Usai 9
Sesungguhnya bersama kesulitan akan ada kemudahan, demikian firman Allah yang kuyakini. Tak pernah meragukan apa pun yang Dia janjikan. Kini kurasakan kebahagiaan itu, meski ada sekat yang berdiri kokoh.
Kurebahkan tubuh ke pembaringan selepas salat Isya'. Seharian tubuh merasa tak bersahabat dengan makanan apa pun. Beruntung perut masih menerima biskuit dan teh hangat.
Gadget bergetar saat kucoba memejamkan mata. Salma, sahabatku menelepon. Bisa diduga dia turut berbahagia mendengar kabar kehamilan ini. Segera ia merekomendasikan susu hamil yang paling baik menurut dia. Tak lupa ia mewanti-wanti agar aku tak lupa mengonsumsi buah dan sayur.
"Kamu tahu, Hana. Aku bahkan mungkin orang yang paling bahagia dibandingkan dirimu sendiri saat ini!" ungkapnya di seberang sana.
"Lalu gimana, Bagas? Apa dia sudah tahu?" tanyanya kemudian.
"Aku ingin memberinya kejutan, Salma."
Kami bertukar cerita banyak di telepon, maklum sudah cukup lama tidak bertemu. Hingga akhirnya Salma menurup pembicaraan dengan mengatakan bahwa suaminya akan tiba beberapa hari ke depan.
Ridho, suami Salma adalah pebisnis yang memiliki relasi luas, itu sebabnya ia sering bekerja di luar kota. Namun, meski demikian keluarga mereka baik-baik saja. Hampir tak pernah ada masalah berarti, hanya saja sesekali mereka beradu mulut soal pendidikan anak-anak mereka.
Kuletakkan kembali ponsel ke nakas, untuk kemudian memejamkan mata setelah sebelumnya menyapa janin di rahimku.
***
Pagi saat hendak sarapan, langkahku terhenti mendengar Ayah tengah bercakap-cakap dengan seseorang di telepon. Dari yang kudengar, beliau sedang menerima telepon Mas Bagas. Jelas dari intonasinya terdengar Ayah masih gusar.
"Kamu urus saja hidup istri mudamu itu dulu! Biarkan Hana ayah yang urus, dia masih memiliki orang tua yang bisa menghargainya sebagai perempuan!" Tak lama setelah mengucapkan itu Ayah memutus sambungan telepon.
Pelan aku mundur kembali ke kamar, perkara ini terasa semakin pelik. Entah aku yang terlalu berharap atau memang sudah seharusnya kulepas saja Mas Bagas untuk Kalila. Meski aku tahu, tidak semudah itu bisa dilakukan. Dengan kondisi seperti ini, tentu priaku itu tidak akan membiarkan begitu saja.
Terkadang lelah hati kurasa saat harus bertahan pada keadaan ini. Cinta kami memang kokoh, tapi bagaimana mungkin cinta yang kokoh itu bisa menghadirkan Kalila di tengah-tengah kami? Kembali keraguan itu muncul, meski aku sadar bahwa hal ini terjadi karena andil dariku.
Tuhan, mengapa baru sekarang aku rasakan sesal? Ikhlas yang dulu kurasa perlahan terkikis oleh ego yang diam-diam meraja. Jika Mas Bagas begitu mudahnya menduakan aku, mengapa aku masih bertahan dengan menjunjung rasa cinta ini?
Kurasa sesak memenuhi rongga dada, nafsu makan hilang seketika. Rasa yang tersimpan rapi untuk suamiku perlahan terasa mulai terkikis. Terlebih saat mendengar suara Ayah tadi.
Getaran pada ponsel mengejutkanku. Nama yang sebenarnya begitu kurindukan tertulis jelas di sana.
"Halo, Mas. Apa kabar?" sapaku seriang mungkin, tak ingin Mas Bagas tahu aku sedang sedih. Terdengar berat suara Mas Bagas, ia tampak hampir putus asa dengan sikap Ayah. Sementara aku tak bisa berbuat banyak selain memberinya harapan agar perlahan Ayah bisa melunak.
Tentang kehamilan ini, mungkin benar Ayah. Tak perlu kuberitahkan padanya, hingga persoalan dengan Kalila selesai. Aku pun harus meletakkan diriku pada posisi wanita itu. Bagaimana perasaan hatinya tak terluka jika tahu aku tengah mengandung benih Mas Bagas sementara dia baru beberapa bulan yang lalu justru kehilangan bayinya. Lagipula aku ingin mengabarkan hal ini tepat pada ulang tahun Mas Bagas pekan depan. Aku rasa itu saat yang tepat.
Tak banyak yang kami bicarakan, hanya tentang keresahan akan nasib rumah tangga kami.
Suara Ibu di terdengar mengajak sarapan membuatku bergegas menghampiri dan bergabung di meja makan meski dengan perasaan yang campur aduk.
***
Gamis soft denim dengan jilbab biru langit dan sepatu flat berwarna putih, siap membawaku ke dokter Aisyah. Menurut Randy dia akan tiba setengah jam lagi. Pria itu juga mengabarkan bahwa Ata tengah terbaring di rumah sakit. Bocah kecil itu terserang gejala typus yang menyebabkan dia harus dirawat inap.
Membunuh bosan kumainkan gadget sambil sesekali melihat petunjuk waktu.
Sapa Randy mengejutkan, pria itu telah berada di sampingku.
"Buat calon mommy." Setangkai mawar putih ia berikan padaku. Seraya mengucap terima kasih aku berkata, "Kamu bilang lima belas menit lagi, ini kan ...."
"Sudah lima belas menit, coba lihat baik-baik jam tanganmu."
Aku hanya mengulum senyum menyadari kesalahan.
"Kita berangkat sekarang?"
Kuanggukkan kepala tanda setuju. Ayah dan Ibu tidak di rumah hari ini, mereka berdua tengah menghadiri acara pernikahan putri teman Ayah.
"Jangan lupa sabuk pengaman, Nyonya." Randy mengingatkan dengan wajah jenaka.
Mobil mulai bergerak. Dari keterangan pria itu, ia sudah menjadwalkan aku untuk bertemu dengan dokter Aisyah.
"Pasien beliau sangat banyak, demikian juga dengan pekerjaan beliau. Jadi aku rasa satu-satunya jalan adalah meminta waktu dokter Aisyah secara khusus untuk konsultasi," paparnya.
"Randy ... aku jadi serba salah."
" Kenapa?"
"Kamu jadi semakin sibuk dengan mengantarku seperti ini," jawabku.
Randy menggeleng, ia mengatakan bahwa justru dia yang serba salah karena Ata selalu merepotkan.
"Sedikit-sedikit telepon kamu, padahal udah aku larang itu. Maaf ya, Hana."
Ata memang sering menelepon meski hanya sekedar bertanya tentang kabar dan bercerita keseharian dia di sekolah. Entah, aku merasa bocah kecil itu ingin ada seseorang yang bisa mendengarkan dan menanggapi semua ceritanya. Dibesarkan bukan oleh kedua orang tua membuat dirinya terlihat sangat merindukan kehangatan ayah dan ibu, meski Ata tidak kekurangan perhatian dari Randy dan kakeknya.
Cerai, lima huruf yang terdengar simple dan selalu menjadi keputusan pasangan saat masing-masing merasa tidak sejalan. Meski terdengar mudah, tapi sesungguhnya hal itu memiliki dampak yang sangat tidak baik bagi perkembangan anak. Walaupun kedua orang tuanya masih seolah terlihat baik-baik saja di depan anak-anak mereka. Namun, sesungguhnya hati anak-anak itu terluka, sama seperti Ata.
Lalu aku? Akankah rumah tangga yang telah susah payah kubangun akan berakhir dengan lima huruf itu? Atau memilih bertahan dengan segala konsekwensinya?
Jika cerai yang kupilih, itu artinya aku akan membuat anakku sama seperti Ata? Terlihat bahagia, tapi sesungguhnya terluka.
"Hana? Kita sudah sampai. Kamu kenapa? Melamun lagi?" Randy mematikan mesin mobil.
Kuhela napas kemudian menggeleng cepat.
"Jangan bohong, Hana. Ceritakan padaku jika itu bisa membuat hatimu lega," tuturnya menatapku, "Maaf, mungkin aku bukan siapa-siapa, tapi sejak Ata masuk dalam kehidupanmu, aku merasa kamu sudah jadi bagian dari hidup kami."
Kusandarkan kepala ke sandaran kursi. Beberapa minggu belakangan ini aku merasakan lebih emosional. Kadang ada perasaan kesal, sedih bahkan putus asa. Padahal seharusnya aku bahagia.
"Aku hanya sedang badmood, Randy. Aku merasa capek!"
"Kamu sedang mengalami gangguan hormonal saja. Itu biasa terjadi pada ibu hamil. Percayalah, semua akan baik-baik saja," tuturnya meyakinkan.
"Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron dapat menimbulkan berbagai perasaan tidak nyaman pada ibu hamil, seperti mood swing, mual, dan sensitif terhadap bau," paparnya, "Kita turun sekarang?"
"Randy, tunggu."
"Ada apa?"
"Kenapa bukan kamu saja yang jadi konsultan kehamilanku? Kenapa harus dokter Aisyah?"
Pria murah senyum itu menatapku.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Tentu saja nggak apa apa-apa, emang kenapa?"
"Mungkin kamu nggak apa-apa, tapi aku yang takut ...." lirihnya.
"Takut?"
"Iya, ayo kita turun, setelah itu ke rumah sakit," ajaknya melepas sabuk pengaman.
"Takut kenapa, Randy?" Tak kupedulikan ajakannya.
"Takut karena kamu bundanya Ata."
Kukerutkan kening mencoba mencerna jawaban yang kudengar barusan. "Bundanya Ata?" tanyaku mengulang.
"Iya. Eum ... Ata sayang sekali padamu dan ... aku nggak mau ambil risiko dengan ditanya-tanya terus sepanjang hari soal kondisimu," jawabnya dengan paras jenaka.
Kutarik kedua sudut bibir menanggapi jawabannya. Ata memang secerdas itu, dia selalu ingin tahu apa yang terjadi di sekitar.
"Maaf, abaikan saja ucapanku tadi. Aku cuma mau yang terbaik untuk kamu. Nggak apa-apa, kan?" Dia menoleh menatapku.
"Nggak apa-apa, Randy. Makasih ya."
"Makasih juga sudah mau menanggapi rewelnya Ata," tuturnya seraya tersenyum. "Ayo! Kamu masuk sendiri ya." Randy berhenti saat memasuki teras dokter Aisyah.
Aku mengangguk lalu kembali mengucapkan terima kasih sebelum memutar kenop pintu praktik dokter kandungan senior itu.
Seusai konsultasi, Randy mengajakku ke rumah sakit tempat Ata dirawat. Seorang pria paruh baya yang memiliki garis wajah seperti Randy ikut menyambut kedatangan kami selain Ata.
Pak Muslih, demikian dia mengenalkan namanya. Pria itu jika kutaksir seusia dengan Ayah. Kami berbincang cukup akrab, selain pembawaan ramah, Ayah Randy pun mudah diajak bertukar cerita. Ata terlihat bahagia. Dengan manja ia mengungkap agar aku tak meninggalkannya. Cukup lama kami di sana, hingga akhirnya Randy memutus keakraban aku, Ata dan Pak Muslih.
"Bunda Hana harus banyak istirahat, Ata. Nanti Bunda pasti akan kembali nengok Ata lagi, ya kan, Bunda?" Randy menatapku hangat.
"Iya, Ata. Bunda janji akan datang lagi," tuturku membujuk bocah kecil itu. "Ata, besok kita ketemu lagi, kan?"
Meski tampak keberatan, akhirnya aku bisa meninggalkan Ata dengan lega.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top