N

Wynna menggendong Amel yang sudah terlelap setelah dibawa Sadhana seharian. Perempuan itu segera merebahkan putrinya dikasur. Sementara ibunya mengikuti dari belakang. Perempuan itu tahu maksud ibunya mengikuti dari belakang.

"Apa kata Dhana, Wynn?"

"Belum sempat bicara, Mih."

"Apa dia akan segera menikah?"

"Belum tahu juga."

"Pastikan kalau nanti dia menikah kamu tetap dibiayai. Kan sudah kesepakatan kalian, kamu nggak kerja karena harus urus anak-anak. Sudah berumur begini mau cari kerja kemana?"

"Iya, Mih" jawabnya singkat.

Wynna segera berbaring disamping putri bungsunya setelah ibunya keluar kamar. Teringat tadi mantan suaminya malah menghindar dari percakapan mereka tentang kekasihnya.

Dulu hubungan mereka sangat harmonis. Pacaran sejak SMU sampai kemudian menikah. Sedari awal memang orangtuanya kurang suka pada Sadhana, karena pria itu berdarah Batak. Namun ia tetap keukeuh mempertahankan. Sampai kemudian mereka menikah.

Awalnya semua baik-baik saja, terutama semenjak kelahiran Ibas. Mertuanya yang tak setuju sangat senang karena memperoleh cucu laki-laki sebagai penerus marga. Ia juga semakin disayang.

Sampai pada suatu hari orangtuanya sedang kesusahan. Rumah yang digadaikan ke Bank untuk modal usaha harus dilelang karena tidak sanggup membayar cicilan. Sehingga orangtuanya harus pindah.

Saat orangtuanya meminta bantuan dibelikan rumah, Dhana menyanggupi. Kemudian membeli di daerah pinggiran. Sebagai anak Wynna memahami bagaimana jauhnya tempat itu. Hingga akhirnya meminta agar orangtuanya dibelikan rumah yang agak ke kota.

Menurutnya mereka sanggup untuk membelikan, namun Dhana tidak bersedia. Meski pada akhirnya orangtuanya pindah, namun masalah lain muncul satu persatu.

Terutama dari Mamih, yang menganggap menantunya pelit. Tak lama setelah itu Dhana mengganti mobil mereka dengan mobil lebih bagus. Hampir seluruh keluarga Wynna kesal. Karena merasa suaminya lebih mementingkan mobil daripada rumah orangtua mereka.

Lambat laun keluarganya mulai menghasut, dengan mengatakan kalau suaminya adalah pria yang pelit terhadap mertua. Wynna menyesal telah terpancing saat itu. Karena beberapa kali ia meminta uang tambahan untuk membantu keluarganya, Sadhana tidak memberikan.

Pernah sekali, salah seorang kakaknya meminta bantuan membayar listrik. Suaminya saat itu malah mengatakan,

[Kalau sudah tahu banyak kebutuhan harus bekerja.]

Semua orang juga tahu kalimat itu, tapi kan tidak semua orang bisa seberuntung dia? Meski akhirnya membayarkan ia terlanjur sakit hati.

Wynna mengakui, bahwa keluarganya seolah bergantung pada keuangan mereka. tapi itu wajar kan? Karena memang mereka paling berada. Lagian yang diminta itu tidaklah banyak, dan mereka masih sanggup memberi tanpa kekurangan.

Meski sebenarnya saat itu Wynna bisa bekerja, namun Sadhana tidak mengijinkan. Dengan alasan lebih baik mengurus anak-anak. Padahal ketika itu banyak yang menawarinya. Selain karena ia cantik, juga sarjana meski hanya lulusan D3.

Sayang mantan suaminya berpendapat bahwa keluarganya adalah orang malas. Jelas ia sakit hati. Atas hasil rembukan keluarga, Wynna disarankan untuk minta cerai. Karena berkali-kali Sadhana menyinggung harga diri mereka.

Akhirnya, ia mengambil keputusan itu. Apalagi saat mantan suaminya juga mengurangi jatah belanja, ketahuan ia menggunakan sebagian uang tabungan darurat untuk membantu keluarganya. Banyak pengeluaran akhirnya langsung diurus oleh Dhana.

Pria itu menolak perceraian, bahkan berhenti bekerja selama setahun. Membuat nafas Wynna semakin sesak. Karena akhirnya diketahui kalau ia kerap berbohong mengenai masalah keuangan. Belum lagi otomatis selama setahun itu mereka hanya mengandalkan hidup dari tabungan.

Baginya cerai adalah keputusan terbaik saat itu. Selain kesal dan malu karena sudah menghabiskan banyak uang tanpa setahu suaminya. Berkali-kali memohon, Wynna bergeming. Ia sudah kadung kesal dengan kepelitan Dhana. Akhirnya perceraian mereka terjadi.

Rumah, dan mobil menjadi miliknya, juga beberapa bidang tanah. Ia juga berhak mendapatkan tunjangan dan biaya anak-anak. Pada awalnya, ia sempat luluh saat Dhan meminta rujuk dengan alasan anak-anak. Wynna tahu kalau Sadhana sangat mencintainya dan tak sanggup hidup tanpanya. Namun kembali ego dan keluarganya melarang, dengan mengatakan agar mantan suaminya itu harus merasa jera terlebih dahulu. Karena sudah pelit terhadap keluarga mereka.

Sayang saat keluarganya menyetujui, Dhana tidak pernah meminta rujuk lagi. Sementara ia merasa gengsi kalau harus memohon. Meski selama ini sudah berusaha menjaga Sadhana dari perempuan-perempuan yang mendekatinya. Termasuk Andien, tetannga mertuanya.

Kini Wynna tengah berpikir, bagaimana cara agar mantan suaminya bersedia kembali padanya.

***

Aku baru saja tiba di Resto saat beberapa karyawan terlihat berkumpul di dapur.

"Ada apa?" tanyaku pada salah seorang yang berada diluar.

"Chef Raka sedang meeting tentang kebersihan, Bu. Kemarin ketahuan ada bungkus permen dihalaman samping yang tidak tersapu."

Aku hanya mengangguk, sudah paham tentang cara kerja Raka. Menurutku ia sedikit menderita OCD. Kemudian memilih melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Tak lama pria itu muncul dengan wajah mengeras.

"Kamu harus lebih tegas sama anak-anak. Ingatkan mereka tentang kebersihan, jangan sampai kejadian kemarin terulang."

"Baik Chef."

"Kamu mau kemana siang ini?"

"Disini aja, kenapa?"

"Mulai minggu depan saya akan syuting bersama sebuah produk mie untuk promo mereka. jadi saya harap kamu lebih fokus."

"Hanya untuk iklan?" tanyaku.

"Bukan, Brand Ambassador mereka. jadi saya akan banyak keluar untuk promo."

"Keren sekali chef, bisa jalan-jalan gratis." Ucapku.

"Kamu mau ikut?"

"Nggak ah, kerjaan saya banyak. Lagian ribet pindah-pindah kota terus." Tolakku halus.

"Ya, kalau ada event juga. Apalagi kalau ada jadwal untuk pameran."

Aku mengangguk, karena dulu aku juga selalu sibuk saat ada pameran.

"Oh ya, kemarin cuti kemana? Ponsel kamu nggak aktif."

'Ke Spa, pijat. Kenapa, Chef?"

"Pantas ponsel kamu nggak aktif. Kapan -kapan jalan sama saya yuk, lagi kepengen nyelam."

"Saya nggak pintar nyelam Chef." Tolakku.

"Saya ajarin, nggak usah jauh-jauh di Kepulauan seribu aja."

Aku kembali menggeleng.

"Takut hitam." Jawabku akhirnya.

Ia tertawa lebar.

"Takut hitam atau takut dimarahin pacar?"

"Saya belum punya pacar." Jawabku.

"Teman dekat?"

"Ada."

"Belum officially kan? Berarti saya masih ada kesempatan."

Aku menatapnya sambil menggeleng.

"Terus yang selama ini kalau saya telepon, ada suara desahan itu mau dikemanain?" tanyaku sambil menatapnya.

Ia tertawa kecil,

"Kamu tahulah, saya pria normal yang butuh melepaskan hasrat. Murni tidak ada komitmen disana."

Aku hanya menghembuskan nafas kasar. Kami memang kadang tidak punya jarak saat berbincang. Ini juga yang membuatnya bebas mengucapkan hal yang sebenarnya cukup tabu untukku.

"Tapi saya tipe orang yang membutuhkan komitmen dalam keadaan seperti itu."

"Apa kamu mau bilang kalau seks adalah hal yang tabu buatmu?"

"Ya." Jawabku tegas.

"Apalagi diluar pernikahan. Seks adalah sesuatu yang sakral. Anugerah Tuhan untuk sepasang manusia yang siap untuk berkomitmen dan punya anak. Bukan untuk diumbar pada siapa saja saat keinginan kita datang."

"Kayaknya kamu lahir pada jaman yang salah deh." Protesnya.

"Bisa saja sih, Chef. Tapi buat saya, seks diluar nikah itu memang merugikan perempuan."

"Kenapa?"

"Pertama, kami tidak tahu kalau pria itu sehat secara jasmani atau nggak. Bisa saja akhirnya pria tersebut menularkan penyakit. Kedua, bisa saja ia mengelak dari tanggung jawab, saat kemudian kami hamil. Dan yang terakhir, ia bisa meninggalkan kami tanpa jejak. Untuk mengejar yang baru dan terlihat lebih menarik dimatanya.

Lalu kami perempuan dapat apa? Enak? Ya! Mungkin juga uang dan fasilitas. Tapi setelahnya?"

"Apa bedanya dengan seks saat pernikahan."

"Buat kami perempuan jelas berbeda, ada rasa aman saat melakukannya. Tidak ada ketakutan kalau hamil. Tidak ada rasa takut terhadap orangtua kami dan juga ajaran agama. Tidak ada kekhawatiran jika punya anak, karena akan jelas statusnya."

"Tapi cara berpikir seperti kamu hanya ada satu diantara seribu. Atau karena itu kamu belum menikah? Mencari the perfect one?"

"Saya bukan mencari pria sempurna, karena yang sempurna tidak akan pernah ada. Tapi saya bangga menjadi yang satu diantara banyak itu, Chef." Aku tak mau kalah.

Ia semakin mendekat ke kursiku.

"Jangan sebut nama saya Raka kalau saya tidak bisa membawa kamu ke pelaminan." Ucapnya tegas dan terdengar sungguh-sungguh.

Namun aku hanya tertawa.

"Ditengah perjalanan, mungkin Chef tidak akan tahan pada godaan. Atau mungkin menemukan seseorang yang baru. Saat ini Chef Raka cuma merasa tertantang untuk menaklukan." Ujarku.

Ia kemudian mendekati kursi, memutar arahku dan mengurung tubuhku dengan menggenggam handle kursi.

"Saya akan membuktikan ucapan saya. Jangankan kamu yang masih PDKT. Ada janur kuning saja akan saya lewati."

Kutatap matanya, kami belum pernah sedekat ini.

"Sorry Chef, you're not my type."

"Suatu saat nanti, kamu akan menyangkal kalimatmu barusan. Saya akan menjadi the one and only dalam hidup kamu. Mau bertaruh?"

"Pernikahan bukan ajang pertaruhan. Pernikahan adalah ikatan bagi orang yang bersedia berkomitmen dan melepaskan kebebasan mereka. jangan memaksakan diri, Chef." Bantahku.

"Saya merasa tertantang, Aya. Saya ke dapur dulu. Bekerjalah dengan baik, dan ingat kalimat saya barusan. Saya tidak akan mengalah."

Aku hendak memutar kursiku kembali, namun ia menahan gerakanku.

"Kamu seperti burung, Aya. Sulit untuk ditangkap. Tapi percayalah, Aku adalah seorang Raka. Tidak ada yang mustahil buat saya."

Aku hanya tersenyum kecil, sepertinya aku sudah membangkitkan egonya sebagai laki-laki. Kutatap ia yang keluar ruangan. Apakah tasi aku salah dalam memilih kalimat?

Aku hanya tidak suka saat ia mengatakan membutuhkan perempuan sebagai pelepas hasrat. Memangnya kami sama seperti pengaman yang digunakannya? Dibuang saat selesai digunakan.

Aku bergidik, saat menyadari pria seperti apa yang ada didepanku barusan. Ia bagai predator yang siap menerkam mangsa. Apapun itu, ia takkan peduli. Tampaknya aku harus lebih berhati-hati.

Chef Raka sangat berbeda dengan Bang Sadha. Tapi, tahu apa aku tentang Bang Sadha? Bertemu saja baru beberapa kali. Tapi aku tahu laki-laki itu serius. Ia tidak pernah mengajakku bicara terlalu jauh seperti ini.

Entahlah, aku masih belum sanggup berpikir terlalu jauh. Antara aku dan Bang Sadha juga punya jurang yang dalam. Teringat tatapan mantan istrinya dan juga dua anak mereka.

Akhirnya aku kembali meneruskan pekerjaanku. Sudah hampir waktunya gajian, aku harus segera menyelesaikan tugasku. Kalau tidak ingin anak-anak diluar sana cemberut.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

23720

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top