Usai 8

"Sudahlah ... ayo sekarang dilanjutkan makannya. Ayo, Nak Randy, silakan!" Ibu mengakhiri obrolan kami.

Entah kenapa nafsu makan yang tadi memenuhi pikiran mendadak berubah. Baru saja aku mencium aroma bawang merah yang ada di bumbu kacang sate ayam, perut seolah diaduk-aduk. Sebenarnya sejak tadi aku merasa badan ini tidak dalam keadaan sehat. Namun, demi menyambut kedatangan Ata aku berusaha abaikan perasaan itu.

Keringat dingin membasahi tubuhku, kucoba melawan dengan meneguk air mineral, tapi tidak berhasil. Perutku semakin mual seolah meminta dikeluarkan isinya. Tak ingin membuat semua repot, aku bangkit berlari menuju kamar mandi mengeluarkan isi perut di sana. 

"Hana! Hana! Kamu kenapa, Nak?" Ketukan pintu dan panggilan Ibu tak kuhiraukan, aku benar-benar seperti tengah mabuk darat.

***
Acara makan siang yang sejatinya berlangsung menyenangkan tak lagi bisa kunikmati. Rasa mual ini begitu menyiksa. Ibu dan Ayah terlihat cemas, demikian juga dengan Randy. Ia menawarkan diri untuk memeriksa setelah meminta izin orang tuaku.

"Ayo Hana, kebetulan aku membawa alat perang," candanya agar aku tidak terlalu frustrasi dengan keadaan ini. Ditemani Ibu aku diperiksa intens olehnya. Pria bermata teduh itu tersenyum dan mengatakan aku baik-baik saja.

"Kamu hanya kecapekan, Hana. Coba, kapan terakhir kamu menstruasi?" tanyanya sopan. Aku mengerutkan kening mencoba mencari jawaban dari pertanyaan itu. Lagi-lagi Randy mengembangkan bibirnya.

"Ada apotek di dekat sini, Bu?" Ia melihat ke arah Ibuku. 

"Memangnya aku kenapa, Randy?" sela-ku ingin tahu.

Ia beranjak dari duduk mengikuti arahan Ibu yang menunjukkan lokasi apotek berada. Pria itu mengangguk kemudian mengatakan akan kembali secepatnya.

"Ibu?"

"Hana, ibu rasa sepertinya kamu hamil, Nak!" tutur Ibu masih dibalut keraguan. Mendengar itu seolah jantungku tak lagi berada di tempatnya. Ada debar tak menentu di sana. Satu sisi tidak ingin banyak berharap, sisi lain tentu ini adalah kado terindah pernikahanku dengan Mas Bagas.

"Apa benar begitu, Bu? Hana takut ... Hana takut ini tidak seperti yang diduga," ucapku lirih. 

Iya, aku takut! Setelah sekian lama berharap dan berusaha hingga akhirnya kuendapkan dalam-dalam agar tak ada kecewa, tapi kini ada sedikit pelita seolah memberi sebuah asa.

"Entahlah, Hana. Kita serahkan apa pun nanti hasilnya. Sekarang kita tunggu Randy datang." Ibu mengusap lembut bahuku.

Selang dua puluh menit kemudian, Randy kembali di tengah-tengah kami. Dengan penuh senyum ia mengatakan agar aku mencoba alat test kehamilan yang baru dibelinya. 

Bergetar  menerima benda itu. Benda yang telah ribuan kali kucoba, hingga aku tak ingin lagi melihatnya. Ada gumpal kecewa menjalar di hati tatkala aku tak mampu membuat garis merah itu terang.

"Aku takut, Randy? Tak bisakah kamu mengetahuinya tanpa aku harus memakai testpack ini?" ungkapku setengah memohon. Wajah lelaki berkulit putih itu terlihat menahan tawa. Ia mengatakan aku seperti anak kecil yang takut disuntik.

"Kamu lucu, Hana. Cobalah!" 

Kutatap Ibu di samping, perempuan yang kucintai itu mengangguk memberi isyarat agar aku mengikuti permintaan Randy.

"Ibu tahu kamu sudah benar-benar berserah dan pasrah, Nak. Apa pun hasilnya tentu kamu sudah siap. Ibu yakin itu." 

Kuanggukkan kepala dan segera bangkit menuju kamar mandi.

***

Ketukan pintu pelan dan suara Ibu membuatku tersadar, Tuhan ... inikah maksud dari semua peristiwa pelik yang Kau beri? Inikah jawaban dari semua doaku? Setelah mengusap pipi yang basah oleh air mata aku keluar. Di depan pintu telah menunggu wanita yang telah melahirkanku dengan wajah cemas.

"Hana?"

Kuserahkan alat tes kehamilan pada Ibu, jelas terlihat bahagia terukir di wajahnya. Mata itu mendadak mengembun dengan alis saling menaut. Aku menghambur ke pelukannya mencoba berbagi haru bersama Ibu.

 Ucap syukur terus terdengar dari lisannya, seraya mengusap kepala Ibu berkata, "Alhamdulillah, Hana. Ini semua berkat doa yang tidak putus dari semua orang yang menyayangimu, Nak."

"Kita beri kabar bahagia ini ke Ayahmu, dia pasti senang," ajak Ibu antusias.

Ayah terlihat tengah bercakap-cakap dengan Randy sementara Ata sibuk dengan robot-robotan yang ia bawa dari rumah.

Kedatangan aku dan Ibu di tengah-tengah mereka seolah telah ditunggu. Sorot mata Ayah tampak sangat tidak sabar mendengarkan penuturan salah satu dari kami.

"Ayah, kita bakal punya cucu!" Suara Ibu tertahan oleh isak, perlahan mendekati Ayah lalu menyerahkan hasil testpack itu. Kembali kulihat binar di wajah lelaki paruh baya itu. Ia pun tak sanggup menahan rasa haru, terlihat Ayah mengusap matanya kemudian meraih bahu Ibuku.

"Alhamdulillah, Hana ... jaga kandunganmu dengan baik, Nak!"

Kuanggukkan kepala membalas ucapannya.

"Selamat, Hana! Kamu akan segera jadi Ibu," ucap Randy tersenyum.

"Terima kasih, kamu sudah banyak membantuku, Randy."

Ia mengangkat bahu kemudian menggeleng dan berkata, "Itu sudah tugasku, Hana."

"Oh iya, aku punya kenalan dokter kandungan perempuan yang sudah sangat senior. Beliau sangat baik dan kooperatif. Kamu bisa berkonsultasi banyak tentang kehamilan dengan beliau ... kalau kamu mau, aku bisa tunjukkan rumahnya," tutur Randy panjang lebar.

Ucapan Randy langsung disambut oleh Ayah, beliau setuju agar aku ditangani oleh dokter kandungan yang direkomendasikan pria itu. 

"Kamu tinggal bilang kapan mau ke sana, nanti aku jemput." Ia berkata masih dengan wajah bahagia. 

"Tapi ... bukannya Nak Randy dokter kandungan juga?" tanya Ibu disambut anggukan Ayah. Mereka berdua menatap ke arah pria berambut tebal itu. Mendengar pertanyaan Ibu, dia mengangguk, seraya mengatakan bahwa mungkin aku merasa tak enak hati jika dia yang menangani kehamilan ini.

Melihat ekspresi dan perhatian Randy mengingatkanku pada sosok Mas Bagas. Sungguh ini pasti akan menjadi berita membahagiakan baginya. Tak sabar rasa hati ini ingin berbagi kebahagiaan yang memang seharusnya dia rasa.

 Seharusnya bukan Randy yang tahu lebih dulu, seharusnya Mas Bagas-lah yang berhak mendengar hal ini, tapi mungkin Tuhan memang telah mengatur sedemikian rupa jalan hidupku.

"Hana, ini aku kasi obat untuk mual dan beberapa vitamin. Diminum ya, jangan sampai nggak makan. Itu nanti akan berimbas pada janin dalam kandunganmu." Randy menyerahkan beberapa obat-obatan padaku.

"Terima kasih, Randy."

"No problem ... jangan sungkan untuk menghubungi aku," balasnya tersenyum. Setelah kembali berbasa-basi, Randy dan Ata mohon diri untuk pulang.

"Take care, Hana. Nanti aku telepon," pesannya saat hendak masuk mobil. Aku hanya mengangguk mengucapkan terima kasih.

"Randy itu pria baik ya," tutur Ibu saat kami masuk ke rumah. Aku mengangguk menanggapi. Tak dipungkiri, pria itu baik, bahkan sangat baik. Meski jarang berinteraksi, tapi dia tak enggan memberi perhatian sedemikian rupa. 

"Hana, sebaiknya kamu ikuti saja saran Randy. Ayah hanya ingin cucu ayah dalam penjagaan yang baik dan ditangani dokter yang baik pula!" titah Ayah seraya meletakkan ponselnya. Entah kenapa aku merasa Ayah baru saja menerima telepon dari seseorang.

"Iya, Yah. Hana mau telepon Mas Bagas untuk mengabarkan kehamilan ini," ungkapku. 

"Tidak perlu!" 

"Tapi kenapa, Yah? Ini anak kami," tukasku.

"Apa kamu berpikir dia akan bahagia mendengar ceritamu?" sindir Ayah tegas.

"Tentu saja dia bahagia, Yah. Ini yang kami nantikan sejak lama."

"Hana, biarkan suamimu itu menyelesaikan masalahnya dengan istri barunya itu. Nanti setelah selesai baru kamu bisa memberitahu hal ini padanya!"

"Tapi, Yah. Hana ...."

Ibu menggamit lenganku, memberi isyarat agar diam.

Ayah tak lagi berkata, beliau berlalu pergi meninggalkan aku dan Ibu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top