D

Aya

Aku terbangun pagi itu dengan perasaan hampa. Mestinya hari ini adalah hari pernikahanku. Saat yang kutunggu setelah sekian lama. Drngan persiapan yang sudah selesai seratus persen. Entah bagaimana kabar gaun dan kebaya pengantin yang  berada di kamar. Semua sudah kutinggalkan, dan takkan pernah mengenakan di depan banyak orang.

Kutatap cuaca mendung diluar sana. Sama seperti suasana hati saat ini. Tubuhku terasa lemah, tidak ada kekuatan lagi. Begitu banyak kata seharusnya yang berputar dikepalaku. Tapi kenyataannya, aku berada disini sendirian.

Entah kenapa, airmataku kembali turun. Sesuatu yang tidak pernah habis selama beberapa hari terakhir. Meski sebenarnya aku bosan menangis. Sayang, tubuh dan pikiranku tidak bisa bekerja sama. Keinginanku tidak diterima oleh tubuhku.

Kuraih handuk, dan kembali menghapus airmata. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku membutuhkan guyuran air untuk menenangkan pikiran.

Selesai mandi aku turun,  Bi Elis sudah berada di dapur sambil mendendangkan lagu Tibelat favoritnya. Nyanyian usang tak pernah berubah sejak dulu. Aku saja sampai hapal pada iramanya.

Tak ingin mengganggu, aku mencoba mencari kesibukan. Saat berada diteras, tampak halaman rumah yang belum disapu. Penuh dengan dedaunan gugur. Kuraih sapu, lalu mulai bekerja.

Seorang pria yang mengenakan pakaian olahraga sepintas sederhana memasuki halaman. Tapi mataku bisa tahu kalau kaos LV yang dikenakannya asli. Juga sepatu Nike  yang tidak beredar di Indonesia. Meski hanya bercelana pendek merk Adidas. Aku bisa menghitung berapa harga outfitnya.

"Hai Bang Sadha." Suara Andien nyaring terdengar dari belakangku.

Aku mengabaikan mereka, kembali meneruskan kegiatan menyapu halaman.

"Hai juga Andien, apa kabar?" balas pria itu sopan.

"Baik, lagi cuti, Bang?"

"Iya, kamu?"

"Cuti juga, coklatnya masih ada, Bang?"

"Banyak, kalau mau ke rumah aja."

"Asiiik." Teriak Andien kegirangan.

"Ini, pembantu baru kamu yang nemenin Bi Elis?" Tanya pria itu lagi.

Seketika aku menghentikan kegiatan lalu  melotot padanya. Sementara Andien segera menyemburkan minuman yang terlanjur masuk kedalam mulutnya lalu tertawa dengan keras. Dengan santai pria itu melepaskan kacamata dan menatapku.

Kuakui dia ganteng, meski jelas belum mandi. Tapi mengataiku pembantu? Kulirik daster merahku. Andien semakin tertawa keras.

"Sorry Bang Sadha. Ini kenalin sahabat aku. Namanya Gayatri. Aya, kenalin tetangga gue. Bang Sadha."

Pria itu terlihat tidak kaget, kurasa kalimatnya tadi hanya pura-pura. Segera ia mengulurkan tangan, yang kusambut dengan malas.

"Sorry, saya nggak tahu. Sadhana."

"Gayatri." Jawabku singkat.

"Abang masih mau jogging?"

"Sudah selesai. Ayo katanya mau ke rumah. Mami pasti senang."Ucap pria itu.

"Aku ajak Aya ya, Bang."

Pria itu hanya mengangguk.

"Abang tunggu ya ,Ndien." Ucap pria itu sambil beranjak memasuki halaman rumahnya.

Kulirik sahabatku yang tampak kegirangan.

"Ayo, Ya.  Jangan di rumah terus. Elo butuh jalan-jalan."

"Jalan-jalan bukan ke rumah orang, Ndien. Gue tinggal aja."

"Ayo, mereka baik kok." Ucapnya sambil menarik tanganku.

Dengan enggan aku mengekori Andien.
Memasuki kediaman Tante Biring. Aku  terpana ada banyak hiasan dari berbagai Negara disana. Kata Andien, tetangganya ini hobby travelling. Perempuan sang empu rumah menyambut kami dengan hangat.

"Ayo sini sekalian sarapan." Ujarnya sambil menyodorkan sepiring cake. Yang segera aku tahu dari aromanya, Lemon butter cake. Sudah ada pria bernama Sadha itu disana.

Kami mengelilingi meja makan. Andien bahkan bersikap seolah ini adalah rumahnya. Mengambil gelas dan minuman tanpa permisi. Aku hanya menggeleng kepala melihat itu.

"Aya mau nasi goreng, Nak? Tapi agak pedes, disesuaikan dengan kesukaan si abang."

"Terima kasih, Tan. Saya makan cakenya aja." Tolakku halus.

"Kamu nggak biasa sarapan nasi ya. Kalau si abang selalu minta nasi. Karena kalau kerja jarang ketemu katanya." Tante Biring menjelaskan tanpa kuminta.

"Om Lingga mana, Tante?" tanya Andien.

"Lagi ke Bandung, ada arisan marga."

"Tante nggak ikut? Biasanya kayak lem sama kertas?" Goda sahabatku lagi.

Tante Biring tertawa,

"Nggak, ada abangmu disini. Nanti siapa yang masakin dia."

"Bilang sama aku aja Tan, ini mumpung ada Aya yang bantu-bantu." Ucap Andien tanpa rasa bersalah.

Aku segera melotot. Sementara pria didepanku hanya diam sambil menikmati sarapannya.

"Tante, masak apa siang ini?"

"Abangmu minta daun singkong tumbuk dan sambal ikan teri campur kacang."

"Enak tuh, ajarin aku dong tante masaknya."

Tante biring tertawa,

"Kamu bisa aja Ndien, bukannya kamu paling malas ke dapur?"

"Sekarang sudah enggak, Tan. Kan aku harus berubah."

Kembali tante biring tertawa. Aku suka melihat wajahnya yang keibuan. Tampaknya cuma menganggap kalau Andien bercanda. Padahal aku tahu kalau sahabatku itu tengah serius.

"Oh ya, Aya berapa lama nanti tinggal disini?"

"Belum tahu, Tan, nanti saya pikirkan lagi." Jawabku sambil tertunduk sedih.  Tiba-tiba tempat ini terasa tak cocok untukku. Aku butuh udara segar diluar sana.

Namun sebisa mungkin aku menahan diri dan airmata.  Agar tetap terlihat sopan. Sayang, tampaknya semua yang ada disekitarku menyadari perubahaan wajahku.

"Lo jangan sedih lagi, gue merasa bersalah kalau lo kayak gini." ucap Andien pelan, terlihat kalau ia merasa tidak enak hati.

"Memangnya kenapa, Aya?" tanya tante Biring yang tiba-tiba  sudah duduk di sebelahku. Perempuan paruh baya itu menepuk lembut bahuku.

Seketika aku kembali menangis, kali ini benar-benar keras. Tidak peduli pada kehadiran pria bernama Sadha atau yang lain. Andien memijat bahuku. Sementara Tante Biring, meraihku kedalam pelukannya. Aku seperti merasa punya mama!

Tante Biring masih mengelus kepalaku, saat Andien berkata pelan.

"Seharusnya hari ini Aya menikah, Tan. Tapi, karena suatu hal, nggak jadi. Makanya dia beristirahat disini."

Suasana ruang makan menjadi sepi seketika. Tak ada lagi suara sendok berdenting. Benar-benar sepi. Dan akhirnya aku benar- benar merasakan patah hati.

***

Sadhana

Aku merebahkan tubuh setelah Andien dan temannya pulang. Jujur  tidak tega melihat Aya. Bukan hal mudah untuk menghadapi keadaan tersebut. Wajahnya terlihat pucat karena kurang tidur.

Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok perempuan yang kugoda dengan menyebutnya pembantu tadi. Aku hanya bercanda agar bisa melihat raut wajahnya pada sisi lain. Aku segera suka pada matanya yang indah.

Penampilannya sangat sederhana. Tanpa make up, bahkan kurasa tadi dia belum mandi. Daster batik membuatnya justru tampak makin cantik. Entah kenapa aku selalu suka melihat perempuan berdaster. Rasanya ingin kukurung ia ditempati tidur.

Kisah hidup yang hanya sedikit kudengar, membuatku mengerti, kenapa mata itu terluka. Ia sedang patah hati! Aku pernah merasakannya, saat perceraian dulu. Sesuatu yang kita kira akan berjalan indah, ternyata bisa kebalikannya.

Bayangannya menangis dalam pelukan mami tampak menyedihkan. Terlihat rapuh dan tak berdaya Ada rasa kasihan dan ingin melindungi. Tadi sebelum Andien pulang, gadis itu berkata. Kalau Aya saat ini selain gagal menikah juga tengah menjadi pengangguran. Perempuan itu mengorbankan kariernya untuk menjalani rencana perkawinan.

Kasihan sekali! ia sudah berkorban terlalu banyak untuk laki-laki yang tidak menghargainya. Tapi apa pikiranku benar? Aku kan tidak tahu bagaimana cerita asli kehidupannya? Tapi melihat kondisinya tadi, jelas bahwa ia berada pada posisi yang dirugikan.

***

Sore itu aku berniat untuk turun ke bawah, menikmati air terjun. Saat kulihat Aya sedang menutup pagar. Kali ini ia mengenakan celana training dan kaos lengan pendek. Wajahnya masih terlihat sendu.

"Mau kemana Ay?" Sapaku.

"Kebawah, Bang, udah lama nggak turun."

"Ayo, abang juga mau turun. Udah lama nggak  ke curug." Ajakku.

Ia hanya mengangguk dan mencoba tersenyum. Kami berjalan bersisian, sampai kemudian saat menapaki tangga, Aya tampak lebih berhati-hati. Jadi aku harus menunggunya.

"Andien kemana?" tanyaku.

"Masih tidur siang, Bang."

Matanya kemudian menatap kebawah. Jalan yang akan kami lalui.

"Jangan dilihatin, nanti kamu malah nggak nyampe." Aku mencoba mengingatkan.

"Kondisiku kurang fit memang." Jawabnya.

"Atau mau jalan ke lembang aja? Ayo abang anterin." Aku menawarkan diri.

"Nggak usah, kebawah aja."

"Kamu yakin?" tanyaku.

Aya mengangguk. Kembali kami berjalan bersisian. Ia melangkah dengan hati-hati.

"Kamu kurang tidur?" tanyaku.

"Ya."

"Kurang makan juga?"

"Ya."

Aku menarik nafas dalam. Ia tampak tidak sehat.

"Setelah ini, kamu bisa ukur tekanan darah ke mami. Wajahmu pucat."

"Tante Biring dokter?"

"Bukan, mami bidan. Tapi kalau cuma ngasih vitamin sih bisa."

"Aku nggak hamil."

"Aku kan nggak bilang kalau kamu hamil, aku cuma bilang kamu terlihat kurang sehat. Seperti apapun suasana hati , jangan lupa menjaga kesehatan."

"Apa aku terlihat menyedihkan?"

"Cermin adalah sebuah benda yang tidak membohongi kita. lihatlah dirimu disana."

Kembali kami terdiam.

"Sudah berapa hari disini, Ya?"

"Empat kayaknya bang."

"Belum ada rencana apa-apa?"

Dia menggeleng. Aku tahu ini sangat sulit, karena aku pernah berada diposisinya. Meski kasus kami tidak sama persis.

"Abang nggak kemana-mana?"

"Enggak, kemarin sudah jalan sama anak-anak seharian. Hari ini kan mereka sudah  ada kegiatan lain. Paling nanti sesekali makan bareng diluar."

Kami kembali berjalan kebawah.  Sesekali aku mendahului, saat menemukan anak tangga yang licin atau tinggi. Ia selalu menerima uluran tanganku. Sangat terlihat kalau ia memiliki kepribadian yang baik meski tengah rapuh. Tidak suka berpura-pura.

Sampai akhirnya kami tiba dibawah. Ada beberapa  remaja dan juga pasangan. Aya menatap mereka dengan serius sambil membuka sepatunya.

Akhirnya kami sama-sama duduk diatas sebuah batu.

"Apa rencana kamu setelah ini?" Tanyaku

"Mungkin cari kerja lagi, entahlah, Bang. Aku kan harus tetap makan."

"Yakin kalau kamu sudah siap?"

Matanya menerawang, kemudian menggeleng pelan.

"Nggak tahu, Bang. Tapi nggak enak juga menumpang terus di rumah Andien."

"Mau balik ke Jakarta?"

"Nggak tahu juga. Rasanya sulit, dengan usia segini, cari kerja lagi. Mulai semua dari awal."

"Kamu belum mencoba kan?"

"Belum sih."

"Cobalah,"

"Aku harus mencari tempat tinggal baru."

"Kalau mau nanti aku bantu."

"Terima kasih." Jawabnya sambil tersenyum.

Ternyata selain memiliki mata yang indah, senyum Aya juga sangat indah. Kami menikmati sore di curug, sampai akhirnya kembali naik. Ia tampak kepayahan. Kami sampai harus berhenti beberapa kali. Bahkan tak jarang aku harus menarik tangannya.

"Malam ini mau jalan sama Abang?"

"Aku sudah ada janji dengan Andien."

"Kalu begitu kita bisa bertiga."

Ia hanya tersenyum.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

11720

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top