Usai 18

"Mas! Tolong jangan bicara begitu! Apa maksudnya? Mas mau mulai kembali perdebatan kita? Cukup, Mas!"

Kurasa kali ini Mas Bagas sudah benar-benar keterlaluan. Lagi-lagi dokter Randy yang dijadikan tersangka atas apa yang terjadi.

"Kenapa, Hana? Kenapa kamu begitu membelanya? Apa yang sudah dia berikan ke kamu?"

Kuatur napas yang perlahan memburu dan gak beraturan karena meradang. Jika dia menganggap aku berbeda tidak seperti dulu, mungkin dia pun juga demikian. Di kepalanya yang ada hanya prasangka buruk dan terus dipupuk. Sama sekali tidak mau mengoreksi diri atas apa yang terjadi tanpa harus menyalahkan orang lain.

"Aku nggak membela siapa pun, Mas. Jika aku mengatakan agar Mas menjaga omongan itu lebih karena aku malu. Malu pada masalah kita. Malu karena akhirnya orang banyak tahu!"

Mas Bagas menarik napas dalam-dalam.

"Malu kamu bilang?" Dia tersenyum singkat. "Kalau kamu malu, kenapa tidak berpikir untuk menyelamatkan rumah tangga ini? Kenapa kamu malah berpikir untuk menyudahi? Aku tahu seperti apa yang ada di kepala orang tentang kita, dan kita bisa perbaiki itu, Hana!"

Lagi-lagi dia mengutarakan keinginan untuk kembali. Sesungguhnya hubungan ini sudah hancur bukan lagi retak. Sudah sangat sulit untuk disatukan. Lagipula jika pun aku setuju dengan usulannya, kalau apakah ada jaminan jika Kalila tidak kembali meminta lebih haknya?

"Mas, dengar aku! Berhenti berburuk sangka kepada siapa pun. Kamu Mas bilang aku berubah berbeda dari yang dulu, itu murni karena sebuah renungan tentang semua masalah yang menghampiri."

Kutatap matanya lekat hingga kudapat menyelami apa yang ada di kepalanya. Aku tahu dia sedang gundah karena tak bisa mengambil keputusan. Mas Bagas ragu antara melepas atau terus menggenggamku.

"Mas tahu? Semua orang akan berubah seiring kedewasaan yang ada pada dirinya. Mas bilang aku berubah, lalu apa Mas nggak sadar jika Mas juga jauh berubah?"

"Jika Mas menuduh Dokter Randy penyebabnya, lalu apakah aku juga bisa mengatakan jika mas berubah karena Kalila? Heum? Boleh aku berkata begitu?"

Priaku itu bergeming. Semoga dia bisa mengerti dan memahami jika memang kondisinya sekarang sudah benar-benar berbeda.

"Kenapa diam, Mas? Mas mau marah karena aku menuduh Kalila? Iya, Mas?"

Terlihat dia menarik napas dalam-dalam.

"Mas pasti akan marah, kan? Mas pasti marah karena aku menuduh istri Mas itu penyebabnya, kan?"

"Hana, cukup! Sudah kubilang aku nggak mau ada pembicaraan soal dia di antara kita!"

"Nggak bisa! Dia akan selalu ada dan selamanya ada di dalam pembicaraan kita. Karena dia sudah jadi bagian dari kita! Kecuali kalau aku juga tidak pernah ada di dalam pembicaraan kalian!"

Suasana restoran mulai sedikit ramai, tetapi tidak dengan di dekat kami duduk. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada Salma karena memilihkan tempat di sini.

"Ah iya! Aku tahu sekarang. Aku memang tidak pernah ada di dalam obrolan kalian. Iya, kan? Padahal Kalila tahu aku hamil dan dia tidak pernah merasa khawatir sebagai perempuan atas kondisiku. Dan kamu, Mas? Kamu nggak ada bedanya dengan dia!"

"Hana!" Suaranya meninggi. "Berhenti memojokkanku. Berhenti memojokkan Kalila! Kamu tahu dia siapa, kan? Dia juga istriku."

Mendengar suaranya yang keras membuat tubuhku seketika melunglai. Aku tahu Kalila itu istrinya, lalu bukankah aku juga sampai detik ini masih berstatus istrinya? Jika dia bisa membela Kalila di depanku, lalu kenapa dia selalu menyudutkan aku dengan mengatakan yang tidak-tidak soal aku dan dokter Randy?

"Hana, kamu yang dulu memintaku menikah dan menjaga kehamilan Kalila, bahkan kamu rela kutinggal lama saat itu, aku sempat berat dan menolak, tapi kamu bilang kalau kamu bisa bersabar, bukan? Tapi sejak ada pria itu ... kamu jadi terlalu berlebihan!"

"Berlebihan Mas bilang? Berlebihan dari mana? Aku juga hamil, Mas. Aku juga butuh suamiku. Aku juga butuh perhatian." Kutarik napas dalam-dalam. Air mata tak lagi bisa kutahan, kubiarkan menetes begitu saja membasahi pipi. "Tapi apa yang Mas lakukan? Mas memilih pergi dan mengatakan hal yang tidak sepantasnya padaku! Kamu keterlaluan, Mas!"

Mas Bagas memijit pelipisnya. Entah apa yang ada di pikirannya kali ini, tetapi aku sudah benar-benar mual dengan pembicaraan kami yang tidak berujung ini. Tak ingin kembali berdebat, aku bangkit dari duduk.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan menusuk. "Nggak baik pergi meninggalkan obrolan begitu saja terlebih dengan emosi."

"Aku mau pulang. Kita akan terus berputar-putar pada pembicaraan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cepat!" Kuhapus air mata. "Aku pulang!" Menyambar tas tangan di meja kuayun langkah cepat. Namun, cekalan tangannya menghentikanku.

"Mama bilang kamu sudah nggak tinggal di rumah kita lagi. Apa itu benar?"

"Iya."

"Kenapa? Kenapa kamu nggak tinggal di sana?"

"Di mana pun aku tinggal sudah bukan lagi urusanmu, kan, Mas?"

"Hana!"

"Aku hanya tidak ingin lagi berada pada pusaran yang sama. Aku lelah."

"Tapi itu rumahmu. Rumah kita."

Aku menggeleng seraya mengangkat wajah menatapnya

"Rumah itu adalah tempat yang nyaman untuk jiwa juga raga, tapi sayangnya aku tidak bisa merasakan hal itu lagi di sana sekarang."

Kutarik pelan tanganku yang ada di genggamannya, tetapi dia justru semakin mengeratkan tangannya.

"Ikut aku!"

"Nggak, Mas! Aku capek dan pengin istirahat."

"Kita istirahat di rumah kita. Bukan di rumah orang tuamu."

"Tapi aku nggak nyaman di sana, Mas!"

"Ada aku yang akan membuatmu nyaman!"

Dia tak lagi memedulikan penolakanku. Mas Bagas melangkah menuju pintu keluar menggandeng tanganku,melewati Salma yang dari tadi duduk di kursi tak jauh dari kami. Kuharap Mas Bagas tidak mengetahui jika sahabatku itu berada di sana.

"Aku nggak mau pulang ke rumah itu, Mas!" Kuhentikan langkah saat kami sudah berada di luar restoran.

"Kenapa? Apa kamu sudah tidak lagi menganggap aku suamimu?"

"Lalu ... apa Mas masih menganggap kami bagian dari hidupmu, Mas?"

Suamiku itu merogoh kantong mengambil ponsel kemudian terlihat memesan taksi online.

"Kami?" tanyanya menoleh.

"Aku dan anakku!"

"Dia juga anakku, Hana! Jangan lupa itu!"

"Tapi kami merasa tidak diperlakukan seperti yangas ucapkan. Mas sudah terlalu dalam membuatku sakit."

"Aku khilaf dan aku sudah minta maaf, Hana."

"Khilaf Mas bilang? Nggak, Mas. Aku bilang aku lelah. Cukup, Mas Bagas! Jangan paksa aku!"

Taksi yang dipesan suamiku tiba di depan kami. Masih dengan tangan yang menggenggam dia mengajakku masuk.

"Kita bicarakan di rumah," tegasnya.

**

Kembali ke rumah adalah definisi mengulik kembali luka. Karena di sana terpahat semua sketsa bahagia dan luka sekaligus.

Beberapa pekan tidak kutinggali, rumah ini tidak kotor karena setiap harinya aku membayar seseorang untuk membersikan setiap ruangnya.

Aku duduk di sofa mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Perjalanan yang cukup melelahkan bagiku membuat seluruh tubuh terasa kaku.

Menarik napas dalam-dalam kuterima pesan dari Salma.

[Di mana, Hana?]

[Di rumahku, Salma.]

[Sudah kuduga kamu nggak bisa menolaknya!]

[Aku akan pulang setelah kami selesai membicarakan hal yang tak selesai di sana tadi.]

[Kapan? Malam ini tidak mungkin, Hana! Sudah terlalu larut kalau kamu pulang.]

[Aku tahu. Aku pulang besok.]

[Oke. Aku jemput besok? Kebetulan suamiku ada keperluan di sana.]

[Kalau nggak merepotkan, oke aja.]

[Jangan lupa kabari orang tuamu!]

[Iya, Salma. Thanks ya.]

Kuletakkan ponsel di meja. Sejak datang tadi, Mas Bagas masuk ke kamar untuk mandi dan hingga sampai saat ini belum juga keluar kamar. Sementara malam semakin beranjak naik. Aku benar-benar merasa penat. Tak ingin berada di kamar yang sama, aku melangkah menuju satu kamar lainnya yang terletak bersebelahan dengan kamar kami.

Langkahku terhenti ketika kudengar suamiku tengah berbicara yang sudah barang tentu aku mengetahui siapa yang meneleponnya. Kuurungkan niat untuk membuka kamar sebelahnya. Rasa penasaranku mengalahkan rasa gengsi untuk tidak mau tahu apa yang dibicarakan. Karena terdengar nada Mas Bagas sedikit tinggi.

Merapatkan telinga ke pintu aku berusaha untuk mendengar percakapan itu.

"Kalila, aku baik-baik saja. Ini sudah malam dan kamu harus istirahat. Jangan berpikir macam-macam. Ingat! Kamu sedang mengandung anak kita."

Kupejamkan mata menahan bulir yang mulai menggenang. Kalila ... kedatangannya kusambut dengan baik, tetapi disadari atau tidak dia sudah memberi tuba pada pernikahanku.

"Kalila, tolong! Aku sekarang sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Hana. Kamu harus bisa mengerti itu! Berulang-ulang aku katakan padamu, kan? Kalau aku nggak akan pernah melepaskan Hana!"

Kembali terdengar suara Mas Bagas.

"Sudah! Aku capek terus menerus berdebat soal ini! Jangan bilang kalau aku tidak bertanggung jawab. Jangan bilang kalau aku tidak memperhatikan kehamilanmu! Mengertilah sedikit!"

"Cukup, Kalila! Iya! Oke! Aku akan kembali secepatnya setelah semua bisa diselesaikan tanpa ada perpisahan dengan Hana!"

Sunyi. Tak lagi terdengar suara Mas Bagas. Aku tak ingin ketahuan mencuri dengar, cepat melangkah ke kamar sebelah dan bergegas menguncinya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top