L

Yang kemarin suka nanya-nanya via DM, baik disini maupun di IG.

~ Mbak, gimana sih cara nerbitin novel?

~ Terbit dimana?

~ Susah ya untuk bisa masukin naskah. Kadang nggak direspon.

Ayoooo... Tunggu apalagi. Mumpung karospublisher lagi buka kesempatan.

Silahkan hubungi akun karospublisher. Baik itu di WP, FB dan IG. Nama akunnya sama kok.

Sampai bertemu di Karos yaaaaaa...



***

Memasuki restoran pagi ini, kudapati sudah banyak karyawan yang datang. Maklum saja, karena bos besar sedang ada disini. Raka tipe orang yang paling tidak suka pada keterlambatan. Dia bisa marah besar bila melihat seorang waitress buru-buru berdandan. Atau ada yang belum siap saat restoran sudah dibuka.

Memasuki ruang kerja, aku terkejut. Pria itu sudah disana. Lengkap dengan seragam putih khas dan apron hitam kebanggaannya. Ia tengah membuka PCku.

"Pagi Chef." Sapaku.

"Pagi Aya. Sudah baikan?"

"Sudah Chef. Bagaimana event hari ini?" tanyaku.

"Untuk konpers peluncuran album baru Nourma ya. Di meminta saya secara khusus untuk menangani undangan VIP."

"Iya Chef, mereka minta 150 pax untuk pers."

"Pihak EOnya sudah telepon?"

"Sudah, dari kemarin juga sudah ngasih tahu konsepnya."

"Saya ke dapur dulu, Ya. Kamu banyak kerjaan?"

"Lumayan, ini mau proses untuk kitchen order."

Chef Raka hanya mengangguk, dan segera beranjak dari kursi. Aku segera menggantikan posisinya. Kalau ada dia, pekerjaanku sedikit lebih ringan. Akhir-akhir ini ia memang sering pulang ke Jakarta.

Awalnya aku mengira karena disini sedang banyak event. Apalagi, para selebritis papan atas biasanya lebih suka kalau dia yang menghandle langsung.

Tapi percakapan dengan Kak Uli bulan lalu sedikit mengusikku. Meski tidak terlalu kelihatan, jelas, Raka memberikan perhatian lebih. Bahkan sampai saat ini, kami sering makan siang berdua di ruanganku. Kadang ia sengaja masak yang simple, karena aku tidak suka makanan rumit.

Tak terasa, pekerjaanku selesai. Setelah mengirim pesanan kepada pemasok, aku menghubungi sales mereka agar cepat diproses. Segera aku keluar, karena ini hampir jam makan siang. Resto pasti butuh orang untuk sekedar membantu di bagian depan.

Saat memasuki area samping, kulihat sekelompok orang sudah berada disana. Mataku tertumbuk pada sosok Andien yang ada diantara mereka. Berusaha menjaga sikap professional, aku mendekat.

"Sudah pesan?" tanyaku.

"Sudah mbak, sedang nunggu." Jawab salah satu dari mereka.

Aku hanya mengangguk tersenyum. Saat beranjak tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Andien!

"Gue mau ngomong sama lo." Nada suaranya terdengar sangat tidak enak ditelinga. Aku segera mengerti.

"Kita ke kantor gue aja." Jawabku.

"Kenapa nggak ngangkat telepon gue? Ngerasa bersalah lo?" tanyanya saat kami tiba di ruanganku.

"Tentang?"

"Bang Sadha."

Aku menghembuskan nafas kasar.

"Kenapa?" tanyaku akhirnya.

"Lo ngelanjut hubungan kalian kan? Gue lihat elo waktu itu sama Tante biring dan kakaknya di mal. Tega ya lo, Ay."

"Gue nggak ada apa-apa sama Bang Sadha. Kebetulan aja ketemu Tante Biring karena lagi free."

"Gue nggak nyangka kalau elo bakalan setega itu. Nggak usah bohong deh, bilang nggak ada apa-apa. Sementara lo udah jalan sama keluarganya."

Aku menggelengkan kepala, dan menghembuskan nafas kesal. Aneh rasanya melihat Andien seperti ini. Dari dulu dia memang selalu begini saat ada pria yang disukainya melirik perempuan lain. Karena itu aku malas menerima telepon darinya.

"Secinta itu lo sama dia?" tanyaku.

"Itu urusan pribadi gue. Gue baru tahu rasanya bagaimana ditusuk dari belakang sama sahabat sendiri.."

"Ndien, gue udah bilang. Kalau nggak ada hubungan apa-apa sama Bang Sadha. Kalau elo nggak percaya ya udah. Gue nggak bisa maksa. " teriakku.

"Buktinya terlalu jelas Ay. Jangan karena elo ditikung sama Cinta sekarang elo malah nikung gue."

Aku benar-benar emosi mendengar kalimat Andien. Sayang saat ingin menjawab, pintu dibuka tanpa diketuk. Sosok Raka sudah berdiri disana.

"Ups Sorry, lagu ada tamu, Ya?" tanyanya sopan. Ia memang tidak pernah mengetuk pintu jika hendak masuk. Karena  ini ruangan kami berdua.

"Oh iya, Chef. Kenalkan ini Andien, sahabat saya." Aku mencoba menetrealisir suasana.

Mereka saling berjabat tangan. Kemudian Andien pamit. Raka menatapnya dengan tatapan yang terlihat aneh.

"Kalian ribut?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Biasalah perempuan."

Chef Raka hanya mengangguk.

"Makan bareng yuk."

"Nanti aja Chef, di depan masih ramai. Saya mau lihat dulu."

Chef Raka hanya mengangguk. Aku kembali melaksanakan tugasku.

***

Kubuka jendela pagi ini, Jakarta diguyur hujan sejak tadi malam. Dengan malas aku kembali menuju tempat tidur. Badanku terasa lelah sekali, butuh pijatan. Tapi sayang aku ada janji dengan Bang Sadha.

Meski malas, akhirnya kupaksakan diri untuk mandi. Tidak enak kalau nanti ia menunggu terlalu lama. Benar saja, sesuai janji, pukul Sembilan pria itu sudah berada didepan pagar kostku.

"Baru potong rambut, Bang?" tanyaku melihat tampilannya yang sudah rapi.

"Tambah ganteng nggak, Ya?"

Kutoleh ia sekali lagi, kemudian mengangguk.

"Kalau abang begini kamu bakalan naksir nggak?" ucapnya lagi.

Aku hanya tertawa sambil menepuk bahunya yang keras.

"Abang ih, narsis."

"Kita kemana, Ya?"

"Terserah Abang aja, maunya kemana."

"Ke laut abang bosan, kepengen ke tempat dingin sih. Daerah puncak yuk."

"What? Abang balik lagi dong. Gini aja deh, badan Aya pegal semua. Ke Spa yuk, pijat."

"Satu ruangan kita?"

"Ya nggaklah Bang, beda ruangan." Protesku

"Kalau beda, kapan ngobrolnya."

"Habis pijat, paling dua jam. Janji deh aku nggak ada perawatan lain."

"Kalau habis itu abang ngantuk?"

"Aya yang nyetir, Abang mau kemana memang?"

"Kerumah abang yuk."

"Dimana?"

"Taman Harapan Indah Regency. Bekasi."

"Kalau tempat lain?"

"Abang nggak tahu jalan. Lagian sekalian mau lihat rumah. Sudah lama nggak kesana. Kalau nanti kita mau makan di mal juga nggak jauh, ke Metropolitan mal."

Akhirnya aku mengangguk.

Selesai dari Spa kami menuju Bekasi. Tidak lupa mampir ke sebuah warung makan untuk membeli makan siang.  Sesuai selera Bang Sadha.

"Rumah Kak Uli beda beberapa blok dengan rumah abang. Kak Renata juga."

"Nggak usah jadi yuk, nanti kalau ketahuan gimana?" Tolakku halus.

"Nggak bakalan, mereka kurang kerjaan namanya kalau ke rumahku. Lagian kan ini masih jam kerja. Mereka juga paling pulang malam."

Kami berhenti disebuah rumah dua lantai yang cukup besar. Selesai memarkirkan mobil ke garasi, kami memasuki rumah. Tempat ini hampir kosong. Hanya ada sebuah sofa di ruang tamu. Bang Sadha segera membuka jendela dan juga gorden.

"Biasanya pembantu Kak Rena yang datang kemari untuk membersihkan."

"Memang nggak ditempati ya, Bang?"

"Nggak, karena abang kan lebih sering di Cimahi. Rumah ini dibeli waktu sudah bercerai dengan Wynna. Karena rumah yang Di Bandung kan untuk dia dan anak-anak." Jelas Bang Sadha tanpa kuminta.

"Yang ini?" tanyaku penasaran.

"Buat abang sendiri. Lebih suka jauh dari Bandung supaya lebih tenang."

"Anak-anak abang?"

"Kemari juga bakal cuma sesekali aja. Makan yuk, abang lapar." Ajaknya.

Aku menurut, akhirnya kami makan siang dengan menu sangat standard, namun disukai Bang Sadha. Ayam penyet, tumis kangkung, dan ada tempe, tahu dan terong goreng. Plus sambal terasi tentunya. Ia makan dengan lahap.

"Abang paling malas keluar rumah sebenarnya, kecuali penting banget."

"Aya juga sih, Bang."

"Gimana kerjaan kamu?"

"Baik sih."

"Kemarin ketemu Mami, mereka cerita apa aja?"

"Tentang abang juga."

"Tentang apa?" tanyanya penasaran sambil menatapku.

Aku berpikir sejenak, apakah layak membicarakan ini. Karena apapun namanya, aku adalah orang luar dalam kehidupan mereka. Tapi akhirnya rasa penasaranku mengalahkan rasa sopan santunku.

"Mbak Wynna."

Bang Sadha meletakkan sendoknya kemudian menatapku intens.

"Tentang?"

"Abang yang minta balikan." Jawabku akhirnya.

"Apa itu mengganggu kamu?"

Akut memilih tidak menjawab, karena memang tidak punya jawaban apapun.

"Dulu, aku menolak bercerai karena pertimbangan anak-anak. Tidak ingin anak-anak hidup dalam kondisi pincang. Apapun yang terjadi, mereka butuh orangtua. Karena itu aku meminta Wynna untuk rujuk. Sayang dia selalu menolak.

Sampai akhirnya aku menyadari, bahwa sebenarnya hubunganku tidak memiliki banyak perubahan, kecuali saat cuti. Karena kami biasa kok menelepon kalau sedang rindu. Aku juga tetap terlibat saat anak-anak bermasalah.

Saat cuti aku sering menghabiskan waktu sampai malam bersama mereka. mendengarkan cerita mereka tentang banyak hal. Baru kemudian pulang."

"Hari ini pengecualian berarti?"

"Abang butuh waktu untuk kehidupan pribadi." Ucapnya sambil terus menatapku.

Tak terasa nasi kami sudah habis. Aku segera bangkit dan mencuci piring. Sementara Bang Sadha membersihkan meja.

"Dapur abang lumayan lengkap."

"Kadang apa yang tidak digunakan di rumah Kak Rena dan Kak Uli dipindahkan kemari. Rumah ini juga kubeli atas saran mereka. meski belum lunas sih. Masih ada cicilan tiga tahun lagi."

Kami kemudian duduk di sofa. Ia kembali menatapku.

"Dek ,"

"Apa Bang?"

"Tipe calon suami yang adek inginkan seperti apa sih?"

Pertanyaannya membuatku tersenyum, rasanya aneh kalau dia yang bertanya.

"Seperti apa ya? Nggak ada kriteria sih, Bang. Paling kalau bisa, orang yang sadar akan komitmenya dan siap untuk menjaga hubungan. Karena nggak mudah kan untuk menghalau godaan."

"Kamu masih trauma?"

"Ya, masih nggak nyaman kalau mengingat itu. Marah, sedih dan malu masih mendominasi."

"Apa kamu siap untuk memulai hubungan baru?"

Kutatap wajahnya yang terlihat serius.

"Belum tahu, takut kasihan anak orang kalau nanti ternyata aku belum siap untuk mencintai. Kok abang nanya gitu?"

"Abang sayang sama adek." Jawabnya singkat.

Kenapa rasanya aku malu mendengar kalimat itu? Aku yakin kalau wajahku sudah memerah. Ia tersenyum kecil, meski terlihat ada raut gundah diwajahnya.

"Sayang sebagai adik?" tanyaku mencoba untuk tidak kegeeran.

"Sayang seorang laki-laki kepada perempuan."

Aku menatap tak percaya.

"Abang yakin?"

"Kalau nggak yakin, abang nggak akan ajak kamu ngomong." Ucapnya sambil merebahkan kepala dibahu sofa.

Aku memiringkan tubuh agar sedikit lebih nyaman. Sehingga juga bisa menatap wajahnya.

"Mbak Wynna? Anak-anak abang?"

"Dengan Wynna sudah tidak ada apa-apa. Tapi kalau dengan anak-anak ya pasti akan terus punya hubungan."

Aku terdiam, itulah yang kutakutkan kalau harus berhubungan dengan pria yang sudah punya anak dari pernikahan sebelumnya. Banyak kejadian yang akhirnya malah menyudutkan ibu tiri.

Aku tidak ingin berdiri diantara mereka lalu menjadikan Bang Sadha sebagai rebutan. Aku pasti harus mengasihani diriku bila nanti akhirnya anak-anaknya tidak bisa menerimaku. Apalagi sudah mendengar bagaimana sikap Wynna yang sebenarnya masih mengharapkan mantan suaminya.





***





Happy reading

Maaf untuk typo

21720

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top