Usai 5
Bertemu setelah lama berpisah tentu menciptakan getar tak biasa. Aku merasakan seolah kami kembali seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Tak kusangka kehadiranku disambut oleh cumbu mesra Mas Bagas. Dia membawa ke hotel karena ingin melepas rindu.
Hotel yang aku singgahi terletak relatif sangat dekat dengan Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman di Sepinggan Balikpapan.
Pelayanan sangat ramah dan sigap semenjak kami turun dari mobil, parkir mobil juga relatif luas, serta proses check in juga cepat dengan pelayanan yang ramah. Lobby hotel terliat megah dan luas. Terdapat kolam renang untuk tempat bersantai sambil melepas lelah. Ruang kamar bersih dan nyaman, lantai dialasi dengan karpet tebal sehingga tidak dingin. Di kamar juga terdapat kulkas kecil yang dingin.
Aku masih dalam dekapan Mas Bagas saat kami baru saja melepas rindu. Hawa dingin menyapa sangat terasa. Berbeda saat kami menikmati hubungan halal tadi. Aku semakin membenamkan tubuh ke pelukannya, selimut tebal masih melindungi kami berdua.
"Mas, jam berapa kita ke Kalila?"
Suamiku itu tak menjawab, ia mengecup puncak kepalaku berkali-kali.
"Kita ke sana besok." Dia berkata dengan suara serak.
"Besok?"
"Iya, besok! Aku ingin berlama-lama denganmu."
"Mas, aku di sini hanya tiga hari. Lusa harus kembali, ada banyak tanggung jawab yang aku tinggal di sana."
Ia tersenyum lalu mengecup singkat bibirku.
"Baiklah, sore nanti ketemu Kalila."
"Aku sudah nggak sabar bertemu dan berbagi kisah dengannya, Mas."
Mas Bagas mengangguk tersenyum lalu mengeratkan pelukan. Kutatap wajah lelakiku. Dia masih sama seperti dulu saat pertama kali bertemu. Hanya mungkin kini wajah itu sedikit ditumbuhi cambang tipis yang membuat dirinya semakin memesona. Kilas awal pertemuan kami kembali tersaji di memori. Mengingat itu tanpa kusadari bibir ini tertarik pelan. Rupanya dia tahu aku sedang memerhatikan sejak tadi.
"Kenapa lihatin aku seperti itu? Kamu terpesona?" godanya seraya menaik turunkan alis. Aku hanya bisa menyembunyikan wajah kembali ke dalam dadanya.
"Seperti biasa, kamu selalu membuatku gemas, Hana."
Seolah tak ingin membiarkan waktu terbuang sia-sia, kami kembali melepas rindu dalam kehangatan. Hingga tanpa disadari siang menjelang. Kami berdua merasa harus mengisi perut. Mas Bagas sama sekali tak menginginkan aku beranjak. Dia a mengatakan di kulkas tersedia makanan kecil dan minuman yang bisa dinikmati sebelum kami makan berat.
Di hotel berbintang selalu terdapat bar kecil berupa kulkas mini dan peralatan makan, seperti cangkir dan sendok. Kulkas mini berisi aneka makanan dan minuman ringan. Tentu saja akan dikenai biaya jika menikmati makanan dan minuman ringan tersebut. Namun, kopi dan teh yang diseduh sendiri gratis. Begitu pula air mineral botolan dan complimentary sebagai ucapan selamat datang, seperti buah.
"Kita cari menu yang enak nanti, sambil jalan-jalan menikmati kota ini. Sekarang mandi yuk!"
Kutatap mata yang tengah nakal menatapku.
"Mas, jangan nakal terus deh. Aku mandi duluan ya." Kutatap wajah yang tak henti menatapku itu. Dia hanya tertawa kecil kemudian mengangguk.
***
Mas Bagas mengajak makan siang di sebuah restoran yang terkenal dengan masakan seafood-nya. Terletak masih pinggir jalan raya. Restoran bernuansa santai yang menghidangkan beragam masakan kepiting dan populer dengan sausnya, demikian ia menjelaskan. Mendengar semua penuturannya tentang kota ini, mendadak ada nyeri di hati. Aku membayangkan Kalila dan Mas Bagas selalu berdua menghabiskan waktu. Meski priaku itu sama sekali tidak menyebut nama Kalila.
"Menu kepiting di sini luar biasa. Enak banget! Cobain deh." Antusias Mas Bagas menceritakan aneka hidangan yang baru saja mendarat di meja kami. Mulai dari cah kangkung, ikan bakar, cumi-cumi, udang dan tentu saja kepiting. "Sini, aku suapin." Dia membuka cangkang kepiting yang telah dibumbui saus kemudian menyuapkan padaku.
"Enak kan?" tanyanya. Rasanya memang enak, bahkan sangat enak. Tak salah jika ia merekomendasikan rumah makan seafood ini. Kami berdua menikmati makan siang ditemani alunan musik lembut membuat sejenak lupa tujuan kedatanganku kemari.
Saat tengah menikmati hidangan, tiba-tiba seseorang mendekat dan menyapa, "Hana?" Kuangkat wajah menatap pria yang berdiri di sampingku.
Sekilas kulirik wajah Mas Bagas terlihat tak suka. Tak ingin terjadi keributan, segera kubalas sapa pria itu, "Dokter Randy?" Lelaki berkulit putih itu tersenyum lebar.
"Aku khawatir kamu lupa," kelakarnya mengacuhkan Mas Bagas.
"Eum, kenalkan ini Randy. Dia om dari Atalla muridku." Kutatap suamiku dengan mata memohon. Randy tersenyum ramah mengulurkan tangan ke arah Mas Bagas.
"Randy, dia Mas Bagas suamiku."
Mereka berdua saling berjabat tangan seraya menyebutkan nama masing-masing. Kami sejenak berbasa-basi, ternyata Randy juga sangat menyukai hidangan di restoran ini. Menurutnya jika sedang ada acara di Balikpapan, restoran ini adalah tujuan utama jika rehat.
"Kepitingnya recommended banget!" tuturnya meyakinkan. Tak lama kami bercakap-cakap, dia mohon diri untuk kembali bergabung dengan rekan-rekannya.
"See you later, Hana!" Kuanggukkan kepala membalas. Dia lalu melangkah menjauh dari meja kami.
Aku meraih gelas lemon tea yang tinggal separuh, sudut mataku menangkap wajah tak suka dari Mas Bagas.
"Sudah lama kenal dengan dia?" selidiknya.
"Nggak, baru beberapa hari belakangan, Mas."
"Kalian seperti sudah lama dekat," ungkapnya pelan, tapi jelas aku melihat raut kecewa di wajahnya.
"Mas cemburu lagi?"
Dia tak menyahut, hanya saja aku tak suka melihat ekspresi wajah itu. Meski bahagia dia cemburu, itu menandakan bahwa cintanya untukku masih seperti dulu. Mas Bagas dulu pernah berkata bahwa dia adalah pria pencemburu, dan sepertinya kali ini dia benar-benar merasakan hal itu.
"Mas, katakan ... apa selama ini aku pernah mengabaikan kepercayaan yang Mas beri?"
Suamiku itu masih bergeming. Sementara tawa dan canda dokter Randy dan rekan-rekannya terdengar hingga ke tempat kami.
"Kenapa diam, Mas? Jawab saja. Apa selama ini aku kurang menjaga kepercayaan Mas?"
"Maaf, Hana. Aku ...."
"Sudah, Mas. Jangan hanya karena melihat hal seperti tadi membuat Mas curiga. Aku masih di sini, tetap bersama, Mas. Jika saja aku boleh bicara ... bukankah seharusnya yang cemburu itu aku?" Kusungging senyum ke arahnya. Wajah itu berubah tak sekaku tadi. Kali ini raut mukanya terlihat menyesal.
"Hana ...."
"Jangan meminta maaf untuk itu. Toh sudah terjadi, lagipula itu pun atas usulku, bukan?"
Hening, kami larut dalam pikiran masing-masing. Membawa rasa perih sudah lama kupersiapkan bahkan sebelum Mas Bagas dan Kalila menikah, tapi sungguh tak kusangka sakit yang kubayangkan tak sedalam kenyataan.
Mungkin benar Salma, aku egois merasa paling kuat diantara mereka. Namun, kenyataannya aku rapuh bahkan sangat rapuh. Kepergianku ke tempat ini adalah untuk menata hati, menguatkan asa bahwa ini adalah benar, bahwa aku masih punya seseorang yang mencintai meski terbagi.
"Aku tetap minta maaf," tuturnya meraih jemariku kemudian mengecupnya.
Tak ingin perasaan berkecamuk semakin larut, kualihkan pembicaraan ke hal lain.
"Jadi setelah ini kita ke mana?"
"Belanja, kita belanja!"
"Belanja?"
Dia mengangguk tersenyum mengusap pipi lembut.
"Kamu boleh beli apa pun yang kamu mau! Ayo!" Ada bahagia terpancar di wajahnya saat mengajak beranjak lalu menggenggam erat tanganku.
Kami menuju ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Aku benar-benar dimanjakan olehnya, ada beberapa gamis dan pakaian lainnya yang dia pilihkan untukku. Sesekali nakal dia memberi isyarat agar aku membeli lingerie yang dipajang di manekin yang kita lewati.
"Nggak, Mas. Ish, apaan sih!"
"Kenapa emang? Menyenangkan suami berpahala kan? Ambil yang warna maroon!' perintahnya memainkan alis menatapku. Kutunjukkan wajah ragu, tapi dia justru memberi isyarat agar aku menurut.
"Baiklah kalau begitu." Dia hanya tertawa kecil melihat kepasrahanku. Kembali kami berdua menyusuri mall, sesekali kami melempar candaan yang membuat sama-sama terbahak.
"Kita ke cafe yuk! Haus," ajaknya menunjuk salah satu cafe yang berada di mall itu.
Kuanggukkan kepala menyetujui usulnya.
***
Kami tiba di rumah Kalila saat hujan deras. Tak kusangka adek maduku itu terlihat lebih kurus dari foto yang pernah kulihat. Mungkin kejadian pahit itu membuat ia seperti ini.
Ada senyum terukir saat kami bertemu, meski matanya tak bisa menyembunyikan duka. Aku berharap kehadiranku bisa menghiburnya. Masih terasa canggung mengingat kami baru saja bertemu. Kami banyak bertukar cerita selepas makan malam, hingga akhirnya malam semakin larut.
"Kamu istirahat, Hana. Pasti lelah kan?"
Aku memang merasa penat, setelah sepanjang hari menghabiskan waktu dengan Mas Bagas. Kalila mengajakku ke sebuah kamar yang luas.
"Kamu istirahat ya. Semoga betah tinggal di sini," pungkasnya setelah mengucapkan selamat malam.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku menarik handle pintu hendak menutup pintu, tetapi tangan Mas Bagas menahannya.
"Mas? Sudah malam, sebaiknya Mas temani Kalila."
"Tapi, Hana, kamu ...."
"Temani dia, selamat malam."
Kututup rapat pintu kemudian menguncinya.
***
Hari ini Kalila mengajakku memanjakan diri di sebuah salon langganannya. Sebenarnya aku kurang menyukai kegiatan seperti ini, meski bagi wanita kegiatan sangat digemari.
Sesuai rencana, kami melakukan perawatan seluruh tubuh, tentu saja itu menghabiskan banyak waktu.
"Kamu sering seperti ini, Kalila?" tanyaku saat kuku-kuku kami di treatment.
Wanita yang usianya lebih tua tiga tahun di atasku itu mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Ia bercerita bahwa Mas Bagas yang biasanya menemani saat dia melakukan perawatan setiap bulan.
"Emang kamu nggak pernah seperti ini, Hana?"
Aku menggeleng.
"Kita harus melakukan hal seperti ini rutin setiap bulan kalau nggak mau suami kabur," paparnya melirikku.
"Aku pikir, kabur atau tidaknya seorang suami tidak tergantung dari itu saja, Kalila. Ada banyak faktor."
"Tapi walau bagaimanapun, hal seperti ini juga menjadi alasan kuat, Hana," tandasnya.
Aku tak melanjutkan pembicaraan. Mungkin di sinilah perbedaan kami. Kalila yang terbiasa dengan kesendirian dan pernah mengalami kegagalan membuat pola pikir dia dan aku berbeda.
Ritual perawatan sudah selesai, Kalila mengajakku makan siang di restoran tak jauh dari salon. Menurutnya, Mas Bagas sangat menyukai menu di rumah makan itu. Soto Banjar menjadi menu pilihan kami. "Kalila, kita makan siang di sini, lalu bagaimana dengan Mas Bagas? Dia makan siang di mana?"
"Mas Bagas itu sudah dewasa, Hana. Biarkan nanti kalau lapar juga dia cari makan, lagian dia tahu 'kan kita di mana dan sedang apa?"
"Iya, tapi ...."
"Aku sudah lebih lama mengenal suamiku, Hana. Bahkan aku lebih mengenal dirinya lebih dahulu dibandingkan denganmu. Jadi sebaiknya kita nikmati saja makan siang ini tanpa Mas Bagas."
Lagi-lagi aku mengangguk, enggan melanjutkan perdebatan. Biarlah, toh dia perempuan yang dicintai suamiku. Mungkin dengan berbedanya pemikiran kami membuat warna di hidupnya.
"Kapan balik?" tanya Kalila seraya menghabiskan bubble ice di depannya.
"InsyaAllah besok."
Sejenak hening, tak lama dia kembali membuka pembicaraan. Dengan raut wajah gembira dia bercerita tentang Mas Bagas dan seperti apa hubungan mereka saat sekolah dulu.
"Kamu tahu, Hana. Aku nggak nyangka kita bisa dipertemukan oleh orang yang sama-sama kita cintai. Aku bahagia menemukan dirinya! Bagiku dia bukan sekedar suami, tapi juga partner bisnis yang menyenangkan. Kasih sayangnya padaku tidak pernah berubah. Sama seperti saat kami pacaran dulu, bahkan aku merasa semakin bertambah hingga hari ini." Matanya menerawang sesekali menatapku.
"Aku juga bahagia, bisa mempertemukan kalian. Semoga Mas Bagas bisa bahagia dengan ini semua." Kutatap Kalila lekat.
"Pasti, Hana. Dia pasti bahagia. Aku berharap bisa kembali hamil, aku ingin dia memiliki keturunan. Dan kuharap dari rahimku!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top