Usai 3
**
Berada di sisinya saat ini membuat semesta bersenandung indah. Menikmati bersandar di dada bidangnya, merebahkan diri di lengan kokohnya adalah kebahagiaan yang selalu kurindukan. Aroma maskulin tubuh yang menenangkan seolah menghipnotisku untuk terus berada dalam dekapnya
Aku dan Mas Bagas mempunyai sebuah usaha yang kami rintis sejak di tahun lalu. Bersyukur toko grosir kami perlahan mulai berkembang. Sementara aku sendiri masih menjadi guru les privat yang datang ke rumah.
Malam itu kami bercengkerama di ruang tengah seusai makan malam. Mas Bagas merengkuhku, mengajak tubuh bersandar di bahunya.
"Sayang, aku dan Kalila sedang membangun rumah di sana. Dia berpesan setelah rumah jadi, Adek bersedia diajak tinggal bersama. Bagaimana, bersedia?"
Aku bergeming. Tak pernah kubayangkan akan ada tawaran itu meski kuakui hidup bersama akan bisa membuat kami bertiga lebih dekat. Memang aku yang memiliki ide agar dia menikah dengan Kalila, tetapi untuk tinggal serumah rasanya belum bisa. Hati belum sepenuhnya bersih dengan segala sifat buruk, tak ingin keikhlasan yang coba kupupuk akan sia-sia nantinya.
"Sayang?"
"Maaf, Mas. Aku nggak bisa, eum ... aku ...."
"Mas nggak akan tenang jika harus meninggalkanmu dalam waktu yang lama. Kalau Adek ada di sana juga, Mas akan lebih bahagia," potongnya.
Kuangkat kepala menatapnya. Ada selaksa permohonan tersirat di sana. Tatapan hangat itu masih seperti dulu. Tenang dan penuh cinta. Lembar kisah yang kuukir bersamanya indah, tapi tak kusangka kini ada orang lain yang ikut mewarnai kisah itu.
Tak menyangka juga aku bisa terlibat dalam peliknya sebuah kata bernama cinta. Terkadang cinta memang seperti itu. Sama dengan hidup, kita hanya mempunyai dua pilihan, genggam atau lepaskan.
Saat ini aku memilih menggenggam, karena buatku pasangan jiwa itu hanya dicipta untuk mereka yang yakin. Seperti saat ini, aku yakin Mas Bagas adalah pasangan jiwa yang dipilih Allah untuk menemaniku hingga napas tak lagi menyatu di raga.
"Maaf, Mas. Aku lebih baik di sini. Ada banyak juga kegiatan yang merupakan amanah orang banyak. Belum lagi toko rintisan kita ... toko itu mempunyai sejarah mahal yang tidak bisa ditukar dengan apa pun." Hampir saja air mata menetes saat kuberucap demikian.
Mana mungkin aku bisa lupa bagaimana kita berdua bahu membahu siang malam bangkit demi hidup yang lebih baik. Jika saat ini semua sudah lancar, lalu dibiarkan begitu saja sama artinya dengan membiarkan kenangan itu terhapus.
Mungkin kamu tak pernah sadari, betapa kesederhanaan kita dulu lebih memberikan ruang nyaman di hati. Di titik ini kusadari, bahwa bahagia itu bukan seberapa banyak kau genggam dunia tapi seberapa banyak rasa syukur dalam genggamanmu.
Mendengar penuturanku, Mas Bagas menghela napas. Tampak gurat kecewa di wajahnya.
"Maaf, Mas. Aku hanya ingin menjaga apa yang seharusnya kujaga. Aku tidak ingin kehilangan semua kisah kita di sini."
"Hana, tapi Mas tak ingin berpisah lama denganmu."
"Lama? Mas akan meninggalkan aku lama?" Kutatap wajah itu lama, mencoba mencari jawab dari ucapannya.
"Mas ...."
"Kalila hamil muda dan dia ...."
Menarik napas dalam-dalam, aku mulai mengerti arah pembicaraannya.
"Aku tahu. Tak apa, Mas. Emosi ibu hamil memang terkadang tidak stabil. Apa dia meminta Mas untuk ...."
"Tidak! Aku tidak akan kembali ke sana tanpamu, Dek!"
"Mas ... bukankah sekarang Mas punya dua orang yang bisa menghibur di kala susah? Jika aku tak ada, ada Kalila di sana. Demikian pula sebaliknya. Kalau memang Mas harus pergi, pergilah. Bukankah itu sudah menjadi tanggung jawab, Mas?"
Mas Bagas menatapku.
"Dek, Mas hanya tak ingin terjadi sesuatu padamu."
"InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa padaku. Sekarang Kalila butuh perhatian ekstra. Aku ikhlas."
Priaku itu terdiam, jelas terlihat dia gamang. Tak jauh berbeda denganku, ada rasa kecil hati saat ini.
Namun, tak ingin menutup mata tentang keadaan Kalila. Pagi tadi dia sempat mengirim pesan bahwa dirinya tengah butuh Mas Bagas. Menurut Kalila, kehamilannya membuat tak bisa beraktifitas seperti biasa. Hampir setiap pagi dia selalu muntah dan mual.
Lalu, akankah aku menutup mata dengan kondisi adik maduku itu?
***
Kelak semua akan tahu, bahwa sebuah ketulusan tak pernah sia-sia. Dia perlahan akan membalut kecewa dengan caranya. Sungguh, semenjak tahu ada buah cinta Mas Bagas di rahim Kalila, aku selalu mencoba menghampar kelapangan dalam dada. Merajut harap menyelipkan pinta pada-Nya. Nurani terkadang berontak ingin juga dipilih-Nya untuk menjaga cinta Mas Bagas, tapi Tuhan belum menjawab semua harap.
Sehari sebelum Mas Bagas kembali ke Kalila, kedua orang tuaku datang berkunjung. Mereka terlihat bahagia mendapati rumah tangga kami masih tenang seperti dulu. Wejangan khas dari Ayah meluncur saat kami usai menikmati makan malam. Jarak tempuh tiga jam dari kota tempat tinggalku membuat rahasia kami masih rapat terkunci.
"Bagas, Ayah bahagia kamu bisa menjadi pemimpin yang baik untuk Hana. Ternyata putri Ayah tak salah memilih suami," tutur Ayah menatapku. Mas Bagas menggenggam erat jemari menatap lembut padaku.
"Saya bukan siapa-siapa jika tanpa Hana, Yah. Putri Ayah-lah yang membuat saya jdi seperti ini."
"Alhamdulillah, kalian memang pasangan serasi. Semoga sakinah mawadah warahmah hingga akhir, apa pun yang terjadi semoga kalian bisa atasi dengan baik," timpal Ibu tersenyum.
Ayah dan ibuku berterima kasih pada suami karena hingga saat ini tidak mempermasalahkan diriku yang belum juga hamil. Berkali-kali Ayah meminta pada Mas Bagas agar bersabar dan meminta pada Tuhan.
"Buat saya, Hana ada di samping saya saja sudah cukup, Yah. Dia lebih dari sekedar perhiasan dunia."
"Ish, berhenti memujiku, Mas!"
"Aku serius, Dek."
"Aku hanya tidak ingin pujianmu itu membuat takabbur."
"Aku tidak sedang memuji, aku mengatakan hal sebenarnya, Sayang," balasnya.
Melihat perdebatan kami, kedua orang tuaku tersenyum. Bersyukur saat mereka berkunjung, Mas Bagas tengah berada bersamaku, sehingga aku tidak memutar otak memikirkan alasan yang tepat untuk memberitahukan kepada mereka.
Saat ini biarkan mereka tidak tahu, tapi suatu saat nanti cepat atau lambat aku akan mengabarkannya.
***
Lima belas hari, akhirnya Mas Bagas pergi. Ia pergi setelah aku berusaha meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja.
"Sampaikan salamku untuk Kalila dan Bude, Mas." Kuraih tangannya lalu mencium lama punggung tangan itu.
Sekuat tenaga kutahan sesak di dada yang bertalu dan ingin menyeruak bersama tetes air mata. Tidak! Saat ini bukan waktunya aku menangis, jika ia tahu air mata ini, kuyakin Mas Bagas tak akan pergi.
"Dek. Aku ... aku ingin kamu ikut!"
"Tidak, Mas. Mungkin nanti jika Kalila melahirkan ... aku akan berkunjung ke sana. Jangan khawatir, aku baik-baik saja." Kuatur ritme napas setenang mungkin. Namun, Mas Bagas tahu aku sedang bersandiwara.
"Menangislah ... jangan mencoba kuat di depanku. Aku tahu siapa Raihana, perempuan yang hatinya terlalu rapuh untuk menyimpan duka sendiri." Dia membawaku kedalam pelukan. Meski kunikmati hangat itu, tapi tak sepenuhnya. Kuajak otak menolak perasaan nyaman itu. Tak ingin ego ini memberontak meminta keadilan. Perlahan kuurai pelukan, mencoba mengatur buncah rasa.
"Pergilah, Mas. Nanti ketinggalan pesawat."
"Dek, jaga diri baik-baik ya. Aku titip hatiku di sini," tuturnya menunjuk dadaku, "tak ada alasan untuk melupa atau berhenti merindu. Aku mencintaimu, Hana. Mencintaimu lebih dari yang kamu tahu." Mas Bagas menarikku kembali ke dekapnya. Hingga klakson taksi online memutus semuanya.
Kulepas kembali kepergiannya, kali ini aku harus lebih memupuk ikhlas. Ini adalah langkah awal untuk semakin sadar bahwa ada yang harus diprioritaskan pada dirinya.
***
Segala tentang kita terkadang ingin kumusnahkan. Ingin kuhapus bagian itu agar hati tak semakin luka. Getir yang kurasa telah kubuat sendiri, tak ada guna menyesal jika akhirnya tak menemukan muara. Semakin kuresapi jalan yang telah kutempuh, semakin kusadari bahwa ternyata kehilanganku bukan pada dirinya, tapi pada diriku sendiri. Aku terlalu egois merasa bisa menguasai keadaan. Merasa mampu dan terlalu yakin atas keputusanku.
Kini aku sudah jauh melangkah, tak perlu menoleh ke belakang atau memohon untuk kembali. Tak ada pilihan selain menatap ke depan menghadapi sendiri apa yang telah kuputuskan.
"Kamu nggak usah pura pura, Hana. Kalau kamu nggak kuat, kamu bisa ajukan cerai!" Salma duduk di sampingku. Sore itu ia bertandang ke rumah. Seperti biasa, dia tak henti mengungkapkan sesalnya atas tindakanku.
"Cerai? Nggak, Salma. Itu tak mungkin kulakukan."
"Kenapa? Emang kamu nyaman hidup seperti ini?"
Kutatap Salma sejenak kemudian memalingkan muka ke arah jendela.
"Hana, aku hanya nggak mau kamu bersedih. Seharusnya kamu bisa memutuskan yang terbaik."
"Aku paham, tapi aku ...."
"Kamu takut orang tuamu mengetahui prahara rumah tangga kalian?"
Terbayang wajah Ayah dan Ibu, mereka sudah tak lagi muda. Cukup kisruh rumah tangga adikku saja yang membuat mereka meneteskan air mata. Tak ingin membuat mereka kembali merasakan kecewa dengan mengetahui kisruh rumah tanggaku.
Lagipula, aku sudah mulai sedikit demi sedikit mencoba berlapang dada menerima suratan takdir dari-Nya. Aku yakin pahit ini tak akan lama, sama halnya petani, mereka tak selamanya menanam. Jika telah selesai akan ada waktu mereka untuk memanen memetik hasilnya.
"Aku jadi pingin maki-maki Bagas deh! Dia mau apa nanti di akhirat berjalan pincang karena berlaku tidak adil pada istrinya?"
"Sudah, Salma. Aku ikhlas kok! Lagian pekerjaanku juga semakin banyak, ini akan mengalihkan pikiranku."
Salma tak lagi bereaksi, dia tahu kapan waktunya untuk diam.
***
Dua bulan semenjak kepergian Mas Bagas ke Kalimantan, bisa dihitung dengan jari berapa kali dia menelepon. Meski begitu dia tak lelah untuk sekedar mengirim pesan rindu padaku. Seusai Salat Subuh, seperti biasa aku menyiapkan catatan yang hendak dipesan pekerjaku di gudang untuk mengisi toko grosir milik kami.
Setelah semua selesai, aku menelepon Santi salah satu pekerjaku untuk mengambil ke rumah. Tak menyadari bahwa ponselku mati kehabisan baterai. Sambil menunggu telepon menyala, kuisi perut dengan segelas air lemon hangat seperti biasa. Saat telepon sudah menyala, benda itu berdering, cepat kuterima membaca nama Mas Bagas di sana.
"Assalamualaikum, Mas."
"Kalila keguguran."
"Apa? Lalu kondisinya sekarang gimana?"
"Sedang ditangani dokter."
"Oke, sampaikan salamku ... aku ikut sedih."
"Akan ku sampaikan. Kamu baik-baik di sana. Hati-hati!"
"Iya, Mas. Mas juga hati-hati."
"Aku rindu, Hana. Nanti kalau kondisi Kalila membaik, aku akan pulang."
Tak kuindahkan ucapannya. Tanpa menunggu dia menutup telepon, aku berusaha mendahului. Tak sanggup melanjutkan pembicaraan.
Tuhan, salahkah jika aku merindu? Sempat Mas Bagas mengatakan akan datang setelah kondisi Kalila sehat membuat ada sedikit bahagia di hati. Memikirkan bahwa aku akan bersamamu esok, memberikan aku kekuatan untuk melalui hari ini.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top