Usai 6

***

Mengalami cinta yang rumit akan semakin sulit jika terus bertahan pada rasa yang selalu membelit. Bebaskan saja dia, kelak semua akan menemukan muara bahagia yang dicipta oleh Sang Kuasa.

Bukan aku tak paham dengan percik kecewa juga cemburu di mata Kalila saat mengetahui Mas Bagas ikut bersamaku kembali ke Jakarta. Namun, aku juga tahu dia telah mencoba menahan rasa itu sejak masuk ke rumah ini.

Pagi-pagi sekali kami berpamitan dengannya. Kucoba membesarkan hati adik maduku itu dengan berharap agar dia segera hamil kembali. Mungkin terlihat naif, tapi sungguh ku tak ingin dia dirundung sedih sepanjang waktu.

Dengan taksi online kami menuju bandara meninggalkan kediaman Kalila. Sepanjang jalan Mas Bagas enggan melepas genggamannya. Entah, aku sendiri heran. Sejak aku tiba, dia benar-benar menjadi lebih hangat dari biasanya.

"Mas, Mas nggak bilang ke aku kalau mau antar pulang?" Kulirik pria berhidung mancung di sebelahku itu. Dia menatapku kemudian tersenyum.

"Sengaja. Aku mau bikin kejutan! Kamu nggak suka?"

"Suka sekali! Tapi bagaimana dengan Kalila? Sepertinya dia kecewa tadi."

Menghela napas ia menatapku hangat.

"Itu yang aku suka darimu, Sayang. Kamu selalu memikirkan orang lain, meski dirimu sendiri harus bertahan dan mencoba kuat." Aku bergeming, kunikmati keindahan kota dari balik jendela.

"Katakan, selama ini kamu menyimpan sunyi itu sendiri, 'kan? Kamu mengendalikan perasaan sedih itu demi aku, 'kan?" tanyanya meraih bahuku lembut kemudian dia dekap, "Jangan bilang tidak, Hana. Aku mengenalmu, sangat mengenalmu."

Kubiarkan dia mengusap kepala yang terbalut jilbab peach. Pria itu tidak salah, semua yang dia utarakan adalah benar. Memilih diam dan bertahan mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah kebodohan, tapi bukankah kadang cinta itu memang membuat kita terlihat bodoh? Tak kurang cerita bagaimana cinta bisa membuat seseorang lemah menjadi kuat, demikian sebaliknya. Sama seperti yang diucapkan Salma, aku naif dan terlalu merasa kuat.

"Sayang, maafkan aku." Mas Bagas mengecup lama puncak kepalaku.

"Mas, tidak perlu meminta maaf, aku ...."

"Aku sudah berbuat tidak adil padamu, dengan lebih lama tinggal bersama Kalila dan membiarkanmu," potongnya.

"Keadaan yang menuntut itu terjadi, Mas. Andai semua baik-baik saja, Aku pikir Mas tidak akan seperti itu, bukan?"

Mas Bagas mengeratkan pelukannya hingga tanpa terasa kami sudah tiba di bandara. Saat kami check in kudengar berkali-kali ponsel milik lelakiku berbunyi, tapi dia abaikan.

"Mas, kenapa teleponnya nggak diangkat?" Terlihat wajah tak suka darinya. Sambil menggeleng dia berkata, "Aku sedang malas berdebat. Biarkan dia belajar memahami kondisi ini."

"Siapa, Mas?"

Dia hanya tersenyum kemudian menggeleng, lalu meraih tanganku menuju ruang tunggu.

***

Sejatinya hidup itu untuk memintal kesedihan kemudian mengemasnya dengan sabar sehingga menjadi sebuah bahagia. Meski terkadang tak jarang bahagia itu bisa mematahkan. Namun, kita punya Tuhan bukan? Jadi biarkan Tuhan yang memberi kita bahagia sesuai porsinya.

Seperti hari ini. Hari pertamaku kembali didampingi oleh suami. Menyiapkan baju yang hendak dia pakai, menyediakan kopi dan sarapan paginya menjadi kerinduan yang kuendapkan beberapa waktu lalu. Tentu saja aku juga merindukan segala kebawelannya yang tak pernah suka jika terlalu sibuk. Hari-hari selanjutnya aku menikmati kebersamaan.

Salma sahabatku ikut senang melihat rumah tanggaku kembali, meski dia tahu itu tak akan bertahan lama.

"Jadi Bagas lama nih di sini?" tanyanya saat berkunjung ke rumah.

"Iya, Sal. Dan aku bahagia! Ya ... menebus waktu yang pernah hilang itu."

Sedikit senyum tampak di wajah Salma.

"Tapi kamu nggak lupa, 'kan?"

"Apa itu?"

"Bahwa bisa saja sewaktu-waktu perempuan itu datang lalu Bagas pergi bersamanya?"

"Aku tidak pernah lupa itu, Salma. Aku tahu di mana aku berdiri."

Salma membuang napas kasar. Wajahnya tak sebahagia tadi.

"Hana, aku pengin tahu seberapa kuat kamu bertahan berada di situasi seperti ini."

Aku hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum. Seberapa kuat? Iya, seberapa kuat aku bisa berdiri seperti ini. Setidaknya sudah satu tahun dilalui. Lalu tahun selanjutnya? Apa aku masih bisa? Apa Mas Bagas masih tetap seperti ini? Berusaha berlaku adil meski aku terkadang merasa timpang.

"Kamu nggak ingat apa bagaimana Bagas itu memperlakukanmu saat istri mudanya hamil? Kamu diabaikan, 'kan?" Salma mengambil almond crispy dari toples.

"Kebayang nggak kalau nanti dia hamil lagi. Dia pasti akan lebih protektif! Bahkan bisa jadi dia ...."

"Dia apa, Salma? Kamu tidak sedang mengintimidasi istriku, 'kan?" Tiba-tiba Mas Bagas hadir di tengah-tengah kami. Awalnya Salma terkejut, tapi kemudian ia tersenyum.

"Tentu tidak jika kamu baik dengan dia, Bagas!"

Aku tersenyum seraya menyenggol lengan Salma bermaksud mengingatkan agar tidak berkata yang melampaui batas. Dengan senyum, Mas Bagas duduk di samping meraih jemariku dan menggenggam erat.

"Jelaskan, apa aku pernah berlaku tidak baik dengan Hana!"

"Mungkin kamu nggak ngerasa, bahwa meninggalkan istri hingga berbulan-bulan itu satu hal yang menyakitkan bagi Hana. Aku tahu, istrimu itu sangat sabar, bahkan kelewat sabar menurutku!" sindirnya santai.

"Oke, aku salah. Dan aku sudah menebus itu semua. Terima kasih kamu bersedia menemani istriku selama aku tak di sini."

Salma mengangkat alisnya.

"Oke, Hana. Aku pulang, aku harap kamu bisa selalu bahagia. Dan kamu Bagas, Hana sudah aku anggap sebagai saudara, jika sampai dia tersakiti karena kesabaran yang dia pupuk selama denganmu ... aku rasa sudah saatnya orang tua dia tahu! Dan mungkin aku orang pertama yang akan mengabarkan bagaimana kondisi Hana sesungguhnya pada mereka," pungkasnya kemudian pergi.

Sepeninggal Salma, kami berdua terdiam. Kulihat Mas Bagas memijit pelipisnya.

"Mas sakit?"

Dia menggeleng pelan.

"Salma benar. Ucapannya tentang aku benar! Aku sudah buat kamu sedih sendirian." Kuusap punggungnya pelan, mencoba memberi tahu bahwa aku peduli dan bisa merasakan perasaannya.

"Mas, aku hanya ingin Mas bahagia. Dengar! Mungkin ini baru aku bicarakan sekarang. Sejak mula aku mengetahui kalian berdua kembali bertemu di media sosial ... lalu Mas bercerita semua tentang Kalila ... Mas tahu apa yang kubaca di mata Mas saat itu?" Kutatap pria beralis tebal itu, ia masih memijit pelipis.

"Aku merasa Mas menemukan dunia Mas padanya. Semua kesempurnaan yang Mas cari, ada pada kawan lama Mas itu. Bahkan Mas sama sekali tidak peduli dengan perasaanku yang setiap hari menelan kisah indah kalian." Kutahan gejolak emosi yang sekian lama kuendap di hati.

"Mas tahu, aku justru merasa Mas lupa dengan kisah kita yang juga pernah indah. Mas seolah menafikan semua tentang kita. Lalu jika semua bahagia Mas ada pada Kalila, aku ada di mana, aku bisa apa?"

"Hana ...."

"Maka itulah alasan utama aku bersedia berbagi cinta itu. Meski ...."

"Hana!" Ia memelukku erat seolah menumpahkan rasa sesal yang baru saja ia sadari. Aku luruh menangis dalam dekapnya.

"Katakan apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mungkin ...."

"Tidak mungkin apa, Mas?"

"Tidak mungkin menceraikan Kalila di saat kondisi dia seperti itu."

"Aku tidak meminta Mas menceraikan dia. Aku hanya berharap jika Mas merasa tidak bisa adil ... tinggalkan aku, Mas. Bangun bahagia yang pernah tertunda dengan ...."

"Sayang, kamu bicara apa barusan? Tidak! Sampai kapanpun aku nggak akan membiarkan kamu pergi dariku!" Kurasakan dia mengeratkan pelukan. Ada isak tertahan darinya yang kudengar. Sungguh aku pun sebenarnya sangat takut kehilangan, tapi aku lebih takut jika kelak ia akan berjalan pincang di hari pembalasan.

"Tolong, Hana. Jangan tinggalkan aku, jangan pernah meminta hal itu. Aku tidak bisa."

Kuurai pelukan menatap wajahnya yang memerah menahan gejolak hati.

"Aku nggak pernah ninggalin kamu, Mas. Tapi justru Mas yang ninggalin aku ... maaf jika aku baru bisa mengeluarkan semua yang selama ini kusimpan."

Dia terlihat menahan air mata, lalu mengangguk kemudian meraih jemariku.

"Aku tahu itu, Hana. Aku yakin kamu tetap bidadariku sama seperti yang dulu."

***

Pagi-pagi sekali aku dikejutkan telepon dari orang tuaku. Mereka akan datang berkunjung besok.

"Mas, Ayah dan Ibu akan datang besok."

"Besok?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kita belanja siang nanti. Kita sambut kedatangan mereka berdua."

Bahagia rasanya memiliki suami yang memiliki kecintaan pada orang tua. Dia sangat menghormati keduanya.

"Kenapa melamun?" tegurnya seraya memeluk dari belakang.

"Aku, aku hanya teringat Kalila. Apa dia baik-baik saja?"

"Tak bisakah kamu hanya memikirkan kita saat ini?" bisiknya tepat di telinga membuatku geli.

"Aku berharap dia baik-baik saja, Mas."

Suamiku tak menjawab, dia mengurai pelukan lalu menarik pelan pinggangku hingga menghadapnya.

"Sayang, jangan bicarakan hal lain selain kita. Aku ingin waktuku saat ini sepenuhnya hanya untukmu." Aku mengangguk memahami permintaannya.

Ketukan pintu membuyarkan pagutan bibir yang baru saja bertemu. Mas Bagas memberi isyarat agar aku tetap di tempat. "Aku yang buka pintunya!"

Saat hendak ke dapur kudengar dia memanggilku. Bergegas kurapikan jilbab menuju ke arah depan.

"Halo, Hana. Maaf mengganggu, Atalla ...."

"Oh iya, kemarin Ata sudah bilang kalau ada tugas dari miss dia di sekolah, ya kan Ata?" Lelaki kecil itu mengangguk sambil tersenyum.

"Oke, Ata boleh masuk. Tunggu di tempat biasa ya."

"Siap, Bunda Hana." Bunda Hana adalah panggilan yang anak kecil itu sematkan untukku. Konon dia sepakat memanggilku dengan panggilan itu karena saran dari Randy.

"Baik, kalau gitu aku tinggal dulu. Aku jemput jam berapa?" tanyanya tanpa memedulikan Mas Bagas yang sejak tadi berada di antara kami. Ini kali kedua mereka bertemu, sebab biasanya Ata diantar jemput oleh sopir.

"Dua jam lagi, Ata bisa dijemput," jawabku disambut anggukannya.

Randy berpamitan menyalami Mas Bagas lalu pergi dengan mobilnya.

"Hana tunggu!" Dia menahan lenganku saat hendak mendatangi Ata.

"Ada apa, Mas?"

"Aku nggak suka jika dia terus menemuimu!" Wajahnya menegang dengan rahang mengeras.

"Mas?"

"Bisa? Bisa kamu tidak bertemu dengan pria itu?"

"Mas, tapi dia ...."

"Jawab aku, Hana."

Kutarik lengan dari tangannya menahan perih yang pelan menjalari hati. Bahkan saat aku mengalah pun dia cemburu.

"Mas, dia hanya mengantar Ata keponakannya! Mas tahu sendiri, 'kan? Baru hari ini dia datang selama anak itu belajar di sini. Tolong, Mas ... jangan bersikap seperti ini."

Mas Bagas membuang napas lalu berkata, "Anak itu sudah menunggu. Kita lanjutkan nanti." Dia berlalu setelah mengecup singkat keningku.

Pertikaian kecil pagi tadi sedikit banyak mengusik pikiran. Aku lebih banyak diam menenangkan hati. Meski akhirnya Mas Bagas mengakui bahwa dirinya terlalu cemburu.

Seperti yang sudah direncanakan, kami berdua belanja untuk menyambut kedatangan Ayah dan Ibu. Tak ingin kegelisahan ini tercium oleh mereka nantinya, kucoba berdamai dengan perasaan.

Bukannya aku tak suka dia cemburu, tapi menurutku kali ini Mas Bagas sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin dia berasumsi bahwa Randy menyukaiku?

"Sayang, kamu masih marah?" tanyanya saat kami sudah di mobil dan pulang kembali ke rumah.

"Enggak, Mas. Aku paham, dan bisa memaklumi kok."

Ada senyum terbit di bibirnya.

"Makasih, Hana," tuturnya meraih tanganku.

***

Kedatangan Ayah dan Ibu memberi kenyamanan dalam hati. Selalu begitu, dalam kondisi terpuruk beliau berdua selalu ada meski tanpa pernah terucap keluhanku itu pada mereka. Setidaknya hal itu kutahu dari pertanyaan pelan dari Ibu saat kami sama-sama di dapur membuat bolu pandan kesukaan Mas Bagas.

"Hana, entah kenapa belakangan ini ibu merasa ada yang kamu sembunyikan, Nak. Benar begitu? Katakan ada apa."

Kuhela napas menatap wajah teduh itu.

"Hana nggak apa-apa, Bu. Ibu nggak perlu khawatir."

"Kamu yakin?" Ibu membidik mataku.

Kuanggukkan kepala membalas tatapannya.

"Apa Bagas baik-baik saja?" Seolah tak puas ia kembali bertanya.

"Baik, Bu. Mas Bagas baik-baik aja kok."

"Tapi ...."

Suara ketukan menahan pertanyaan Ibuku.

"Biar Hana buka pintunya, Bu."

Kulirik jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore. Perlahan kubuka pintu, mataku tak percaya dengan seorang yang tengah berada di depanku kini.

"Kalila?" Aku terkejut dengan kedatangannya. Ini benar-benar kejutan, tapi tentu bukan saatnya. Ada kedua orang tuaku di rumah, bagaimana jika mereka tahu bahwa ....

"Aku boleh masuk?" tanyanya membuyarkan lamunan. Kupersilakan dia masuk meski hatiku tak menentu.

'Tuhan, kenapa dia datang hari ini? Aku belum siap mengatakan hal ini pada Ayah dan Ibu'

Aku memintanya duduk lalu ke kamar memanggil Mas Bagas. Tampak dia baru selesai mandi.

"Mas."

"Ya?"

Kukabarkan padanya perihal kedatangan Kalila.

"Apa? Kalila di sini?" tanyanya gusar.

Kuanggukkan kepala mencoba menepis gelisah membayangkan reaksi Ayah Ibu. Orang tua mana yang akan terima mendapati anaknya diduakan?

"Mas, memang dia nggak bilang kalau mau ...."

"Nggak, dia nggak bilang apa-apa," potongnya seraya memakai kemeja.

"Lalu bagaimana jika ...."

Mas Bagas memegang kedua bahuku dengan sedikit membungkuk.

"Kita hadapi bersama. Apa pun nanti yang terjadi, kita tetap bersama! Kamu tenang, Sayang. Aku temui Kalila dulu."

Mas Bagas keluar kamar menemui Kalila, sementara aku ke dapur menjamu tamu kami itu. Kusuguhkan bolu pandan juga minuman segar untuk keduanya, setelah itu membiarkan mereka berdua.

"Hana, ada tamu? Perempuan? Siapa dia? Kenapa kamu membiarkan mereka berdua saja?" cecar Ibu saat aku meletakkan nampan di meja dapur.

"Eum ... itu ..."

"Hana! Kemarilah!" panggil ayahku dari ruang tamu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top