Ajari aku Menghapusnya
_14_
_Ustadz Pribadi_
Bismillah..
Selamat membaca. Maaf jika kurang ngfeel dan tidak memuaskan.
Penulis masih tahap belajar 🤗🤗
Emosi yang tak bisa kucegah, air mata mengalir begitu saja. Aku benci. Benci seseorang yang merubah takdirku. Bukankah harusnya Kafani masih disini? Andai Kafani bukan anak motor ayah tak mungkin semarah itu dan membuat Kafani pergi.
Aku tahu, aku yang salah telah melanggar peraturan ayah untuk tak pacaran. Tapi, ayah tak mungkin tahu soal ini. Setiap aku dijemput Kafani ayah sudah berangkat ngantor, begitupun ketika diantar, ayah pun belum pulang. Ya, ayah tak mungkin tahu kecuali ada yang memberi tahu. Tapi, siapa yang memberi tahu? Kenapa aku taidak pernah berpikir soal kejanggalan ini?
Kling..
Sibawel Rara
Tha.. kamu kemana? aku kehilangan jejakmu. Kamu pergi begitu saja melupakan aku? kamu kenapa Tha?
Maaf Ra, aku ingin sendiri. Deruhku tanpa menjawab pesannya. Kulanjutkan langkahku menyusuri trotoar diluar kampus. Aku tak peduli dengan orang yang berlalu lalang, biarkan aku berjalan tanpa tujuan, aku tak peduli orang akan mengira aku gila, setres, terserah.
Satu yang aku ingini sekarang. Kembali kemasa dimana aku belum mengerti tentang rasa dan perasaan.
"Tha, Tha....kamu kenapa?"
Seseorang mengayunkan pundakku, menyadarkanku dari lamunan semuku. Tatapannya penuh kehawatiran. Aku tidak tahu sejak kapan wanita berparas ayu nan mendamaikan ini berada dihadapanku, Wanita dengan gamis panjang serta hijab lebarnya menambah keanggunannya, Wanita yang ayah kenalkan beberapa hari yang lalu, Wanita yang sudah seperti ibu, tante, bahkan saudara bagiku.
"Istighfar, Tha, Kamu kenapa..? Ngapain jalan sendirian di trotoar seperti ini? kamu seperti orang kehilangan arah. Ada masalah kah?" Aku tersenyum getir tanpa menjawab pertanyaanya.
"Agatha gak papa, Ustadzah." bohong.
Mana mungkin Ustadzah Kalila percaya, sedang dia mampu menemukan tatapan kosongku. Ustadzah menggeleng tak percaya, lantas ia memaksaku memasuki mobilnya, mendudukkanku di jok belakang sedang ia berada disamping kemudi. Aku tidak tahu siapa yang berada didepan kemudi, aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Kegundahan ini membuatku begitu abay.
"Tha ... kamu sudah makan?" Kuhanya menjawab dengan anggukan. Aku tidak tahu kemana aku dibawa. Aku hanya diam tanpa bertanya. Biarkan saja waktu yang menjawabnya.
Mobil Sedan bercat putih ini memasuki area parkir sebuah cafe tak begitu jauh dari kampus. 10 menit bisa ditempuh dengan kecepatan sedang. Kedua orang didepanku sibuk berdiakusi, entah apa yang dibicarakan, kemudian keluar dan tak lupa mengisyaratkanku agar juga turun.
Tidak ada interaksi apapun antara aku dan ustadzah. Sepertinya, ustadzah mengerti bahwa aku tak ingin banyak bicara seperti biasanya yang berceloteh memberikan tanya serta pendapat yang mungkin menjanggal.
Kami duduk dimeja bundar tidak jauh dari pintu masuk, kemudian usadzah memperkenalkan pria yang sedari tadi menjadi teman diskusinya sekaligus pengemudi mobil.
"Senang bertemu denganmu Agatha." Sapanya dengan senyum yang sama-sama mendamaikan seperti ustadzah Kalila. Ah, mereka benar-benar pasangan serasi.
"Sebuah kehormatan bisa bertemu ustadz Reno," balasku dengan senyum kikuk.
"Ah kamu bisa aja, tidak usah seperti itu. Kami sebagai manusia diciptakan dengan derajat yang sama. Yasudah kalian pesan saja nanti saya yang bayar dikasir."
"Sayang, aku tunggu disana ya?, sekalian ketemu om wisnu." tunjuknya pada tempat kasir yang bersebelahan dengan ruang khusus karyawan. ustadzah tersenyum membalasnya, menggerak-gerakkan kepala bertanda iyya.
Om Wisnu yang dimaksudnya adalah pemilik cafe ini, mungkin ustadz Reno keponakan atau kerabat jauh.
Ustadzah menawarkanku cemilan untuk dipesan, tapi mood makanku hilang. Ustadzah memesankanku jus lemon seperti yang biasa aku pesan saat bertemu untuk mempelajari sesuatu yang belum aku pahami.
"Jadi, apa yang membuatmu seperti orang tanpa tujuan Tha?" Pertanyaan ustadzah tanpa basa-basi.
"Tapi ustadzah, apakah Agatha tidak mengganggu Quality time ustadzah yang sudah terjadwal?"
Ya, ustadzah pernah bercerita bahwa dia punya hari-hari tertentu untuk menguatkan ikatan, menambah kasih sayang, disebutnya pacaran ba'da halal hingga dede kecilnyapun dititipkan.
Ustadzah bilang pacaran setelah halal itu menambah pahala, bahkan hanya sekedar memberi senyuman sudah Allah hitung pahala. bagaiman tidak pahala, sedang tersenyum adalah salah satu cara membuat suami senang. Apalagi tatapan empat mata dari sepasang kekasih yang halal pahalanya setara dengan melihat kakbah.
Tidakkah aku menyesal telah memupuk dosa dengan pacaran?.
"Tak apa Tha, kami punya tujuan yang sama, yaitu berdakwah, mengajak orang-orang kembali kejalan Allah, mengayomi orang-orang agar tak tersesat. Kami sepakat akan saling membantu dalam berdakwah bahkan jika ada yang harus kita korbankan. Ya, termasuk waktu yng sudah kami jadwalkan."
Aku tertunduk malu, merasa diri ini tidak pantas berada dihadapan orang pilihan Allah, dengan segala kemuliannya berani mengorbankan apa yang dimiliki, bahkan untuk orang yang telah lama melupakan kehadiran Allah seperti diriku.
Sekarang aku mengerti mengapa ustad Reno berlalu meninggalkan kami berdua, yakni agar aku leluasa mengeluhkan apa yang terjadi padaku tanpa kaku dan malu.
Pesanan kami sudah datang saat aku mulai menceritakan awal mula kegundahanku, tatapan kosongku. Berulang kali ustadzah memintaku beristighfar agar aku tenang saat cairan bening mulai membasahi pipiku.
"Ustadzah apa aku salah menyalahkan takdir? hiks.."
senyum ustadzah selalu menghiasi, gelengan kepalanya menandakan pertanyaanku tidak ia setujui. Tangan lembutnya mengusap punggung tanganku yang tertaut diatas meja penuh kasih sayang.
"Tha, ingat bahwa jangan membeci sesuatu, karena bisa jadi apa yang kamu benci adalah baik bagimu dan apa yang kamu sukai tidaklah baik bagimu. Sesungguhnya Allahlah yang maha mengetahui Agatha." aku masih bergeming mendengarkan kata demi kata yang melong-long ditelinga.
"Serahkan semuanya sama Allah, Allah yang menentuan takdir hambanya. Kita sebagai hamba hanya cukup berdoa dan berusaha. jangan lupakan Allah disetiap gerakmu. Senantiasakan untuk merasakan kehadiran Allah disetiap Waktu yang kamu lewati. Sesungguhnya Allah sangat dekat. Allah akan memberikan apapun yang hambanya minta sesuai yang dia butuhkan."
Astaghfirullah. Benar, aku melupakan Allah, hingga perandaian menyesatkanku. Tapi, masih pantaskah aku yang sudah lama jauh dari Allah meminta dan akankah Allah akan mengabulkannya?
"Pantaskah Agatha meminta sedang Agatha selama ini mengabaikan larangannya?"
"Tidak ada manusia yang tidak punya salah Tha, hanya tergantung bagaimana manusia itu menyadari kemudian bertaubat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama."
"Kamu tahu? Diluar sana banyak orang yang menyadari kesalahannya, namun enggan memperbaiki. Banyak orang-orang merasa malu untuk kembali kepadaNya, merasa dirinya tidak pantas. Padahal, seandainya mereka kembali Allah akan tetap menerima."
"Mereka tidak tahu betapa luas maafnya Allah. Mereka yang datang dengan merangkak, Allah akan mendekat dengan berjalan; mereka yang datang dengan berjalan, Allah akan mendekatinya dengan cara berlari. Sebegitu besar Rahman dan RahimNya tanpa ada yang bisa menandingin."
Belbagai kata yang kudengar lalu menyadarkanku bahwa Allah akan tunjukkan pelabuhannya masing-masing disetiap kisah. Usai sudah perbincangan siang ini. Ustadzah mengantarku kembali ke kampus karena mobilku masih terparkir disana.
£££
Hari ini, setelah kuliah siang usai, aku akan menemui Reza dikantin. Semalam kukirimkan pesan singkat berisi perjanjian ke nomer yang pernah menghubungiku, nomer yang pernah Reza maksudkan. Semoga Reza masih mau datang setelah kemarin aku pergi begitu saja membawa amarah.
Ustadzah benar, Reza tidak sepenuhnya salah. Andai aku tidak pacaran mungkin Reza tak akan melakukan hal aneh seperti itu. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa akan ada hati yang terluka karena hubunganku dengan Kafani, sedang Reza tak pernah memberi tahu perihal perasaannya.
Hhh.. sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Aku akan memulainya dari awal. Menganggap Kafani tak pernah ada.
'Allah cemburu jika hambanya mencintai selainNya, melebihi cintanya kepada dzat yang maha memberi cinta itu sendiri'
Sekelumit kata-kata ustadz Fadly terngiang. Aku sudah menyadari sejak dipesantren dulu, sejak pengertian dari ustadz Fadly bahwa Allah membuat Kafani pergi dan ayah menjadi perantara agar aku kembali kepadaNya. Tapi mengapa sekarang aku masih tidak terima saat tahu penyebab semuanya, dan kata andai selalu menemani hingga membuatku tersesat kembali dari jalanNya.
Berhentilah berandai-andai Tha, sesungguhnya ini sudah Allah rencanakan bukan? Dan lihatlah endingnya, akan ada kejutan disana. Ya allah maafkan aku.
"Siang Tha"
Suara itu menyadarkanku dari lamunan meratapi diri sendiri. Aku kira Reza tidak akan datang setelah lama aku menunggu.
"Assalamualaikum Reza"
Seperti biasa, Reza menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu menjawab salam kikuk.
"Maaf Za soal kemarin"
"Apa kamu sudah berpikir untuk membuka hatimu untukku?" Tanyanya dengan senyum sumringah. Dan aku benci, entah aku tak bisa melenyapkannya.
"Berhenti mengharapkanku, Za, jujur aku benci padamu, karena ulahmu Kafani menjadi anak nakal. Apakah kau juga yang melapor ayah tentang hubunganku dengan Kafani? Hingga membuat ayah melabraknya dan meminta untuk meninggalkan aku?, itu kan yang kamu mau, Kafani pergi dan tak pernah kembali."
Berhenti bermuka kaget seolah kamu tak bersalah Za, itu semakin membuatku membencimu.
"Kamu menuduhku Tha? atas dasar apa? 5 tahun aku mencoba menjauh dan tidak ingin bertemu kamu, berharap perasaan ini hilang, bagaimana bisa aku akan melapor ayahmu? Sedang aku tidak kenal."
Tidak ada tatapan kebohongan disana, yang ada hanya tatapan luka yang membuatku iba.
"Maaf Za, ayah tidak akan tahu kalau aku pacaran jika tidak ada yang memberi tahu." ya, kucoba berdamai. Semoga akan seterusnya bisa berdamai.
"Apakah ayahmu melarangmu pacaran?" Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Andai aku tahu dari dulu ayahmu melarangmu, mungkin aku yang akan menjadi pelapor itu. Tapi percuma, sampai sekarang pun perasaanmu masih sama kan? aku juga Tha," tangannya menunjuk dadanya sendiri "Disini masih tertulis namamu, andai aku punya kesempatan ...." segera kusanggah perkataan Reza.
"Bantu aku untuk tidak membecimu Za, hanya karena obsesi cintamu. Bantu aku dengan cara tidak memaksaku." Reza mengangguk pelan dengan senyum ringannya.
"Perasaan gak bisa dipaksakan Za, aku sama seperti kamu masih nama yang sama yang menjadi penghuni hatiku."
"Maka dari itu, ajari aku menghapus namamu Tha."
"Bagaimana aku bisa mengajari sedang akupun belum bisa menghapus nama Kafani."
Reza mengangguk peham akan maksudku. "Setidaknya, bisakah kita berteman seperti biasa?"
Aku mengiyyakan pertanda damai. Sedikit rasa benci ini sudah menghilang, dan semoga akan menghilang sepenuhnya. Allah tidak suka kebencian.
Akankah Reza benar-benar menerima perdamaian ini, atau ini hanya manipulasinya saja? pura-pura berdamai kemudian ada sesuatu yang direncanakan?
Ya allah, positif thingking Agatha.
Kugelengkan kepalaku berharap pikiran negatif ini segera enyah. Bersamaan dengan itu Reza pamit pergi masih dengan senyum terpaksanya, aku tahu dia kecewa.
Maaf Za...
Beruntunglah Reza Manyerah, aku tahu perasaannya hanya obsesi semata. Cinta tulus tak akan membutakannya dan menjerumuskannya dalam keburukan, bahkan berani menjerumuskan lawannya agar tak sama memiliki.
Cinta yang tulus akan membiarkan orang yang dicintainya bahagia walau bukan dirinya alasan dibalik bahagianya.
Yang kukhawatirkan saat ini adalah, apakah rasaku pada Kafani juga hanya Obsesi? ah aku takut. Ya Allah ampuni hambamu.
Ambil manfaatnya, buang burruknya.
☺😊☺
Happy reading....🤗🤗
Jangan lupa vote dan komennya kalo kamu suka cerita ini.
Tapi kalau gak suka makasih deh sudah sempatkan baca.
Jazakumullahi khair...
Syukron katsirr...
Republish 11 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top