O

Aku baru saja menyelesaikan seluruh pekerjaan hari itu, saat sebuah pesan suara masuk.

[Aya, sedang sibuk? Ayah mau mengundang untuk acara nujuh bulan Cinta. Tapi kalau kamu tidak bersedia hadir, Ayah mengerti.]

Kudengarkan pesan itu berulang kali. Ayah pasti tahu jawabanku, yakni tidak akan hadir. Untuk apa? Membuat mata semua orang tertuju padaku. Lalu akan mulai banyak yang bertanya ini itu. Aku sudah sangat lelah.

Perlahan kuraih tas dan juga jasku. Saat menatap pada kaca besar, kutatap tubuhku. Hari ini aku mengenakan kemeja berwarna kuning dengan rok pensil berwarna hitam. Perutku sangat rata, berbeda jauh dengan bokongku yang bulat.

Menurut Oma, aku mewarisi kecantikan tubuh ibuku. Teringat ibu, rasanya baru sadar kalau sudah lama tidak kesana. Ada rasa rindu yang tak terhingga. Selama ini aku hanya bisa menatap fotonya yang terpajang besar dirumah kakek dan nenekku.

Sayang, saat menatap wajah, tak kutemukan wajah Gayatri yang dulu disana. Wajah itu terlalu lelah dan kuyu. Rambutku yang berwarna coklat keemasan tak mampu mengangkat aura wajahku.

Tersenyum kecil aku kembali menyadari kalau tubuhku sudah menua. Tiba-tiba ada rasa gelisah yang datang, akan kemana arah hidupku kelak?

Aku tidak punya rumah, hanya mobil. Kalau nanti harus menghabiskan waktu dimasa tua, kemana aku akan pergi? Siapa yang akan merawatku? Apakah aku akan berakhir dipanti jompo?

Pikiran buruk berseliweran dalam kepalaku. Kembali kutatap tubuh yang ada didalam cermin itu. Kucoba menyunggingkan senyum terbaik. Tapi sangat terlihat kalau itu hanya pura-pura.

Perlahan kulangkahkan kaki keluar dari ruangan. Menuju parkiran dan memasuki Expander merah yang telah menemaniku setahun terakhir. Hadiah ayah saat aku berulang tahun ke tiga puluh tiga.

Saat mobilku akan keluar, Raka menghentikan laju mobilnya yang baru masuk. Aku tahu ia cukup sering berada di resto malam-malam sendirian. Atasanku itu turun dan menghampiri.

"Mau kemana, Aya?"

"Pulang, Chef."

"Ke kost?"

"Iya, kenapa?"

"Besok kamu cuti kan?"

Aku mengangguk.

"Banyak istirahat ya, wajah kamu pucat. Terlalu capek mungkin karena banyak lembur akhir-akhir ini."

Kudengar ada rasa bersalah pada wajahnya. Kalau ia tidak di Jakarta memang akulah yang menghandle seluruh acara. Aku hanya mengangguk.

"Atau mau dua hari, Ya? Mumpung saya di Jakarta."

"Kesannya saya nggak professional banget, Chef." Tolakku.

"Nggak apa-apa. Daripada kamu sakit. Atau ada masalah?"

Aku menggeleng,

"Murni kecapekan, karena minggu ini lima hari berturut-turut pulang saat resto tutup. Sementara saya kan full time, Chef." Jelasku.

"Ya, akhir-akhir ini memang pengunjung padat sekali. dan banyak yang mengadakan acara disini. Saya lihat rating resto juga naik. Dari 4,5 menjadi 4,8. Artinya tingkat kepuasan pengunjung bagus."

"Efek Chef sering disini juga." Balasku.

"Nggaklah, kita kan kerja tim. Semua harus bagus baru bisa orang lihat performa kita bagus. Saya naikin bonus kamu dua puluh persen ya dibulan ini."

Aku mencoba tersenyum, meski jujur aku sedang tidak membutuhkan itu. Ada kalanya dalam hidup uang bukan lagi segalanya. Aku hanya merasa hampa.

"Terima kasih, Chef." Jawabku akhirnya.

"Aya, boleh nggak kalau kita lagi berdua kamu panggil saya Raka saja."

Aku menggeleng,

"Saya takut kebablasan, Chef. Nanti nggak enak kalau anak-anak tahu."

Ia hanya mengangguk,

"Terima kasih karena sudah bekerja keras, bisa memimpin anak-anak yang kadang sulit.

"Jangan lupa, saya biasa memimpin banyak orang di tempat lama dulu."

"Saya percaya, ya sudah langsung pulang dan istirahat. Kamu masuk lusa aja."

Aku mengangguk.

"Terima kasih, selamat malam, Chef."

Kembali aku menyetir, saat malam tempat tinggalku dan resto hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai.

***

Keesokan harinya tubuhku terasa semakin demam. Kepala berat dan pusing. Beruntung Bang Sadha yang belum bertugas menanyakan kondisiku saat masih pagi sekali. Hampir pukul Sembilan saat kemudian ia tiba di depan kostku.

Setelah meminta ijin pada satpam, karena sebenarnya tamu pria tidak diijinkan masuk. Akhirnya ia berhasil masuk ke kamarku dengan alasan aku sedang sakit. Wajahnya penuh dengan rasa khawatir.

"Sejak kapan demamnya?"

"Baru pagi ini Bang, dari kemarin cuma lemas aja."

"Sudah berapa hari nggak enak badan?"

"Tiga deh kayaknya."

"Kita ke dokter ya, tadi abang lihat ada klinik dekat sini."

Awalnya aku menolak, tapi akhirnya Bang Sadha menang. Aku menurut, karena takut juga kalau sampai sakit parah. Apalagi Jakarta tengah ada wabah DBD.

Kami menuju klinik yang di ujung jalan. Beruntung ada dokter jaga, meskipun terlihat masih sangat muda. Aku diberi obat, dan ternyata meski tidak merasa terlalu panas, suhu tubuhku cukup tinggi. Dokter menyarankan kalau demamku tidak turun, maka besok aku harus cek darah.

Setelah menyetujui, Bang Sadha kembali membawaku pulang. Setelah sebelumnya mampir membeli bubur ayam.

"Kita ke rumah Bekasi aja, Ya. Abang nggak enak sama satpam di rumah kamu kalau nanti terlalu malam pulangnya."

"Disana nanti takut ketahuan Kak Uli dan Kak Renata, Bang." Tolakku.

"Nggak lah, ini bukan weekend."

Tubuhku terasa lemah, akhirnya aku mengangguk. Kembali Bang Sadha membenahi posisi ku, agar lebih nyaman, serta memberikan sebuah bantal boneka berwarna pink dengan bentuk hello kitty. Aku yakin itu milik putrinya.

Sekilas diluar jalanan cukup padat meski kami berada di jalan tol. Namun tak lama aku kembali tertidur. Saat bangun kami sudah tiba di rumahnya. Aku segera keluar, ia membawaku ke kamar di lantai satu.

Saat berbaring karena belum bisa tidur lagi, Bang Sadha masuk dengan membawa buburku.

"Dimakan dulu yuk, supaya lambungmu terisi."

Bang Sadha menyuapiku, persis seperti Ayah dulu. Aku makan, namun pikiranku ada di rumah. Mereka pasti sedang berpesta merayakan kehamilan Cinta. Betapa bahagianya mereka, pikirku sekilas.

Tak sampai setengah mangkok, akhirnya aku merasa kenyang. Abang kemudian memberikan obat dan menyuruhku beristirahat. Aku segera mematikan ponsel dan memilih bergelung dibalik selimut.

***

Kutatap wajah Aya yang tertidur pulas. Meski tanpa make up ia masih terlihat cantik. Aku tahu ia sedang banyak pikiran. Juga mungkin karena bekerja terlalu keras, dan kurang istirahat. Tapi aku tahu, ia butuh itu.

Sampai saat ini ia belum sembuh dari rasa patah hati. Meski mengatakan kalau ia baik-baik saja. Aya adalah sosok yang kuat, meski aku tahu ada sifat manja yang lumayan besar dalam dirinya.

Aku tidak pernah menyangka, ia bisa hadir dalam hidupku selama lima bulan ini. Hubungan kami bukanlah sesuatu yang terburu-buru. Namun dijalani dengan santai. Entah karena itu aku semakin menyukainya dan ingin selalu melindungi sebagai seorang kekasih.

Bersamanya aku merasa memiliki energi baru untuk menjalani hidup yang rumit akibat masalah dimasa lalu. Aku bisa bangkit untuk membenahi hidupku yang sempat kacau karena rasa bersalah terhadap anak-anak.

Menatap Aya dari dekat membuatku ingin melanjutkan hubungan kami lebih serius. Agar ia tak lagi sendirian seperti ini. Lamunanku terganggu akibat sebuah panggilan masuk. Aku segera keluar kamar dan menjawab panggilan mami.

"Ya, Mi?'

"Abang dimana?"

"Diluar, kenapa?"

"Ini, Wynna datang sambil nangis. Katanya mau bicara sama kamu."

"Kan dia bisa telepon? Aku selalu mengangkat panggilannya. Lagi pula kami tidak punya masalah."

"Kamu pulanglah Bang, biar diselesaikan."

"Apanya yang mau diselesaikan? Kami kan memang sudah selesai."

"Wynna bilang sudah mempertimbangkan keinginan kamu untuk rujuk waktu itu. Dan dia ingin kalian kembali bersama."

"Ini dia dengar Mami ngomong?"

"Nggak, mami kamar, dia lagi ditemani papimu."

Aku menghembuskan nafas kesal. Drama apalagi ini.

"Kami sudah lama selesai, Mi. Dan aku juga sudah mengambil keputusan untuk melupakannya. Hubungan kami hanya sebatas menyangkut anak-anak."

"Tapi justru karena anak-anak kalian, Bang. Mereka yang harus menjadi pertimbangan buat kamu. Jangan terlalu egois."

"Sudah cukup dua tahun aku menghabiskan waktu untuk membujuknya. Dalam kurun waktu lebih dari 700 hari dia menolak. Lalu apa saat itu dia tidak berpikir tentang anak-anak sedikitpun? Mami jangan terkesan menyalahkan aku dengan mengatakan aku egois dong. Dimana letak egoisku coba."

Kudengar mami menghembuskan nafas kasar.

"Abang dimana?"

"Sedang diluar."

"Kapan pulang?"

"Mungkin besok, belum tahu. Kenapa?"

"Jangan aneh-aneh Bang."

"Nggaklah, aku akan jaga diri."

Kuakhiri percakapan kami. Mami adalah orang yang paling heboh kalau itu sudah menyangkut kehidupanku. Entahlah, meski sudah punya Kak Uli dan Kak Rena, aku tetap menjadi kesayangannya.

Kembali aku masuk dan melihat ke dalam kamar. Aya masih terlelap. Kubesarkan suhu ruangan, karena melihatnya kedinginan. Baru kemudian aku keluar menuju lantai dua yang masih kosong.

Rumah ini cukup besar, ada harapan terselip agar kelak Gayatri akan tinggal disini. Saat memeriksa seluruh ruangan, kembali sebuah panggilan masuk ke ponselku. Kak Uli,

"Kamu sedang di rumah Bekasi, Bang?" pertanyaanya seolah menghakimiku.

"Tahu darimana?"

"Mami nanya kamu, kakak suruh pembantu lihat rumah. Katanya mobil kamu disana. Lagian kamu mau kemana lagi?"

"Terus masalahnya apa?"

"Kamu sendirian?"

Aku benar-benar kesal dengan mereka.

"Apa aku nggak boleh kesini?"

"Berarti dalam sebulan ini kamu sudah tiga kali kemari. Apa itu bukan sesuatu yang aneh? Kamu sedang sama perempuan?"

"Kak, aku sudah hampir empat puluh tahun. Berhentilah memikirkan kehidupan pribadiku terlalu jauh."

"Bukan memikirkan, itu Mami nyariin kamu."

"Aku sudah ngomong, Wynna katanya nangis-nangis, kelihatannya minta bantuan supaya Mami bantu agar kami rujuk."

"Apa?!" teriak Kak Uli.

"Jangan mau, enak aja dia. Memangnya dulu dia kemana waktu kamu udah kayak pengemis di depan dia dan keluarganya. Kakak adalah orang pertama yang nggak setuju. Sudah bagus kamu masih kasih dia uang tunjangan.

Jadi perempuan tuh sombong banget mentang-mentang cantik. Keluarganya juga belagu banget. Kamu kayak nggak ada baik-baiknya di depan mereka. makanya kamu cari pasangan baru. Supaya dia nggak merasa masih punya kesempatan." Nada suara Kak Uli terdengar sangat emosi.

Aku tertawa dalam hati, kakakku yang satu ini selalu punya alasan untuk membelaku. Meski kadang aku salah.

"Terus kamu ngapain di rumah Bekasi? Menghindari dia? Anak-anak kamu gimana?"

"Kepengen tenang aja, akhir-akhir ini dia selalu cari cara supaya aku datang ke rumahnya. Dengan alasan anak-anak pastinya. Memintaku membawa mereka jalan-jalan. Kemarin ngajak ke Bali bareng anak-anak weekend ini. Aku menolak.

Nggak mungkin kan kami tidur sekamar bareng-bareng kayak dulu. Kalau pisah, anak-anak pasti protes. Jadi kubilang nanti saja, biar anak-anak bareng mami sama papi."

"Bagus, kalau perlu sama kakak aja nanti. Biar kakak yang ngomong sama anak kamu, supaya jangan berharap kamu kembali ke mama mereka. kelihatan sekali dia memanfaatkan anak kalian untuk meraih keinginannya. Dia bukan cinta sama kamu, tapi cuma sama uangmu."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

24720

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top