Usai 17
Memakai kemeja putih dengan celana panjang hitam, Mas Bagas terlihat sangat rapi, sama seperti biasanya. Namun, pria itu terlihat lebih kurus kali ini, dan cambangnya yang terlihat tak terurus.
"Hana," sapanya mencoba memelukku, tetapi cepat kubuat jarak.
Jelas tampak kegusaran dan kecewa di wajahnya.
"Hana, aku rindu."
"Maaf, Mas. Silakan duduk."
Dia terlihat mencoba menahan kesal. Bibirnya kemudian tertarik melebar dengan tatapan mata menatapku lekat.
"Kamu cantik sekali! Sangat cantik!" pujinya kali ini mencoba meraih bahuku, tetapi perlahan kumenghindar lalu memberi isyarat agar dia duduk setelah aku lebih dulu menempati kursi di seberang tempat dia berdiri.
Jujur wajahku terasa panas saat dia memuji barusan. Biar bagaimanapun perempuan adalah sosok yang suka dipuji dan dia sangat memahami itu. Aku rasa Mas Bagas tahu dan melihat semburat merah yang merajai parasku saat dia memuji tadi.
Tidak! Aku tidak boleh luluh hanya dengan modal pujian darinya. Dia bahkan pernah membuat hatiku hancur berantakan karena ucapannya.
"Hana, kamu ... kamu nggak merindukan aku?" tanyanya masih pada posisi berdiri dengan tatapan memindai mataku.
"Mas duduk dulu! Mau pesan apa?" Kualihkan pembicaraan tanpa menatap matanya.
Mas Bagas tampak menarik napas dalam-dalam kemudian duduk berhadapan denganku. Sepertinya dia tahu aku sedang benar-benar tidak ingin berada di dekatnya lagi seperti sebelumnya.
"Mas mau minum apa?"
Pria yang sudah begitu lama membawa hatiku itu mengedikkan bahu kemudian menggeleng. Tak terlihat wajah berseri seperti awal dia tiba tadi.
"Terserah kamu aja. Kamu, kan yang paling tahu apa kesukaanku."
Aku melambai ke arah pelayan kemudian memesan white coffe.
"Mas mau makan apa?" Kembali kutanya, tetapi kali ini memberanikan diri menatap wajahnya.
"Sup kimlo aja. Kesukaan kamu, kan?"
Kutarik bibir sejenak kemudian memesan apa yang dia katakan. "Saya tambah air putih lagi aja, Mbak," pintaku pada pelayan sebelum dia pergi.
"Hana, apa kabar? Apa kabar kamu dan anak kita?" tanyanya sambil memajukan badan dengan wajah penuh harap.
"Aku baik. Anak ini juga baik." Sedikit aku memundurkan badanku karena tak ingin terlalu dekat dengan dia.
"Syukurlah. Hana ... aku mau melanjutkan apa yang kita bicarakan sebelum aku berangkat tadi."
Mas Bagas mencoba meraih tanganku, tetapi tentu saja aku berusaha untuk tidak larut dalam perasaan yang akan menjadi bumerang bagiku nantinya. Perlahan kutarik tanganku menghindarinya.
"Apa yang mau Mas katakan lagi?"
Tampak dia mulai frustrasi dengan reaksiku yang tentu saja jauh dari apa yang dia inginkan. Kulihat Mas Bagas membuang napas kasar kemudian menyugar rambutnya.
"Hana kenapa kamu bersikap seolah-olah aku nggak layak untuk menyentuhmu? Aku suamimu, Hana!" Kali ini suaranya terdengar menahan kesal.
Ya, memang dia suamiku, tetapi semuanya kini tak lagi sama. Andai dia tahu, ada hati yang nelangsa menahan rindu. Ada perasaan yang tertahan yang mencoba menyeruak melawan logika, dan semua itu kucoba sekuat tenaga menyembunyikan dala sudut nurani terdalam.
Mas Bagas tidak pernah tahu berapa banyak kuuntai kalimat rindu, berapa purnama kusembunyikan egoku demi menjaga semuanya baik-baik saja.
"Jangan salahkan aku jika sikapku seperti ini, Mas. Jika dulu aku hargai keinginanmu, kumohon sekarang hargai juga apa yang aku keputusanku."
Sungguh dadaku berdebar kencang saat mengungkapkan apa yang barusan kuucap. Logika dan hatiku berebut ingin didengarkan jika dulu aku lebih mendengar suara hati dan perasaan, tetapi tidak untuk kali ini. Meskipun lagi-lagi aku harus menyingkirkan semua rasa yang masih ada itu sejauh-jauhnya.
Mas Bagas kembali membuang napas kasar. Pria di depanku ini adalah perwujudan dari rasa cinta dan rasa benciku dalam satu waktu. Aku bahkan tidak bisa membedakan kapan harus meletakkan rasa itu meski dia telah benar-benar menganggapku berbuat hal yang tidak sepantasnya kala itu.
Mas Bagas lalu bercerita tentang mamanya yang menelepon dan mencecarnya dengan beragam pertanyaan. Menurutnya, mama mertuaku itu sangat marah karena semua terjadi tanpa sepengetahuannya.
"Kamu bilang ke Mama kalau akan pisah denganku?" Suaranya terdengar lirih.
"Kamu serius, Hana?" imbuhnya.
Aku mengangguk yakin.
"Tapi dia anakku. Anak kita yang sudah lama kita tunggu-tunggu, kan? Apa dengan pisah akan menjadikan dia anak yang bahagia? Apa pisah itu solusi terbaik?"
"Hana, tolong! Berhenti menginginkan hal itu terjadi. Karena aku nggak akan bisa menerima itu begitu saja. Aku mencintaimu dan kamu tahu itu!"
"Hana, kamu nggak serius, kan?"
Kutahan ucapan saat pelayan membawakan pesanan kami.
"Dimakan dulu, Mas. Eum ... Kalila baik-baik saja, kan? Kandungannya gimana? Semoga tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan ya."
Aku mengatakan hal itu tanpa menoleh. Kubuat ekspresi datar sedemikian rupa agar tidak terbaca apa yang sesungguhnya di hati.
"Aku di sini bukan untuk menjawab pertanyaanmu tentang Kalila atau siapa pun. Aku berada di sini untuk berbicara tentang kita. Tentang anak kita dan tentang rumah tangga kita, Hana. Jadi tolong ... jangan membuka pembicaraan soal itu," tegasnya dengan tahan mengeras.
"Aku salah. Iya! Aku tahu itu, tapi calon buah hati kita? Dia tidak tahu apa-apa soal ini, Hana."
"Aku dan aku tidak akan pernah pisah. Kita berdua akan membesarkan anak kita bersama-sama sampai kapan pun!" tutur Mas Bagas.
Kupindai tepat di matanya. Terbaca selaksa gulana bergayut. Entahlah, tetapi rasa ini terlalu sakit jika harus menerima kembali dia seperti yang sudah-sudah. Terlebih untuk selalu memaklumi kemanjaan Kalila. Perempuan itu semakin kuberi ruang, dia semakin meminta lebih luas dari yang kumiliki.
"Sebaiknya kita makan dulu, nggak enak nanti kalau sudah dingin!"
Ku alihkan pembicaraan. Sebenarnya sama sekali tidak berselera makan pada situasi seperti ini. Hanya saja, aku mencoba menyusun kalimat yang tepat untuk menghentikan penyesalan yang diucapkan Mas Bagas padaku.
Kulihat Mas Bagas tak membantah. Dia memulai menikmati suapan demi suapan. Melihat pria itu lahap menikmati hidangan, ingatanku kembali pada masa silam.
Saat aku dan dia bersama merangkak dari nol untuk memulai usaha kami. Makan satu piring berdua bukan karena kami romantis, tetapi lebih karena tak ingin memberi beban pada orang tua atas apa yang kami alami. Jatuh tertatih mencoba bangkit dengan segala rintangan sudah makanan sehari-hari kami kala itu.
Kini di saat semuanya sudah kami dapat, bukan impianku yang terwujud, tetapi impian perempuan lain yang begitu melekat di hatinya.
Meski tak berselera, setidaknya untuk kali ini makanku ditemani suami yang mungkin untuk terakhir kali, karena surat perceraian sedang diurus oleh ayahku.
"Please, Hana. Urungkan niat itu. Kamu tahu, kan? Kalau perceraian itu perbuatan yang tidak disukai Tuhan?" ujarnya saat kami telah menyelesaikan makan.
Aku menyeringai.
"Tapi Tuhan juga memberikan kita pilihan untuk mencari solusi agar kita bisa hidup bahagia, Mas."
"Maksudmu?" Dia memiringkan kepala mencoba mencari jawaban pada ekspresiku. "Maksudmu, selama ini kamu tidak bahagia?"
"Aku nggak bilang begitu! Sebaiknya jangan mengambil kesimpulan dengan mudah, Mas! Mas tahu? Terkadang orang memang butuh ruang berpikir untuk menyadari kesalahannya."
Mas Bagas melipat kedua tangannya, lalu bersandar punggung kursi.
"Apa aku termasuk dari kesalahan yang kamu ucapkan barusan, Hana? Apa aku tidak lagi berhak mendapatkan maafmu?"
"Setelah apa yang ku ucapkan beberapa waktu lalu. Kamu tahu? Aku bahkan tidak bisa menelan makanan apa pun. Aku sakit, Hana."
Mendengar penuturannya, tak kupungkiri hatiku sedikit goyah. Mas Bagas kalau sedang sakit, dia memang tidak akan menyentuh makanan apa pun selain puding buah buatanku. Lalu saat dia sakit, apakah Kalila juga menyiapkan puding buah seperti yang biasa kubuat?
Terdengar helaan napasnya. "Mungkin kabar soal sakitku tidak lagi berpengaruh apa pun padamu ya, Hana. Tapi benar itu yang terjadi. Dan hari ini ... aku datang menemuimu tanpa peduli pesan dokter untuk kesembuhanku," imbuhnya panjang lebar. "Aku merasa telah membuatmu luka dan tidak berbuat adil padamu. Maafkan aku, Hana."
"Aku benar-benar merasa sangat bersalah, dan aku merindukanmu, Hana."
Ada gemuruh rindu lagi-lagi seolah menggedor meminta keluar. Ada banyak aksara yang ingin kuungkapkan perihal kabar calon buah hati kami. Akan tetapi, kurasa semua tidak ada artinya, karena dia pun akan mendapatkan anak dari Kalila.
Menghadirkan namanya di tengah-tengah perjumpaanku dengan Mas Bagas membuat terasa ada sembilu yang menusuk dalam. Bahkan terlalu dalam.
"Mas ... sudah terlalu banyak orang yang masuk ke dalam rumah tangga kita. Jika pada awalnya kesalahan dari aku, aku sudah mencoba mengimbangi dengan terus menerus paham atas apa yang kuputuskan. Tapi semenjak pikiran kita semakin riuh ... aku rasa ada baiknya kita berpisah karena ada kepercayaan yang semakin terkikis dan tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan semakin menipis bahkan hilang kepercayaan di antara kita."
Mas Bagas menegakkan tubuhnya.
"Kamu meragukanku, Hana?"
"Bukan aku, Mas. Dulu, aku nggak pernah ragu dengan perasaanku padamu. Apakah ada keraguan jika sepenuhnya kuserahkan Mas ke Kalila? Apakah ada keraguan saat aku memberi ruang luas agar Mas bisa menemaninya? Nggak, Mas. Aku nggak pernah meragukan hatimu padaku, hanya saja ... justru Mas sendiri yang memunculkan rasa itu di kepalaku. Mas yang meragukanku. Bagiku itu sudah cukup mencederai rasa percayaku padamu, Mas."
Paras suamiku semakin terlihat meradang.
"Apa ini karena dokter itu, Hana? Apa karena dia kamu banyak berubah? Karena yang kutahu kamu tidak seperti ini. Apa karena dia?" tanyanya penuh penekanan.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top