berwenang?" Om Wira meng iyyakan.

"Pak polisi, saya bebaskan terdakwa ini. Ini hanya kesalah pahaman," ucap om Thorik pada polisi yang sejak tadi andil dalam pembahasan ini. Polisi itu mengangguk dan menyarankan pria bernama Thorik itu mengikutinya untuk mengurus kebebasan ayah.

"Aku yang akan urus putraku, kalian tak usah khawatir."

Alhamdulillah. Akhirnya, aku bernafas lega. Kulihat kak Ano sudah santai, begitu pun Om Wira yang raut wajahnya mulai tenang.

Bukankah Allah maha baik? Kebenaran tak akan pernah disembunyikan. Tapi, yang pernah terpikirkan adalah, bagaimana bisa pria sebaik Ibra melakukan itu hanya karena wanita?

Cinta dan obsesi memang sulit dibedakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top