K
"Oh, Aya dekat dengan Raka sekarang?" tanya Tante Biring.
"Hanya sebagai atasan dan bawahan aja sih, Tan." Jawabku jujur.
Sayang, kembali kak Uli dengan semangat berkata,
"Jangan gitu, Ay. Raka sudah lama sekali nggak menyinggung nama perempuan di rumah. Kalaupun ada yang dibawa selalu ngomongnya teman. Nah, waktu itu dia nggak sengaja nyebut nama kamu.
Katanya kamu imut dan mukanya suka merah gitu kalau digodain. Sampai-sampai keluarga penasaran mau lihat kamu. Dan dia langsung ngasih lihat foto kamu diponselnya. Makanya ibu mertuaku langsung bergerak cepat. Karena cuma Raka yang belum menikah. Dan jarang banget dia bisa benar-benar suka pada perempuan."
Akhirnya aku hanya diam, sekuat apapun nanti aku menyangkal. Mereka tak akan percaya. Rasanya sedikit menyesal mengikuti Tante Biring kemari. Aku tidak suka saat ada orang lain bercerita tentang ranah pribadiku.
Tapi mau apalagi? Aku tidak mungkin tiba-tiba pergi. Sampai kemudian pembicaraan beralih mengenai Bang Sadha.
"Mi, Sadha kapan pulang?"
"Katanya pertengahan bulan depan. Kemarin baru dari Mumbai. Kenapa?"
"Bagaimana hubungan dia dengan Wynna?"
Aku segera mendengarkan lebih serius sekarang.
"Nggak tahu, kelihatannya abangmu sudah lelah. Berapakali dia minta rujuk demi anak-anak tapi Wynna nggak mau."
"Menurut Mami Wynnanya gimana?"
"Biasa menolak, tapi kalau Sadha ketahuan jalan dengan yang lain langsung kepanasan. Dia kan dekat dengan Astrid tetangga mami. Waktu itu Sadha pernah keluar malam dan pulang pagi bareng Andien dan Aya. Besoknya dia langsung datang bawa anak-anak.
Mami juga merasa aneh, kelihatan kalau dia ingin memberitahu Andien bahwa Sadha masih miliknya. Eh, adikmu malah cuek dan tidur nggak bangun-bangun sampai dia dan anak-anak pulang. Makanya papimu marah sama Sadha."
"Apa sekarang Sadha punya pacar, Mi? Makanya mengabaikan Ibas sama Amel?"
"Setahu mami enggak, di rumah juga nggak pernah tahu dia nelepon siapa-siapa. Lagian bukan mengabaikan, tapi setelah keluar dia harus pantau anak buahnya kerja. Jadi baru tidur sekitar tiga jam. Mana bisa Sadha dibangunkan. Dipaksa sama Wynna, anak-anaknya disuruh naik. Tahulah adikmu, langsung ngamuk."
"Lagian Wynna aneh, sudah tahu kalau Sadha lagi istirahat, malah cari masalah."Kali ini Kak Renata yang buka suara.
"Kamu, Ya. Pernah lihat Sadha sama seseorang?"
Tiba-tiba Kak Uli bertanya padaku. Aku menggeleng cepat, Karena memang tidak pernah.
"Kalau Andien, Mi?"
"Kayaknya bukan deh, Sadha nggak terlalu antusias kalau Andien datang. Biasa aja."
Akhirnya Kak Uli diam. Sementara Kak Renata terlihat tidak terlalu antusias, sama seperti aku, hanya menjadi pendengar yang baik. Hari sudah mulai gelap saat kami berempat keluar dari mal. Sebelum berpisah, Tante biring masih sempat berpesan.
"Walaupun Andien nggak ke Cimahi, kamu main dong ke rumah kalau ke Bandung, Ya."
"Iya, Tan. Nanti kalau aku kesana."Jawabku.
Kami berpisah setelah mereka memasuki mobil. Sementara aku kembali pulang, dan kesepian.
***
Sudah beberapa hari ini Bang Sadha tidak menelepon. Kutebak, ia masih dalam perjalanan ke Mesir. Rasanya ada sesuatu yang hilang. Entah kenapa aku suka pada perhatiannya. Dan rindu dipanggil adek. Rasanya disayang.
Namun teringat percakapan dengan ibunya, kalau Bang Sadha beberapakali meminta rujuk pada Mbak Wynna. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak. Tidak ingin nantinya menjadi orang kedua dalam hubungan mereka. Mungkinkah ia hanya menganggapku adik?
Mengingat itu, ada rasa tak suka dalam diriku. Entah kenapa. Meski belum bisa memastikan kesiapan hatiku. Aku sedikit terusik, mungkin karena merasa jadi punya kakak laki-laki. Tapi itu kan bukan hal lumrah untuk orang dengan usia sepertiku?
Barisan pesan dan telepon Raka justru semakin gencar memasuki ponselku. Karena masih berhubungan dengan pekerjaan, tetap kubalas. Malas kalau lebih dari itu. Aku bisa menilai Raka seperti apa. Tidak jauh berbeda dengan Denny. Selalu membutuhkan perempuan sebagai teman tidur.
Satu hal yang sebenarnya ingin kutanyakan, yakni mengapa ia menyampaikan tentang aku pada keluarganya. Pantas saja mamanya bisa ke resto dengan alasan makan siang tiga kali seminggu. Juga memberiku oleh-oleh mahal.
Besok, Raka akan ke Jakarta, ia sudah mengabariku tentang kedatangannya, berikut jadwal penerbangan. Juga meminta laporanku tentang keadaan resto untuk dibicarakan dalam meeting besok.
Denganku, percakapan kami hanya sebatas pekerjaan. Lalu kenapa dengan keluarganya berbeda? Atau dia hanya menjadikanku alibi? Untuk menutupi hubungannya dengan orang lain?
Kuakui, ia dekat dengan beberapa perempuan. Cantik dan seksi. Tapi wajarlah, ia mapan, tampan dan berasal dari keluarga berada. Pasti punya kesempatan memilih yang lebih besar. Tapi kenapa melibatkan aku?
Rasanya ingin bertanya. Tapi, aku mencoba menahan diri. Batasanku dengannya sangat jelas, yakni hubungan kerja. Maka akulah seharusnya yang bersikap lebih professional.
***
Apartemen Raka
Ivone memasuki apartemen putranya setelah diberi ijin masuk. Seperti biasa tempat itu sangat bersih dan rapi, khas Raka. Tidak ada sesuatu yang tidak teratur. Putranya memperlakukan rumah layaknya sebuah dapur. Harus benar-benar bersih.
"Kapan sampai Jakarta?" tanya sang ibu.
"Tadi pagi subuh, Mi. Kebetulan Pak Surya kembali ke Jakarta dini hari tadi. Aku masak untuk acara jamuan keluarga mereka."
"Di dapurnya?"
"Ada acara kecil-kecilan, tapi biasalah pengusaha besar. Tumben Mami kemari pagi-pagi."
"Iya, sekalian mau nanya, kamu jam berapa ke resto?"
"Jam sepuluhan, kenapa?"
"Mau ketemu Gayatri?"
"Sekalian, kenapa?"
"Kayaknya perempuan yang kamu taksir kok biasa aja ya? Maksud mami, sikapnya ke kamu."
"Masih pendekatan, Mi. Nantilah kalau sudah pasti."
"Yakin dia belum punya pacar?"
"Yakin sih, nggak pernah ada yang jemput dia. Atau laki-laki yang menelepon."
"Mami suka sama dia, cocok sama kamu yang suka kelayapan dan hidup nggak jelas."
"Mami sembarangan aja, kalau nggak jelas aku bukan orang yang dicari saat ada pesta mewah di Bali."
"Mungkin kamu ahli dalam memasak, tapi buruk dalam hal mencari jodoh."
Raka hanya tertawa, yang dikatakan maminya benar. Ia tidak pernah serius dalam berhubungan. Baginya sekedar punya pacar dan teman tidur sudah lebih dari cukup. Meski untuk yang terakhir tidak banyak yang tahu. Karena ia memang tidak pernah mengumbar masalah pribadi ke media.
Hanya orang terdekat yang tahu, siapa perempuan yang tengah bersamanya. Itupun tidak pernah lebih dari tiga bulan. Karena ia memang pembosan, atau perempuan yang bosan menghadapi sifat gila kerjanya. Raka bisa saja tidak tidur kalau tengah menghadapi sebuah project. Entah itu di televisi atau restoran.
Gayatri adalah sosok berbeda. Perempuan dengan segala ketidakpeduliannya. Juga sebuah misteri yang tak pernah terpecahkan. Tidak pernah bercerita tentang masa lalu dan keluarga. Juga mengenai apa yang disuka dan tak disuka.
Raka sudah memperhatikan, kalau Gayatri tak suka pada suatu makanan, ia hanya sedikit mengerenyit, namun tetap memakan, terutama di depan umum. Saat marah, perempuan itu akan menarik nafas dalam lalu menghembuskan pelan. Baru kemudian menegur anak buahnya.
Jangan harap Gayatri berkata kasar atau mengumpat seperti dirinya. Saat marahpun ia masih bisa memilih kata. Sebuah sikap pengendalian diri yang luar biasa. Satu-satunya yang ia tahu adalah, gadis itu memiliki darah Jawa-Manado. Itu mungkin yang membuatnya terlihat cantik.
"Mau bareng Mami ke resto?" suara ibunya membuyarkan lamunan Raka.
"Boleh, Mami bawa mobil?"
"Ya, kamu yang nyetir."
"Aku mandi dulu kalau begitu." Pamit Raka.
***
Aku membuka jas dan meninggalkan kemeja putih tipis di tubuh. Acara sore ini telah selesai. Seorang anak selebriti terkenal merayakan ulang tahun disalah satu ruangan. Permintaan tambahan makanan dan minuman terus berulang. Sampai-sampai pihak dapur mengatakan.
"Apa dia tidak tahu berapa tamu yang diundang?"
Namun aku tersenyum sambil mencoba menenangkan sang artis yang berulang kali mengomel karena merasa pelayanan terlalu lambat. Berhubung disaat yang sama restoran juga sedang penuh dengan pelanggan.
Akhirnya aku duduk sambil memijit kepala. kuraih ponsel yang sedari tadi ditinggal di ruangan. Ada beberapa pesan masuk, dan tersenyum saat menemukan salah satunya berasal dari Sadha.
[Abang sudah di pesawat menuju Indonesia. Akan transit di Abu Dhabi. Adek mau titip apa?]
Kulihat waktu pengiriman, sudah tiga jam yang lalu. Tidak tahu sudah berapa jam penerbangan dan transit berapa lama. Akhirnya kuputuskan membalas.
[Apa aja, nanti kalau Abang transit dan Aya nggak jawab telepon Abang. Aya istirahat ya, agak demam.]
Selesai membalas, aku segera meraih tas di meja. Selain jam kerjaku sudah selesai dari tadi, juga ada Raka yang bisa menyelesaikan masalah pelanggan. Ia sangat ahli dalam hal itu. Senyumnya akan membuat para pelanggan terutama wanita terdiam dan tidak melanjutkan protes.
Sesampai di kost, aku segera berganti pakaian lalu meminum parasetamol dan langsung tidur. Kepalaku terasa berat.
Entah jam berapa saat aku terbangun, tapi beruntung demamku berkurang. Kulihat ponsel yang berkedip, teringat Bang Sadha pasti sudah landing. Segera kuhubungi nomornya.
"Halo, Bang."
"Halo Dek, sudah bangun?"
"Sudah barusan, abang dimana?"
"Sudah di Abu Dhabi, lumayan transit enam jam. Abang lagi di toko parfum, itu para perempuan di rumah pada nitip. Kamu suka apa?"
Aku diam sejenak, mau nitip tapi pasti abang tidak mau kalau uangnya kuganti. Padahal harga parfumku lumayan mahal.
"Apa aja deh Bang." Jawabku akhirnya.
"Adek suka aroma apa?"
"Yang seger aja."
"Aya biasa pakai Prada Candy kan?" tanya Bang Sadha lagi.
"Kok Abang tahu?" tanyaku heran
"Pernah lihat waktu kamu buka tas."
Aku tertawa, ternyata ia adalah sosok yang memperhatikan hal kecil. Tak lama ia mengirimkan sebuah gambar berasal dari nomor yang lain. Aku langsung merasa tidak enak.
"Itu mahal lho, Bang." Protesku.
"Abang nggak nanya harganya, abang cuma nanya, kamu suka atau nggak."
"Suka." Jawabku akhirnya.
Ia tertawa kemudian terdengar berbicara dengan seseorang. Akhirnya kembali ia bertanya.
"Gimana demamnya?"
"Sudah baikan. Abang tadi terbang dari mesir?"
"Iya, kapal baru sampai tadi malam sih sebenarnya. Tapi hati sudah kepengen pulang."
"Libur sebulan?" tanyaku
"Adek abang maunya berapa bulan? Bisa kok abang kondisikan." Godanya seperti biasa.
Aku tertawa lebar, ia suka menggoda.
"Jangan, nanti kerjaan Abang gimana?"
Kini ia yang tertawa lebar.
"Abang lagi ngapain?"
"Lagi jalan ke ruang tunggu. Tadi sudah makan dan sudah beli oleh-oleh. Masih harus nunggu tiga jaman lagi."
"Bosen ya, Bang."
"Nggak lah, malah senang kan ditemenin kamu. Aya sudah makan?"
"Belum, males. Lagian udah hampir tengah malam disini."
"Makan roti atau apa gitu. Kapan libur?"
"Lusa. Kenapa?"
"Bisa dimajuin besok nggak?"
"Nggak, bisa ngamuk nanti boss Raka."
"Dia galak?"
"Enggak sih kalau sama aku."
"Dia naksir kamu kata Kak Uli."
"Iya, waktu itu Kak Uli pernah cerita. Tapi aku nggak tahu."
"Ya sudah, kalau gitu lusa abang ke Jakarta ya. Kita jalan."
"Ok, kali ini aku yang traktir abang ya."
"Sip."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
20720
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top