A
Selamat datang di USIA 34. Dunia Gayatri dan Sadhana.
Selamat membaca, dan semoga kalian suka....
***
Gayatri Amelia Widjaya
Namaku Gayatri, panggil aku Aya. usiaku akan genap 34 tahun minggu depan Tepat dihari pernikahan nanti. Dan itu adalah kado terindah, setelah sekian lama menunggu. Sesuatu yang selalu menjadi pertanyaan bagi banyak pihak. Termasuk kedua orangtuaku. Kapa menikah? Tunggu apalagi?
Bukan hal mudah untuk memutuskan menikah. Ada banyak bayangan buruk dimasa lalu. Terutama bila mengingat tentang ibuku. Nantilah kelak kalian akan tahu. Aku enggan menceritakan semuanya sekarang. Tidak ingin moodku berubah.
Tunanganku bernama Denny Wirawan. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun, dan bertunangan selama dua tahun. Kenapa lama? Karena kami sama-sama tipe pengejar karier dan pendidikan. Awalnya dia yang S2 kemudian aku menyusul. Jadilah niat menikah itu selalu tertunda. Buatku, selama kami sama-sama enjoy, apa salahnya?
Aku dalam perjalanan pulang setelah selesai menghadiri acara farewell party untuk diriku sendiri. Karena tepat hari ini aku resign dari kantor tempatku bekerja. Rumah kedua hampir Sembilan tahun terakhir.
Aku meninggalkan kantor sebagai Manager Marketing. Jabatan yang kusandang tiga tahun terakhir. Lengkap dengan seluk beluk kenangan menyayat hati juga kepuasan. Menyayat, kalau penjualan tidak mencapai target. Tapi puas saat menerima bonus tahunan yang tak sedikit.
Dari bonus itu aku bisa jalan-jalan ke luar negeri. Juga bisa membeli sebuah apartemen secara patungan dengan tunanganku. Bahkan biaya pernikahan kami yang tidak sedikit ini, adalah hasil patungan dengan Mas Denny.
Saat ini Mas Denny juga memiliki jabatan yang cukup tinggi disebuah bank asing. Ibaratnya kami adalah pasangan sibuk. Dan setelah lima tahun, barulah kami mencapai kata sepakat. Yakni aku berhenti bekerja, karena kami segera program untuk punya anak.
Rasanya sangat sedih meninggalkan kantor. Tapi, sebagai perempuan akhirnya aku mengerti akan kodratku. Tidak bisa bermain-main lagi dengan usia. Tidak mungkin untuk punya anak yang masih kecil sementara aku sudah beruban. Membesarkan anak memiliki tanggung jawab yang besar.
Aku menyetir dengan santai, sudah hampir jam sepuluh malam. Sisa-sisa pesta masih berputar dikepalaku. Bagaimana para atasan menyampaikan salam perpisahan. Cerita tentang kenangan kebersamaan kami. Juga rekan-rekan dan beberapa anak buahku. Kami semua menangis, karena sudah merasa sebagai satu keluarga.
Tak apa pulang dengan mata sembab, toh mulai besok aku sudah menjadi pengangguran. Masih ada waktu untuk perawatan mata. Dan aku kini punya jabatan baru, yakni menjadi orang rumahan.
Memasuki halaman, aku cukup kaget. Ada mobil calon mertuaku dan juga Mas Denny. Ada apa? Bukankah acara pertemuan keluarga sudah selesai? Dan semua sudah dibicarakan? Apa ada hal yang sangat penting? Sampai mereka harus datang dengan formasi lengkap?
Aku segera memasuki rumah, dan menemukan mereka semua terdiam di ruang tamu.
"Malam" sapaku sambil mencium tangan kedua orangtuaku. Bergantian dengan keluarga Mas Denny.
Aku cukup kaget karena adikku Cinta, duduk tepat disamping calon suamiku. Nggak salah nih? Akhirnya aku mendekati Ibu dan Ayah.
"Duduk dulu Aya." Ucap Ayah lirih.
Aku menurut, masih dengan wajah bingung. Kutatap mereka satu persatu. Semua tampak takut dan menunduk.
"Ada apa nih?" tanyaku kemudian.
Ayah meremas tangannya, kemudian menarik nafas dalam. Seakan ada sesuatu yang berat dalam pikirannya.
"Ada apa, Yah?" tanyaku.
"Aya, ini bukan berita baik buat kamu. Bahkan untuk hampir kita semua."
Hampir? Berarti tidak semua? Tapi aku masih memilih menunggu kalimat lanjutan dari Ayah. Terasa lama sekali.
"Cinta sedang hamil, dan ayah bayinya adalah Denny."
Kutatap Ayah tak percaya, kutatap Mas Denny dan adikku Cinta. Seketika nafasku sesak, ruangan serasa berputar, dan aku tak sadarkan diri.
***
Saat sadar aku sudah berada di kamar kedua orantuaku. Tubuhku terasa lemah, ibu menangis menatapku. Sementara ayah hanya tertunduk. Entah kemana si petunor itu.
Nafasku terasa sesak mengingat kejadian tadi. Namun aku bukan makhluk lemah. Aku kuat, seorang Gayatri pasti sangat kuat!
"Mana mereka?" tanyaku.
"Denny membawa Cinta bersama mereka. takut kalau dia kenapa-kenapa." jawab ibu.
Aku tertawa sinis.
"Dia takut kalau Aya akan menjambak atau melukainya?"
"Aya.." Ayah menyentuh bahuku, yang segera kutepis.
"Apa ayah tahu hubungan mereka?" tanyaku.
Ayah menggeleng.
"Ibu?"
Ibu diam, artinya ibu tahu!
Aku mendecih,
"Ibu tahu, dan nggak ngomong apa-apa sama aku?"
"Aya..."
"Dari dulu ibu selalu membela Cinta. Kenapa? karena Cinta anak ibu dan aku bukan? Karena aku hanya anak kakak kandung ibu yang sudah meninggal dan kebetulan dititip pada ibu?" teriakku.
Ibu menggeleng berkali-kali. Berusaha untuk mengatakan tidak. Rasanya emosiku semakin memuncak.
"Ya, aku tahu, kalau aku bukan anak kandung ibu. Dan tidak berhak untuk bahagia. Dan yang berhak untuk bahagia adalah Cinta. Anak tunggal Ayah dan Ibu." Teriakku hampir kehilangan kontrol.
"Aya... bukan begitu.." sela Ayah.
"Kalau dia memang merasa adikku. Dia pasti berpikir ulang untuk memilih laki-laki. Bukan tunanganku, Yah! Dan kalau ibu menganggap aku anaknya, maka ibu akan memperingatkan sejak dulu, supaya jangan jadi perebut tunangan orang." teriakku.
"Bukan begitu Aya..."
"Lalu apa, Bu? Ibu mau ngomong sama aku kalau ibu sudah puas melampiaskan dendam ibu? Karena dulu ibuku merebut ayah dari tangan ibu? Atau ibu sekarang sebenarnya sedang bahagia, karena seluruh penghalang kebahagiaan ibu sudah hilang? Ibuku meninggal saat melahirkan aku dan Cinta..."
Plak!
Tamparan Ayah mampir dipipiku. Seketika aku berhenti berbicara. Kutatap ayah yang menatapku dengan penuh tangis.
"Kamu boleh marah, tapi jangan menghina ibumu!"
Aku menggelengkan kepala, Ayah tak pernah memarahiku, apalagi memukul. Tapi sekarang? Kukumpulkan segenap tenaga. Kemudian bangkit dan meninggalkan kamar mereka.
***
Aku bukanlah seorang perempuan yang tegar dan kuat. Aku sangat rapuh dan lemah. Namun semua itu bisa kututupi. Ini bukan pertama kali.
Dulu, ada seseorang bernama Surya melakukan hal sama. Pria yang menemaniku selama hampir empat tahun. Namun kemudian meninggalkanku dengan seorang perempuan yang selalu melayaninya di sebuah klub malam. Hubungan kami belum memasuki tahap serius seperti ini. Jadi aku tidak terlalu terpukul
Cukup lama aku sendiri, sampai akhirnya bertemu Denny. Bahkan pada tahap awal hubungan kami aku tetap tak percaya, kalau perjalanan kami akan mulus.
Aku selalu diikuti oleh bayangan kegagalan dan pengkhianatan. Pelan namun pasti, akhirnya aku berhasil keluar dari ketakutanku. Sampai aku bersedia menerima keinginan Denny untuk bertunangan dua tahun yang lalu.
Saat itu aku sangat yakin kalau pria itu benar-benar dikirim Tuhan untukku. Tapi apa yang terjadi? Kegagalan kembali datang. lalu kenapa aku selalu jatuh kedalam pelukan pria yang salah?
Kuhapus airmata yang tidak pernah habis. Apa salahku? Apakah ini adalah karma yang harus kuterima, akibat kesalahan ibuku? Aku benar-benar putus asa. Saat ini usiaku sudah mencapai 34 tahun.
Sebagai perempuan aku punya keterbatasan reproduksi. Tapi apa yang harus kulakukan? Tidak punya kekasih diusia rawan seperti ini benar-benar menjatuhkan mentalku.
Bagaimana harus bangkit dan berjalan dengan kepala tegak? Gagal menikah, pengangguran, usia memasuki masa perawan tua. Ya Tuhan! Apa tidak ada siksaan yang lebih dari ini?
Sampai kemudian tak sadar, ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Tubuhku terasa sangat lemah. Aku belum makan dari tadi pagi. Perutku terasa perih. Aku harus bangkit dan menjaga diriku sendiri agar tetap hidup.
Tapi saat ini aku tidak ingin bertemu siapapun. Apalagi dengan ayah dan ibu tiriku. Mencoba menjernihkan pikiran, akhirnya aku mengumpulkan keberanian.
Aku tahu ini menyakitkan, tapi aku harus tetap bertahan meski tidak tahu untuk apa. Segera aku pergi ke kamar mandi, dan membersihkan tubuh. lalu berganti pakaian yang lebih longgar. Perlahan kuraih kunci mobil, dan turun kebawah.
Aku bertemu beberapa pembantu di lantai satu, yang sibuk memindahkan kursi dan beberapa guci koleksi ibu tiriku. Semua pelayan menundukkan kepala, seakan takut padaku.
"Kemana semua mbak Sih?" tanyaku pada salah seorang dari mereka.
"Bapak sedang ke kantor kelurahan urus surat-surat. Ibu dan Mbak Cinta sedang ke tukang jahit, mbak."
Aku hanya mengangguk, jawaban itu terasa sangat menyesakkan. Aku segera keluar rumah dan mengemudikan mobilku tak tentu arah. Akhirnya berhenti di sebuah warung bakso, tempat yang sudah sangat lama tak kukunjungi. Namun saat ini aku butuh makan.
Setelah memaksakan diri menghabiskan setengah mangkok bakso, aku kembali memasuki mobil. Sambil menyetir menghubungi sahabatku, Andien. Aku butuh seseorang untuk berbagi. Tidak siap untuk menanggung semua sendirian.
"What?!" teriakkan Andien memekakkan telinga setelah aku menceritakan semua.
"Lo nggak usah teriak. Gue lagi stress."
"Si Denny? Sama Si Cinta? Selingkuh dibelakang elu? Sudah berapa lama?"
"Nggak tahu, yang pasti dia sudah hamil sekarang. Dan gue harus mundur."
"Gue kira elo nggak bisa dihubungi tadi malam karena udah pingitan. Tapi ternyata malah batal kewong. Terus gimana si Cinta?"
"Ya gimana lagi? Happylah sudah berhasil merebut Denny si Manager Bank kelas Internasional. Langsung naik kelas dia punya suami seperti Denny." Jawabku kesal. Kembali aku merasa malu, sakit dan kecewa disaat bersamaan.
"Brengsek tuh orang ya, kalau ketemu bakal gue bejek-bejek dia." Teriak Andien lagi.
"Elo mau mengalah?" lanjutnya.
"Trus, lo kira gue ngapain? Ngemis sama dia, gitu? Buat apa kalau hati dia bukan buat gue. Cuma buat menangin ego gue aja? Nggaklah! Lagian bisa aja nanti dia sama Cinta jatuhin gue kayak sinetron favoritnya mbak Surti. Mau taruh dimana muka gue?"
"Terus, rencana elo apa?"
"Gue harus bersikap professional. Meski nanti bakal malu dan jadi bahan omongan orang seumur hidup. Minimal gue nggak boleh miskin."
"Maksud lo?"
"Gue akan minta uang yang sudah dikeluarin untu biaya pesta dan apartemen,"
"Gue rasa itu langkah bagus. Lo kan perlu biaya hidup. Secara elo sekarang pengangguran."
"Bisa nggak sih, elo nggak ngingetin gue tentang yang terakhir?"
"Ya, elo realistis dong, Non. Okelah dulu gaji lo puluhan juta. Tapi sekarang? Mau buka usaha juga kan perlu uang?"
"Jadi menurut lo, apa aman kalau gue nagih uang ke Denny?"
"Ya amanlah, itu kan hasil.kerja keras elo. Masak dia sama Cinta yang ngenikmatin sementara elo hidup sengsara. Kalau enggak lo sita tuh apartemen sekarang. Atau perlu gue buatin surat perjanjianya?"
"Boleh, gue tunggu besok pagi. Jangan lupa email ke gue draftnya."
Setelah pembicaraan kami selesai, aku kembali menyetir. Mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara besok.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
6720
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top