J

Disinilah  akhirnya kakiku melangkah. Sebuah pusat pertokoan cukup elit dibagian selatan Jakarta. Menatap dan melewati toko demi toko mencari hadiah untuk Ayah. Aku tidak punya bayangan apa-apa.

Biasanya kalau di rumah, selalu memperhatikan apa yang sedang Ayah butuhkan sebelum membeli. Sesuatu yang sederhana sebenarnya, misal pisau cukur elektrik. Atau malah selang penyemprot tanaman yang baru. Tapi kini aku jauh dari sana.

Akhirnya aku memasuki sebuah gerai sepatu mewah. Entah kenapa aku kemari, karena biasanya Ayah tidak mau kalau kami membelikan hadiah mahal. Tapi kali ini mungkin aku akan membuat pengecualian.

Karena biasanya saat gajian pertama, aku akan mentraktir keluargaku di sebuah restoran. Tapi kali ini siapa yang mau ditraktir? Aku saja sendirian. Dulu beberapa kali aku mencari kado bersama Cinta atau Andien. Tapi hari ini, dua nama itu telah tercoret dari daftar hidupku.

Kutelusuri etalase dan menatap satu persatu. Akhirnya pilihanku jatuh pada sepasang sandal berbahan kulit yang cocok untuk orangtua. Kutanya nomornya, ternyata masih ada. Selesai membayar aku segera kembali ke kantor. Karena ini memang jadwal istirahatku.

***

Dari luar suasana rumah terlihat mulai sepi. Wajarlah sudah hampir pukul sepuluh malam. Kuparkirkan mobil ditempat yang masih kosong, lalu bergegas keluar. Dari jauh aku masih bisa mendengar tawa riuh di dalam sana. Bisa dipastikan kalau ada beberapa keluarga dekat akan menginap. Sesuai kebiasaan dikeluarga kami.

Saat aku memasuki ruang tamu, semua terdiam. Baru kusadari, sudah hampir empat bulan aku tidak pulang. Ayah menyongsongku, dan segera mendekap erat.

"Selamat ulang tahun, Yah." Bisikku sambil menangis.

"Terima kasih, kenapa datangnya malam sekali?" tanya Ayah lembut.

"Acara di Resto baru selesai. Jadi aku baru bisa keluar."

Ayah memeluk pinggangku memasuki ruang keluarga. Benar, banyak keluarga dekat disana. Dalam hening aku mencium punggung tangan mereka seperti biasa. Sebagai balasan mereka memelukku erat.

Sampai kemudian aku menyadari, kalau Ibu ada dihadapanku. Tanpa menatap wajahnya aku mencium punggung tangannya. Kubiarkan ia mencium ubun-ubunku.

"Aya makan dulu ya. Itu ada opor daging dan nasi jaha kesukaan kamu." Ucap Ibu.

Aku mengangguk, mengabaikan dua orang yang berdiri kaku di dekat Ibu. Mengambil nasi dan juga lauk favoritku. Jujur aku merindukan masakan rumah, karena sekarang lebih sering makan ala resto. Tapi sudahlah, semua sudah selesai. Dengan piring ditangan aku kembali ke ruang tengah. Ayah menyusul sambil membawa segelas air putih. Aku mengucapkan terima kasih.

"Kata Ayahmu, sekarang kamu bekerja di restoran punya Chef Raka, Ay?" tanya sealah seorang adik ibuku.

"Iya, tante."

Keluarga pihak ibu berusaha mentrealisir suasana kaku yang tercipta.

"Orangnya gimana, Ay? Kayaknya ganteng banget ya. Tante follow IGnya, masih single ya." Cerocos Tante Selvi, ipar Ibu.

"Ganteng sih, tapi dia lebih sering di Bali, Tan. Disini hanya sesekali. Karena tim dapurnya sudah solid."

"Kamu pernah ketemu dia?"

"Pernah, biasanya dua kali dalam sebulan dia kemari."

"Kalau nanti dia ada, kasih tahu tante ya, supaya bisa makan hasil masakannya dia."

Aku hanya tertawa kecil.

"Bukan dia yang masak, Tan. Dia cuma ngawasin aja, agar standarnya sesuai dengan yang dia terapkan."

"Kamu pernah dimasakin?"

"Pernah, beberapa kali."

Sontak, seluruh ruangan menatapku kagum.

"Enak?"

Aku menunjukkan kedua ibu jari. Kami kemudian mengobrol tentang banyak hal seperti biasa. Selesai makan, aku pamit pulang pada Ayah. Kelihatannya beliau mengerti, karena itu aku diijinkan. Meski ada kesedihan didalam matanya. Aku juga pamit pada semua, kecuali Denny dan Cinta tentunya. Ayah masih mengantarku sampai ke mobil.

"Kapan-kapan Ayah main ke kost Aya ya." Ucap Ayah sambil mengecup ubun-ubunku.

"Telepon Aya dulu, karena sering tugas mendadak."

"Iya, jaga kesehatan. Kamu masih sering pulang malam?"

Aku mengangguk.

"Tunggu sebentar." Perintah Ayah

Ia buru-buru masuk, lalu kembali dengan sebuah botol yang ternyata madu.

"Ini madu Australia, bagus untuk jaga stamina kamu. Minum setiap pagi ya. Supaya sehat."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Kuputar arah mobil, dari spion masih terlihat Ayah menatap kepergianku. Tak terasa airmataku mengalir deras. Tubuh tuanya terlihat mengurus. Aku tahu tidak mudah menghadapi semua.

***

Aku masih menangis di tempat tidur saat Bang Sadha menelepon.

"Kenapa,Ya?"

"Baru pulang dari rumah Ayah, Bang. Aya sedih."

"Abang kirain kamu kenapa. masih kangen? Terus kenapa pulang?"

"Ada cinta dan Denny, males aja. Meski sebenarnya aku libur besok."

"Kalau belum nyaman ya jangan. Besok mau kemana?"

"Paling tidur seharian, Abang?"

"Nanti malam kapal jalan, dari kantor destinasi Mumbai."

"Asyik ya, Bang."

"Nggak ah, lebih asyik pulang ke Indonesia. Terus tidur di rumah."

"Itu mah lain." protesku.

"Gimana si Raka? Baik?"

"Baik kok, kenapa memangnya?"

"Dia deketin kamu?"

"Enggak, abang kenapa sih?"

"Nanya doang." Jawabnya singkat.

Percakapan kami masih berlanjut. Membicarakan kegiatan sehari-hari. Abang sering bertanya tentang aktifitasku, kesehatan, makanku. Rasanya perhatiannya semakin berbeda.

Jujur aku mulai menikmati, dan merasa kehilangan saat kami tidak bertelepon. Apakah ini artinya aku mulai melupakan Denny? Secepat ini?

Aku tahu akhirnya, selalu ada nada cemburu saat Bang Sadha menyebut nama Chef Raka. Yang tidak ia ketahui, atasanku tersebut juga mulai sering menghubungi aku. Bertanya tentang pekerjaan adalah alasan utama. Namun baru beberapa kalimat, pertanyaannya sudah berubah.

Misal tentang apakah aku sudah makan atau belum. Juga setiap kali ke Jakarta anak-anak di resto selalu menggodaku. Kata mereka, Chef Raka kalau ngelihat Bu Aya tatapannya beda.

Aku hanya tertawa kecil, mencoba untuk tidak menghiraukan. Kuanggap itu adalah kebiasaan laki-laki seperti dia. Raka juga sring dengan sengaja memasakkanku makan siang dengan tangannya sendiri.

Jujur aku kurang suka dengan perhatian tersebut. Membuatku terlihat berbeda dengan karyawan lain. Banyak tatapan iri yang kuterima dari para pegawai perempuan. Apalagi jika saat pulang, Raka mengantar sampai ke mobil.

Beberapa kali juga ibu Raka muncul di resto. Mengajakku mengobrol tentang banyak hal. Aku suka melihatnya. Sudah tua tapi sangat modis. Jelas sekali memikirkan outfit saat akan keluar rumah. Sedikit berbeda denganku yang kalau keluar suka sembarangan.

Tante Ivone, juga pengkoleksi barang mewah. Entah berapa banyak Hermes yang ia punya. Mulai dari tas, sampai sandal. Bahkan menurut Raka, ibunya memiliki peralatan minum teh keluaran brand tersebut. Benar-benar kelebihan uang pikirku.

Bahkan seminggu yang lalu, ia menghadiahiku sebuah tas kecil bermerk Chanel. Yang kuakui harganya cukup mahal kalau hanya disebut sebagai hadiah. Dan kini aku  dipusingkan dengan itu. Semua terlalu cepat, entah apakah ada konspirasi apa antara anak lajang dengan ibunya.

Meski kudengar dari asisten pribadinya, itu adalah kebiasaan Tante Ivone. Tapi tetap aku merasa tidak enak. Aku bukan siapa-siapanya. Meski tahu kalau mereka memang berasal dari keluarga berada.

***

Sadhana

Kutatap cakrawala yang terlihat kelabu. Kami masih dalam perjalanan menuju Mumbai. Cuaca tidak bersahabat, ombak cukup tinggi. Beruntung muatan penuh sehingga kapal tidak terlalu goyang.

Beberapa anak buahku yang tidak bertugas bermain kartu bersama rekan mereka. aku sendiri baru saja mengirimkan laporan harian ke kantor. Didalamnya ada laporan bahan bakar, oli juga pekerjaan perawatan harian.

Dalam perjalanan seperti ini, semua harus diperhatikan, terutama perawatan. Agar mesin kapal tetap berada dalam kondisi baik. Pengalaman kapal rusak ditengah laut adalah sesuatu yang terburuk. Rencana, seminggu lagi kami akan tiba di Mumbai. Berlabuh untuk transfer minyak selama seminggu juga. Lumayanlah, akan ada signal. Jadi bisa menelepon Aya.

Selesai semua, aku beranjak ke kamar. Kemudian mengganti pakaian kerja menjadi kaos biasa. Juga melepas sepatu safety yang terasa berat di kaki. Kuraih ponsel diatas meja. Kemudian kembali membuka foto-foto Aya. Bulan depan aku akan kembali cuti, dan kami akan bertemu. Rencana aku ingin mengatakan cinta padanya. Meski belum sembuh, aku tahu kalau ia sudah mulai menerima kehadiranku.

***

Gayatri

Libur bagiku berarti beres-beres. Membawa pakaian kotor ke laundry juga mengambil pakaian yang sebelumnya sudah bersih. Kemudian menata ulang kamar. Dan menyedot debu yang bertebaran. Pada hari kerja, aku tidak mungkin melakukan semua.

Berangkat kerja pukul Sembilan, kadang baru bisa pulang setelah lewat pukul Sembilan malam. Lelah? Tentu saja. Tapi aku butuh kesibukan untuk melupakan rasa sedih dan sakitku. Selesai semua, aku duduk di depan jendela. Rasanya bosan sendirian di kamar ini. Kalau saja hubunganku dengan Andien masih baik, tentu kami akan menghabiskan waktu bersama.

Tapi kini aku sendirian. Bang Sadha juga masih dalam perjalanan pulang menuju Mesir. Kemarin katanya membawa oleh-oleh untukku. Aku tersenyum mengingat itu. Aku memutuskan untuk keluar, paling tidak keliling mal. Mungkin sekalian membeli beberapa pakaian dalam yang sudah harus diganti. Segera kuganti pakaianku dengan sebuah midi dress berwarna putih.

Kuraih sneakers dan juga tas punggung kecil. Aku butuh kedua benda ini agar bisa berjalan dengan nyaman. Tak lama mobilku sudah berada diengah jalan raya.

Aku berjalan pelan melewati banyak toko. Ternyata mal  sedang melaksanakan mid year sale. Banyak toko yang menawarkan special diskon. Kucek dengan teliti apakah kartu kreditku mendapat penawaran.

Akhirnya setelah lebih dari setengah hari, aku menemukan beberapa peralatan make up, sandal dan juga kemeja untuk bekerja. Aku cukup puas dengan perburuan hari ini. Sampai kemudian mataku tertumbuk pada seseorang. Tante Biring!

Segera kuhampiri dengan langkah tergesa.

"Hai, Tante." Sapaku.

Ia menatapku tak percaya,

"Aya?"

Ia segera menjabat tanganku sambil menyodorkan pipi.

"Apa kabar, Tan?"

"Tante baik, kamu gimana?"

"Sudah kerja, tante sendirian?"

"Enggak, sama Uli dan Renata. Kakaknya Sadha. Tapi mereka sedang ke kamar mandi. Cari tempat duduk yuk, kaki tante pegal."

Aku menurut, kami segera memasuki sebuah resto tak jauh dari tempat Tante Biring berdiri tadi. Kemudian memesan semangkuk es krim. Ternyata kami memiliki selera yang sama. Tak lama muncul dua orang perempuan cantik yang kutebak adalah kakak Bang Sadha. Karena aku sudah pernah bertemu dengan kak Uli

"Eh ada Aya." Sapa kak Uli.

Aku segera berdiri dan menyambut uluran tangannya. Juga perempuan disebelahnya.

"Saya Renata" ujar perempuan satunya.

"Saya Gayatri, Kak." Balasku.

"Ini lho Nat, yang bikin heboh keluarga besar suamiku. Waktu Raka bilang naksir seseorang, dan ternyata gadis itu adalah, Aya." ucap Kak Uli pada Kak Renata.

Seketika wajahku memerah.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

18720

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top