Usai 7

Tenggorokan tercekat tak sanggup menjawab cecar pertanyaan dari Ayah. Kekecewaan kembali tergambar di wajah tuanya. Bukan keadaan seperti ini yang kumau, sungguh semua di luar kendali. Tak menyangka mereka harus mengetahui dengan cara seperti ini. Kudengar Kalila terus menyanggah tuduhan Ayah. Sementara Ibu menarik napas panjang berulang-ulang.

Ada luka tercabik dan terasa nyeri di hati. Aku telah mengecewakan orang tua sama seperti adikku. Terbayang betapa keduanya sangat bangga dengan perjalanan rumah tanggaku. Di depan para kerabat, selalu aku dan Mas Bagas yang dijadikan contoh keluarga bahagia.

Kini mereka harus menelan kenyataan, bahwa bahagia yang kutunjukkan bukan nyata. Kepura-puraan yang kupendam kini justru menjadi bumerang menyakitkan bagi keduanya.

Lututku melemas saat mendengar Ayah memutuskan sepihak untuk mengajak pulang. Dada terasa dipenuhi beban sehingga sulit bernapas. Aku masih mematung hingga akhirnya ibu menggamit lengan mengajak ke kamar untuk berkemas.

Kuhempas tubuh ke ranjang, menumpahkan air mata yang kian menganak sungai.

"Hana, kamu kenapa menyembunyikan hal ini dari kami? Kami masih ada, Nak. Kenapa kamu simpan ini sendiri?" Ibu mengusap kepalaku lembut, "Katakan, ada apa?"

Tidak, sampai kapan pun tak boleh ada yang tahu mengapa aku mengambil keputusan itu. Walau bagaimanapun Mas Bagas adalah suami yang harus dilindungi aibnya. Aib? Ah, bukan aib menurutku. Dia tidak melakukan hal yang memalukan. Aku hanya tak ingin suamiku menjadi buruk di mata mereka.

"Bu, tidak bisakah Hana tetap di sini saja?" mohonku seraya bangkit dan mengusap air mata. Ada yang menggenang kulihat di mata teduh wanita yang aku cintai itu. Seraya menggeleng ibuku berkata, "Tidak, Hana. Kamu tahu seperti apa ayahmu, 'kan?"

"Tapi, Bu. Hana tidak mungkin meninggalkan Mas ...."

"Bagas yang sudah meninggalkanmu?" Ibu menarik napas dalam-dalam, "Hana, jika kamu tak ingin ibu lebih terluka ... segera berkemas! Ibu juga akan siap-siap pergi."

Ibu beranjak meninggalkan aku sendiri. Lemas seluruh persendian terasa tak berfungsi. Titah Ayah adalah harga mati, tak ingin beliau kembali murka. Kukemas pakaian dan perlengkapan lainnya ke dalam satu koper. Menukar baju rumahan dengan gamis maroon serasi dengan jilbab setelah itu aku keluar. Di ruang tamu Ibu telah menunggu.

"Hana aku mohon, kita harus bicara." Mas Bagas meraih tanganku mengajak kembali ke kamar.

Sejenak hening tercipta di antara kami. Aku duduk di tepi ranjang bersisian dengannya. Berkali-kali dia menarik napas panjang.

"Sayang, tak bisakah kamu tinggal? Aku ...."

"Mas, kita selesaikan ini pelan-pelan ya. Aku akan beri penjelasan ke ayah, sedangkan Mas bisa bicara dengan Kalila ... aku sendiri juga tak menyangka semua akan terjadi seperti ini." Kuhela napas yang sejak tadi seolah berhenti. Entah kenapa aku merasa Kalila dipenuhi rasa cemburu.

"Maafkan aku jika aku salah, Mas. Aku hanya berusaha semua bisa berjalan bahagia, tapi ...."

"Kamu tidak salah, Hana. Tidak ada yang perlu disalahkan. Semua sudah terjadi, kita hanya harus memperbaiki semua agar kembali seperti semula," potongnya sembari mengusap puncak kepalaku.

"Aku hanya takut ...."

"Takut apa, Mas?"

"Apa ayahmu, mau menerimaku kembali?" Suara Mas Bagas bergetar, "Apa beliau masih mengizinkan putrinya bersamaku?"

Aku tak bereaksi, kubiarkan dia merengkuh dan membawaku ke dalam pelukan. Mas Bagas pasti sudah tahu seperti apa Ayah. Lelaki paling tak bisa diajak kompromi jika dia merasa menemukan hal yang menurutnya salah.

"Mas, kita masih suami-istri. Ayah tahu itu, dan beliau juga tahu seperti apa aku mencintaimu." Kueratkan pelukan mencoba menghirup aroma yang sepertinya akan lama tak kutemui.

"Jangan tinggalkan aku, Hana," pintanya membalas dekapan eratku.

Suara Ayah terdengar memanggil. Kuurai dekap di antara kami. Terasa berat kali ini aku melepas Mas Bagas. Terasa ada jurang yang dalam siap memisahkan kami.

"Aku akan segera menjemputmu, Hana. Percayalah! Aku akan menjemputmu apa pun yang terjadi," tuturnya meyakinkan. Satu kecupan lama dia sematkan di kening tanda kami harus mengakhiri pertemuan ini.

"Aku pergi, jaga diri baik-baik, Mas."

"Cepat! Kita sudah ditunggu!" Ayah menatapku tajam tak memedulikan tangan Mas Bagas yang hendak menyalaminya. Kudekati Kalila yang sejak tadi duduk di sofa untuk mengucap selamat tinggal dan menitipkan Mas Bagas padanya. Berharap dia dapat menjaga pria itu dengan baik seperti aku menjaganya. Setelah itu aku kembali ke Mas Bagas untuk berpamitan.

Kuseret koper menuju taksi daring yang sudah siap. "Hana? Kamu mau pergi?" sapa seseorang yang baru turun dari mobil.

"Bunda Hana mau ke mana?" si kecil Ata bertanya heran, "Hari ini Ata kan jadwalnya belajar, Bunda." Kutoleh Ayah memohon agar beliau memberi waktu untuk bisa menjelaskan pada Ata dan Randy.

Kuhampiri keduanya, lalu membungkukkan badan mendekat pada Ata. Dengan bahasa yang dapat dia cerna, kukatakan bahwa aku akan pergi untuk waktu yang entah kapan.

"Ata belajar terus ya. Belajar sama Om Randy bisa, 'kan?"

Bocah kecil itu menggeleng, matanya terlihat berkabut. Kutahu dia sedih, sama sedihnya denganku saat ini. Aku bangkit dari posisi sebelumnya.

"Om Randy kalau sibuk gimana, Bunda?" Anak itu menengadah menatapku.

"Kan ada Eyang Kakung?"

"Tapi, Bunda ...."

"Ata, Bunda Hana nggak lama kok. Ya kan, Bunda?" Randy menatapku memberi isyarat agar aku mengiyakan.

"Bunda usahakan. Bunda akan segera kembali." Kuusap puncak kepala Ata. Ada anggukan halus dan senyum samar di bibirnya.

"Kamu mau ke mana?" Wajah pria berkemeja cokelat itu penuh tanya.

"Aku ...."

"Hana, Ayah sudah menunggu." Mas Bagas meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Aku pergi dulu, Randy. Ata, sampai ketemu lagi ya." Kulambaikan tangan lalu pergi meninggalkan mereka.

"Baik-baik di sana. Aku akan menjemputmu," bisik Mas Bagas sesaat sebelum aku masuk ke mobil.

🌼🌼🌼

Awalnya kita adalah catatan dari lembaran berwarna merah muda yang ditulis dengan tinta berwarna emas yang menciptakan keindahan. Namun, mustahil kita bisa merasakan indah jika tak pernah kita merasakan susah.

Jika hari ini kita tersandung pada kata rumit, mungkin sudah saatnya kita untuk menikmati semua yang telah membelit. Merasakan pahit dan sakit.

Aku hanya ingin lembaran itu kembali berwarna meski tak lagi merah muda, setidaknya biarkan ia menjadi indah dengan catatan berwarna hitam yang kelak menjadi sejarah bahwa tak selamanya yang indah itu berwarna. Ada kalanya hitam dan putih pun bisa menjadi lebih indah.

Satu minggu terasa lama, tak ada yang bisa kuperbuat selain menghadapi kekecewaan ayah. Meski Ibu berulang kali menahan agar Ayah tak lagi mengungkit hal itu, tapi tetap saja cinta pertamaku itu tak terima dengan perlakuan Mas Bagas.

"Laki-laki seperti apa yang membuka hati dengan perempuan lain lalu mengkhianati istrinya? Laki-laki seperti itu tidak pantas kamu tangisi, Hana!"

Aku terpekur melipat wajah menyembunyikan mata yang mengembun.

"Ayah, tapi itu bukan kemauan Mas Bagas. Itu Hana, Hana yang mempersilakan Mas Bagas untuk menikahi Kalila," sanggahku kembali tak bisa menahan isak.

Lelaki paruh baya berbaju batik itu menarik napas dalam-dalam.

"Hana, tetap saja suamimu itu yang salah! Kalau dia benar-benar bertanggung jawab dengan janjinya, dia tidak akan melakukan hal itu!"

"Ayah tapi bukannya poligami itu ...."

"Cukup! Jangan bantah Ayah! Jangan berdalih dengan poligami semua bisa diatasi. Poligami itu berat, kamu tega Bagas berjalan pincang di akhirat kelak? Kamu merasa dia sudah bisa berlaku adil?"

Aku tak lagi bisa menjawab rentetan pertanyaan Ayah.

"Sudah! Sebaiknya kalian bercerai saja!" Ayah bangkit dari duduk meninggalkan aku.

"Ayah, Hana nggak mau cerai!"

"Lalu?"

"Hana ingin kembali pada Mas Bagas ...."

Wajah lelaki itu menegang menatapku. Keras kepalaku ini jelas diturunkan dari beliau. Ibu sering bercerita tentang kesamaan sifat kami.

"Ayah bilang tidak!"

"Yah, tapi ...."

Ucapan itu terhenti saat Ayah membanting pintu kamar. Seumur hidup, baru kali ini aku membalas argumen beliau, dan baru kali ini pula beliau terlihat amat marah dan kecewa.

Sebuah pesan masuk ke teleponku. Mas Bagas, tak pernah lupa menanyakan kabar padaku. Padahal baru pagi tadi dia menelepon.

Bagiku, menerima pesan dan telepon darinya adalah kebahagiaan. Aku merasakan kami menjadi lebih dekat meski raga tak bertemu. Baru saja kukirim balasan untuk Mas Bagas. Ada pesan baru kembali masuk, tapi kali ini bukan dari suamiku.

[Apa kabar, Bunda Hana?]

Bibirku terangkat tatkala tahu siapa pengirimnya.

[Ata! Apa kabar? Bunda sehat]

Kami terus berbalas pesan. Bocah kecil itu mengungkapkan perasaan rindu ingin kembali belajar denganku. Dia bercerita bahwa Randy jadi lebih sering di rumah dan lebih rajin mengajaknya belajar. Diujung berbalas pesan, rupanya telah diambil alih oleh pria murah senyum itu.

[Bisa aku tahu di mana alamat kamu sekarang?]

[Untuk apa]

[Mungkin saat weekend nanti kami bisa berkunjung]

Dia menyertakan emoticon senyum.

[Oke!]

Kuketik alamat rumah tinggalku kemudian mengirimkan padanya.

🌸🌸🌸

Minggu kedua setelah peristiwa itu, tetap saja tak mengubah hati. Aku tak bisa untuk berhenti untuk merindukan pria yang telah membawa hatiku itu. Separuh jiwaku seolah kosong. Hampir setiap hari Ayah menanyakan kesiapanku untuk menuntut cerai Mas Bagas.

"Kapan kamu ke pengadilan agama?" tanya Ayah memecah keheningan saat kami baru saja makan malam.

"Pe--ngadilan agama?"

Mendadak seolah degup jantung berhenti mendengar penuturan Ayah.

"Iya. Sudahi saja pernikahanmu, jangan bohongi Ayah bahwa kamu bahagia dan baik-baik saja setelah tahu bahwa Bagas menyetujui usulan anehmu itu!"

"Ayah, dengarkan Hana sebentar saja ... Izinkan Hana membela diri."

Hening, kulihat wajah kedua orang tuaku itu diselimuti kesedihan.

"Hana terima jika Ayah dan Ibu menganggap ide Hana bodoh, tapi apa Hana salah jika Hana melakukan ini karena ingin membuat suami bahagia?" Kutahan derai air mata yang hendak jatuh, "Saat itu Hana hanya melihat Kalila di mata Mas Bagas, bukan Hana! Berbulan-bulan Hana selalu mendengar kisah indah mereka, dan bukan Hana! Semua detail tentang Kalila ada di memorinya, tidak ada Hana di sana ... lalu apa Hana juga salah jika menginginkan mereka menjadi halal? Apa Hana salah jika menginginkan mereka tidak lagi zina hati?"

Meski kutahan alasan kenapa aku membiarkan Mas Bagas menikah, toh akhirnya pertahananku jebol juga. Tidak ada lagi rahasia yang kusembunyikan.

"Dan kini, Hana kembali melihat ada Hana di mata Bagas ... itu artinya, dia sudah bahagia," sambungku lirih.

Ruangan terasa dingin, Ibuku hanya terdiam dan sesekali menyeka air mata. Sementara Ayah berkali-kali membuang napas.

"Hana, Ayah dan Ibu tidak bisa merubah keinginanmu untuk tetap bersama Bagas, tapi untuk sementara biarkan suamimu itu berpikir!" tutur Ayah dengan intonasi tak setinggi tadi.

"Ayah paham, dan menghormati keputusanmu."

"Terima kasih, Yah."

Lelaki berkaus putih dengan peci hitam itu tak menjawab, beliau bangkit dari duduk menuju kamar meninggalkan aku dan Ibu di ruang makan.

***

Hari Minggu sesuai yang dijadwalkan. Randy dan Ata datang berkunjung. Ibu antusias menyiapkan hidangan untuk menyambut tamu kami. Beliau sangat bersimpati pada Ata juga Randy.

"Jarang ada seorang Om yang rela menjadi pengasuh keponakannya. Terlebih Randy itu seorang dokter!" cetus Ibu saat kuceritakan tentang mereka berdua.

Sate dan kare ayam sudah tersedia lengkap dengan es buah sudah tersaji di meja makan. Kudengar deru mobil berhenti di depan rumah.

"Mereka datang?" tanya Ibu. Kuanggukkan kepala merapikan jilbab lalu melangkah keluar menyambut mereka.

Karakter Randy yang luwes memudahkan dia akrab dengan Ayah, sementara Ata pun langsung cocok dengan Ibu yang memang merindukan seorang cucu. Kami duduk di ruang tamu saling bertukar cerita.

"Nggak sulit, kan mencari rumah kami?" tanya Ayah seraya mempersilakan Randy menikmati aneka kue kering di meja. Lelaki berkulit putih itu tersenyum kemudian menggeleng.

Hari semakin siang, Ibu mengajak untuk makan siang.

"Ata, ayo ikut eyang. Eyang bikin sate ayam tadi."

Antusias bocah itu mengikuti Ibu.

"Ayo, Randy! Kita makan siang dulu," ajak Ayah seraya beranjak dari duduknya meninggalkan kami.

Sejenak kami saling diam.

"Hana," panggilnya menatapku.

"Ya?"

"Maaf kalau aku sedikit ingin tahu tentang ...."

"Kita makan dulu yuk!"

Randy mengangguk dengan bibir tersenyum datar. Kami berdua menuju meja makan. Pria itu mengambil duduk di dekat Ata, sementara aku memilih dekat dengan Ibu.

Kami berbincang hangat tentang apa pun hingga kesibukan Randy. Pria berkulit bersih itu terlihat sangat bisa membawa diri di tengah-tengah keluargaku. Sesekali dia mengingatkan Ata untuk tidak mengonsumsi sate terlalu banyak.

"Biarkan saja, Nak Randy. Dia sepertinya senang juga berada di sini," sela Ayah menatap gembira kepada Ata.

"Jadi sekarang orang tua Ata jarang menemui anaknya?" tanya Ayah kepada Randy.

Mengangguk sembari menarik napas, dokter kandungan itu menjawab, "Iya, Pak. Karena masingmasing dari mereka sudah berkeluarga dan papanya Ata, kakak saya itu sekarang berdomisili di luar negeri."

Hatiku mendadak sesak melihat kenyataan yang dialami Ata. Bocah tampan itu harus terpisah dengan kedua orang tuanya tanpa dia tahu kenapa.

"Lalu ibunya?" tanyaku lirih.

Randy tersenyum kemudian menggeleng.

"Entahlah. Karena mereka tidak pernah datang dan tidak terlacak, jadi ... aku pikir Ata adalah hal terindah yang diberikan Tuhan padaku dan papa."

Mendengar jawaban Randy entah kenapa aku merasa pria itu memiliki hati seluas samudera. Sudut mataku menangkap tatapan kagum dari Ayah pada dokter itu.


**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top