G
Sepanjang sore aku disibukkan dengan wawancara kerja. Tidak kusangka secepat ini. Baru saja melakukannya via zoom. Beberapa pertanyaan berhasil kujawab dengan baik. Senyum mereka memperlihatkan kepuasan atas jawabanku,
Bidang ini bukanlah baru. Karier dibidang marketing sudah kujalani sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Aku cukup tahu seluk beluk nya sampai kepada hal detail.
Menurut mereka ada dua kandidat. Hanya pertanyaan terakhirnya yang sedikit menggangguku. Yakni bersedia ditempatkan di luar kota. Yang merupakan salah satu base mereka untuk wilayah Indonesia barat atau tengah.
Saat diberi kesempatan memilih, aku minta Indonesia bagian Barat. Meski belum yakin akan diterima. Aku juga belum bertanya tentang gaji dan fasilitas apa yang akan kudapatkan. Karena paling tidak tawaran mereka harus mendekati standarku selama ini.
Menjelang sore aku diminta untuk datang ke Jakarta lusa pagi. Ke sebuah gedung perkantoran dibilangan Jakarta Pusat. Aku segera mengiyakan, diikuti tatapan bingung Andien.
"Gampang amat lo dapat kerjaan?"
"Belum sih Ndien, masih ada proses lain. Semoga ini jalan buat gue keluar dari kesedihan dan batal jadi pengangguran."
"Kalau elo ditempatkan di luar kota? Lo terima?"
"Gue butuh kerjaan sekarang, bukan waktunya buat milih juga. Nanti kalau semua udah bagus, gue minta pindah ke Jakarta lagi."
"Lo yakin, Ya?"
Aku mengangguk, kaminmelanjutkan makan. Terdengar deru mobil yang cukup kencang di halaman depan. Ternyata mobil mantan istri Bang Sadha melaju cukup kencang. Seperti orang yang sedang emosi.
Andien tersenyum mendengar itu.
"Pasti abis berantem."
Aku hanya menggelengkan kepala.
***
Sadhana
Aku duduk dihadapan papi yang sedang marah.
"Mau kamu apa sih, Bang? Itu anak-anak kamu datang malah kamu tinggal tidur. Kata mamimu, kamu pulang pagi."
"Pi, aku nggak bermaksud begitu. Aku nggak tahu sama sekali kalau anak-anak datang. Nggak ada janji juga sebelumnya. Aku tuh tidur udah hampir jam sebelas siang karena ada masalah di kapal. Nggak mungkin aku nggak tungguin sampai kapal bisa jalan. Lagian kan papi tahu kalau aku susah bangun kalau sudah tidur."
"Kamu itu bapak-bapak atau bukan sih?! Buat susah saja, kalau masih cinta sama Wynna kenapa nggak kembali saja. Kalau nggak suka lagi cari yang baru. Ini malah pulang pagi dengan tujuan nggak jelas."
Aku hanya diam, kalau sudah begini akan panjang urusannya. Apalagi mami sudah mulai mengambil ancang-ancang.
"Carilah jodohlah kamu Bang. Supaya ada yang memperhatikan dan nggak perlu keluar malam. Umur mami berapa lama lagi sih? Kalau memang masih ada jalan, kembali saja ke Wynna. Kalau nggak bisa cari perempuan yang lajang saja, supaya nggak bikin ribet. Kalau bisa yang sudah umur 35an supaya nhgak terlalu tua dan sayang juga sama Amel dan Ibas."
Aku kesal mendengar omongan itu.
"Maksud mami ngomong apa sih? Udahlah aku bosan dengerin itu terus. Lagian aku nggak merasa ini akan jadi masalah. Kenapa mami mempermasalahkan? Cuma keluar sama Andien dan Aya."
"Bang, mami mau kamu ada yang urus. Kamu sudah dewasa, nggak bisa begini terus."
"Aku bisa mengurus diri sendiri, Mi. Kalau mami bosan lihat aku, ngomong. Jadi aku bisa pindah ke rumahku di Jakarta. Lagian, Mi. perempuan yang masih lajang diusia hampir 35 itu cuma punya dua kemungkinan. Pertama Lesbian, dan yang kedua, bawelnya minta ampun sampai nggak ada pria yang betah berada didekatnya!!"
Selesai mengucapkan itu, aku segera meninggalkan mereka. Bisa tambah pusing kalau sudah berdebat tentang jodoh. Sebentar lagi pasti muncul omongan tentang si A, si B, anak tante A dan anak tante B. Yang jujur tak ada satupun yang kukenal.
***
Aya
Malam ini, Andien pamit turun ke Cimahi untuk membeli oleh-oleh, besok ia akan pulang ke Jakarta. Tadinya ingin mengajak, tapi aku menolak karena enggan keluar. Akhirnya aku duduk di dekat jendela.
Sampai kemudian seseorang memanggilku dari jendela di seberang sana. Memberi kode agar turun. Segera aku keluar menemui Bang Sadha.
"Ada apa, Bang?"
"Lagi ngapain?"
"Bengong."
"Sini ngobrol sama, Abang." Ajaknya.
Sebenarnya aku enggan, teringat akan kalimat Andien tentang mantan istrinya. Juga akan rasa suka sahabatku itu. Namun akhirnya aku keluar karena tidak enak. Paling tidak ia sudah menemani sepanjang hari kemarin.
Aku diajak langsung duduk ditaman belakang rumahnya. Ternyata pemandangan disana jauh lebih indah.
"Disini tenang, Ya." Ucapnya pelan.
Kutoleh sebentar, ia tengah menatap rembulan penuh.
"Iya bang."
"Sudah ada bayangan mau kemana?"
"Tadi aku kirim CV dan langsung wawancara. Lusa diminta ke Jakarta untuk beberapa tes. Meski sebenarnya menurut mantan atasanku hanya sebagai formalitas."
"Artinya akan diterima?"
Aku mengangguk.
"Semoga, Bang."
"Hebat kamu."
"Tapi penempatannya bukan disini belum tahu dimana,"
Wajah Bang Sadha sedikit berubah.
"Dimanapun itu yang penting kamu merasa nyaman."
Aku tersenyum.
"Abang kapan kerja lagi?"
"Masih lama, belum juga seminggu."
"Aya."
"Apa bang?"
"Boleh tahu nomor WA kamu?"
Aku segera memberikan. Jelas tidak enak kalau menolak. Karena pria didepanku ini sudah berbaik hati. Kutatap senyum misteriusnya. Terlihat aneh. Kami berpisah saat mendengar suara mobil Andien dari jauh.
***
Andien mendiamkanku sejak semalam. Saat melihat aku keluar dari teras samping kediaman Bang Sadha. Sebenarnya aku mau tertawa. Rasanya lucu saja, kalau kami jadi seperti anak kecil.
Adalah hal yang aneh kalau cemburu padaku. Atau mungkin ia memang tengah serius mengejar tetangganya. Mengingat usia yang memasuki 32. Kuakui, Bang Sadha adalah calon potensial asal Andien kuat LDRan.
Kembali kubereskan segala perlengkapan pribadiku. Memasukkan kembali ke dalam koper. Selesai semua aku mulai berselancar mencari kost-kostan di Jakarta. Ada beberapa yang mengena dihatiku, terutama melihat aturan kost yang jelas. Melarang tamu pria menginap.
Kuhubungi beberapa nomor, mereka menjelaskan tentang fasilitas dan kamar bagian mana yang kosong. Akhirnya pilihanku mengerucut jadi dua. Cukup mahal sih, tapi kupastikan disana aman.
Hendak mandi, tiba-tiba ponselku berbunyi. Bang Sadha
"Ya, Bang."
"Lagi ngapain?"
"Nyusun baju di koper. Kenapa?"
"Kamu mau kemana?"
"Pulang ke Jakarta. Sudah mau cari kerja."
"Kenapa nggak di Bandung aja?"
"Nggak punya teman disini."
"Nanti abang bantu mau? Abang tanyain teman lama nanti."
"Terima kasih bang. Kalau nanti nggak lolos di Jakarta aku akan hubungi abang."
"Andien sudah pulang?"
"Sudah tadi pagi."
"Turun yuk, ikut abang."
"Ngapain?"
"Jalan aja, makan atau sekedar ngobrol."
Aku menimbang tawarannya, sampai akhirnya mengiyakan. Paling tidak mengucapkan terima kasih karena sudah bersedia mendengarkan curhatanku.
Kami keluar menggunakan mobilku, tapi Bang Sadha yang nyetir. Akhirnya mobil berbelok ke sebuah warung bakso yang terlihat sangat sederhana.
"Tempatnya kecil, Ya. Tapi percaya deh baksonya enak."
Aku mengangguk mengikutinya turun. Selesai memesan makanan ia menatapku.
"Masih suka nangis?"
Aku mengangguk.
"Kelihatan banget ya, Bang?"
"Ya, sulit ya Ay?"
"Iya, Bang. Rasanya belum kepengen beraktifitas."
"Yakin akan bisa bekerja dalam suasana seperti sekarang? Secepat ini?"
Aku membuang pandangan, pertanyaan itu mengandung kebenaran.
"Aku nggak tahu."
"Kamu memang harus cepat bergerak, tapi bolehlah kalau masih mau sebulanan agak santai. Supaya benar-benar siap."
"Masih bingung bang, antara percaya sama nggak." Jawabku.
"Ya sih, baru seminggu kan? Masih banyak tahap yang harus kamu lewati."
"Kamu ada masalah dengan Andien? Tentang aku, maksudnya."
Kutatap ia tak percaya. Pertanyaan itu terasa menelanjangi hubunganku dengan Andien.
"Abang tahu darimana?"
"Biasanya dia pamit kalau mau pulang, minimal telepon. Tapi tadi pagi dia pergi begitu saja."
Aku tersenyum tipis, rasanya tidak baik menceritakan ketegangan antara kami.
"Dia suka sama abang, tapi abang tolak. Apa dia cemburu sama kamu?" Pria itu akhirnya mengatakan kebenaran.
Aku kembali tersenyum tipis, enggan menjawab.
"Apa itu alasan kamu kembali secepatnya ke Jakarta?"
"Sebagian."
Aku mulai risih dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Beruntung tak lama makanan kami datang.
"Selamat makan Aya." Ucapnya sambil menyuap makanan.
Kenapa aku merasa ada yang aneh pada sikap dan tatapannya?
***
Sadha
Kurebahkan tubuh dikasur sambil membuka ponsel. Disana ada wajah Aya dalam berbagai ekspresi. Kalau boleh jujur semua menggemaskan. Aku
Mengambil potretnya diam-diam tadi.
Ia punya wajah yang unik, mata indah sekaligus senyum menawan. Kalau tidak tahu, aku pasti menyangka usianya sepuluh tahun lebih muda. Karena memang tubuhnya sangat terawat.
Wajarlah, dari info yang kulihat di sosial media miliknya, ia adalah seorang manajer marketing. Bisa kubayangkan aktifitasnya.
Saat ini ia masih patah hati, jadi tidak mungkin menoleh padaku. Aku suka padanya. Saat ini tugasku hanya harus menjaga, meski dari jauh. Semoga ia tidak membuka hati pada orang lain.
***
Pagi sekali aku menyetir menuju Jakarta. Perjalanan terasa lama sekali karena sendirian. Kunyalakan radio yang mengumandangkan lagu menghentak.
Tadi juga aku pamit pada Bi Elis. Sekaligus memberikan sedikit uang untuknya. Perempuan itu menangis, karena sudah mengetahui kisahku. Tadi malam, sepulang aku dan Bang Sadha makan bakso, aku juga pamit pada Tante Biring.
Ia memelukku dengan hangat. Sambil berkata, kalau nanti libur aku boleh mengunjunginya. Aku juga berjanji, bila Tante Biring ke Jakarta, aku akan menemuinya. Disana juga aku berkenalan dengan Om Lingga, papi Bang Sadha.
Sesampai di Jakarta masih jam 08.30. Kuparkirkan mobil di area tamu dan mulai membuka make up kit. Lalu berdandan sebagaimana mestinya. Aku harus tampil lebih baik.
Duduk di ruang tunggu, aku menanti saat wawancara. Hal yang sudah cukup lama tidak kulakukan. Tak lama namaku dipanggil. Dihadapanku duduk tiga orang pria paruh baya. Dua diantaranya kutebak berkewarganegaraan asing.
Perbincangan cukup menarik, sampai akhirnya kami bicara masalah gaji. Ini cukup membuatku terpukul. Aku menerima tidak sampai setengah penghasilan lama. Aku mencoba meminta sedikit naik, hanya dua puluh persen. Tapi mereka menolak, dan mengatakan hanya mampu membayar seperti itu.
Akhirnya aku pamit dengan membawa perasaan kecewa. Tampaknya kesedihanku belum akan berakhir. Memasuki mobil, aku kemudian menuju rumah kost yang sudah kuincar.
Beruntung kali ini boleh sedikit lega. Kamarku terletak dilantai dua dan paling sudut. Sehingga tidak perlu terganggu dengan orang yang berlalu lalang. Kebanyakan penghuni juga karyawati.
Dibantu seorang petugas, aku tiba dikamar. Cukup lumayan, ada dapur bersih, kamar mandi berikut shower, juga kasur queen size. Segera kubereskan barang-barangku. Tak lupa mencatat apa saja peralatan rumah tangga yang kubutuhkan.
Selesai semua, aku baru teringat. Kalau belum makan dari pagi! Padahal waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Pantas kepalaku sakit.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
15720
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top