Usai 2

Hari ini tidak seperti kemarin. Kabar bahwa Mas Bagas akan datang membuat hati berbunga-bunga. Kusiapkan rumah sedemikian rupa, hidangan kesukaan dia, dan tentu saja diriku. 

Tiga bulan terpisah dari belahan jiwa bukan perkara yang mudah. Tak terhitung berapa malam aku hanyut dalam perang emosi, bertarung dengan nurani dan berupaya mengendapkan rasa. 

Melipat rindu dan menyimpan baik-baik di sudut hati sudah kulakukan bahkan jauh sebelum Mas Bagas pergi. Aku merasa berada di persimpangan, meski sejujurnya tak tahan dengan keputusan yang menurut Salma konyol, toh aku yakin ini adalah wujud cintaku pada suami. 

Pernikahan Mas Bagas dan Kalila sengaja kusembunyikan dari orang tua. Mereka tentu akan menganggapku aneh atau bahkan bodoh jika tahu apa yang kulakukan. Terkadang cinta membutakan. Kita bisa menjadi orang paling bahagia sekaligus paling bodoh saat berhadapan dengan lima huruf itu.

"Aku nggak pernah bisa ngerti jalan pikiranmu, Hana! Kamu relakan suamimu membagi cinta pada wanita itu? Kamu itu ...."

"Jangan goyahkan keikhlasan ini, Salma. Aku hanya tak ingin ada dosa di antara mereka."

"Maksud kamu?"

"Aku tak ingin mereka zina hati. Aku tahu seperti apa rasanya jatuh cinta."

"Ya tapi, kan bisa dicegah, Hana. Bukan malah membiarkan mereka menikah!" tangkisnya dengan wajah emosi.

Andai aku memaparkan semua alasan pun, tetap saja Salma atau bahkan orang tuaku tak akan pernah terima. Cinta itu masalah hati, cinta itu rasa nyaman, cinta itu ketulusan. 

Pernahkah engkau melihat mata pasanganmu yang berbinar saat menyebutkan satu nama? Apa yang ada dalam pikiran saat itu? Cemburu? Tentu! Namun, singkirkan rasa itu untuk memberi bahagia. Jangan tanyakan sembilu di hati. Kamu tak akan pernah tahu, tetapi itu akan terobati saat melihat lengkung indah di bibirnya.

Aku hanya ingin berbagi bahagia, berbagi cinta pada seseorang yang pantas menerima. Pernah juga berpikir untuk mundur, tetapi hati tak sanggup. 

Mungkin benar kata Salma, aku bodoh. Bodoh karena cinta, terbelenggu oleh rasa yang tak mudah lepas. Mencintai Mas Bagas adalah satu-satunya alasan atas keputusanku.

Kalila tak hanya cantik, dia juga cerdas. Benar kata suamiku. Setidaknya kini mereka berdua tengah sibuk mengurus bisnis restoran di Kalimantan. Sebenarnya sudah sejak lama Mas Bagas memimpikan memiliki usaha kuliner, tapi kondisi perekonomian kami yang  tidak memungkinkan menjadi kendala.

Ada saat hati gulana mengenangnya di malam-malam dingin. Terlebih saat mendengar saat Kalila tengah hamil muda. Sebagai wanita normal yang ingin memiliki seseorang anak, aku merasa seolah semesta menertawakan keputusan yang kubuat. 

Tujuh tahun bersanding dan selalu berharap cemas di setiap purnama membuat putus asa. Namun, kesabaran dan kedewasaan Mas Bagas mampu meredam pilu sembilu yang terasa ngilu. Ia tak pernah menuntut, baginya aku sudah cukup melengkapi hidupnya.

Akan tetapi, tak ada satu pun yang bisa berdusta manakala menyaksikan kebahagiaan pasangan yang dikaruniai keturunan. Aku tahu, Mas Bagas menyimpan keinginan itu dalam-dalam jauh di lubuk hati. 

***

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore, itu artinya setengah jam lagi priaku akan tiba. Kukenakan dress biru berbahan satin dengan belahan dada rendah hadiah ulangtahun pernikahan darinya setahun yang lalu. 

"Jangan pernah potong rambutmu, Sayang. Aku suka rambut panjangmu," ujarnya waktu itu. 

Aku mengikuti semua keinginannya dengan membiarkan mahkota ini tergerai, hanya sesekali kurapikan agar tidak terlalu panjang dan supaya terlihat lebih rapi. 

Masih mematut diri di depan cermin mencoba mengumpulkan keping kisah yang pernah terukir indah di masa lalu.

Mas Bagas adalah kakak kelas di kampus, saat itu dia yang bertanggung jawab sebagai penyelenggara orientasi kampus. Pembawaannya yang cool, membuat sekejap saja dirinya menjadi buah bibir kami mahasiswi baru.

Berbeda dengan lelaki kebanyakan, jika banyak mahasiswa sibuk mengincar maba, tidak demikian dengan Mas Bagas. Dia lebih suka bercengkrama dengan laptop atau buku. Bahkan  tak peduli dengan riuh kawan-kawannya yang sibuk mencari pasangan baru.

"Suka baca?" tanyanya saat aku didaulat menjadi salah satu panitia bedah buku. 

Saat itu semester tiga. Aku hanya mengangguk, lebih tepatnya salah tingkah. Tentu saja, siapa yang tidak nervous ketika tiba-tiba diajak ngobrol dengan lelaki yang terkenal pelit bicara. 

Sejak itu kami sering berdiskusi tentang apa pun. Ternyata dia pribadi yang menyenangkan, seorang pemikir yang mempunyai ide-ide luar biasa. Dia juga sangat peduli pada siapa pun yang membutuhkan pertolongan, terlebih jika berhubungan dengan tugas perkuliahan. Dia tak segan membantu mahasiswa baru jika membutuhkan bantuannya. 

Hal itu yang membuat banyak mahasiswi salah terima. Perhatian Mas Bagas sering disalahartikan oleh mereka.

Menjadi wanita yang dia pilih menjadi kebanggaan buatku. Meski di tengah perjalanan, aku mendapati beberapa mantan Mas Bagas yang seolah tak rela. Namun, dia bisa membangkitkan rasa yakin bahwa memang akulah yang menjadi titik akhir hidupnya.

"Aku rasa, kamu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku," ungkapnya suatu pagi saat kami berdua tengah duduk di perpustakaan. 

Dunia seolah berhenti berputar saat dia menuturkan itu. Aku hanya bisa menyembunyikan wajah yang menghangat. 

Jika pria pada umumnya akan memberikan setangkai mawar pada gadis pujaannya, lain halnya dengan Mas Bagas. Ia memilih membawakan aku bunga ilalang yang ia padukan dengan bunga pinus, sangat indah! "Buat calon ibu dari anak-anakku," tuturnya saat itu.

Banyak peristiwa indah mengalir sesudahnya. Keberanian Mas Bagas meminangku saat dirinya masih belum mapan menjadi satu dari bukti keseriusan hubungan kami.

 Bahagia jika mengingat detik-detik pertemuan itu. Kuhela napas saat sadar dia kini bukan sepenuhnya milikku. Kini aku harus membagi perhatian itu dengan wanita yang pernah istimewa di hatinya. 

Setidaknya, aku ingin dia tahu, bahwa cintaku bukan cinta yang egois. Meski aku harus berkali-kali meyakinkan bahwa jalan ini bukan jalan yang salah.

Suara ketukan di pagar membuatku beranjak. Sempat kulihat petunjuk waktu di dinding tepat pukul empat sore. Sejenak merapikan rambut yang telah dicepol dengan hiasan bunga melati kesukaannya dan memasang senyum paling manis menyambut belahan jiwa.

Kusibak gorden, tampak pria tegap tengah mencoba membuka pagar yang tak terkunci. Kegembiraan bercampur haru bergejolak membuat mataku menghangat. Cepat membuka pintu menyambut lelaki yang sangat kucintai itu. 

Sejenak kami saling menatap untuk kemudian berangkulan. Sesak di dada menahan emosi yang kucoba tekan sekian lama. Berada di dekatnya setelah sekian lama tak kuhirup aroma tubuh itu, membuatku tak ingin melepaskan.

"Adek kok kurusan?" tanyanya sesaat setelah kami mengurai peluk. Tak kutanggapi pertanyaannya. Dia tidak salah, memang belakangan ini nafsu makanku hampir tidak ada. 

"Adek sakit?" Suaranya terdengar resah. Ia mengusap pipiku lembut. Kehangatan yang teramat kurindukan manakala wajah kami saling menatap.

"Sayang?"

"Nggak, Mas. Aku nggak kenapa-kenapa." Kuhirup napas dalam-dalam saat tanpa sengaja melihat samar bekas lipstik di kerah baju Mas Bagas. 

Mendadak kurasa sembilu menyapa, bagaimana aku bisa lupa jika ada hati yang dia tinggal di sana? Bagaimana mungkin aku melupakan bahwa pria tampan di depanku ini tak lagi sepenuhnya milikku? Mencoba menguatkan hati dengan tak menghiraukan tanda merah itu.

 Sedikit kupangkas jarak mencoba mengatur detak jantung yang tiba-tiba bertalu menyalakan api cemburu. Melihat perubahan dariku, Mas Bagas mengernyit heran.

"Sayang? Ada yang salah?"

Kutahan kuat air yang seolah tak betah menggenang di pelupuk. Dengan mengatur napas kutawarkan minuman jahe plus serai hangat kesukaannya. Tak kuduga! Bukannya dia setuju, justru Mas Bagas menarik tubuhku merapat padanya.

"Jangan ke mana-mana. Aku merindukanmu, Dek. Sangat!" Lembut menenggelamkan wajahku ke dada bidangnya. Lagi-lagi emosi teraduk-aduk. Tiba-tiba berjuta sesal mengoyak menjalar ke seluruh tubuh. Aku luruh tak sanggup menahan tangis.

 Air mata tumpah membasahi kemejanya. Sudut hati berucap lirih memohon ampun atas rasa cemburu yang kumiliki. Memohon untuk ditegaskan kembali tanpa sesal dengan keputusan yang telah kubuat. 

Bukan hanya aku, Mas Bagas pun tak luput dari rasa itu, ada isak tertahan kurasa dari napasnya yang naik turun. Ia semakin mengeratkan pelukan dan berkali-kali mencium puncak kepalaku.

"Maafkan Mas, Dek. Maafkan, Mas." Jelas kudengar berulangkali dia berbisik.

***

Tak ingin lama memendam rasa cemburu, kuisi hari bersama Mas Bagas dengan bahagia. Kemesraan kami lebih dari sebelumnya. Seolah dua insan yang tengah dimabuk asmara, aku dan suami tak pernah berjauhan. 

Kulayani dia lebih dari biasa, jika ada yang berubah adalah binar mata yang menatapku penuh cinta. Sama seperti sorot saat belum bertemu Kalila. Mata itu tak lagi sendu saat sebelum kuizinkan dja menikah dengan Kalila.

"Mau ke mana, Dek?" tanyanya saat perlahan aku bangkit dari petiduran setelah hampir setiap malam kami habiskan untuk melepas rindu menyatukan cinta.

"Mandi, Mas. Jangan bilang mau bareng lagi."

Ia mengulum senyum.

"Kenapa?" Dia bertanya dengan sorot mata nakal.

"Nanti nggak selesai-selesai!"

Kali ini priaku tertawa geli. Terdengar suara telepon selulernya berdering, sempat kulirik dan langsung tahu siapa yang tengah memanggil. 

"Terima, Mas. Aku mandi dulu."

Kuambil benda itu menyerahkan pada Mas Bagas. Ia tampak ragu menatapku.

"Dia istri Mas juga, 'kan? Mungkin dia rindu ...." Teringat Kalila tengah berbadan dua, cepat kuletakkan ponsel ke tangan Mas Bagas lalu gegas menuju kamar mandi. 

Bohong jika tak ada cemburu yang mendera, bohong jika tak ada sedih yang meraja. Aku berduka dengan amarah yang kubuat sendiri. 

Entah, terkadang kuberpikir lebih baik Mas Bagas tak pernah datang, sehingga lambat laun hati ini akan terbiasa. Namun, muncul pertanyaan, apa aku sanggup jika hati hanya dipenuhi cintanya? Aku naif? Aku munafik? Mungkin!

'Tuhan, maafkan aku jika ternyata aku terlalu mencintai Mas Bagas. Meski kutahu, kita tak boleh mencinta makhluk melebihi cinta pada-Mu. Inikah teguran-Mu atas rasa berlebih itu?'

Kunyalakan shower membasahi tubuh dan menumpahkan air mata sejadi-jadinya di sana. Aku benci diriku, aku benci perasaan ini.

Terlalu banyak purnama tergelar di antara kita yang terbiar menguap. Pernahkah kamu sadar satu di antara seribu harap itu adalah serpih asa yang lama terbiar? Adakah cara untuk kembali dan menenun asa? Tidak! Tak ada pilihan lain selain melangkah meninggalkan berharap tanpa sesal.

Tbc.

Terima kasih sudah mampir dan membaca. 

Love you all 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top