Usai 20


Mas Bagas mengacak rambutnya kasar. Dia menggeleng dengan paras yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Oke, aku tahu ada begitu banyak kesalahanku padamu. Baik ... tolong bisikkan pada anak kita, kalau aku menyayanginya."

Kalimat itu terdengar begitu dalam keluar dari lisan suamiku. Mungkin terlihat aku egois dalam hal ini, tetapi bukankah kita boleh membuat sikap  untuk menunjukkan pilihan kita, bukan?

"Oke, untuk permintaan itu akan aku sampaikan. Mas tenang aja. Sudah malam ... aku harus istirahat lagipula bukannya Mas besok harus kembali ke Balikpapan, kan?"

Mas Bagas mengangkat wajahnya menatap tajam.

"Kalila meneleponku tadi. Tolong bilang padanya untuk jangan pernah khawatir aku akan menyita perhatianmu."

Priaku itu tampak muram.

"Aku nggak mau jadi pihak yang nantinya akan disalahkan jika terjadi sesuatu padanya dan pada calon anak kalian. Bilang juga padanya, dia memang berhak mendapatkan kebahagiaan itu dengan utuh."

Kutarik napas dalam-dalam.

"Aku mau tidur. Selamat malam."

**

Aku terbangun sedikit kesiangan, gegas mengambil wudu untuk kemudian salat. Setelah mengerjakan kewajiban, aku memutuskan untuk pulang. Karena memang tidak ada yang bisa kulakukan di rumah ini. Sarapan? Tentu saja tidak ada. Karena kulkas aku matikan dan persiapan makanan kering di lemari pun tidak ada.

Membersihkan diri, merapikan pakaian yang sejak kemarin tidak ganti karena memang di rumah ini aku sama sekali tidak meninggalkan barang apa pun. Kutarik napas dalam-dalam memutar kenop pintu.

Aroma mentimun yang dipadu dengan bumbu pecel menyeruak saat aku melangkah ke ruang keluarga. Di dapur kulihat Mas Bagas tengah menyiapkan makan pagi. Ada dua piring kulihat di meja makan. Rupanya dia pagi-pagi sekali tadi membeli makanan yang biasanya disajikan dengan rempeyek itu.

"Pagi, Hana!" sapanya.

"Pagi, Mas."

"Kamu mau ke mana? Kenapa membawa tas?" tanyanya menyelidik menatap tas tanganku.

"Aku mau pulang."

Mendengar jawabanku, wajah Mas Bagas seketika berubah murung. Dia lalu meletakkan dua gelas air putih yang berada di tangannya ke meja.

"Pulang? Kamu mau pulang sementara aku masih di sini?" tanyanya seraya melangkah mendekat.

"Aku pagi-pagi sekali tadi beli sarapan berharap saat kamu membuka mata, kita bisa menikmati makan pagi bersama, Hana," tuturnya saat kami berhadapan.

Aku bergeming. Usaha Mas Bagas untuk melelehkan hatiku rupanya masih berlanjut.

"Kita sarapan bareng ya," ajaknya dengan suara lembut seraya mengulurkan tangan mengajakku ke ruang makan.

"Please, Hana."

Sepanjang hidupku bersamanya, bisa dikatakan dia tidak pernah memohon seperti ini padaku. Kucoba menatap di kedalaman mata itu mencari kesungguhan di sana.

"Aku tahu mungkin memang ini hukuman bagiku karena terlalu memikirkan diri sendiri dan berbuat tidak adil padamu, tapi ... jika boleh menyesal, aku sangat menyesal, Hana. Aku memang ...."

"Simpan kalimatmu, Mas! Kasihan Kalila, dia butuh banyak energi menunggumu di sana. Anak kalian butuh perhatian," sindirku mengayun langkah melewatinya menuju meja makan.

Kami duduk menikmati sarapan dengan diam. Mas Bagas sepertinya sudah enggan mengutarakan keinginannya.

Ponselku berdering saat baru saja menyelesaikan sarapan.

"Halo, Ata?"

"Halo, Bunda Hana. Bunda nanti sore datang ke ulang tahun Ata ya."

"Oh, Ata ulang tahun hari ini?"

"Iya, Bunda."

"Maaf ya, Bunda nggak tahu. Selamat ulang tahun, Ata."

"Makasih, Bunda."

Oke, nanti sore, Bunda ke rumah Ata."

Terdengar bocah kecil itu bersorak.

"Janji ya, Bunda. Kata Om Randy, Bunda di jemput nanti sekalian Om pulang dari rumah sakit."

Aku terdiam sejenak. Bukan menolak, hany saja aku benar-benar tidak ingin melibatkan Randy di dalam masalah ini.

"Eum ... nggak usah, Ata. bunda bisa pergi sendiri  kok."

"Ya udah, tapi Bunda janji datang ya."

"Janji. Insyaallah. Sampai ketemu sore nanti ya. Bye, Ata."

Kuletakkan ponsel di meja lalu meneguk air putih hingga tandas.

"Siapa telepon?" Nada tak bersahabat terdengar dari suara Mas Bagas.

Belum sempat kujawab, dia berdehem sambil tersenyum masam. "Oh iya, itu Ata muridmu, kan? Yang keponakan dokter yang baik banget itu? Benar, kan?"

Aku diam, sengaja tidak peduli dengan apa yang dia ucapkan. Sambil meraih tas tangan, aku beringsut dari duduk.

"Aku mau pulang, Salma sebentar lagi sampai!" ujarku.

Tadi saat terbangun, aku segera mengirim pesan ke sahabatku itu untuk menjemput seperti tawarannya padaku.

"Duduk, Hana!"

"Ada apa, Mas? Salma sudah mau sampai dan nggak ada lagi yang bisa kita bicarakan."

"Kamu meminta untuk menceraikanmu, kan?"

Kubasahi tenggorokan. Dada terasa berdebar lebih kencang serta terasa ada sudut hati yang seolah diremas.

"Baik! Karena sepertinya kamu memang lebih bahagia hidup seperti ini. Aku nggak bisa memaksa, karena memang sepertnya semua akan sia-sia."

"Aku ikuti apa yang kamu mau, Hana."

Mas Bagas menarik napas dalam-dalam, ada gurat resah di matanya. Meski besar keinginanku berpisah darinya, tetap saja hatiku mencelos mendengar apa yang dia katakan. Ternyata memang aku tidak lagi istimewa dan tidak layak dipertahankan. Ternyata hanya sebatas itu perasaan cinta Mas Bagas padaku.

"Raihana, mulai saat ini aku menceraikanmu. Mulai hari ini kamu sudah bukan istriku! Kamu aku ceraikan, Hana."

Kupejamkan mata menahan lesak air yang hendak keluar. Pagi ini, aku sudah melakukan hal yang sama sekali tidak pernah kupikirkan. Terkadang takdir memang terlihat tidak bersahabat, tetapi kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di baliknya.

Kuusap lembut perutku, menyapa dari hati kepada calon buah hati kami. Buah hati yang semestinya akan lahir di tengah-tengah kedua orang tua yang telah lama menantikannya. Akan tetapi, kini dia harus kehilangan seorang yang kelak akan dipanggil papa.

'Maafkan Mama, Sayang. Maafkan Mama.yang terlihat egois karena memilih jalan ini untuk ketenangan Mama, tanpa memikirkan apa yang terjadi jika kamu sudah lahir nanti. Maafkan Mama.'

"Tapi anak itu ... aku akan tetap menjadi ayah baginya."

Suara Mas Bagas terdengar bergetar. Entahlah, mungkin dia juga sama sepertiku. Kecewa dan sedih karena jika mengingat dan menoleh ke belakang, terlalu banyak hal manis yang pernah kita ukir, dan semuanya kini tak lagi berarti apa-apa.

"Maafkan aku, Hana. Aku memang pria tidak berguna."

"Mas, jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Kita semua berguna setidaknya untuk diri kita dan keluarga. Terima kasih sudah membuat semua jadi mudah. Sebaiknya Mas segera urus dokumen perceraian kita, dan ...." Aku mengambil napas dalam-dalam mencoba bersikap tegar di depannya meski hatiku saat ini benar-benar hancur.

"Dan sampaikan salamku ke Kalila, dia telah menemukan bahagianya secara utuh sekarang."

Mata pria itu memindaiku seperti bertanya apa maksud dari ucapanku barusan.

"Dia benar-benar mencintaimu, Mas. Kamu benar-benar telah mewujudkan impian tentang sebuah cinta sejati yang tak pernah mati. Selamat ya."

"Hana."

Aku tak sanggup menahan lagi air mata. Kubiarkan dia lirih membasahi pipi. Bukan! Bukan aku menyesal dengan apa yang baru saja terjadi. Bukan aku menyesal dengan keputusan ini, tetapi ternyata cintaku ini hanya sebagai perantara sampainya perasaan Kalila dan Mas Bagas. Ternyata jalan jodohku hanya sampai di sini dan itu benar-benar jauh dari apa yang kupikirkan.

"Hana katakan apa yang harus aku lakukan? Kamu tahu aku nggak bisa melakukan ini, tapi aku lakukan karena kamu meminta dan tertekan saat bersamaku. Katakan, Hana!"

"Nggak, Mas! Nggak ada yang Mas lakukan. Mas sudah melakukan yang terbaik, dan terima kasih untuk semuanya."

Hening. Ruangan yang biasanya hangat karena selalu kami jadikan tempat diskusi dan bercerita tentang apa pun itu kini terasa dingin.

"Aku pulang! Sepertinya Salma sudah ada di depan. Makasih ya, Mas. Assalamualaikum."

Kudengar samar dia menjawab.

"Hana!"

Aku menoleh dan menghentikan langkah. Mata Mas Bagas terlihat memerah dan berkaca-kaca.

"Kalau aku masih boleh berkata tentang perasaan ... sejujurnya perasaan itu nggak pernah berubah, tapi ...." Mas Bagas menggantung kalimatnya. Pria itu melangkah mendekat.

"Percayalah, Mas, lambat laun Mas akan melupakan rasa itu. Ada Kalila yang bisa mengubahnya. Aku permisi."

Dadaku berdebar kencang dan mata ini terasa semakin memanas. Segera kubalikkan badan dan mengambil langkah seribu meninggalkan Mas Bagas dan semua kenangan yang pernah tercipta yang kini mulai hari ini perlahan akan kuhapus meski sulit. Iya, sangat sulit!

**

Suka gaak? Hi-hi 🤭

Yuklah cuss ke google play store ajah untuk tahu endingnya 💛


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top